KAIDAH-KAIDAH PENTING DALAM MU`AMALAH
Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM خفظه الله

MUQODDIMAH
Segala puji bagi Alloh Ta'ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, dan yang telah mengutus Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم dengan al-Qur'an dan sunnahnya, sehingga tegaklah Islam ini dengan berbagai pokok dan landasan serta kaidah-kaidah dalam segala aspeknya.

Sungguh merupakan ciri khas agama Islam yang sempurna ini di antaranya, Islam menjelaskan segala apa yang berkaitan dengan manusia, baik dalam masalah ibadah ataupun mu'amalah/ kehidupan sehari-hari. Maka apa yang dikatakan sebagian manusia bahwa Islam ini hanya mengurusi masalah akhirat saja adalah satu syubhat yang sangat lemah dan telah dibantah oleh Alloh dalam al-Qur'an-Nya. Salah satu buktinya, satu ayat yang paling panjang dalam al-Qur'an ternyata membahas masalah hutang piutang di antara manusia (lihat QS. al-Baqarah: 282).1 Ini merupakan bukti bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna dibanding agama-agama yang lainnya. Maka dari sanalah di ambil berbagai hukum dan ketentuan yang pasti akan sesuai pada setiap zaman dan setiap tempat, sampai masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah pun sebenarnya bisa digali hukumnya dari nash-nash yang telah ada, sehingga tidak ada perkataan bahwa hukum-hukum Islam itu kaku/kolot dan tidak sesuai dengan zaman. Maka bagi seorang yang menginginkan kebenaran dalam mengurusi kehidupan sehari-harinya, hendaknya mempelajari kembali dan memahami dengan benar al-Qur'an dan as-Sunnah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya, terutama masalah-masalah mu'amalah baru (bukan ibadah) yang belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya, yang membutuhkan pemikiran dan penerapan dalil serta penggalian perkataan dan pendapat para ulama untuk diterapkan dalam masalah tersebut.

Sehubungan banyaknya pertanyaan yang berkaitan dengan fiqh mu'amalah (seperti jual beli, pegadaian, sewa-menyewa, wasiat, dan lainnya), maka pada edisi kali ini sebelum kami menjelaskan permasalahan-permasalahan yang rinci tentang fiqh mu'amalah, baik dan perlu diketahui beberapa kaidah penting sebelum kita melakukan satu transaksi seperti yang kita sebutkan dalam contoh di atas. Kaidah-kaidah ini amatlah penting sebagai tolok ukur sah dan tidaknya suatu transaksi mu'amalah dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga mudah bagi kita menerapkan kaidah ini pada transaksi apa saja terutama masalah-masalah baru yang tidak ada nash dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Di antara kaidah-kaidah itu:2
-----------------------------
2.  Kaidah-kaidah yang kami sebutkan ini sebagian besar dinukil dari al-Hawafiz at-Tijariyah at-Taswiqiyah wa Ahkamuha fil Fiqh al-Islami oleh DR Khalid bin Abdullah al-Mushlih, dan kami tambahkan beberapa keterangannya dari al-Qawaid al-Fiqhiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syarahnya oleh DR. Sami ash-Shuqair (masih dalam manuskrip), dan juga kami tambahkan beberapa keterangan dan kitab Taisirul Allam dan Taudhihul Ahkam oleh Syaikh al-Bassam.


1.  Teks Ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيراً أَو كَبِيراً إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli. dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah[2]: 282) ~Ibnu Majjah


DIANTARA KAIDAH-KAIDAH DALAM MU`AMALAH

1. ASAL HUKUM MUAMALAH ADALAH HALAL DAN DIBOLEHKAN

Asal hukum mu'amalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai, dan lain sebagainya. adalah halal dan dibolehkan sebagaimana asal hukum segala sesuatu yang ada di bumi itu halal dan dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, madzhab Maliki, madzhab Syafi'i, madzhab Hanbali, dan sebagian besar ulama madzhab Hanafi, bahkan Ibnu Rajab رحمه الله mengatakan, "Sebagaian ulama mengatakan ini adalah kesepakatan para ulama."1

