NASIHAT EMAS IBNU TAIMIYAH SOAL JAMA`AH-3.
Legitimasi Bai’at terhadap Perkara Parsial (Juz’iyyah). 

Boleh saja berbai’at, tapi terbatas pada masalah-masalah yang juz’i, yang memang sudah disyariatkan dalam Islam*, tanpa memiliki pengaruh seperti bai’atnya terhadap Amirul Mukminin. Seperti mengambil perjanjian terhadap diri sendiri untuk tetap iltizam dalam ketaatan tertentu yang telah disyari’atkan, atau beriltizam terhadap suatu amalan antara dia dan orang lain tanpa mengakibatkan larangan-larangan syar’i.

Contoh tentang masalah ini, adalah seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhori di dalam at Tarikhul Kabir, VI: 39, dalam memaparkan biografi Abad bin Maisaroh al Munkiri at Tamimi. Bahwasannya dia telah berjanji kepada Allah untuk membaca Al Qur’an setiap malam seribu ayat, jika tidak membacanya dia akan shoum. Kemudian dia merasakan berat terhadap janjinya itu, dan diutarakannya kepada Ibnu Sirin, yang lalu berkata kepadanya: “Terhadap janji Allah, saya tidak bisa apa-apa, penuhilah janji Allah!” namun Al Hasan berkata, “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, maka hendaknya ia membayar kafarat untuk sumpahnya itu.”

Di antaranya ada juga perkataan Sayyidah Aisyah radiallohu ‘Anha kepada Ibnu Abi Syaib tukang cerita penduduk Madinah. Katanya: “Tiga hal kamu membai’at aku dalam hal tersebut atau aku memerangi dan memusuhimu.” Ibnu Abi Syaib beryanya: “Apakah yang tiga hal tersebut, ya ummul mukminin?
Aisyah berkata: “Jauhkanlah sajak dari do’a, karena Rasululloh Saw dan para sahabatnya tidak pernah melakukan hal itu. (Ismail, Syeikhnya Imam Ahmad, yang meriwayatkan atsar ini berkata sekali lagi: Aisyah berkata: sesungguhnya saya menjumpai Rasulullah saw dan para sahabatnya tidak melakukan hal tersebut.” ). Dan ceritakanlah kepada manusia setiap jum’at sekali, jika kamu tidak mau dua kali, jika tidak mau tiga kali. Kemudian jangan sampai manusia bosan terhadap kitab ini, dan jangan sampai saya menjumpai kamu mendatangi satu kaum, mereka sedang berbicara lalu kamu potong pembicaraannya. Biarkanlah mereka berbicara, apabila mereka mempersilahkan dan menyuruhmu berbicara, maka bicaralah.” (dikeluarkan oleh Ahmad dalam al Musnad, dan sanadnya bagus sebagaimana yang ada dalam Fathur Robbani, XIX: 287).

Juga perkataan Imam Al Qurthubi di dalam tafsirnya, jilid IV halaman 33, ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala dari Surah Al Ma’idah ayat 1, Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Beliau berkata, “Zujaj berkata: maknanya adalah janji Allah terhadap dirimu dan janji Allah terhadap kalian. Hal ini kembali pada pernyataan umumnya, dialah yang benar.” Rasulullah saw bersabda,
Orang-orang mukmin itu di sisi syartnya (akadnya).
Dan beliau bersabda,
Setiap syart (akad) yang tidak terdapat di dalam kitabullah adalah batil, sekalipun seratus syart.

Beliau menjelaskan, bahwa syart atau akad yang harus dipenuhi adalah yang sesuai dengan kitabullah, yaitu dienullah. Bila di dalamnya terdapat sesuatu yang bertentangan, maka ia tertolak. Sebagaimana Rasulullah bersabda,
Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak bersdasarkan perintah kami, maka dia ditolak.

