MENUJU SURGA LEWAT BERBAKTI KEPADA ORANGTUA (KE-3, TERAKHIR).
BAB 2. ASAS BERBAKTI SETELAH IBU-BAPAK WAFAT

Pada bagian pertama, telah kami jelaskan asas-asas birrul-walidain pada saat mereka masih hidup di tengah anak-anaknya, yaitu tiga belas.
Asas yang menjadi pijakan bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Semua asas tersebut diambil dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersumber dari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, maupun peristiwa yang terjadi dalam sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Kami berharap, kiranya ibu-ibu dan bapak-bapak, yang setiap harinya disibukkan oleh berbagai pekerjaan duniawiyah, menyisihkan waktunya secara rutin untuk mendengar fatwa-fatwa ulama’ atau untuk membaca buku-buku keislaman umumnya, dan khususnya tentang hidup berumah tangga menurut islam, tentang bagaimana membentuk kepribadian anak-anak menurut tarbiyah Rasulullah dan manhaj terbawi rabbani, agar kita berbahagia di dunia dan akhirat, dan dijauhkan dari api neraka, lalu dimasukkan ke surga-Nya bersama anggota keluarga, para Nabi, para Rasul, syuhada’ dan shalihin.
Pada pembahasan berikut ini, kami akan menguraikan asas-asas birul-walidain setelah kedua orang tua kita, atau salah satu dari mereka mendahului kita, berpulang ke rahmatullah. Ada sembilan asas yang peru diperhatikan, yaitu:

2.1 Tunaikan Janji dan Wasiat Ibu Bapak
            Ketika orang tua masih hidup atau ketika dalam pembaringan (sakit), ada kalanya memberkan wasiat atau janji-jani, baik untuk anak-anaknya atauupun untuk orang lain. Namun, sebelum janji itu dilaksanakan, ajal telah menjemputnya. Dalam kondisi demikian, maka ahli warisnya sepatutnya melaksanakan jani atau wasiat tersebut.
            Dari Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafi radliyallahu’anhu radliyallahu’anhu, ia berkata, bahwa ibunya berwasiat kepadanya agar membebaskan budak mu’minah. Ia pun datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Ya Rasulullah, ibuku telah berwasiat agar aku membebaskan budak mu’minah; dan aku memiliki seorang budak wanita hitam Nubiyyah (Sudan), apakah aku boleh membebaskannya (untuk memenuhi wasiat ibuku)?” Lalu Nabi bersabda, “Panggillah dia.” Ia pun memanggilnya, kemudian budak itu datang menghadap Nabi. Lalu Nabi bertanya kepadanya, “Siapa Rabbmu?” Ia menjawab, “Allah.” Rasul bertanya lagi, “Siapakah aku ini?” Jawabnya, “Rasulullah.” Kemudian Nabi bersabda, “”Bebaskanlah dia, sesungguhnya dia adalah mu’minah.” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)
            Dari Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi radliyallahu’anhu, ia berkata, “Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datang seorang laki-laki dari Bani Salamah, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, adakah sesuatu yang dapat kulakukan untuk berbakti kepada ibu-bapakku setelah mereka meninggal dunia?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
‘Ya, ada, yaitu: mendo’akan keduanya, memohonkan ampun untuk keduanya, menunaikan janji keduanya (yang belum mereka laksanakan), menghubungkan tali rahim yang tidak bisa terhubung kecuali melalui keduanya, serta memuliakan teman-teman keduanya.’ (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

2.2 Do’akan dan Mohonkan Ampun untuk Ibu-Bapak
            Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sungguh, Allah ‘Azza wa Jalla menaikkan peringkat hamba yang shalih di surga. Lalu ia berkata (keheranan), Ya Rabbku, bagaimana saya bisa mendapatkan tempat ini?’ Allah menjawab, ‘Karena permohonan ampun anakmu untuk dirimu.’” (H.R. Ahmad dan Thabrani dalam Al-Ausath)
            Dari Anas bin Malik radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, seorang hamba ditinggal oleh salah satu atau kedua orang tuanya, sedang dia dalam keadaan durhaka. Namun, sang anak senantiasa berdo’a dan memohon ampun untuk keduanya, sehingga Allah menetapkan sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya.” (H.R. Baihaqi dalam Syu’abul-Iman)
            Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu radliyallahu’anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,”Apabila anak Adammeningga dunia, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga sumber (yaitu): shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya.” (H.R. Bukhari; Muslim; dan Abu Dawud)