Dalil Kaidah
a.    Dalil Umum, firman Alloh Ta'ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
Dialah (Alloh) yang menciptakan semua apa yang ada di muka bumi ini untuk kalian. (QS. al-Baqarah: 29)
b.    Dalil Khusus, seperti firman Alloh Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (QS. al-Ma'idah: 1)
Ayat ini mencakup semua akad perjanjian, baik itu perjanjian  manusia kepada Alloh atau sesama makhluknya. Alloh memerintahkan supaya manusia memenuhi akad-akad itu semuanya, dan ini menunjukkan bahwa pada asalnya hukum mu'amalah adalah boleh dan halal, seandainya akad-akad itu hukumnya haram, pasti Alloh tidak akan memerintahkan manusia untuk memenuhinya.
Juga firman Alloh عزّوجلّ yang lain:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah: 275)
Dalam ayat ini Alloh menghalalkan berbagai macam jual beli dan perdagangan karena di dalamnya ada maslahat manusia secara umum dan mengharamkan riba karena di dalamnya terdapat kezhaliman, dan makan harta orang lain dengan cara batil. Ini menunjukkan bahwa asal hukum dalam mu'amalah halal dan dibolehkan selagi tidak ada di dalamnya kezhaliman dan makan harta orang lain dengan cara batil.2
Dan masih banyak lagi dalil-dalil dari al-Qur'an yang semakna dengan di atas sebagaimana pula hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang tidak disebutkan halal dan haramnya maka hal itu termasuk halal dan dibolehkan.


1.  Lihat al-Asybah wan Nadza'ir hal. 66, al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil 5/149, Syarh al-Minhaj lil Baidhawi 2,751, Syarh Mukhtashar Raudhah 1/399, I'lam al-Muwaqqi'in 1/344, dan Jami' al-Ulum wal Hikam 2/166.
2.  Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 20/349.

2. HARUS BERLAKU ADIL DAN TIDAK ZHALIM

Adil dan zhalim adalah dua kata yang saling bertolak belakang. Oleh karena itulah, Alloh memerintahkan berbuat adil dan mengharamkan perbuatan zhalim. Alloh عزّوجلّ berfirman dalam perintah-Nya berbuat adil:
اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Berbuatlah adil kalian, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. (QS. al-Ma'idah: 8)
Dalam satu hadits qudsi, Alloh عزّوجلّ berfirman:
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian. (HR. Muslim 2577 dari riwayat Abu Dzar رضي الله عنه)
Telah kita maklumi bersama, zhalim adalah perbuatan yang tercela. Bahkan semua agama dan syari'at yang ada di muka bumi pun mengharamkan perbuatan zhalim dan menyeru berlaku adil, sebagaimana Alloh berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan timbangan (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. (QS. al-Hadid: 25)
Dan tatkala di dalam perdagangan, jual beli, dan lainnya terdapat pintu-pintu yang terbuka lebar untuk masuknya perbuatan zhalim, maka keharaman berbuat zhalim dan kewajiban berlaku adil adalah termasuk tujuan pokok ditegakkan syari'at Islam ini.1 Banyak sekali kita jumpai dalil-dalil baik itu dalam al-Qur'an atau as-Sunnah yang memerintahkan manusia berbuat adil dan melarang berbuat zhalim serta keharaman makan harta manusia dengan cara yang batil, seperti firman-Nya:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
Janganlah kalian makan harta sebagian kalian dengan jalan yang batil. (QS. al-Baqarah: 188)
Maka dari dalil-dalil di atas, jelaslah bagi kita bahwa kezhaliman itu haram hukumnya dan berlaku adil itu wajib dalam segala bentuk mu'amalah baik itu perdagangan, jual beli, gadai, hutang piutang, dan lain-lainnya.


1.  Lihat Badai' at-Tafsir al-Jami' li Tafsir Ibnil Qayyim 4/91

3. TIDAK ADA UNSUR PENIPUAN/SPEKULASI

Unsur penipuan/spekulasi sangat dilarang dalam asas syari'at Islam dalam fiqh mu'amalah seperti jual beli dan seluruh transaksi kepemilikan, atau hak-hak yang lain. Hal ini dimaksudkan agar tegak kestabilan dan kemaslahatan manusia, terjaga hak-hak dan harta-harta mereka, serta terselesaikannya pertikaian dan perdebatan di antara manusia.1
Kaidah ini didasari oleh hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah رضي الله عنه, beliau berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang jual beli dengan unsur penipuan. (HR. Muslim, Kitab al-Buyu' 1513)
Dalam hadits ini tercakup beberapa bentuk transaksi jual beli yang diharamkan yang di dalamnya ada unsur penipuan/spekulasi seperti jual beli anak hewan yang masih dalam kandungan, jual beli sesuatu yang tidak dimiliki, jual beli buah-buahan di atas pohon yang belum siap dipanen, jual beli sesuatu yang sedang hilang, dan sebagai-nya yang di dalamnya ada unsur spekulasi/ketidakpastian pada salah satu pihak.2