Ibnu Ishaq berkata: kabilah-kabilah Quraisy berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an – karena kehormatan dan keturunannya kemudian mereka saling berjanji, bila di Makkah mendapati orang yang dizhalimi, dari keluarganya atau yang lainnya untuk membelanya sampai tidak dizhalimi lagi. Kemudian kaum Quraisy menamakan perjanjian itu dengan Hilful Fudlul. Mengenai masalah ini, Rasulullah bersabda,

Saya telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an ada satu perjanjian. Alangkah senangnya, dengan hal tersebut saya memiliki dunia dan seisinya. Dan seandainya hal itu diserukan dalam Islam, pasti saya sambut.
Makna perjanjian inilah yang disabdakan Rasulullah,
Perjanjian apa saja yang terjadi di masa Jahiliyyah, Islam tidak menambahnya melainkan memperkuat.

Hal tersebut sesuai dengan syara’ karena memerintahkan keadilan dan menolak kezhaliman. Adapun perjanjian yang batil, yang memerintahkan kezhaliman, telah dihancurkan oleh Islam. (Lihat juga Syarhu Tsulatsiyat Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, II: 167-168).

Ibnu Ishaq berkata, bahwa Walid bin Utbah telah menzhalimi Husain bin Ali di dalam hartanya karena kekuasaan Walid. Dia seorang Amir di Madinah. Kemudian Husein berkata: saya bersumpah kepada Allah, engkau berbuat adil kepadaku atau aku ambil pedang kemudian aku tegakkan di masjid Rasulullah saw, lalu aku serukan Hilful Fudlul.
Abdullah bin Zubair berkata: saya bersumpah kepada Allah,, seandainya dia mengajakku pasti akan kuambil pedangku, kemudian aku tegakkan bersamanya sampai dia berbuat adil, atau kita mati semua.
Kemudian pernyataan tersebut sampai kepada Miswar bin Mahromah, lalu dia juga berkata seperti itu. Kemudian sampai juga kepada Abdurrahman bin Utsman dan berkata seperti itu. Kemudian tatkala hal itu didengar oleh Walid, dikembalikanlah haknya.”
Demikian Imam al Qurthubi menjelaskan.

Kemudian tentang perjanjian Hudzaifah dan bapaknya, Husail terhadap orang-orang musrik untuk tidak menolong Nabi saw dengan tidak menjumpainya.
Dikeluarkan oleh Musli dalam Shahihnya; Ahmad dalam Musnadnya dari Hudzaifah Ibnul Yaman, dai berkata:
Yang menghalangi saya untuk tidak ikut perang Badar adalah karena saya dan bapak saya (Husail) yang telah keluar kemudian kami dicegat oleh orang-orang kafir Quraisy. Mereka mengatakan, ‘kalian menghendaki Muhammad?’ kami menjawab, ‘kami tidak menghendaki Muhammad, yang kami kehendaki adalah Madinah.’ Lalu mereka mengambil perjanjian Allah dari kami agar kami pergi ke Madinah dan tidak ikut berperang bersamanya. Kemudian kami menjumpai Rasulullah saw dan kami kabarkan kepadanya tentang berita tersebut. lalu beliau bersabda, ‘kita penuhi terhadap mereka perjanjiannya, dan kita mohon pertolongan Allah terhadap mereka.’
Kemudian juga tentang bai’at terhadap manusia yang dilakukan oleh imam besar Abu Abdillah Ahmad bin Nashr bin Malik bin Haitsam Al Khuja’i Al Marwazi pada masa Al Watsiq untuk menentang orang-orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk, dan berusaha mengadakan perubahan. Bai’at tersebut pada dasarnya aadalah pembaruan perjanjian. Dalam gerakannya itu, beliau rohimahullah mampu menguasai hati penduduk Baghdad. Di antara mereka yang membai’atnya dan ikut dalam gerakannya, salah seorang beliau tempatkan di wilayah Barat dan seorang lagi di wilayah Timur. Mereka bersepakat untuk bergerak pada malam Kamis bulan Sya’ban 231 H., pemukulan beduk mereka jadikan sebagai tanda.

