BAGIAN KE-1 DARI 3 BAHASAN
“ Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari do’ayang tidak didengar, dari hati yang tidak khusyu’, dan dari jiwa yang tidak pernah kenyang.

DAFTAR ISI
MUQADDIMAH

BAB I. ASAS-ASAS BERBAKTI SEMASA IBU BAPAK HIDUP
Pahala Bakti Kepada Ibu-Bapak
Manfaat Bakti Kepada Ibu-Bapak di Dunia
Manfaat Bakti Kepada Ibu-Bapak di Akhirat
Menghapus Dosa
Masuk Surga
Utamaan Bakti dari Kewajiban Kifayah
Dahulukan Bakti dari Jihad
Dahulukan Bakti dari Istri dan teman
Dahulukan Bakti dari Ibadah Haji
Dahulukan Bakti dari Mengunjungi Rasulullah
Dahulukan Bakti dari Mencintai Anak
Dahulukan Bakti dari Ibadah Sunah
Dahulukan Bakti dari Hijrah di Jalan Allah
Bakti rasulullah kepada Orang Tua Susunya da Bakti Fatimah kepada Beliau
Tolak perintah dari Ibu-Bapak untuk Maksiat kepada Allah,Namun tetap berlaku  Baik terhadapnya
Ibu-Bapak, Manusia yang Paling Berhak Dipergauli dengan Sebaik-baiknya
Dahulukan Bakti kepada Ibu, Bila Ibu-Bapak Berselisih
Anda dan Harta Anda Milik Ayah Anda
Bebaskan Jiwa Ibu-Bapak dengan Harta
Anak dan Ibu-Bapak Saling Mendo’akan.
Jaga Nama Ibu-Bapak dari Caci Maki
Hubungkan Nasab epada ayah Kandung
Hajikan Ibu-Bapak yang Tidak Sanggup Karena Udzur
Tunaikan Nadzar Orang Tua
Durhaka kepada Ibu-Bapak Termasuk Dosa
Mendurhakai Ibu-Bapak, Terkutuk
Mendurhakai Ibu-Bapak, Haram Masuk Surga
Mendurhakai Ibu-Bapak, Balasannya Segera
Durhaka, Memelototi Ibu-Bapak
Durhaka, Memukul Ibu-Bapak
Durhaka, Merusak Hubungan Persaudaraan dengan Sahabat Ibu-Bapak

BAB 2. ASAS BERBAKTI SETELAH IBU-BAPAK WAFAT
2.1 Tunaikan Janji dan Wasiat Ibu Bapak
2.2 Do’akan dan Mohonkan Ampun untuk Ibu-Bapak
2.3 Peliharalah Hubungan Persaudaraan dengan Sahabat Ibu-Bapak
2.4 Shadaqah untuk Ibu-Bapak
2.5 Haji untuk Ibu-Bapak
2.6 Bergegas Melakukan Amal Shalih demi Menyenangkan Orang Tua
2.7 Ziarahi Kubur Ibu-Bapak
2.8 Tunaikan Sumpah Ibu Bapak
2.9 Shaum (Puasa) untuk Ibu-Bapak