2.3 Peliharalah Hubungan Persaudaraan dengan Sahabat Ibu-Bapak
Dikisahkan oleh ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu, bahwasanya ada seorang badui yang dijumpainya di jalan menuju Mekah. ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar) mengucapkan salam kepadanya, menyilakan orang badui tersebut menaiki keledai keledai yang dikendarainya, dan memberinya sorban yang dipakainya. (Melihat kejadian tersebut), Ibnu Dinar berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Mudah-mudahan Allah membalas budi baikmu itu. Mereka adalah orang-orang badui, dan mereka itu sudah senang dengan jasa yang sedikit.” Lalu Ibnu ‘Umar berkata, ‘Aku berbuat begitu karena ayah orang itu teman akrab (ayahku), Umar Ibnu Khaththab radliyallahu’anhu; dan saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya bakti terbaik (seorang anak kepada orang tuanya) adalah menjalin hubungan dengan keluarga teman baik ayahnya.” (H.R. Muslim; Ahmad; Bukhari; Abu Dawud; dan Tirmidzi)
Dari Abu Burdah, ia berkata, “Saya datang ke Madinah, lalu ‘Abdullah Ibnu ‘Umar datang kepadaku seraya berkata, ‘Tahukah Anda mengapa aku mendatangimu?’ ‘Tidak tahu,’ jawabku. Lalu Ibnu ‘Umar menjelaskan, ‘Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang ingin menjalin hubungan dengan ayahnya yang telah wafat, maka hendaklah ia menjalin hubungan dengan saudara-saudara/teman baik ayahnya, setelah ayahnya wafat. Kebetulan antara Umar Ibnul-Khathtab (ayahku) dan ayahmu telah terjalin persaudaraan, maka saya ingin melanjutkan hubungan persaudaraan yang baik ini.” (H.R. Abu Ya’la. Lihat Silsilatul-Ahaditsish-Shahihah, nomor 1433)
Di Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Peliharalah teman-teman akrab ayahmu dan janganlah engkau memutuskan hubungan itu, sehingga Allah memadamkan cahayamu.” (H.R. Thabrani, dalam Al-Ausath, Sanadnya hasan menurut Al-Haitsami di dalam Al-Majma, VIII:147)
Tentu, yang harus anda perhatikan dalam hal pentingnya menjalin hubungan baik dengan teman-teman akrab ayah adalah, harus tetap berdasarkan kadah syar’i. Misalnya, bukan teman-teman dalam mafia, atau persekongkolah politik untuk mempertahankan kedudukan/kekuasaan. Sebab, jalinan semacam ini termasuk persekogkolan dalam mendukung kezhaliman. Dan jika hal ini dilakukan secara sadar dan atas dasar pengetahuan, maka bisa menyebabkan kekufuran.
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang berjalan bersama orang zhalim, padahal dia mengetahui bahwa temannya itu zhalim, maka ia telah keluar dari Islam (H.R. Thabrani, lihat:Tafsir Ibnu Katsir,II:7)
Yang perlu diteladani adalah upaya “sahabat-sahabat kecil” (seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar sebagaimana tersebut pada hadits diatas) yang ditinggal ayah mereka, dalam menjalin hubungan denan teman-teman ayah mereka. Dan ini hanya akan terjadi jika prinsip-prinsip ukhuwah imaniah, atau kehidupan berjama’ah telah tertanam pada diri kita dan keluarga kita.