Di antara mereka ada orang-orang yang bodoh yang memukulkan beduknya pada malam Rabu, karena mereka mengira malam itu adalah malam Kamis seperti yang sudah disepakati. Mereka membanyakan pukulan beduk, namun tak ada seorang pun yang menyambutnya.

Saat itu Ishaq bin Ibrahim (seorang sultan di Baghdad) berada di luar Baghdad, sebagai penggantinya adalah saudaranya, Muhammad bin Ibrahim. Kemudian diutuslah kepada mereka seorang yang bernama Rohasy. Lalu Rohasy menanyakan kepada mereka tentang kisahnya, namun tak seorang pun yang memukul beduk  tersebut menceritakan kepadanya. Pertanyaan itu lalu diajukan kepada seseorang yang sedang berada di kamar mandi, yang biasa dipanggil nama Isa Al A’war. Di bawah ancaman pukulan, akhirnya dia mengaku dan menyebutkan dua anak Asyros yang memukul beduk sebelum waktunya, kemudian dia juga menyebutkan Ahmad bin Nashr bin Mali serta nama-nama lainnya.

Mulai malam itu mereka dicari, sebagian mereka kena ciduk. Tholib yang oleh Ahmad bin Nashr ditempatkan di wilayah Barat juga diciduk, lalu Abu Harun as Siroj di wilayah Timur juga demikian. Sedangkan Isa Al A’war dicari selama beberapa hari. Kemudian mereka dipenjarakan di wilayah Barat dan juga di wilayah Timur. Abu Harun dan Tholib masing-masing diborgol dengan besi seberat tujuh puluh ritil.
Di rumah kedua putra Asyros ditemukan dua bendera hhijau yang ada tanda merahnya di dalam sumur. Kemudian dikeluarkan oleh para penolong Muhammad bin Iyyas, pemimpin wilayah Barat. Sedangkan pemimpin wilayah Timur adalah Al Abbas bin Muhammad bin Jibril.

Cucu Ahmad bin Nashr ditangkap dan diancam, akhirnya dia mengakui seperti yang diakui oleh Isa Al A’war. Kemudian pendukung Sultan mendatangi Ahmad bin Nashr, ketika itu beliau sedang berada di kamar mandi. Beliau berkata kepada mereka, “ini adalah rumahku, jika kalian di rumah ini menjumpai bendera, perlengkapan ataupun senjata untuk mengadakan kerusuhan, kalian bisa menyelesaikannya dan menyelesaikan darahku.”
Lalu diadakanlah penggeledahan, namun tak sesuatu pun yang ditemukan. Kemudian Ahmad bin Nashr dibawa kepada Muhammad bin Ibrahim bin Mush’ab, yang juga telah menangkap kedua cucu putra beliau serta seseorang yang telah melindunginya, Isma’il bin Muhammad bin Mu’awiyah bin Bakr Al Bakhili, yang bertempat di wilayah Barat. Kemudian keenam orang itu dibawa kepada Amirul Mukminin Al Watsiq yang sedang berada di Samiro’ dengan menggunakan kendaraan Bighol tanpa alas pelana. Ahmad bin Nashr diborgol, mereka lalu dibawa ke Baghdad pada hari Kamis, hari terakir bulan Sya’ban 231 H.

