PRINSIP-PRINSIP YANG DISEPAKATI
AHLI SUNNAH WALJAMA`AH
Oleh : Syaikh Abdul Hadi al Mishri, Penerjemah: Abu Fahmi (Imam Bukhari-Jatinangor), Buku sumber : Ahlussunnah wal Jama`ah, Ma`alim Inthilaqatul Kubra
Ahli Sunnah Waljama`ah menyepakati prinsip-prinsip penting yang kemudian menjadi cirri dan inti aqidah mereka. Setiap kelompok yang bertentangan dengan mereka berbeda dalam satu atau beberapa prinsip, seperti yang akan kami bahas satu persatu.
Inilah aqidah golongan yang selamat lagi tertolong hingga hari iamat –Ahli Sunnah Waljama`ah- yaitu: beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari berbangkit setelah mati dan beriman kepada taqdir Allah yang baik maupun yang buruk (Juz 3:129)
(1) Aqidah Ahli Sunnah Waljama`ah tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa takyif (membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya)dan mensucikan-Nya tanpa mengingkari-Nya
Termasuk beriman kepada Allah adalah mengimani sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya –di dalam Kitab-Nya- dan yang disebutkan oleh Rasulullah, tanpa penyimpangan dan pengingkaran, tanpa menyerupakan-Nya dan menggambarkan-nya dengan permisalan. Akan tetapi, mereka mengimani bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asysyura 11)
Ahli Sunnah tidak menafikan apa-apa yang telah disifati Allah bagi diri-Nya, tidak menyimpangkan kalimat dari tempat sebenarnya (tidak menyimpangkan makna ayat berkenaan dengan sifat-sifat-Nya sehingga maknanya tidak sesuai lagi dengan yang dikehendaki-Nya). Mereka juga tidak mengingkari asma-asma Allah dan ayat-ayat-Nya, tidak memvisualisasikan dan menyerupakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sebab Allah tidak pantas untuk divisualisasikan dan disamakan dengan makhluk-Nya, dan tidak patut diqiyaskan dengan ciptaan-Nya –Dia Mahasuci. Karena Allah lebih mengetahui akan diri-Nya dan diluar diri-Nya, yang paling benar perkataan-Nya, dan lebih bagus firman-Nya daripada makhluk-Nya.
Para Rasul Allah yang benar dan dibenarkan perkataannya, berbeda dengan orang-orang yang mengatakan tentang-Nya tanpa berdasarkan pengetahuan. Mengenai hal ini Allah berfirman:
“Mahasuci Rabbmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.” (Ash Shaffaat 180-182)
Allah Swt mensucikan diri-Nya dari sifat-sifat rekaan orang-orang yang menentang para Rasul. Dia member salam kepada para Rasul karena kebersihan dan kejujuran perkataan mereka, bebas dari kekurangan dan cacat. Allah telah menghipun di dalam Kitab-Nya apa-apa yang mesti ditolak dan mesti ditetapkan mengenai sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu, pantang bagi Ahli Sunnah Waljama`ah untuk menyimpangkan segala sesuatu yang dibawa para Rasul, karena hal itulah jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah, jalan yang ditempuh para nabi, shidiqun, syuhada, dan orang-orang yang shaleh. (Juz 3:129-130)
(2) Ahli Sunnah Waljama`ah menetapkan aqidah tentang Al Qur`an : Al Qur`an adalah Kalamullah bukan makhluk.
Madzhab salaf umat dan Ahli Sunnah Waljama`ah menandaskan bahwa Al Qur`an adalah Kalamullah yang diturunkan, bukan diciptakan (makhluk). Al Qur`an berasal dari Allah (ada permulaan) dan kembali kepada-Nya. Kebenaran ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah Saw.: “Bahwa Allah berkata-kata dengan suara, memanggil Adam dengan suara….” Kalimat-kalimat inilah yang diyakini oleh salaf umat dan Imam-imam Sunnah (2:401-402)
(3) Ahli Sunnah Waljama`ah meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapa pun di dalam kehidupan dunia.
