حقيقة السياحة في الإسلام وأحكامها
وأنواعها
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajid
محمد
صالح المنجد
Penterjemah: www.islamqa.info
Pengaturan: www.islamhouse.com
30-03-2013
----------------------------------------------------------------------------------------
HAKEKAT WISATA DALAM ISLAM, HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA
Saya memohon anda menjelaskan informasi yang
penting dan menyeluruh tentang wisata islami. Apa yang dimaksud wisata dalam
Islam? Apa ketentuan wisata dalam Islam? Bagaimana menyelenggarakan wisata
Islam? Bagaimana suatu negara itu dikakatan sebagai tujuan wisata islami? Dan
apa program wisata islami? Kami ucapkan banyak terima kasih
Alhamdulillah
Kata Wisata menurut bahasa
mengandung arti yang banyak. Akan tetapi dalam istilah yang dikenal sekarang
lebih dikhususkan pada sebagian makna itu. Yaitu, yang menunjukkan
berjalan-jalan ke suatu negara untuk rekreasi atau untuk melihat-lihat, mencari
dan menyaksikan (sesuatu) atau semisal itu. Bukan untuk mengais (rezki),
bekerja dan menetap. Silakan lihat kitab Al-Mu’jam Al-Wasith, 469.
Berbicara tentang wisata
menurut pandangan Islam, maka harus ada pembagian berikut ini,
Pertama:
Pengertian wisata dalam Islam.
Islam datang untuk merubah
banyak pemahaman keliru yang dibawa oleh akal manusia yang pendek, kemudian
mengaitkan dengan nilai-nilai dan akhlak yang mulia. Wisata dalam pemahaman
sebagian umat terdahulu dikaitkan dengan upaya menyiksa diri dan
mengharuskannya untuk berjalan di muka bumi, serta membuat badan letih sebagai
hukuman baginya atau zuhud dalam dunianya. Islam datang untuk menghapuskan
pemahaman negatif yang berlawanan dengan (makna) wisata.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hani
dari Ahmad bin Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau
bermukim di suatu kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab:
"Wisata tidak ada sedikit pun dalam Islam, tidak juga prilaku para nabi
dan orang-orang saleh." (Talbis Iblis, 340).
Ibnu Rajab mengomentari
perkataan Imam Ahmad dengan mengatakan: "Wisata dengan pemahaman ini telah dilakukan oleh sekelompok orang
yang dikenal suka beribadah dan bersungguh-sungguh tanpa didasari ilmu. Di antara mereka ada
yang kembali ketika mengetahui hal itu." (Fathul-Bari, karangan Ibnu
Rajab, 1/56)
Kamudian Islam datang untuk
meninggikan pemahaman wisata dengan mengaitkannya dengan tujuan-tujuan yang
mulia. Di antaranya :
1.
Mengaitkan wisata dengan ibadah, sehingga mengharuskan adanya safar -atau
wisata- untuk menunaikan salah satu rukun dalam agama yaitu haji pada
bulan-bulan tertentu. Disyariatkan umrah ke
Baitullah Ta’ala dalam satahun.
Ketika ada seseorang datang
kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam minta izin untuk berwisata dengan
pemahaman lama, yaitu safar dengan makna
kerahiban atau sekedar menyiksa diri, Nabi sallallahu alaihi wa sallam
memberi petunjuk kepada maksud yang lebih mulia dan tinggi dari sekedar berwisata
dengan mengatakan kepadanya, “Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di
jalan Allah.” (HR. Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih
Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya
Ulumuddin, no. 2641). Perhatikanlah bagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam
mengaitkan wisata yang dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia.
2.
Demikian pula, dalam pemahaman Islam, wisata dikaitkan dengan ilmu dan
pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan
tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya.
Sampai Al-Khatib Al-Bagdady menulis kitab yang terkenal ‘Ar-Rihlah Fi Tolabil
Hadits’, di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan
hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadits saja.