Al Watsiq sebelumnya telah diberitahu tentang kedudukan mereka. Lalu dia mendatangkan Ibnu Abi Dawud dan sahabat-sahabatnya, yang kemudian membentuk majlis umum untuk menguji mereka secara terbuka, yang juga dihadiri oleh para penduduk.
Sepertinya Ahmad bin Dawud – berdasarkan apa yang diutarakan – secara lahir tidak suka untuk membunuhya.
Ketika mendatangi Ahmad bin Nashr, al Watsiq tidak menanyakan kepada beliau tentang masalah keributan dan juga tentang berita yang dia terima perihal keinginan beliau untuk memberontak terhadapnya. Akan tetapi dai berkata kepada beliau, “Wahai Ahmad, bagaimana pendapatmu tentang Al Qur’an?”
“Kalamullah,” jawab beliau, sambil mempertaruhkan dirinya menghadapi kematian.
“Apakah dia itu makhluk?” tanya Watsiq lagi?
“Dia Kalamullah.” Jawab beliau.
Lantas Watsiq bertanya, “Apa yang kamu katakan tentang Robbmu, apakah kamu akan melihatNya pada hari kiamat?
Ahmad bin Nashr menjawab, “Wahai Amirul mukminin, telah datang atsar dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda: Kamu akan melihat Robbmu sebagaimana kamu melihat bulan yang tidak ada halangan untuk melihatnya. Maka kami berada di atas kebaikan.”
Kemudian Ishaq bin Ibrahim berkata kepada beliau, “Celaka kamu! Perhatikanlah apa yang telah kamu lakukan!”
“Anda telah memerintahkan kepadaku tentang hal tersebut,” jawab Ahmad bin Nashr. Ishaq terkejut dan khawatir terhadap perkataan itu, kemudian dia berkata, “Aku memerintahkan kepadamu hal tersebut?”
“Ya, anda telah memerintahkan kepadaku supaya menasihatinya. Kalau memang kepada Amirul Mukminin, maka nasihatku adalah: janganlah menyalahi hadits Rasulullah Saw.” Jawab Ahmad bin Nashr.
Kemudian Al Watsiq bertanya kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya, “bagaimana pendapat kalian tentang orang ini?” mereka ribut, lalu Abdurrahman bin Ishaq – bekas qodhi wilayah barat dan juga bekas sahabat Ahmad bin Nashr – berkata, “Dia halal darahnya.” Kemudian Abu Abdillah Al Armanni, sahabat Ibnu Abwu Dawud berkata, “Wahai Amirul Mukminin, serahkanlah kepadaku darahnya.”
Al Watsiq berkata, “Pembunuhan terserah kalian.” Lalu Ibnu Abi Dawud menyela, “Wahai Amirul Mukminin, dia adalah orang kafir yang disuruh bertaubat, barangkali saja dia punya kelainan jiwa.” (sepertinya dengan perkataannya itu dai tidak suka membunuh).
Lalu Al Watsiq berkata, “Bila kalian telah melihat aku melakukan hal ini, maka jangan ada seorang pun yang ikut melakukannya karena saya sedang memperhitungkan langkah-langkah saya terhadapnya.”
Dia minta diambilkan pedang, lalu menghampiri Ahmad bin Nashr. Dia berada di tengah-tengah rumah, kemudian minta diambilkan sebuah hamparan yang terbuat dari kulit dan dihamparkanya di tengah-tengah dan minta tali untuk mengikat kepala Ahmad bin Nashr. Tali diulurkan (ke kepalanya), lalu Watsiq mengayunkan pedangnya sekali, tapi menyangkut tali pundaknya. Kemudian yang kedua kalinya dia mengarahkan ke kepalanya. Lalu Saima ad Dimasyqi menghunuskan pedangnya, menghantam ke arah leher dan memenggal kepalanya.
Disebutkan juga, bahwa Bugho Asy Syarobi menghantamnya dengan hantaman yang lain, dan watsiq melukai perutnya dengan ujung pedangnya. Kemudian Ahmad bin Nashr disalib di sebuah pagar, sementara dia masih bercelana dan berbaju dan di kedua kakinya terdapat dua borgol.
Kemudain kepalanya dibawa ke Baghdad dan ditancapkan di wilayah Timur, yang dipasangkan pagar dan tenda, lalu ditempatkan penjaga. Kemudian tempat itu terkenal dengan adanya kepala Ahmad bin Nashr, yang pada telinganya digantungkan sebuah tulisan yang berbunyi:
“Ini adalah kepala orang kafir, msuyrik dan sesat, yaitu Ahmad bin Nashr bin Malik. Termasuk salah seorang yang dibunuh oleh Allah melalui tangan Abdullah Harun Imam Al Watsiq Billah Amirul Mukminin, setelah menegakkan hujjah kepadanya tentang kemakhlukan Al Qur’an dan penolakan Tasybih (penyerupan), menawarkan kepadanya untuk bertaubat dan mempersilahknannya untuk kembali kepada kebenaran. Namun dia menolak, bahkan menentangnya. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah yang telah mempecepatnya pergi ke nerakaNya dan ke azabNya yang pedih. Sesungguhnya Amirul Mukminin telah menanyakannya tentang hal tersebut, lalu dia menyatakan tasybih dan berbicara dengan kata-kata kufur. Maka berdasarkan hal tersebut, Amirul Mukminin menghalalkan darahnya dan melaknatnya.”