2.4 Shadaqah untuk Ibu-Bapak
            Dari ‘Abdullah Ibnu Abbas radliyallahu’anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sungguh, ibuku telah meninggal, apakah bermanfaat sekiranya aku bershadaqah untuknya?” Nabi menjawab, “Ya.” Lalu orang taersebut berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai kebun; aku persaksikan kepadamu bahwa kebun itu aku shadaqahkan untuk ibuu.” (H.R. Bukhari; Abu Dawud; Nasa’i)
Dari ‘Aisyah radliyallahu’anha, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh, ibuku telah meninggal mendadak, dan aku yakin, andaikan dia sempat berbicara (denganku), tentu akan bershadaqah. Apakah berpahala jika aku bershadaqah untuknya?” Nabi menjawab, “Ya.” (H.R. Jama’ah, kecuali Tirmidzi; Ibnu Khuzaimah, dalam Shahihnya, IV:124)
Ath-Thabrani, di dalam Al-Ausath meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seseorang ya gingin bershadaqah untuk kedua orang tuanya, bila kedua orang tuanya itu muslim, maka keduanya mendapat pahala, dan dia sendiri juga memperoleh pahala yang sama tanpa mengurangi pahala kedua orang tuanya sedikit pun.”
Dari Sa’id bin ‘Amru bin Syurahbilbin Sa’d bin ‘Amru bin Syurahbil bin Sa’d bin ‘Ubadah, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Sa’d bin Ubadah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah peperangan, sementara ibunya hampir meninggal (sekarat) di Madinah. Lalu dikatakan kepadanya, “Berwasiatlah.” Sang ibu berkata, “Apa yang mesti aku wasiatkan? (sedangkan) harta (ini) milik Sa’d.” Kemudian dia pun wafat sebelum Sa’d datang. Setelah Sa’d datang, disampaikanlah pesan wasiat tadi kepadanya. Lalu Sa’d berkata, “Ya Rasulullah, apakah bermanfaat bagi ibuku, bila aku bershadaqah untuknya?” “Ya,” jawab Nabi. Kemudian Sa’d berkata, “Kebun ini dan itu, aku shadaqahkan untuknya.” (H.R. Imam Malik dan Nasa’i)
Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa shadaqah teraik untuk kedua orang tua adalah air.
Dari Sa’d bin ‘Ubadah radliyallahu’anhu, ia berkata, “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal, maka shadaqah apa yang paling utama?’ Nabi menjawab, ‘Air.’ Lalu dia menggali sumur, seraya berkata, “(Pahala dari) sumur ini untuk ummi (Ibu) Sa’d.’” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)

2.5 Haji untuk Ibu-Bapak
            Dari Anas radliyallahu’anhu, ia berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata:
‘Sesungguhnya ayahku meninggal, sedangkan dia belu menunaikan haji menurut Islam.’Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bagaimana pendapatmu jika ayahmu punya hutang, apakah kamu akan melunasinya?’ Jawabnya, ‘Ya.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya (niat) haji itu adalah hutang dia (kepada Allah), maka tunaikanlah olehmu.’” (H.R. Al-Bazzar; Ath-Thabrani, dalam Al-Ausath dan Al-Kabir, sanadnya hasan menurut Al-Haitsami, dalam Al-Majma’, III:282)
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu, ia berkata, “Fulan Al-Juhani berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal dan dia itu seorang yang tua usia (manula), belum menunaikan haji atau tidak mampu berhaji.’ Nabi berkata, ‘Tunaikan haji untuk ayahmu.’” (H.R. Ibnu Khuzaimah, dalam shahihnya, IV:343)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallahu’anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa menunaikan haji untuk ayah dan ibunya, maka dia telah menunaikan (hutang) haji ayah dan ibunya, dan dia mendapatkan keutamaan sama dengan sepuluh kali menunaikan haji.” (H.R. Daruquthni, II:260)

2.6 Bergegas Melakukan Amal Shalih demi Menyenangkan Orang Tua
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (At-Taubah:105)
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir rahimahulullah mengatakan, “Sesungguhnya peruatan orang hidup itu diperlihatkan kepada orang-orang mati dari kalangan kerabat dan keluarga mereka, di alam barzakh.” Kemudian beliau menyebutkan hadits berikut ini, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ath-Thayalisi berikut sanadnya:
Dari Jabir radliyallahu’anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:
“Sesungguhnya amalan-amalan kamu diperlihatkan kepada karib kerabat dan keluargamu yang telah meninggal. Jika amalan itu baik, mereka pun gembira dengannya. Dan Jika tidak baik, maka mereka berkata (berdo’a), ‘Ya Allah berilah ilham kepada mereka agar mereka beramal dengan menaatimu.’”
Ibnu Katsir juga menytir hadits dari Imam Ahmad berikut sanadnya, yang berasal dari Anas radliyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:
“Sesungguhnya amalan-amalan kamu diperlihatkan kepada karib kerabat dankeluargamu yan gtelah meninggal, jika amalan itu baik, mereka pun gembira dengannya. Dan jika amalan itu tidak demikian (jelek), maka mereka berkata (berdo’a), ‘Ya Allah, janganlah mereka dicabut nyawanya sebelum engkau memberi hidayah kepada mereka, seperti yang engkau berikan kepada kami.’”
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Amalan seseorang itu diperlihatkan kepada Allah subhanahu wa Ta’ala pada hari Senin dan Kamis; sedangkan kepada para Nabi, bapak-bapak dan bu-ibu mereka, pada hari Jum’at. Dan mereka pun bergembira dengan amal kebaikan mereka (yang masih hidup), dan wajah-wajah mereka brtambah cerah serta bersinar. Maka, hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan jangan menyakiti (orang tua atau keuargamu) yang telah meninggal.” (H.R. Al-Hakim dan Tirmidzi, dari Walid ‘Abdul-Aziz)