1.  Lihat Hasyiyah ar-Raudh an-Nadhir 3/241.
2.  Lihat al-Mu'lim bi Fawa'id al-Muslim 2/244-245.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa larangan adanya unsur tipuan ini tidak secara mutlak mencakup segala tipuan/spekulasi pada masalah-masalah yang sekecil-kecilnya yang tipuan ini tidak ada unsur kesengajaan, atau mau tidak mau harus terjadi dalam suatu transaksi walau sekecil apa pun, karena setiap transaksi tidak akan lepas dari tipuan yang sifatnya sangat kecil. Suatu contoh seorang yang membeli suatu barang dan telah terpenuhi syarat dan rukun jual beli, sedangkan si pembeli tidak tahu apakah barang itu bisa tahan sampai setahun atau kurang dari itu, atau dia tidak tahu terbuat dari apa barang tersebut; ini adalah suatu tipuan yang mesti ada dalam jual beli, akan tetapi tipuan seperti ini tidak dianggap dalam aturan jual beli dalam Islam.
Oleh karena itu, para ulama memberikan kriteria-kriteria unsur tipuan/spekulasi yang dibolehkan yang tidak mempengaruhi sahnya suatu transaksi yang dilakukan, di antaranya:

a.    Hendaknya spekulasi itu tergolong sedikit dan mesti terjadi tanpa adanya unsur kesengajaan
Para ulama telah sepakat bahwa sedikitnya tipuan/spekulasi yang mesti terjadi tanpa unsur kesengajaan dalam suatu transaksi tidak menggugurkan sahnya transaksi tersebut.1 Sebagai contoh, apabila seorang menyewa satu kamar mandi, jelas pemilik kamar mandi tidak tahu berapa banyak air digunakan si penyewa atau berapa lama dia berada di kamar mandi; maka spekulasi ini sama sekali tidak mempengaruhi sahnya transaksi tersebut.

b.    Spekulasi itu tidak bisa dielakkan kecuali dengan adanya kesulitan
Para ulama bersepakat apabila dalam transaksi ada unsur spekulasi yang tidak bisa dielakkan kecuali dengan adanya kesulitan, seperti seorang yang membeli satu karung buah mangga dan ternyata ada satu atau dua dari buah mangga itu yang belum masak, maka ini sama sekali tidak mempengaruhi sahnya jual beli tersebut, karena hal ini tidak mungkin atau sulit sekali dielakkan.2

c.     Apabila ketidakpastian itu termasuk kebutuhan manusia secara umum
Apabila manusia secara umum membutuhkan suatu transaksi yang di dalamnya ada spekulasi/ ketidakpastian yang harus terjadi, maka hal ini tidak mempengaruhi sahnya transaksi tersebut. Sebagai contoh dan sekaligus sebagai dalilnya, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم melarang jual beli buah-buahan yang ada di pohonnya yang belum matang,3 kemudian beliau memberi rukhshah (keringanan) bolehnya membeli buah yang ada di pohon yang sudah matang kemudian dibiarkan sampai benar-benar siap dipanen. Maka seperti ini dibolehkan karena berhubungan dengan kebutuhan manusia secara umum walaupun di dalamnya ada unsur ketidakpastiannya, misalnya sebagian dari buah-buahan tadi ada yang tidak matang waktu dipanen atau masih muda ketika dipanen sehingga tidak layak dimakan dan sebagainya.4

d.    Apabila spekulasi itu sekedar cabang permasalahan, sedang pokok permasalahannya bukan murni spekulasi
Dalam satu kaidah fiqih "Kadang-kadang sesuatu itu dibolehkan kalau sekedar cabang atau pengikut saja, akan tetapi tidak dibolehkan kalau dijadikan pokok atau asal yang disendirikan".5 Sebagai contoh, dibolehkan menjual binatang yang sedang hamil walaupun tidak diketahui berapa ekor yang ada dalam perut binatang tersebut, sedangkan haram hukumnya menjual isi perut binatang yang sedang hamil saja tanpa menjual induknya.