Kemudian diadaknlah pencarian terhadap para sahabat Ahmad bin Nashr yang bergabung dengannya dan dijebloskannya ke penjara. Sekitar dua puluh orang lebih telah dijebloskan ke dalam penjara yang gelap dan diborgol dengan besi. Mereka dilarang menerima pemberian dari penghuni penjara lainnya dan tak boleh dikunjungi. Abu Harun As Siroj dan orang-orang lain yang bersamanya dipindahkan ke Samaro’, kemudian dikembalikan ke Baghdad untuk dipenjarakan di sana.
Sesungguhnya penyebab ditangkapnya mereka adalah karena seseorang yang datang kepada Ishaq bin Ibrahim bin Mush’ab dan berkata, “akan saya tunjukkan kepadamu teman-teman Ahmad bin Nashr.” Lalu dikerahkanlah para pengikutnya bersama orang itu untuk mencari mereka.

Ketika mereka telah tertangkap, para pengikut Watsiq mengetahui penyebab orang itu untuk memenjarakan para sahabat Ahmad bin Nashr. Di Mahrozar dia adalah orang yang memiliki pohon kurma, yang kemudian pohonnya itu ditebang dan rumahnya dirampas.[1]
Dari kisah tersebut, anda mengetahui menjalarnya gerakan Ahmad bin Nashr sampai setelah beliau wafat, dimana beliau tidak berhasil mewujudkan tujuan dari gerakannya itu pada masa hidupnya lantaran orang yang bergabung dengannnya tidak bisa memanfaatkan Sirriyah (rahasia). Setelah wafatnya beliau rohimahullah Ta’ala kita mempelajari dan mengikuti, ternyata gerakan beliau tidaklah gagal. Sesungguhnya makna-makna yang beliau bawa masih tetap hidup sampai dianut oleh Al Mutawakkil. Bahkan Al Watsiq sendiri pada akhirnya bertaubat dari apa yang telah dia lakukan, berusaha merubahnya dan kembali kepada kebenaran serta melaksanakan Ahmad bin Nashr. Namun akhirnya dia pun dibunuh oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dari kalangan ahli bid’ah.

Dari kisah ini kita dapat mengambil ibroh, bahwa Imam Ahmad bin Nashr telah melakukan nahyi munkar terhadap penguasa yang masih berada dalam batasan Islam, dan membai’at manusia untuk menentangnya serta membedakan barisan Islam dan menjadikannya terpisah dari para ahli bid’ah. Perbuatan beliau itu dipuji oleh ulama-ulama sejamannya, bahkan Imam Ahmad bin Hanbal juga memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah merahmatinya. Sungguh dia telah mengorbankan jiwanya.”
Tidak ada satu pun yang dapat menyatukan Imam Ahmad bin Nashr dengan murid-muridnya kecuali dengan memerangi bid’ah dan menolong as Sunnah. Maka bilamana suatu kaum berhimpun di atas ketaatan terhadap Allah dan RasulNya, antara mereka bermuwalah berdasarkan hal tersebut, maka amalan mereka itu dibenarkan saja oleh syari’at.