PENUTUP

MUQADDIMAH
Segala pui bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga, sahabat da pengikutnya hingga akhir zaman.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu.” (Al-Isra’: 23)
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapakmu.”(An-Nisa’: 36)
Mentarbiyah(mendidik) anak agar berbakti kepada orang tuanya merupakan perkaran yagn sangat penting. Keindahan serta kedamaian sebuah rumah tangga yang islami, hanya akan terwujud melalui keharmonisan hubungan antara suami-istri, keharmonisan hubungan orang tua dan anak-anak mereka, dan tunduk kepada wasiat-wasiat Al-Qur’an serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang membicarakan tentang birrul-walidain (berbakti kepada orang tua). Begitu tingginya kedudukan perintah birrul walidain sehingga perintah ini disejajarkan dengan perintah beribadah kepada Allah semata, seperti tersebut pada ayat diatas.
Diantara hadits yang membicarakan perkara birrul walidain adalah sebuah hadits yang berasal dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Berbaktilah kamu kepada orang tuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Dan tahanlah untuk berbuat dosa terhadap wanita-wanita lain, niscaya wanita-wanitamu akan selamat dari perbuatan dosa orang lain.”
(H.R Thabrani, sanadnya hasan)
Jika kita mengingat penderitaan ibu tatkala mengandung selama sembilan bulan, dan pada saat menjelang melahirkan, sementara tiada penderitaan yang lebih berat bagi seorang wanita  dari pada penderitaan ketika hendak melahirkan, maka wajar bila Allah berulang-ulang mewasiatkan kepada kita agar berbakti kepada ibu dengan bakti yang leih besar dibandingkan kepada ayah.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang sangat.” (Lukman :14)
Pembaca, kami susun risalah ini dari kitab rujukan utama : Manhaj At-Tarbiyyatin-Nabawwiyyah lith-Thifli bab At-Targhib fi Birril Walidain watTarhib min Uquqihima, karya Muhammad Nur bin Abdul hafidz Suwaid, yang kami lengkapi dari kitab Birrul Walidain, karya Al-Ustadz Ahmad Isa Asyur ditambah referensi lain yang berkaita dengan masalah ini.
Selanjutnya, kami ucapkan: Selamat membaca, semoga bermanfaat.

BAB I. ASAS-ASAS BERBAKTI SEMASA IBU BAPAK HIDUP

Pahala Bakti Kepada Ibu-Bapak
Mengingat betapa pentingnya berbakti kepada ibu-bapak, sehingga banyak kita dapati nasihat dan petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang bakti kepada keduanya. Bakti kepada ibu-bapak dapat memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
            Berbakti kepada ibu-bapak adalah suatu kewajiban. Abu Dawud meriwayatkan dari Kulaib bin Manfa’ah, dari kakeknya ra. , bahwa ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “ Ya Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti?” Nabi menjawab,”Kepada ibumu dan bapakmu, saudara perempuanmu dan laki-lakimu, dan kerabat dekatmu, sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan dan rahim yang harus disambung.”
            Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyebutkan dari Miqdam bin Ma’diyakrib, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah berwasiat kepadamu(agar berbakti)kepada ibu-ibumu,” disebut sampai tiga kali, lalu nabi melanjutkan, “Sungguh, Allah berwasiat kepadamu (agar berbakti) kepada bapak-bapakmu,” lalu Nabi melanjutkan, “Sungguh, Allah berwasiat kepadamu (agar berbakti) kepada karib kerabatmu.” (Shahilhul- Jami’, nomor 1249)
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Umamah radliyallahu’anhu bahwa seorang berkata,” Ya Rasulullah, apa hak kedua orang tua terhadap anaknya?” Rasulullah menjawab, “ keduanya (menentukan) surgamu dan nerakamu.”
            Dalam riwayat lain, dari Ibnu ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ridla Allah (tergantung) pada ridla orang tua, dan murka Allah (tergantung) pada murka orang tua.” (H.R Tarmidzi;Ibnu Hibban, lihat: Silsilatul-Ahaditsish-Shahihah, nomor 516; Imam Hakim, Al-Mustadrak, IV:125)
            Imam Ahmad dan Nasa’i meriwayatkan dari Jahimah (bahwa Rasulullah bersabda):
“Penuhilah hak ibu (dengan berbakti kepadanya), sebab surga itu berada dibawah telapak kakinya.” (Shahilhul- Jami’, nomor 1924. Diriwayatkan juga oleh Bukhari, kitab Adab; Thabarani; dan Al-Hakim)

Manfaat Bakti Kepada Ibu-Bapak di Dunia
Berbakti kepada ibu-bapak dapat menambah umur dan rezeki.
Dari Anas bin Malik radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 “Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambah rezeknya, maka hendaklah berbakti kepada ibu-bapaknya dan menghubungkan tali persaudaraan(mempererat silaturahmi).” (HR.Ahmad)