Seluruh ucapan yang didalamnya terdapat kalimat “Muhammad melihat Rabbnya dengan kedua matanya di bumi.” Adalah dusta menurut kesepakatan kaum muslimin dan ulama-ulama mereka. Ucapan seperti ini tidak diambil dari seorang ulama kaum muslimin mana pun, dan tak satu pun dari mereka yang meriwayatkan hal tersebut. Demikian pula bagi siapa saja yang mengklaim (mendakwakan) bahwa dia melihat Rabbnya sebelum dia mati, maka dakwaannya itu tertolak (batil) berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah Waljama`ah. Sebab ahli Sunnah telah bersepakat seluruhnya bahwa tak satu pun dari orang-orang mukmin dapat melihat Allah dengan kedua matanya di dunia. Hal ini dikuatkan oleh hadits shahih Muslim dari Nawwas Ibnu Sam``an dari Nabi Saw, ketika dia menyebut Dajjal, dia berkata:
“Dan ketahuilah olehmu bahwa tak seorang pun dari kalia yang dapat melihat Rabbnya sampai dia mati.”(Juz 3: 386-389)
(4) Ahli Sunnah Waljama`ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di surga dengan kedua mata mereka.
Orang-orang mukmin akan dapat melihat Allah dengan kedua mata di surga. Demikian juga manusia akan melihat-Nya di Padang Mahsyar pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan hadits-hadits Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab shahih, dan telah diterima oleh kaum salaf dan para Imam terdahulu, serta telah disepakati oleh Ahli Sunnah Waljama`ah.
Namun demikian, hadits-hadits tersebut didustakan dan disampingkan oleh golongan Jahmiyah dan orang-orang yang mengikuti faham mereka dari golongan Mu`tazilah, Rafidlah, dan sejenisnya. Mereka mendustakan sifat-sifat Allah berdasarkan ra`yu, termasuk mendustakan keterangan mengenai melihat Allah di surga, dan yang lainnya. Mereka tergolong orang yang ingkar dan seburuk-buruk makhluk. Sedangkan Din Allah bersikap di tengah-tengah antara mendustakan berita-berita yang disampaikan Nabi di akhirat dengan membenarkan pendapat ekstrem yang mengatakan bahwa Allah bisa dilihat oleh mata di dunia fana ini, karena kedua-duanya batil. Maksudnya, sikap Islamiah tidak mendustakan sabda Nabi yang mengatakan bahwa orang mukmin akan dapat melihat Allah di surga, dan tidak membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah melihat Allah di dunia.
Madzhab semua Rasul dan yang mengikuti mereka –orang- orang mukmin dan ahli kitab- berkeyakinan bahwa Allah pencipta alam semesta, Rabb langit dan bumi beserta yang ada di antara keduanya, Rabbul `Arsyil Azhim, sementara semua makhluk ciptaan sebagai hamba-hamba –Nya yang bergantung kepada-Nya. Allah Swt berada di atas langit ciptaan-Nya, di antara `Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, namun tetap bersama mereka di mana pun mereka berada. (Juz 3:390-393)
(5) Ahli Sunnah Waljama`ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah
Termasuk beriman kepada hari akhir adalah mengimani berita yang disampaikan Nabi perihal keadaan sesudah mati. Oleh karena itu, mereka mengimani adanya fitnah kubur, azab kubur, nikmat kubur, hingga terjadinya kiamat kubra saat semua ruh dikembalikan kepada jasad masing-masing. Pada saat itu manusia bangkit dari kubur mereka untuk menghadap Rabb yang menguasai ala mini dalam keadaan tanpa busana dan belum dikhitan. Matahari dekat sekali di atas kepala sehingga mereka bercucuran keringat karena sengatannya. Neraca keadilan pun dipasang untuk menimbang amalan parahamba-Nya. Kitab-kitab catatan amal dibentangkan, di antara mereka ada yang mengambilnya dengan tangan kanan, dengan tangan kiri, atau dari belakang punggung mereka. Allah menghisap amalan makhluk-Nya, menghadap hamba-Nya yang beriman, lalu mengakui dosa-dosa mereka sebagaimana tertulis di dalam Kitabullah dan Sunnah.