Slogan berhimpunnya mereka bukanlah mereka, “Kami selalu bersama dengan setiap orang dari kami dalam segala sesuatunya,” atau “Kami berbai’at untuk mendengar dan taat dalam melakukan segala sesuatu baik dalam keadaan suka dan duka.” Namun berhimpunnya mereka adalah di atas kema’rufan yang jelas, yang tertanam dalam jiwa-jiwa mereka yang berhimpun, atau dalam rangka memerangi kemunkaran. Jika tidak demikian, maka berhimpunnya mereka itu termasuk jenis persekongkolan seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin.
Jika ada orang yang menentang dengan berhujjah pada hadits Ubadah bin Shomit yang shahih:
Kami telah berbai’at kepada Rasulullah saw untuk dengar dan taat dalam kesulitan dan kemudahan.

Maka terhadap orang ini akan kami katakan seperti apa yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi, “Mana persyaratan syeikh terhadap murid, di antara persyaratan Rasulullah saw dalam kewajiban untuk taat terhadap bai’at Islam yang lazim.” (Talbisu Iblis, hal. 192).
Ibnu Qoyyim menyebutkan tentang tipu daya syetan terhadap orang-orang sufi, “Syaithon telah memerintahkan mereka untuk menetapi satu model, dengan cara berpakaian dan berjalan yang tertentu, syaikhnya tertentu dengan cara yang ditemukan. Kemudian mengharuskan kepada mereka untuk menetapinya seperti halnya mereka menetapi dalam kewajiban. Lalu mereka tidak keluar dari batasan-batasan itu, dan mencela orang-orang keluar batasan.

Kemudain beliau melanjutkan, “mereka sibuk memelihara tata cara itu dengan mengabaikan syari’at dan kebenaran. Mereka berdiri tegak bersama dalam tata cara bid’ah, bukan bersama ahli fiqh dan ahli kebenaran. Bagi ahli kebenaran, yang paling memberatkan mereka adalah terbelenggu dalam tata cara bid’ah, karena hal itu merupakan penghalang besar antara hatinya dengan Allah. Maka, manakala dia terbelenggu dengan masalah itu, dia mengekang hatinya dari perjalanannya. Dan keadaan yang paling hina adalah berdiri tegak bersamanya. Tidak ada istilah berhenti dalam berjalan, yang ada hanyalah mundur atau maju, sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Barangsiapa diantaramu yang berkehendak akan maju atau mundur’. Maka tidak ada istilah berhenti di tengah jalan, yang ada hanyalah berlalu maju atau kembali mundur.” (Ighotsatul Lahfan, I: 125 – 126).

Jadi, bagi para aktiifs Islam hendaklah selalu mengingat tujuan-tujuannya yang mulia, serta berpegang teguh kepadanya. Menjauhkan dari berbagai belenggu yang akan menjadi sumber kesulitan bagi dirinya, yang pada akhirnya nanti akan muncul pada diri mereka berbagai penyakit penghalang. Selama masih kita dengar adanya saling mencela diantara mereka, da’i khususnya, sampai pada batas mengharuskannya bertaubat – ketika itu mereka akan memadukan antara praduga buruk dengan ta’ashub -, maka hasil yang didapat adalah lenyapnya pahala! Na’udzu billah.
Rasanya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam risalah ini berseru kepada kelompok itu, katanya, “Berlaku baiklah kepada dirimu sendiri ... jangan terburu-buru, karena sesungguhnya kalian memiliki prinsip yang mulia, maksud mulia dan tujuan yang mulia ... sikap toleran ... lapang dada dan tidak disangka dan batas yang kalian berakhir padaya. Akhir itulah yang membuat malu setiap orang yang cinta terhadap kalian ... karenaya, setiap orang yang cinta akan merasa sayang pada kalian. Sekarang tidak ada yang dapat saya lakukan ... sementara kalian tenggelam dalam keringat malu dan penyesalan ... kecuali menyelamatkan kalian, mengangkat kalian dari jurang yang dalam ... dan menepuk pundak kalian sambil kukatakan kepada kalian dengan jujur dan ikhlas dan ... rasa kasih sayang; Bacalah apa yang saya tulis dalam risalah ini ... lakukan apa yang tercantum di dalamnya ... karena sesungguhnya, kalian – sekarang – lebih butuh terhadapnya.”