2.7 Ziarahi Kubur Ibu-Bapak
            Salah satu wujud bakti seorang anak terhadap kedua orang tuanya setelah mereka meninggal, baik kedua-duanya atau salah satu darinya, adalah menziarahi kubur mereka.
Ziarah ke kubur orang mu’min adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selamu bukan untuk tujuan pemujaan, kultus, berdo’a kepada si mayit, atau hal-hal yag bisa mengakibatkan kemusyrikan.
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kubu ibunya, lalu menangis sehingga orang-orang yang ada di sekelilingnya ikut menangis. Kemudian beliau berkata:
Aku mohon izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun Allah tidak mengizinkan. Dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, Dia pun mengizinkan. Oleh karena itu, berziarahlah kalian ke kubur-kubur, sebab ziarah kubur itu mengingatkan kematian.” (H.R. Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. (Kini) Allah telah mengizinkan kepada Muhammad menziarahi kubur ibunya, maka silakan kalian menziarahinya, sebab ziarah kubur itu mengingatkan kepada akhirat.” (H.R. Tirmidzi, hadits hasan shahih)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya dengan kepala terbungkus kain, dan beliau belum pernah terlihat menangis melebihi tangisnya pada saat itu.”(H.R. Hakim, dalam Al-Mustadrak,II:375, shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

2.8 Laksanakan Sumpah Ibu Bapak
Sering kaita jumpai dalam kehidupan rumah tangga, orang tua bernadzar, namun sebelum nadzarnya dilaksanakan, dia meninggal. Atau orang tua bersumpah untuk melaksanakan amal shalih, namun tak kesampaian karena meninggal.
Dari ‘Abdurrahman bin Samurah, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa melaksanakan sumpah kedua orang tua dan melunasi hutang keduanya, serta tidak memaki-maki keduanya, maka dia tercatat sebagai orang yang berbakti, sekalipun dia itu durhaka ketika orang tuanya masih hidup. Dan barangsiapa tidak melaksanakan sumpah keduanya, tidak melunasi hutangnya, dan memaki-makinya, maka tercatat sebagai orang yang durhaka kepada orang tua, sekalipun dia itu berbakti kepadanya pada masa hidup mereka.” (H.R. Ath-Thabrani, dalam Al-Ausath, dan di dalam Al-Majma’, VIII:147, Al-Haitsami tidak berkomentar tentang sanadnya)

2.9 Shaum (Puasa) untuk Ibu-Bapak
Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Seseorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan dia mempunyai tanggungan shaum dua bulan.’ Lalu Rasulullah berkata, ‘Laksanakan shaum untuknya.’ Wanita itu berkata, ‘Ibuku mempunyai hutang haji.’ Nabi menjawab, “Tunaikan haji untuknya.’ Wanita itu berkata lagi, ‘Sungguh, aku akan bershadaqah untuknya dengan seorang budak wanita.’ Nabi menjawab, ‘Allah telah memberi pahala untukmu dan kamulah yang berhak menggunakan harta waris.” (H.R. Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak, IV:137; Muslim, Mengqagla’ Shaum Mayit)