e.    Apabila ketidakpastian itu terjadi pada transaksi pemberian semata yang sifatnya bukan timbal balik, seperti sedekah, hibah, wasiat, dan lainnya
Transaksi yang sifatnya timbal balik seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lain lain, tidak dibolehkan di dalamnya terjadi unsur spekulasi. Berbeda dengan transaksi pemberian yang di dalamnya tidak ada unsur timbal baliknya, maka tidak dilarang adanya unsur spekulasi di dalamnya. Sebagai contoh, seorang yang mengatakan kepada temannya, "Aku sedekahkan rumahku ini buat kamu", maka hal ini sah dan dibolehkan walaupun si penerima sedekah itu tidak tahu pasti apa yang ada dalam rumah tersebut, berapa jumlah kamarnya, kondisinya bagus atau buruk, masih layak dipakai atau tidak, dan sebagainya. Berbeda kalau seandainya orang tadi menjual rumahnya kepada orang lain, maka pembeli harus tahu apa yang ada di dalam rumah tersebut, berapa jumlah kamarnya, bagaimana kondisinya, dan sebagainya.


1.  Lihat al-Majmu' 9/258.
2.  Lihat al-Majmu' 9/258.
3.  HR. Bukhari kitab al-Buyu' 2194.
4.  Lihat al-Majmu' 20/341 dan l'lam al-Muwaqi'in 2/6-7.
5.  Lihat Manzhuma al-Qawa'id al-Fiqhiyah oleh ibnu Utsaimin no. 77.

4. TIDAK ADA UNSUR RIBA DALAM TRANSAKSI

Riba menurut istilah fuqaha terbagi menjadi dua bagian:

a.   Riba jahiliyah/al-qardh; jenis ini kita kenal dengan riba bunga, renten, atau bunga hutang dan yang sejenisnya.
b.   Riba jual beli; jenis riba ini tebagi menjadi dua macam yaitu riba al-fadhl dan riba nasi'ah. Jenis riba yang ini jarang diketahui kebanyakan manusia, khususnya para pedagang di negeri kita. Riba ini insya Alloh akan kita jelaskan dalam kesempatan yang lain.

Dua jenis riba di atas telah diharamkan dalam al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih, serta dengan kesepakatan para ulama. Alloh عزّوجلّ berfirman:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah: 275)
Dan Nabi kita صلى الله عليه وسلم, telah melarang praktek riba ini dengan dengan ancaman laknatnya kepada para pelaku riba. Sabdanya:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ
Dari Jabir رضي الله عنه ia berkata, "Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaknat orang yang makan riba, orang yang memberi makan dengan hasil riba, penulisnya, dan kedua saksinya." (HR. Bukhari 2086 dan Muslim 1598 dalam kitab al-Musaqat)



5. TIDAK ADA UNSUR JUDI/ TARUHAN/MENGUNDI NASIB

Imam Mawardi رحمه الله dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir (19/225) mengatakan bahwa yang dimaksud perjudian di sini ialah apabila seorang melakukan transaksi yang dia tidak lepas antara untung dan rugi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dalam kitabnya Majmu' Fatawa (32/237) mengatakan, "Maka jelaslah bahwa perjudian mengandung dua mafsadat/kerusakan. (Yang pertama) mafsadat dalam harta itu sendiri yaitu salah satu pihak yang untung akan mengambil harta orang lain dengan cara batil. (Yang kedua) mafsadat dalam perbuatan tersebut, di antaranya kerusakan harta itu sendiri, kerusakan hati dan akal pelakunya, kerusakan hubungan antara sesama, dan masing-masing kerusakan tersebut telah dilarang dengan larangan yang tersendiri."
Maka dari definisi yang telah disebutkan di atas bisa kita ambil satu contoh; seandainya ada seseorang menyewa sebuah rumah dengan akad kontrak perbulannya dia akan membayar ongkos sewa rumah dengan separuh penghasilannya, maka ini termasuk perjudian karena masing-masing pelaku transaksi ini tidak lepas dari dua hal yaitu untung atau rugi,1 lantaran tidak dapat dipastikan berapa penghasilan penyewa rumah tersebut setiap bulannya.
Keharaman perjudian ini telah ditegaskan oleh Alloh Ta'ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran minum minuman keras dan berjudi, serta menghalangi kamu dari ingat Alloh dan menegakkan shalat, maka kenapa kalian tidak menghentikan (perbuatan tersebut)? (QS. al-Ma'idah: 90-91)
Dua ayat tersebut di atas menunjukkan dengan jelas haramnya perjudian karena Alloh menyatakan itu adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, dan perintah supaya dijauhi. Kemudian Dia menjelaskan, perbuatan tersebut menyebabkan timbulnya permusuhan, kebencian, mencegah dari mengingatAlloh, dan menghalangi shalat, lantas menguatkan larangan-Nya dengan perintah supaya menghentikan perbuatan itu. Hal ini menunjukkan keharaman perbuatan tersebut dengan jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya.
Dalam satu hadits, Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan:
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
Barangsiapa berkata kepada kawannya, "Marilah ke sini, aku bermain judi denganmu", maka (kafarahnya adalah) hendaknya ia bersedekah. (HR. Bukhari, kitab at-Tafsir 4860)
Dalam hadits ini, Nabi صلى الله عليه وسلم mengharuskan orang yang sekedar mengajak berjudi untuk membayar kafarah berupa sedekah, maka ini menunjukkan bahwa judi jelas-jelas haram.
Dari dalil-dalil di atas dapat kita simpulkan bahwa perjudian adalah semua bentuk transaksi yang pelakunya tidak lepas dari untung atau rugi disebabkan oleh ketidakjelasan dan mengundi nasib dan menimbulkan permusuhan serta kebencian sesama manusia.2