Kedua: Apa yang dimaksud dengan jama’ah itu, yang kaum muslimin berdosa bila meninggalkannya?
Untuk sekarang ini ada dua persepsi tentang pemahaman jama’ah. Yaitu, apakah yang dimaksud dalam tanzhim-tanzhim yang ada dan tersebar di seluruh pelosok bumi ini, ataukah jama’atul muslimin yang bersatu di atas sulthon muslim?
Dari nash-nash yang telah diuraikan, nampak jelas, bahwa yang dimaksud dengan jama’ah yang berdosa bila seorang muslim meninggalkannya, adalah jama’atul muslimin yang dipimpin oleh seorang imam muslim.

Mengangkat permasalah ini merupakan perkara yang penting pada saat sekarang. Mengingat banyak yang mempersepsikan bahwa “tanzhim” adalah jama’ah yang dimaksudkan dalam nash-nash tadi. Sikap-sikap seperti ini nampaknya sudah mendominasi para aktifis yang bergerak dalam lingkup tanzhim-tanzhim Islam kontemporer.[2]

Pemahaman yang salah ini akan nampak jelas pada saat salah seorang atau kelompok meninggalkan salah satu tanzhim yang ada.
Harus ditegaskan di sini, bahwa setiap tanzhim, harokah, atau pun jama’ah yang ada, bukanlah merupakan jama’atul muslimin namun itu semua adalah bagian dari Jama’atul muslimin (jama’ah minal muslimin). Begitu juga bagi orang-orang yang tidak bergabung dalam suatu tanzhim atau harokah Islamiyyah. Mereka memisahkan diri dari jama’ah, dan apabila mati, mereka tidak mati dalam keadaan jahiliyyah.
Ditegaskan juga, bahwa ukhuwah yang ada di antara kaum muslimin hanyalah berdasarkan pada prinsip keimanan.
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.
Ukhuwah bukan hanya karena bergabungnya mereka dalam suatu tanzhim atau harokah.

Jelaslah, setiap orang yang mengakui nash-nash Islma, wajib baginya diperlakukan sebagaimana layaknya seorang mukmin dan termasuk dalam golongan kaum muslimin, baik yang berada dalam tanzhim maupun yang tidak.
Dengan demikian, amal Islami akan melampui dan mendobrak batas-batas golongan dan tanzhim. Dimana amalannya didasarkan pada iltizamnya di atas manhaj Islam, dan bukan beriltizam pada sosok pribadi, tanzhim atau pun jama’ah. Karena penyimpangan terhadap prinsip ini, akan berarti memberikan peluang menyelinapnya virus-virus penyakit ke dalama para aktifis da’wah.

Dengan demikian, akan terungkaplah topeng kema’shuman sebagian orang, demikian juga dengan alasan-alasan lucu dan menggelikan yang diucapkan guna melegitimasi perbuatan dan kesalahan mereka.
Lalu akan lenyap pula ashobiyyah (fanatisme) terhadap golongan atau pribadi yang tidak akan nampak kecuali pada kondisi daya pikir yang kuat dan tidak memandang secara benar, atau dalam kondisi dimana tidak adanya keinginan yang kuat untuk beriltizam terhadap dien.

Persoalan ini kita tempatkan pada proporsinya yang sesuai. Kita bisa melihat, bahwa para aktifis itu juga merupakan manusia biasa, yang tidak boleh difasikkan oleh para muridnya da pecintanya, dan tidak pula dibid’ahkan oleh para pembencinya.
Kemudian, segala macam kritik, nasihat, amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang dapat memecah-belah barisan, atau membuat kekacauan dalam beramal.

Kita juga akan dapat menjauhi kelompok-kelompok kecil yang baru, yang di dalamnya pemikiran kita tercabik-cabik, masalah-masalah parsial subur berkembang dan masalah-masalah yang jelas keutuhannya dan prinsip menjadi lenyap terpendam. Akhirnya skala prioritas pun menjadi kacau.