Adapun amalan baik dan buruk yang dilakukan orang-orang kafir tidak dihisab, karena mereka tidak berhak mengklaim kebaikan-kebaikan mereka –tak ada kebaikan bagi ereka. Tetap amalan buruk mereka langsung dihitung dan dijumlah, kemudian mereka mengakuinya, mempertanggungjawabkannya, dan mendapat balasan sesuai dengan amalan tersebut.
Di Padang Mahsyar terdapat telaga Muhammad yang didatangi umatnya, juga terdapat jembatan Shirat yang dipasang di atas punggung jahanam. Jembatan yang menghubungkan antara surga dan neraka- manusia berjalan di atasnya sesuai dengan kadar amalan masing-masing. Di anatra mereka ada yang tersambar la lu terlempar ke neraka, dan siapa yang berhasil melewati Ash-Shirat itu, maka berhasil masuk surga. Pada saat manusia melewati jembatan tersebut, mereka berhenti diatasnya –di antara surga dan neraka- sebagian mereka menuntut balas atas yang sebagian yang lain. Jika telah terseleksi, barulah mereka diizinkan memasuki surga. Orang pertama yang meminta dibukakan pintu surga, di antara umat para nabi dan rasul adalah umat Muhammad.
Pada hari kiamat Rasulullah diberi hak oleh Allah berupa tiga macam syafa`at: pertama, beliau memberi syafa`at kepada orang-orang ketika berkumpul pada hari mahsyar sampai nasib mereka diputuskan.kedua, Nabi Saw memberikan syafa`at bagi orang yang layak masuk surga untuk memasuki surga yang dijanjikan-Nya. Kedua syafa`at tersebut khusus dimiliki oleh Nabi. Ketiga, Nabi memberi syafa`at kepada orang-orang yang sepatutnya masuk neraka. Syafa`at yang terakhir ini tidak hanya dimiliki oleh Rasulullah, namun juga dimiliki nabi-nabi lain, para shidiqin, dan lainnya. Rasulullah memberi syafa`at kepada orang-orang yang seharusnya masuk neraka agar terhindar darinya, juga kepada mereka yang memasukinya agar dikeluarkan darinya. Allah juga mengeluarkan hamba-hamba-Nya dari neraka tanpa melalui syafa`at, akan tetapi semata-mata karena karunia dan rahmat-Nya. Allah mengekalkan ahli surga di dalamnya ahli surga di dalamnya dan memberi kelebihan bagi yang memasukinya dari penduduk dunia. Sesungguhnya Allah berkehendak terhadap suatu kaum untuk memasuki surga. (Juz 3: 145-148)
(6) Ahli Sunnah Waljama`ah mengimani qadar Allah dengan segala tingkatnya.
Golongan yang selamat –Ahli Sunnah Waljama`ah- mengimani qadar Allah, yang baik maupun yang buruk. Iman kepada qadar Allah ada dua tingkatan, masing – masing tingkatan mencakup dua hal:
Tingkatan pertama:
a. Beriman bahwa Allah mengetahui semua perbuatan manusia berdasarkan ilmu-Nya yang qadim dan azali. Allah juga mengetahui seluruh keadaan mereka: ketaatan, kemaksiatan, rezeki, dan ajal mereka.
b. Allah telah menentukan ketetapan itu di dalam Lauh Mahfudz, semua ketentuan makhluk-Nya, itulah yang disebut taqdir. Semuanya mengikuti ilmu Allah di mana pun tempat mereka, yang bersifat ijmali (global) ataupun tafsili (rinci). Allah telah mencatat semua yang Ia kehendaki di Lauh Mahfudz. Pada saat Dia menjadikan janin, sebelum meniupkan ruh Dia mengutus malaikat dan menyuruhnya menetapkan empat perkara: tulislah rezekinya, ajalnya, amalnya, dan nasibnya (sengsara atau bahagia). Takdir seperti ini telah diingkari oleh golongan Qadariyah secara keterlaluan pada masa lalu sedikit pada masa sekarang.