PENUTUP
Anak sebagai buah dan permata hati atau qurratu’ain dalam rumah tangga muslim, tentu kehadirannya diharapkan menjadi penyejuk, menambah keindahan suasana rumah tangga, dan mendatangkan rezeki serta limpahan kasih sayang bagi kedua orang tuanya. Hanya ada satu jalan yang bisa mewujudkan suasana rumah tangga muslim seperti itu, yaitu mendidik anak-anak dengan manhaj tarbawi nabawi(sistim pendidikan Nabi).
Sangat dianjurkan, seorang calon suami mencari calon istri yang “subur” dan “penyayang” (al-waludul-wadud), dan setiap pasangan keluarga muslim memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dianugerahi anak keturunan.
Anak dapat membuat suasana keluarga muslim menjadi indah, walau kehadirannya merupakan amanat dan ujian bagi orang tuanya.
Allah berfirman:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia .”(Al-Kahfi:46)
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).”(Al-Furqan:74)
Jika orang tua berhasil mendidik dan mengasuh anak-anaknya menurut manhaj rabbani, kelak di akhirat anak-anak akan menjadi “tanaman wangi” bagi orang tuanya di surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Anak-anak merupakan ‘tanaman wangi’ surga.” (H.R. Tirmidzi, dari Khaula binti Hakim)
Bagi pasangan muda, hendaknya memohon kepada Allah untuk disegerakan memiliki anak keturunan, bukan sebaliknya, menunda-nunda datangnya keturunan. Memohonlah kepada Allah sebelum Dia murka kepadamu, lantaran sengaja menunda-nunda (kelahiran anak) dengan alat-alat kontrasepsi tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Bahkan, Allah mengabulkan do’a seorang shalih yang menginginkan keturunan, sekalipun istrinya seorang yang mandul.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai".
(Maryam:5-6)
Kita memang percaya adanya taqdir, namun kita tidak diberi tahu, taqdir yang bagaimana yang ditetapkan pada kita, apakah kita termasuk orangyang dianugerahi anak atau tidak. Oleh karena itu, orang tua tetap dianjurkan untuk berusaha dan berikhtiar guna mempertemukannya dengan taqdir yang tertulis di sisi Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
Maka,campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.”(Al-Baqarah:187)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikirimi bantuan berupa malaikat gunung, yaitu tatkala beliau dianiaya oleh Bani Tsaqif, malaikat menawarkan bantuan kepada beliau berupa siksaan langsung dengan ditumbangkannya gunung-gunung, sehingga kaum musyrik penganiaya itu pun musnah. Namun Nabi menjawab, “Mereka jangan dimusnahkan. Barangkali, dengan tetap hidupnya mereka, akan lahir dari mereka generasi /keturunan yang mengadi kepada Allah dan tidak menyekutuan-Nya dengan sesuau apapun.”
Menikah dan melestarikan keturunan termasuksunnah Rasulullah yang mulia. Bahkan, tujuan esensi dari pernikahan adalah untuk melestarikan keturunan.
Ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu berkata, “Andaikan aku tahu sepuluh hari lagi akan mati, tentu hari ini juga aku akan menikah. Sebab, aku tida ingin menemui Allah Ta’ala dalam keadaan membujang.”
Imam Ahmad, setelah istrinya meninggal dunia, dua hari kemudian segera menikah lagi. Katanya, “Saya tidak ingin menemui Allah kelak dalam keadaan membujang.”
Hanya orang bodohlah yang menikah tanpa menginginkan keturunan, atau membatasi keturunan, padahal mampu dari segi materi dan mental.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berabda, “Tidak seorang pun dari kalian yang memiliki tiga orang anak yang meninggal dunia, melainkan anak-anaknya itu menjadi hijab baginya dari api neraka.” Salah seorang dari mereka bertanya, “Bagaimana kalau hanya dua anak?” Maka beliau menjawab, “Meskipun hanya dua anak.”
Untuk itu, orang tua wajib mendidik anak-anaknya. Dan kesibukan duniawi yang menyita waktu banyak, tidak boleh dijadikan alasan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab mendidik anak.
Bahkan, pemberian terbaik oran gtua kepada anak adalah mendidik, membekali mereka untuk siap menghadapi kehidupan dunia dan akhirat.
Anas bin Malik radliyallahu’anhu berkata, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menanggung (memelihara) dua orang wanita hingga aqil baligh, maka orang itu akan datang di hari kiamat, saya dan dia seperti  ini, sambil merapatkan kedua jarinya, tanda dekatnya keduanya di dalam surga.” (H.R. Muslim)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radliyallahu’anhu, katanya, “Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mempunyai tida orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam mengasuh, memberi makan dan minum serta pakaian kepada mereka, baik dalam susah maupun keluasan, maka anak-anak itu akan menjadi dinding penyekatnya dari api neraka.” ((H.R. Ahmad, dalam Musnadnya)






0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------