1.  Lihat l'lam al-Muwaqqi'in 1/387.
2.  Lihat Syarhus Sunnah 6/279 oleh Imam al-Baghawi.

6. IJAB QABUL DALAM TRANSAKSI TIDAK HARUS DENGAN LAFAZH TERTENTU

Sebagian fuqaha mensyaratkan sahnya suatu transaksi harus disertai ungkapan berupa ijab dari pihak pertama, dan qabul dari pihak kedua. Sebagai contoh, mereka mengharuskan bahwa jual beli tidak sah kecuali si penjual mengatakan (ijab) "Aku jual barang ini" dan pembeli menjawab (qabul) "Aku beli barang ini". Maka suatu transaksi jual beli tidak sah kecuali harus disertai dengan ijab dan qabul seperti ini (atau semisalnya).
Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa ijab dan qabul tidak harus dengan lafazh/kalimat-kalimat tertentu, bahkan segala transaksi akan sah dengan ijab qabul berbentuk apa saja, baik perkataan, perbuatan, atau dengan sikap yang menunjukkan kerelaan masing-masing pelaku transaksi. Oleh sebab itu, seandainya penjual mengatakan "Ambillah barangku ini!" kemudian pembeli menjawab "Baiklah", maka sahlah jual beli tersebut. Atau seandainya penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli, kemudian pembeli menyerahkan uang dengan harga yang disepakati, kemudian keduanya tidak mengucapkan sepatah kata apa pun, maka sahlah jual beli tersebut. Hal ini dianggap sah karena yang menjadi syarat adalah kerelaan dan ridha kedua belah pihak, sebagaimana firman Alloh عزّوجلّ:
إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Kecuali harta perniagaan dengan sama rela di antara kalian. (QS. an-Nisa': 29)
Kemudian yang mendasari pendapat ini, di antaranya karena tidak ada satu pun dalil menunjukkan bahwa suatu transaksi tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul dengan perkataan-perkataan tertentu, sedangkan hukum asal dari segala transaksi dan mu'amalah adalah halal dan dibolehkan sebagaimana dalam kaidah yang telah disebutkan di atas.


Sebelumnya
Judul
Selanjutnya



IBRAH

Dari penjelasan di atas, dapat kita ambil ibrah bahwa praktek-praktek jual beli dengan menggunakan mesin-mesin modern, yang mana pembeli cukup memasukkan beberapa uangnya kemudian keluarlah barang yang diinginkan. Transaksi seperti ini sah walaupun tidak terdapat ijab dan qabul, dan syarat kerelaan dari kedua belah pihak telah terpenuhi, adapun pihak penjual di sini bentuk kerelaannya adalah dengan meletakkan mesin tersebut di tempat-tempat yang diinginkan, dan kerelaan si pembeli di sini adalah dengan memasukkan uangnya ke mesin tersebut, maka terpenuhilah syarat rela sama rela dari kedua belah pihak.1
Inilah beberapa kaidah penting untuk menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi mu'amalah. Sehingga diharapkan akan memudahkan kita menerapkannya pada bentuk-bentuk transaksi mu'amalah yang lainnya, terutama transaksi-transaksi baru yang tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan tidak terdapat nash dalil, baik dalam al-Qur'an atau hadits-hadits yang shahih. Mudah-mudahan bermanfaat. Allohu A 'lam.[]


1.  Lihat ar-Raudhah an-Nadiyah oleh Shiddiq Hasan Khan dalam muqadimah kitab al-Buyu'.








0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------