Tingkatan kedua:
a. Dalam hal ini meliputi kehendak Allah yang berlaku dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Yaitu mengimani bahwa apa-apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Begitupun setiap yang bergerak dan diam, baik yang dilangit maupun yang dibumi, berjalan menurut kehendak-Nya di dalam kerajaan-Nya ini tidak ada sesuatu pun yang terjadi melainkan karena kehendak-Nya, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang tidak ada . Tidak ada satu jenis makhluk pun di bumi dan di langit ini kecuali Allah yang menciptakannya. Tiada pencipta selain Allah, dan tak ada Rabb selain Dia.
b. Meskipun demikian, Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-ya,serta mencegah mereka dari perbuatan maksiat. Dia Mahasuci yang mencintai orang-orang bertakwa, orang-orang yang berbuat baik, serta yang berbuat adil. Dia juga ridha kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Dia tidak suka kepada orang-orang kafir, tidak ridha kepada kaum yang fasiq, tidak memerintahkan untuk berbuat keji, tidak mencintai hamba-hamba-Nya yang ingkar, dan tidak mencintai pembuat kerusakan. Para hamba adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan mereka. Di antara hamba-Nya ada yang durhaka, ada yang mendirikan shalat dan puasa. Mereka diberi kemampuan (qudrat) untuk melakukan amalan-amalan, juga diberi kemauan untuk berbuat, tetapi Allah yang menciptakan mereka serta menciptakan qudrat dan iradat mereka. Tingkatan qadar inilah yang diingkari oleh Golongan qadariyah –golongan ini disinyalir oleh Nabi sebagai Majusi umat ini. Di kalangan umat juga dijumpai kaum yang berlebih-lebihan dalam membenarkan (menetapkan) soal qadar Allah ini, sehingga mereka mengingkari qudrat dan ikhtiar manusia, terbelenggu oleh angan-angan mereka sendiri. Mereka mengeluarkan hikmah dan kemaslahatanya dari af`al Allah dan hukum-hukum-Nya (Juz 3:148-150)
c.
(7) Ahli Sunnah Waljama`ah berpendapat: ian adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang
Termasuk prinsip yang diyakini Ahli Sunnah Waljama`ah adalah bahwa Din dan iman merupakan ucapan dan perbuatan: ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dan sesugguhnya iman dapat bertambah karena taat, dan berkurang karena maksiat. (Juz 3:151)
Adapun Ahli Sunnah Waljama`ah –para sahabat, tabi`in, Imam-imam Sunnah dan hadits, jumhur fuqaha dan sufi, seperti Imam Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza`I, Hammad bin Zaid, Asy-Syafi`I, Ahmad bin Hambal, dan lainnya, serta para Muhaqiq Ahli Kalam- telah sepakat bahwa iman dan Din adalah ucapan dan perbuatan. Inilah pendapat ulama salaf dari golongan sahabat dan lainnya. Meskipun pada sebagian tempat iman itu berbeda maknanya dengan amal (perbuatan), akan tetapi semua amal shaleh termasuk dalam lingkup ad-Din dan al-iman. Adapun yang dimaksud dengan qaul (ucapan) adalah ucapan hati dan lisan, sedangkan perbuatan adalah perbuatan hati dan anggota badan. (Juz 12:471)
(8) Ahli Sunnah Waljama`ah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu`(cabang). Iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh karenanya, mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika telah terlepas pokok keimanannya.
Para musafir Ahli Sunnah mengatakan bahwa iman memiliki pokok dan cabang yang meliputi rukun-rukun, kewajiban-kewajiban dan mustahab (yang dibolehkan), sebagaimana hal ini terdapat di dalam ibadah haji, shalat, dan lainnya. Dengan demikian, sebutan haji mencakup semua amalan yang dilakukan dan ditinggalkan (selama proses haji). Haji mempunyai rukun-rukun yang jika ditinggalkan batallah haji tersebut, seperti wuquf di Arafah. Juga terdapat hal-hal yang dilarang –jika dilanggar rusaklah haji tersebut- seperti menggauli isteri. Haji juga meliputi kewajiban yang harus dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan. Di samping itu, di dalam ibadah haji terdapat hal-hal yang dibolehka (mustahab), jika ditinggalkan tidak berdosa namun jika dilakukan akan menambah kesempurnaan hai. Sedangkan bagi orang yang meninggalkan rukun-rukun haji atau melakukan sesuatu yang dapat merusaknya, maka hajinya fasid (rusak), dan ia tetap berkewajiban melaksanakannya.