Di antaranya adalah apa yang
diucapkan oleh sebagian tabiin terkait dengan firman Allah Ta’ala:
التَّائِبُونَ
الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدونَ الآمِرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللّهِ
وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (سورة التوبة: 112)
“Mereka itu adalah orang-orang
yang bertaubat, beribadah, memuji, melawat, ruku, sujud, yang menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (QS. At-Taubah: 112)
Ikrimah berkata ‘As-Saa'ihuna’
mereka adalah pencari ilmu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, 7/429. Silakan lihat Fathul
Qadir, 2/408. Meskipun penafsiran yang benar menurut mayoritas ulama salaf
bahwa yang dimaksud dengan ‘As-Saaihin’ adalah orang-orang yang berpuasa.
3.
Di antara maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan.
Dalam Al-Qur’anulkarim terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi di beberapa
tempat.
Allah berfirman: “Katakanlah:
'Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-An’am: 11)
Dalam ayat lain, “Katakanlah:
'Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat
orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69)
Al-Qasimi rahimahullah
berkata; ”Mereka berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai
peninggalan sebagai nasehat, pelajaran dan manfaat lainnya." (Mahasinu
At-Ta’wil, 16/225)
4. Mungkin
di antara maksud yang paling mulia dari wisata dalam Islam adalah berdakwah
kepada Allah Ta’ala, dan menyampaikan kepada manusia cahaya yang diturunkan
kepada Muhammad sallallahu alaihi wa sallam. Itulah
tugas para Rasul dan para Nabi dan orang-orang setelah mereka dari kalangan
para shahabat semoga, Allah meridhai mereka. Para shabat Nabi sallallahu alaihi
wa sallam telah menyebar ke ujung dunia untuk mengajarkan kebaikan kepada
manusia, mengajak mereka kepada kalimat yang benar. Kami berharap wisata yang
ada sekarang mengikuti wisata yang
memiliki tujuan mulia dan agung.
5.
Yang terakhir dari pemahaman wisata dalam Islam adalah safar untuk merenungi
keindahan ciptaan Allah Ta’la,
menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk
menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah dan memotivasi menunaikan kewajiabn
hidup. Karena refresing jiwa perlu untuk memulai
semangat kerja baru. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ سِيرُوا
فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ
النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (سورة العنكبوت: 20(
Katakanlah: "Berjalanlah
di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari
permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20)
Kedua: Aturan wisata dalam
Islam
Dalam ajaran Islam yang
bijaksana terdapat hukum yang mengatur dan mengarahkan agar wisata tetap menjaga maksud-maksud yang telah
disebutkan tadi, jangan sampai keluar melewati
batas, sehingga wisata menjadi sumber keburukan dan dampak negatif bagi masyarakat.
Di antara hukum-hukum itu adalah:
1.
Mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan tempat tertentu kecuali tiga
masjid. Dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa sallam bersabda:
لا تُشَدُّ
الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ
الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى (رواه البخاري،
رقم 1132
ومسلم، رقم 1397)
“Tidak dibolehkan melakukan
perjalanan kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah
sallallahu’alaihi wa saal dan Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari, no. 1132,
Muslim, no. 1397)
Hadits ini menunjukkan akan
haramnya promosi wisata yang dinamakan
Wisata Religi ke selain tiga masjid,
seperti ajakan mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan kuno, terutama peninggalan yang
diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan.
Dalam ajaran Islam tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan
ibadah di dalamnya sehingga menjadi tempat yang
diagungkan selain tiga tempat tadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu
berkata, "Aku pergi Thur (gunung
Tursina di Mesir), kemudian aku
bertemu Ka’b Al-Ahbar, lalu duduk bersamanya, lau beliau menyebutkan hadits
yang panjang, kemudian berkata,
"Lalu aku bertemu Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifary dan berkata,
"Dari mana kamu datang?" Aku menjawab, "Dari (gunung)
Thur." Lalu beliau mengatakan,
"Jika aku menemuimu sebelum engkau
keluar ke sana, maka (akan melarang) mu pergi, karena aku mendengar Rasulullah
sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jangan melakukan perjalanan kecuali ke
tiga masjid, ke Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul
Maqdis." (HR. Malik dalam Al-Muwatha, no. 108. Nasa’i, no. 1430,
dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i)
Maka tidak dibolehkan memulai
perjalanan menuju tempat suci selain tiga tempat ini. Hal itu
bukan berarti dilarang mengunjungi masjid-masjid yang ada di negara
muslim, karena kunjungan kesana dibolehkan, bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang
dilarang adalah melakukan safar dengan niat seperti itu. Kalau ada tujuan lain dalam safar, lalu
diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal itu tidak mengapa. Bahkan
terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan shalat berjamaah. Yang
keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke tempat-tempat suci
agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung Budha atau lainnya yang serupa.