Lalu kita akan melenyapkan istilah-istilah buruk yang ditujukan kepada orang-orang yang meninggalkan kelompoknya, yang disebabkan adanya perbedaan pemikiran. Seperti istilah-istilah yang dulu sering kita dengar, misalnya “gugur di jalan”, “kalah”, “menyimpang”, “terjungkir”, “demission”, dan lain sebagainya.
Dengan demikian tidak ada lagi tempat untuk alasan kemashlahatan, adaptasi, asas manfaat, politik, kemahiran dan kamuflase dalam rangka menyembunyikan sesuatu yang dilarang dan menutupi sesuatu yang buruk.

Demikianlah, saya memisahkan risalah ini dari Majmu’ul Fatawa jilid XXVIII halaman 9 – 25 yang kemudian saya beri muqaddimah dan komentar, saya takhrij hadits-haditsnya dan saya beri judul tiap bagiannya untuk memperjelas bahasannya serta menonjolkan pemikiran dan kandungan isisnya. Hal ini saya lakukan dalam rangka mencari pahala Allah Azza Wa Jalla, dari awal sampai akhir, dan untuk menjelaskan yang hak dari masalah-masalah yang banyak dibicarakan dengan hak dan batilnya.
Dalam hal ini, yang hak berada di kedua pihak, yang melarang dan yang membolehkannya. Orang yang melarang, pada perkataannya ada titik kebenaran, dimana dia memandang hadits-hadits tentang bid’ah diberikan kepada Amirul Mukminin, dan melarang memasukkan hadits-hadits tersebut ke dalam bai’ahnya kepada para syaikh atau jama’ah. Dan orang yang membolehkannya juga ada titik kebenarannya, dimana dia memandang bahwa bai’at tersebut  jenis ‘aqd dan ‘ahd yang pelaksanaannya bukan merupakan satu keharusan, dan didiamkan oleh pembuat syari’at. Lantas bagaimana bila ada orang yang menuntut hal tersebut karena keterlambatannya manusia dalam membela ad dien, dan karena penyingkiran kitabullah oleh para penguasa dari kursi pemerintaha?

Bagaimana pun juga seluruh makhluk, baik para syaikh, raja, pemimpin, guru dan para murid haruslah beriltizam dengan syari’at Allah ta’ala, dan tidak keluar darinya pada segala keadaan.
Dalam risalah ini, Syaikhul Islam telah menjelaskan hukum-hukum tersebut dengan ungkapan yang luas dan jelas.




[1]  Iihat rincian hal tersebut pada Tarikhut Thobari, IX: 135-139, 190; Siyar A’lamin Nubala’, XI: 166, Thobaqotul Hanabilah, I: 80-82; Thobaqotus Syafi’iyyah, II: 51; Tarikh Baghdad, V: 173-176; al Bidayah Wan Nihayah, X: 303-307.
[2]  Yang memperkuat masalah ini adalah Imam Syafi’i dalam ar Risalah, halaman 475, “apabila jama’ah mereka terpecah di berbagai negeri, maka tak seorang pun dapat komit terhadap badan-badan jama’ah suatu kaum yang terpecah-pecah itu. Sementara ada juga bada-badan yang berkumpul , yang terdiri dari kaum muslimin, orang-orang kafir, orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Dan komit terhadap bada-badan (yang berkumpul) itu tidak ada artinya karena memang tidak mungkin. Sebab berkumpulnya mereka itu tidaklah melakukan sesuatu (yang berarti) karenanyalah komitmen terhadap mereka jadi tidak bermakna, kecuali yang menjadi landasan mereka berupa penghalalan dan pengharaman, dan taat pada keduanya.” Dan itu juga sesuai dengan apa yang akan saya sebutkan ini, “Jama’ah apa saja yang beasal dari berbagai jama’ah, sesungguhnya itu semua adalah bagian dari jama’ah muslimin, bukannya jama’atul muslimin.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------