Dari Mu’adz bin Anas radliyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang berbakti kepada ibu-bapaknya, maka berbahagialah (sebab) Allah akan memperpanjang umurnya.” (H.R Abu Ya’la; Thabrani; Hakim, shahih dan disepakati oleh Adz-Dzahabi; dan Al-Ashbahani)

Dari Tsauban radliyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 “Sungguh, seseorang bisa terhalang dari rezekinya karena dosa yang diperbuatnya, dan tidaklah bisa menolak taqdir kecuali do’a, dan tidak bisa memperpanjang umur kecuali bakti kepada ibu bapak.” (H.R ibnu Majah; Ibnu Hiblan, di dalam Shahihnya; dan Hakim dengan sanad yang shahih)

Dari Salman radliyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 “Tidak bisa menolak taqdir kecuali do’a, dan tidak bisa menambah umur kecuali bakti kepada orang tua,” (H.R Tirmidzi, hasan gharib menurut beliau

Manfaat Bakti Kepada Ibu-Bapak di Akhirat
Jika di dunia, bekti kepada orang tua dapat menambah umur a rezeki, maka di akhirat berdampak sebagai berikut:

Menghapus Dosa
Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu, bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata:

“Ya Rasulullah, sungguh aku telah melakukan dosa besar; apakah aku bisa bertaubat? “ Rasulullah menjawab, “ Apakah kamu masih punya ibu?” Jawabnya, “ Tidak” Nabi bertanya lagi, “ Apakah kamu masi punya bibi (dari pihak ibu)?” Dia menjawab, “Ya, masih.” Nabi berkata, “ Kalau begitu, berbaktilah kamu kepadanya.” (H.R Tirmidzi dan Hakim, sanadnya shahih menurut beliau)

Masuk Surga
Dari Aisyah radliyallahu’anha, (ia berkata) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 “Aku masuk surga, dan mendengar bacaan. Aku pun bertanya, ‘Siapa itu?’ Lalu dikatakan,’Haritsah bin An-Nu’man.’ (Kata Aisyah), selanjutnya Rasulullah menyatakan, ‘itulah pahala orang yang berbakti kepada orang tua.’ Dia adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya.” (H.R Nasa’i)

Menurut riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang shahih, bahwa Haritsah bin An-Nu’man adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya.

Utamaan Bakti dari Kewajiban Kifayah
Berbakti kepada ibu-bapak adalah wajib (‘ain) bagi setiap muslim. Perkara-perkara yang hukumnya wajib ‘ain, hanya bisa disejajarkan dengan perkara yang memiliki hukum yang sama. Berbakti kepada ibu-bapak adalah wajib ‘ain, maka kewajiban ini sejajar dengan kewajiban shalat fardhu, shaum Ramadlan, dan jihad khusus (yaitu ketika diserbu musuh oleh diperintah oleh imam/komandan islam), sedangkan jihad yang sifatnya umum, dalam pelaksanannnya, dapat dikalahkan oleh bakti kepada ibu bapak.