2. Ada juga dalil yang mengharamkan wisata seorang muslim ke negara
kafir secara umum. Karena berdampak buruk terhadap agama dan akhlak
seorang muslim, akibat bercampur dengan kaum yang tidak mengindahkan agama dan
akhlak. Khususnya apab ila tidak ada keperluan dalam safar
tersebut seperti untuk berobat, berdagang atau semisalnya, kecuali Cuma
sekedar bersenang senang dan rekreasi. Sesungguhnya Allah telah menjadikan
negara muslim memiliki keindahan
penciptaan-Nya, sehingga tidak perlu pergi ke negara orang kafir.
Syekh Shaleh Al-Fauzan
hafizahullah berkata: “Tidak boleh Safar ke negara kafir, karena ada
kekhawatiran terhadap akidah, akhlak, akibat bercampur dan menetap di
tengah orang kafir di antara mereka. Akan tetapi kalau ada
keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke negara mereka seperti
safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau safar untuk belajar yang
tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk berdagang, kesemuanya ini
adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke negara kafir dengan syarat
menjaga syiar keislaman dan memungkinkan melaksanakan agamanya di negeri
mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke negeri Islam. Adapun kalau
safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan. Karena seorang muslim tidak
membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang sama atau yang lebih kuat
dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama dan keyakinan. (Al-Muntaqa
Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2 soal no. 221)
Penegasan tentang masalah ini
telah diuraikan dalam situs kami secara terperinci dan panjang lebar. Silakan lihat soal no. 13342,
8919, 52845.
3.
Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam melarang wisata ke tempat-tempat rusak
yang terdapat minuman keras, perzinaan, berbagai kemaksiatan seperti di
pinggir pantai yang bebas dan
acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan. Atau
juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang muslim
diperintahkan untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus (kedalamnya)
dan jangan duduk dengan orang yang melakukan itu.
Para ulama dalam Al-Lajnah
Ad-Daimah mengatakan: “Tidak diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan
untuk berwisata. Karena hal itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak.
Karena ajaran Islam datang untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada
keburukan." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/332)
Bagaimana dengan wisata yang
menganjurkan kemaksiatan dan prilaku tercela, lalu kita ikut mengatur, mendukung dan menganjurkannya?
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah
juga berkata: “Kalau wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan
kemaksiatan dan kemunkaran serta mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang
muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir membantu untuk melakukan
kemaksiatan kepada Allah dan menyalahi perintahNya. Barangsiapa yang
meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik
dari itu. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/224)
4.
Adapun berkunjung ke bekas peninggalan umat terdahulu dan situs-situs kuno ,
jika itu adalah bekas tempat turunnya
azab, atau tempat suatu kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak dibolehkan menjadikan tempat ini sebagai tempat
wisata dan hiburan.
Para Ulama dalam Al-Lajnah
Ad-Daimah ditanya, ada di kota Al-Bada di
provinsi Tabuk terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang diukir di
gunung. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal kaum Nabi
Syu’aib alaihis salam. Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib
–alaihis salam- atau tidak ada dalil akan hal itu? dan apa hukum mengunjungi
tempat purbakala itu bagi orang yang bermaksuk untuk sekedar melihat-lihat dan
bagi yang bermaksud mengambil pelajaran dan nasehat?