Kita dapat memisalkan al-iman dan ad-Din sebagai pohon yang memiliki batang, ranting, dan daun. Maka kalau pun hilang ranting dan daunnya, tetaplah disebut pohon, meskipun menjadi kurang lengkap keberadaannya.
Iman memiliki tiga tingkatan:
a. Iman yang dimiliki para pendahulu yang dekat dengan Allah. Mereka melakukan hal-hal yang wajib dan mustahab, baik mengerjakannya maupun meninggalkannya.
b. Iman yang dimiliki oleh orang-orang muqtashid (tingkat menengah) dari ashabul yamin (golongan kanan), yaitu orang yang melakukan kewajiban-kewajiban, baik yang harus dikerjakan maupun yang harus ditinggalkan.
c. Iman yang dimiliki orang-orang zhalim, yaitu orang-orang yang meninggalkan sebagian kewajiban, atau melakukan sebagian perbuatan terlarang.
Oleh karena itu, ulama-ulama Ahli Sunnah Waljama`ah beri`tiqad bahwa mereka tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat karena dosa yang dilakukannya, sebagai isyarat terhadap bid`ah Khawarij yang mengkafirkan seorang muslim karena melakukan dosa semata-mata.
Adapun pokok iman (ashlul iman) adalah mengakui dan membenarkan apa-apa yang disampaikan Rasulullah –dari Allah- dan tunduk mengikutinya. Maka siapa pun yag tidak melakukan hal tersebut tidaklah dia beriman.
Perlu diketahui bahwa iman terdiri dari bagian-bagian dan unsur-unsur (tab`idl dan juz`iyah). Oleh karena itu, bagian iman sekecil apa pun yang ada pada seseorang akan dapat mengeluarkannya dari siksa neraka ( atas izin Allah). Artinya, ia tidak kekal di dalam neraka selama masih ada unsur iman meski sekecil apapun. Akan tetapi, kelompok Khawarij mempunyai anggapan yang berbeda dengan Ahli Sunnah. Mereka beranggapan bahwa iman harus secara keseluruhan atau sama sekali tidak memiliki iman. (Juz 12:472-475)
Berdasarkan pendirian dan i`tiqad tersebut, maka Ahli Sunnah tidak mengkafirkan ahli kiblat hanya disebabkan perbuatan dosa (kaba`ir) dan kemaksiatan semata. Hal ini berbeda dengan i`tiqad Khawarij yang mengkafirkan orang karena kemaksiatan dan dosa yang dilakukannya. Bahkan, menurut Ahli Sunnah, persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun mereka bermaksiat. Orang-orang fasiq tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan mereka tidak kekal di dalam neraka, berbeda dengan apa yang diyakini Mu`tazilah (bahwa fasiq dapat menggugurkan iman secara total dan kekal di neraka). Maka orang fasiq, menurut Ahli Sunnah, masih tergolong beriman atau, bisa juga dikatakan, beriman tidak secara mutlak. Oleh sebab itu, mereka mengatakan bahwa orang fasiq adalah orang beriman dengan kualitas rendah, dia disebut mukmin karena imannya, dan disebut fasiq karena dosa-dosanya. Maka mereka tidak diberi nama secara mutlak dan tidak pula divonis mutlak telah hilang keimanannya. (Juz 3:51-52)

(9) Ahli Sunnah Waljama`ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan pahala pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus.