Dahulukan Bakti dari Jihad
Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata kepadanya, “ Aku ingin berangkat perang, dan aku datang untuk meminta nasihat Anda.” Lalu Nabi bertanya, “Apakah anda masih punya ibu?” Jawabnya, “Ya, masih.” Nabi berkata, “(Kalau begitu) pergilah, penuhilah kewajiban Anda untuk berbakti kepadanya, sebab surga itu berada di antara kedua kakinya.” (H.R Hakim, shahih menurut beliau dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
            Ibnu Mas’udradliyallahu’anhu berkata:
“Aku bertanya kepada Nabi, ‘Amalan apa yang paling Allah cintai?’ Nabi menjawab, ‘Shalat pada waktunya.’ Lalu aku pun bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Berbakti kepada ibu bapak.’ Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Jihad fi sabilillah.’” (H.R Bukhari dan Muslim)
            Ketika mensyarah hadits ini Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
            “Ibnu At-Tin berkata, ‘Mendahulukan bakti kepada ibu bapak dari pada jihad mengandung dua aspek: Pertama, manfaat kebaikannya lebih besar daripada jihad di jalan Allah. Kedua, orang yang berbakti kepada orang tua beranggapan, apa yang dilakukan oleh orang lain lebih baik daripada perbuatannya. Kemudian dijelaskan kepadanya bahwa berbakti kepada orang tua itu lebih utama.’
            Saya (Ibnu Hajar) menyatakan, bahwa aspek pertama tidak jelas. Namun, alasan yang mungkn dikemukakan tentang pengutamaan bakti kepada ibu bapak dari pada jihad di jalan Allah ialah, adanya keharusan mohon izin kepada keduanya dalam berjihad, Sebab terdapat dalil yang menyatakan, bahwa berjihad tanpa izin keduanya dilarang.” (Fat-hul-Bari IV:13)
            Dalam aspek perizinan inilah, letak kelebihan birrul walidain dari pada jihad di jalan Allah. Sebab, keabsahan jihad itu sendiri terletak pada perizinan kepada orangtuanya atau salah satunya yang masih hidup.Wallahu A’lam.
            Kewajiban jihad juga hilang bagi orang yang udzur, seperti Ummi Maktum yang buta. Ketika turun ayat dan surat An-Nisa’, “Tidak sama antara orang-orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) dengan orang-orang yang turut perang fi sabilillah,” Ummi Maktum mengadu bahwa ia tidak dapat ikut perang karena buta. Lalu turunlah surat An-Nisa’:95 “Tidak sama antara orang-orang mu’min yang duduk (tidak ikut perang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad fi sabilillah.
            Dari Abdullah bin ‘Amru Ibnul-Ash radliyallahu’anhu ia berkata, “Ada seorang laki-laki menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Aku berbai’at kepadamu untuk hijrah dan berjihad mengharap pahala dari Allah S....Lalu Nabi bertanya, ‘Apakah salah seorang diantara ibu bapakmu masih hidup?’ Jawabnya, ‘Ya, masih, bahkan kedua-duanya.’ Lalu Nabi berkata, ‘Benarkah anda berharap pahala dari Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya, benar.’ Nabi berkata, ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu, lalu perlakukanlah mereka berdua dengan sebaik-baiknya.’” (H.R Bukhari dan Muslim)
            Dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang lain dinyatakan, bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Nabi untuk berjihad, lalu Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Jawabnya, “Ya.” Nabi berkata, “Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.”
            Ketika mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar mengatakan, “Maksudnya, jika kamu masih memiliki kedua orang tua, maka upayakan secara optimal dalam berbakti kepada keduanya, yang demikian itu sama nilainya dengan memerangi musuh.” (Fat-hul-Bari,VI:19?
            Keterangan di atas menunjukkan, bahwa seorang anak sepatutnya tidak keluar berjiihad tana seizin kedua orang tuanya, atau salah satu dari mereka jika salah satunya telah meninggal, sebab birrul-walidain hukumnya fardlu’ain (kewajiban individu), dan fardlu’ain harus didahulukan dari fardlu kifayah.

Dahulukan Bakti dari Istri dan teman
Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 “Jika umatku melakukan lima belas perkara maka akan selalu dirundung bala’, yaitu:...(bila) seorang suami menaati istrinya, namun mendurhakai ibunya; dan berbuat baik pada teman-temannya tetapi berlaku kasar terhadap ayahnya....” (H.R Tirmidzi)

Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu, ia berkata: “Saya mempunyai seorang istri yang menjadi jantung hati ku, namun ‘Umar membencinya. Dia kemudian berkata kepadaku, ‘Ceraikanlah ia.’ Namun aku menolaknya. Kemudian Umar datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjelaskan perkaranya kepada Nabi. Lalu Nabi berkata, ‘Ceraikanlah ia’.” (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dari Aisyah radliyallahu’anha, ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
 “Siapakah yang paling besar haknya atas wanita?’ Nabi menjawab, ‘Suaminya.’ Saya bertanya lagi, ‘Dan siapa yang lebih berhak atas seorang laki-laki?’ Nabi menjawab, ‘ibunya.’” (H.R Ahmad; An-Nasai; dan Shahih menurut Al-Hakim)

Dari Abdullah bin Abu Aufa radliyallahu’anhu, ia berkata, “Ketika saya dengan Nabi di Majlisnya, datang seseorang dan mengatakan, ‘Ada seorang pemuda hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir.’ Lalu disarankan kepada orang itu agar menuntun pemuda tersebut mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Namun, pemuda itu tidak dapat melafazkannya. Lalu Nabi bertanya kepadanya, ‘Apakah pemuda ini shalat?’ Jawabnya, ‘Ya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, dan kami pun bangkit bersama beliau. Kemudian kami mendatangi pemuda itu. Nabi berkata kepadanya, ‘Katakanlah Laa ilaaha illallaah, ‘Pemuda itu menjawab(dengan isyarat), ‘saya tidak bisa.’ Nabi bertanya, ‘Mengapa?’ Dikatakan kepada beiau bahwa dia durhaka kepada ibunya. Lalu Nabi bertanya, ‘Apakah ibunya masih hidup”’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian Nabi berkata kepada ibunya, ‘Bagaimana menurutmu jika aku nyalakan api yang besarlalu dikatakan kepadamu: Jika engkau memaafkan maka kami akan membebaskannya; kalau tidak maka kami akan membakarnya dengan api ini. Apakah kiranya engkau sudi memaafkannya?’ Ibu itu menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kalau begitu aku memaafkannya.’ Rasulullah berkata, ‘Bersaksilah engkau kepada Allah dan bersaksilah kepadaku, bahwa engkau telah ridla atasnya.’ Lalu sang ibu berkata, ‘Ya Allah, aku bersaksi kepada-Mu, dan aku bersaksi kepada Rasul-Mu, bahwa aku telah ridla atas (perbuatan) anakku.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada si pemuda, ‘Wahai pemuda,katakanlah Laa ilaaha illallaah wahdahuu laa syariikalah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa Rasuuluh.’ Pemuda itu pun akhirnya mampu mengucapkan syahadatain. Llu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan pemuda ini dari neraka,’” (H.R. Ahmad dan Thabrani)

Dahulukan Bakti dari Ibadah Haji
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu, ia berkata, “rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 “Seorang hamba sahaya yang melakukan (da’wah) perbaikan memiliki dua pahala. Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah ada di tangan-Nya, andaikan tidak karena jihad fi sabilillah, haji dan berbakti kapada ibuku, tentu aku suka mati dalam keadaan menjadi hamba sahaya.” (H.R. Bukhari; Muslim dan Tirmidzi)
Oleh karena itu, Abu Hurairah, dalam upaya mengoptimalkan pemuliaan terhadap ibunya dan mempergaulinya dengan baik, tidak menunaikan ibadah haji sampai ibunya wafat.