Mereka menjawab: “Menurut ahli
sejarah dikenal bahwa tempat tinggal bangsa Madyan yang diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib
alaihis shalatu was salam berada di arah barat daya Jazirah Arab yang sekarang dinamakan Al-Bada
dan sekitarnya. Wallahu’alam akan kebenarannya. Jika itu benar, maka tidak
diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan sekedar melihat-lihat. Karena Nabi sallallahu’alaihi
wa sallam ketika melewati Al-Hijr, yaitu tempat tinggal bangsa Tsamud (yang dibinasakan) beliau
bersabda: “Janganlah kalian memasuki
tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian
tertimpa seperti yang menimpa mereka,
kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala
dan berjalan cepat sampai melewati
sungai." (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980)
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkomentar ketika menjelaskan manfaat dan hukum yang diambil dari peristiwa
perang Tabuk, di antaranya adalah barangsiapa yang melewati di tempat mereka
yang Allah murkai dan turunkan azab, tidak sepatutnya dia memasukinya dan
menetap di dalamnya, tetapi hendaknya dia mempercepat jalannya dan menutup
wajahnya hingga lewat. Tidak boleh memasukinya kecuali dalam kondisi menangis
dan mengambil pelajaran. Dengan landasan ini, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam
menyegerakan jalan di wadi (sungai) Muhassir antara Mina dan Muzdalifah, karena
di tempat itu Allah membinasakan pasukan gajah dan orang-orangnya." (Zadul
Ma’ad, 3/560)
Al-Hafiz Ibnu Hajar
rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits tadi, "Hal ini mencakup negeri
Tsamud dan negeri lainnya yang sifatnya sama meskipun sebabnya terkait
dengan mereka." (Fathul Bari, 6/380).
Silakan lihat kumpulan riset
Majelis Ulama Saudi Arabia jilid ketiga, paper dengan judul Hukmu Ihyai Diyar Tsamud (hukum menghidupkan
perkampungan Tsamud). Juga silahkan lihat soal jawab no. 20894.
5.
Tidak dibolehkan juga wanita bepergian tanpa mahram. Para ulama telah
memberikan fatwa haramnya wanita pergi haji atau umrah tanpa mahram. Bagaimana
dengan safar untuk
wisata
yang di dalamnya banyak tasahul (mempermudah masalah) dan campur baur yang
diharamkan? Silakan lihat soal jawab no. 4523, 45917, 69337 dan 3098.
6.
Adapun mengatur wisata untuk orang kafir di negara Islam, asalnya dibolehkan.
Wisatawan kafir kalau diizinkan oleh pemerintahan Islam untuk masuk maka diberi
keamanan sampai keluar. Akan tetapi keberadaannya di
negara Islam harus terikat dan menghormati agama Islam, akhlak umat Islam dan
kebudayaannya. Dia pun di larang mendakwahkan agamanya dan tidak menuduh Islam
dengan batil. Mereka juga tidak boleh keluar kecuali dengan penampilan sopan
dan memakai pakaian yang sesuai untuk negara Islam, bukan dengan pakaian yang
biasa dia pakai di negaranya dengan terbuka dan tanpa baju. Mereka juga bukan
sebagai mata-mata atau spionase untuk negaranya. Yang terakhir tidak
diperbolehkan berkunjung ke dua tempat suci; Mekkah dan Madinah.
Ketiga:Tidak tersembunyi bagi
siapa pun bahwa dunia wisata sekarang lebih dominan dengan kemaksiatan, segala
perbuatan buruk dan melanggar yang diharamkan, baik sengaja bersolek diri,
telanjang di tempat-tempat umum, bercampur baur yang bebas, meminum khamar,
memasarkan kebejatan, menyerupai orang kafir, mengambil kebiasaan dan akhlaknya
bahkan sampai penyakit mereka yang berbahaya. Belum lagi, menghamburkan uang
yang banyak dan waktu serta kesungguhan. Semua itu dibungkus dengan nama
wisata. Maka ingatlah bagi yang mempunyai kecemburuan terhadap agama, akhlak
dan umatnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jangan sampai menjadi penolong
untuk mempromosikan wisata fasik
ini. Akan tetapi hendaknya
memeranginya dan memerangi ajakan mempromosikannya. Hendaknya bangga dengan
agama, wawasan dan akhlaknya. Hal tersebut akan menjadikan negeri kita
terpelihara dari segala keburukan dan mendapatkankan pengganti keindahan
penciptaan Allah ta’ala di negara islam yang terjaga.
Wallahu’alam
.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------