Dahulukan Bakti dari Mengunjungi Rasulullah
Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa Uwais Al-Qarni adalah seorang hamba Allah yang zuhud, taat beribadah dan sibuk melayani (berbakti) kepada ibunya, sehingga tidak semput berkunjung kepada Nabi walau hanya sekali, karena begitu besar hajat ibunya kepadanya. Semoga Allah menganugrahiku dan Anda seperti kesempurnaan baktinya kepada orang tua.
            Dari Usair bin Jabir rahimahulullah, ia berkata, “Ketika datang sekelompok penduduk Yaman kepada ‘Umar ibnul-Khathab, beliau bertanya kepada mereka, ‘Apakah diantara kalian terapat Uwais bin’Amir?’ ‘Umar mendekati orang yang dicari, lalu bertanya, ‘Apakah Anda yang bernama Uwais bin ‘Amir?’ Uwais menjawab, ‘Ya.Benar.’ ‘Umar bertanya lagi, ‘Anda berasal dari Murad, tepatnya dari Qarn?’ Uwais menjawab, ‘Ya.Benar.’ ‘Umar bertanya lagi, ‘Anda pernah punya penyakit kusta, dan telah sembuh kecuali tinggal sebagian sebesar dirham?’ Uwais pun menjawab, ‘Ya.’ ‘Umar bertanya lagi, ‘Apakah anda mempunyai seorang ibu?’ Jawabnya, ‘Ya. Benar.’ ‘Umar berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‘Akan datangkepadamu Uwais bin ‘Amir bersama serombongan penduduk Yaman, berasal dari Murad, dan tepatnya dari Qarn. Dia pernah menderita penyakit kusta, kemudian sembuh kecuali tinggal sebesar dirham. Ia masih mempunyai seorang ibu, dan ia sangat berbakti kepadanya, Seandainya dia bersumpah kepada Allah dan berdo’a kepada-Nya, pasti dikabulkan. Jika kamu bisa membuat Uwais bersedia memohonkan ampun untukmu, lakukanlah,’
Sekarang mohonkanlah ampun untukku. ‘Uwais pun menuruti permintaan ‘Umar. Selanjutnya ‘Umar bertanya, ‘Andan mau kemana?’ Ia menjawab, ‘Mau ke Kuffah.’ ‘Umar mengajukan tawaran, ‘Bolehkah aku berkirim surat kepada penguasa Kuffah untuk menyambutmu?’ Uwais menjawab, ‘Tidak perlu, aku lebih suka berbaur dengan orang banyak.’”
Pada musim haji berikutnya, salah seorang tokoh penduduk Yaman menunaikan ibadah haji. Ketika bertemu dengan ‘Umar, ia ditanya tentang Uwais. Ia mejawab, ‘Uwais adalah seorang yang miskin. ‘Umar berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Akan datan gkepadamu Uwais bin ‘Amir bersama rombongan penduduk Yaman, berasal dari Murad, tepatnya dari Qarn. Ia pernah menderita penyakit kusta, kini telah sembuh kecuali tinggal sebagian kecil sebesar dirham. Ia masih mempunyai seorang ibu, da sangat berbakti kepadanya. Andaikan ia bersumpah kepada Allah dan berdo’a kepada-Nya, pasti dikabulkan. Apabila kamu bisa membuat Uwais bersedia memohonkan ampun untukmu, maka lakukanlah.’
            Orang Yaman itu lalu menemui Uwais, ‘Mohonkanlah ampun untukku. ‘Uwais berkata, ‘Anda tentu baru usai melakukan perjalanan yang baik, sehingga anda berkata seperti itu.’ Orang Yaman itu berkata lagi, ‘Mohonkanlah ampun untukku. ‘Uwais bertanya lagi, ‘Anda bertemu dengan Umar?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Uwais lalu memohonkan ampun untuknya. Saat itulah orang banyak baru mengerti siapa Uwais sebenarnya. Dan Uwais pun akhirnya menjadi perhatian mereka.”
            Aku memakaikan kain burdah padanya. Setiap orang yang melihatnya bertanya-tanya, darimana Uwais mendapat kain burdah itu?” (H.R. Muslim)
            Dalam riwayat lain dikatakan, bahwa ‘Umar Ibnul-Khatab mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
            “Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in ialah seorang yang bernama Uwais. Ia mempunyai seorang ibu. Ia sendiri menderita penyakit kusta. Temuilah ia, dan mintalah kepadanya agar ia bersedia memohonkan ampun buat kalian.” (H.R Musim)

Dahulukan Bakti dari Mencintai Anak
Ada sebuah kisah menark dalam shahihain dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhuma, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Pada zaman dahulu, ada tiga orang sekawan mengadakan perjalanan. Dan mereka kemalaman dijalan, lalu memutuskan untuk bermalam di sebuah gua yang tidak jauh dari situ. Setelah mereka masuk kedalam gua, tiba-tiba jatuhlah batu besar dari puncak gunung, menggelinding dan berhenti tepat di mulut gua itu. Mereka tidak dapat meneruskan perjalanan karena terhalang oleh batu tersebut. Salah seorang dari mereka berkata lirih penuh kesedihan, ‘Kita tidak akan dapat keluar dengan selamat dari gua ini, kecuali memohon keselamatan kepada Allah dengan perantaraan amal kebaikan yang pernah kita perbuat.’
                        Salah seorang dari mereka berkata, ‘Ya Allah, sungguh aku mempunyai ibu-bapak yang telah lanjut usia. Setiap hari aku menggembala kambing dan memeras susunya untuk keduanya. Setelah mereka puas barulah aku beri minum sanak saudaraku. Suatu hari saya terlambat datang, keduanya telah tertidur lelap. Saya tak ingin mengganggu mereka berdua, dan kubiarkan mereka tertidur pulas. Sementara itu anak-anakku merintih di kakiku meminta minum karena kehausan. Dengan sedih aku memandangi mereka, danaku tetap menunggu sampai ibu-bapakku bangun, hingga fajar tiba. Ya Allah, jika amalan itu aku lakukan demi mengharap ridla-Mu, maka keluarkan kami dari gua ini dengan selamat.’ Tiba-tiba batu pun bergeser sedikit, langit pun mulai bisa mereka lihat, namun bisa untuk keluar.
                        Lalu yang kedua berdo’a dengan suara lirih pula, ‘Ya Allah, saya mencintai seorang gadis anak pamanku. Cintaku amat menggebu, lazimnya seorang laki-laki yang mencintai pujaannya. Ia berkata kepadaku, ‘Kamu tak bisa menyuntingku sebelum memberi uang sebesar 100 dinar,’ Dengan susah payah, aku pun mengusahakannya dan kuberikan padanya. Namun, setelah itu sang gadis berkata lagi kepadaku, ‘Kamu takkan bisa menggauliku sebelum memenuhi persyaratan yang kupinta.’ Dengan sedih aku meninggalkannya. Ya Allah, kalau amalan itu aku lakukan demi mengharap ridlamu, maka keluarkanlah kami dari dalam gua ini.’ Lalu batu itu pun bergeser lebih lebar lagi, namun tetap belum bisa memberi jalan keluar.
                        Kemudian orang yang ketiga berdo’a, ‘Ya Allah, saya memakai tenaga buruh, dan semuanya telah saya bayar dengan cukup. Kecuali bagi orang yang pergi begitu saja tanpa pamit. Lalu uang gajinya itu saya masukkan ke dalam penyertaan modal agar berkembang. Pada suatu hari ia datang dan meminta upah kerjanya yang dahulu, katanya, ‘Wahai hamba Allah, penuhilah permintaan gajiku.’ Lalu aku katakan kepadanya, 'Semua apa yang kau lihat disini, termasuk onta, sai, kambing, dan budak, semuanya itu dari hasil dari kerjamu dulu. Ambillah, untukmu.’ Ia termangu seakan-akan tek percaya, lalu berkata, ‘Wahai hamba Allah, kamu jangan memperlok-olokku.’ Saya pun meyakinkannya, ‘Sungguh saya tidak memerolok-olokmu. Ambillah semuanya, ini serius.’ Demikianlah, ia bawa semuanya, tanpa meningalkan seekor pun untukku. Ya Allah, kalau aa yan gaku perbuat itu demi mengharap ridla-Mu, lepaskanlah kami dari dalam gua ini.’
                        Akhirnya, batu besar yang menutupi gua itubergeser lagi sehingga mereka bisa keluar dan meneruskan perjalanannya, setelah tertunda beberapa saat oleh batu besar yang menutupi gua tempat mereka bermalam.” (H.R. Bukhori dan Muslim)

Dahulukan Bakti dari Ibadah Sunah
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu (dan berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata:
“Ada seorang ahli ibadah bernama juraij, penghuni sebuah biara tempat ia beribadah. Suatu ketika ibunya memanggilnya, padahal ia sedang shalat. Ibunya berkata, ‘Wahai Juraij!’ Juraij pun berkata (dalam hatinya), Ya Allah, ibuku atau shalatku.’ Dia pun mementingkan shalatnya. Ibunya mengulangi seruannya, ‘Wahai Juraij!’ Namun, Juraij masih dalam kondisi ragu antara menjawab panggilan ibunya dan tetap shalat. Dia tetap mementingkan shalatnya.
Ibunya semakin marah karena panggilannya tak dihiraukan, lalu sekali lagi memanggilnya dengan teriakan yang lebih keras. Namun, masih juga tidak dihiraukan karena bimbang memutuskannya.
Merasa dilecehkan panggilannya, maka ibunya mengutuk dengan kata-kata kasar, lalu mengadu kepada Allah , ‘Ya Allah, Juraij adalah anakku; aku telah memanggilnya samai tiga kali, namun dia tak menghiraukanku dengan tetap meneruskan shalatnya.’ Akhirnya dalam kekecewaan yang berat, dia berkata, ‘Ya Allah, jangan engau cabut nyawanya sebelum dia mendapat fitnah besar yang disebabkan oleh perbuatan seorang wanita pelacur.’
Suatu hari seorang pengembala berteduh di biara Juraij yang letaknya jauh terpencil dari keramaian. Tiba-tiba datang seorang wanita dari sebuah dusun dan berteduh ditempat itu juga. Kemudian keduanya melakukan perbuatan zina, sehingga membuahkan seorang bayi. Ketika ditanya oleh orang-orang tentang bapak dari anak tersebut, pelacur itu mengatakan, ‘Hasil hubungannya dengan Juraij; dialah bapaknya.’ Lalu orang-oran gberamai-ramai mendatangi Juraij, dan menyerbu biaranya, sementara Juraij sedang shalat. Ada yang membawa kampak, linggis, dan lainnya. Mereka berteriak-teriak memanggil Juraij yang sedang shalat itu. Tentu saja Juraij tidak meladeni mereka. Mereka pun menghancurkan biaranya. Lalu Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Juraij, ‘Tanyalah bayi ini,’ Juraij tersenyum sambil mengusap kepala bayi tersebt, lalu bertanya kepadanya, ‘Siapa bapakmu yang sebenarnya?’ Tiba-tiba bayi itu menjawab (ajaib sekali), ‘Bapakku adalah si penggembala kambing.’ Mendengar jawaban jujur dari anak tersebut, masyarakat rama terlihat menyesal. Mereka lalu berkata, ‘Kami akan membangun kembali biaramu yang kami robohkan dengan emas dan perak.’ Namun Jurai berkata, ‘Tidak perlu, kembalikan saja bangunan itu sebagaimana semula.’ Kemudian juraij meninggalkan sekerumunan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Ketika mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, “Ibnu Baththal berkata, ‘Penyebab ibu Juraij mendo’akan anaknya adalah, karena Juraij tetap saja melanjutkan shalatnya, dan sang ibu merasa diabaikan haknya. Padahal, menyahut seruhan dalam shalat, dibolehkan menurut syari’at mereka.’
Al-Hasan bin Sufyan dari Jalan Al-Laits dari Yazid bin Hausyab dari ayahnya, ia berkata, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Andaikan Juraij mengetahui (hukum tentnag bolehnya menyahut seruan dalam shalah) tentu dia memenuhi panggilan ibunya, karena hal itu lebih utama dia lakukan sebagai hamba Allah.”



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------