Sesungguhnya laknat termasuk ancaman, oleh karenanya tidak ditetapkan secara umum. Seseorang dapat terhindar dari ancaman karena melakukan taubat dengan benar, karena kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena adanya musibah yang bisa menebusnya, karena syafa`at yang diterimanya, atau sebab-sebab lain yang dapat meghilangkan hukuman (ancaman). Ini tentang orang yang melakukan dosa dengan jelas. Maka tidaklah seseorang dinyatakan masuk surga kecuali dengan dalil khusus. Juga tidak boleh menjadi atas mereka semata-mata berdasarkan prasangka, sebab mereka termasuk dalam kategori umum. Dengan demikian, mereka bisa tergolong ke dalam dua kategori umum tersebut, mereka berhak mendapat pahala dan hukuman. (Juz 35: 66-68 dan 282)
Ahli Sunnah Waljama`ah, dan seluruh pengikut mereka, telah bersepakat atas berhimpunnya dua perkara –siksa dan pahala- pada kebanyakan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi. Mereka tidak mewajibkan siksa terhadap orang yang melakukan dosa besar, juga tidak menyatakan terhadap seorang muslim tertentu –berdasarkan kesaksian matanya- patut masuk neraka karena karena dosa besar yang diperbuatnya. Karena, menurut mereka, boleh jadi Allah memasukkan mereka ke dalam surga tanpa disiksa terlebih dahulu. Hal itu disebabkan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dapat menghapus dosa, atau karena musibah yang dapat menebusnya, atau karena dosa mustajab yang diucapkannya atau diucapkan orang lain. (Juz 12:480)
Kami tidak memvonis seseorang masuk neraka, karena kami tidak mengetahui berlakunya ancaman baginya hanya berdasarkan pengamatan lahir. Selain itu, berlakunya ancaman pada seseorang dibutuhkan persyaratan serta tiadanya unsur-unsur peghalang. Sedangkan kita tidak mengetahui kebenaran syarat-syarat dan tidak adanya penghalang tersebut pada seseorang. Manfaat ancaman adalah menerangkan bahwa dosa merupakan penyebab timbulnya siksa. Sedangkan penyebab itu sendiri pengaruhnya tergantung pada persyaratan yang memenuhinya dan tiadanya penghalang. (Juz 12: 484)
(10) Ahli Sunnah Waljama`ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan isteri-isteri Rasul tanpa meyakini adanya kema`shuman terhadap siapa pun kecuali Rasulullah.
Termasuk pokok aqidah Ahli Sunnah Waljama`ah adalah menjaga keselamatan hati dan lisan mereka dari tuduhan terhadap para sahabat Rasulullah. Ahlli Sunnah menerima Kitabullah, Sunnah, dan ijma` sesuai dengan keutamaan dan martabat mereka. Oleh karena itu, mereka lebih mengutamakan orang-orang yang membelanjakan hartanya dan berperang di jalan Allah sebelum “kemenangan” –yaitu perjanjian Hudaibiyah- daripada orang-orang yang membelanjakan harta dan berperang dijalan Allah sesudah masa itu. Mereka mendahulukan kaum Muhajirin terhadap Anshar. Mereka juga mengimani bahwa Allah berfirman kepada Ahli Badr (pahlawan Perang Badar) yang berjumlah 300 orang lebih: “Kerjakanlah apa yang kalian suka, Aku telah mengampuni dosa kalian.” Mereka mengimani bahwa tak ada seorang pun yang berbai`at di bawah pohon Ridlwan masuk neraka.
Berdasarkan hal ini, mereka menyatakan masuk surga kepada seseorang yang dinyatakan masuk surga oleh Rasulullah. Mereka mengetahui berita yang mutawatir dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan lainnya bahwa sebaik-baik umat ini sesudah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khatab. Mereka mengakui bahwa kedua sahabat itu adalah khalifah sesudah Rasulullah. Termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah sesudah mereka. Mereka mencintai dan mendukung ahlul bait dan isteri-isteri Rasul sebagai Ummahatul Mukminat. Mereka mengimani bahwa isteri-isteri beliau akan tetap menjadi isteri beliau di akhirat kelak, khususnya Khadijah bin Khuwalid dan Aisyah binti Ash-Shidiq.
Ahli Sunnah tetap teguh (tidak terpecah-belah) dalam melihat perselisihan yang terjadi di antara para sahabat. Mereka mengatakan bahwa para sahabat itu dimaafkan Allah, baik mereka yang melakukan ijtihad dengan hasil yang benar maupun salah. Akan tetapi, mereka tidak meyakini bahwa para sahabat itu ma`shum dari dosa-dosa besar dan kecil. Bahkan, menurut Ahli Sunnah Waljama`ah, boleh jadi di antara mereka pernah melakukan dosa, namun karena memiliki banyak jasa dan berbagai keutamaan maka patut diampuni dosa-dosa mereka. Hal ini benar dan dikuatkan oleh sabda Nabi Saw,:”Mereka adalah sebaik-baik generasi.”
Para sahabat merupakan sebaik-baik makhluk setelah para Nabi. Tidak ada dan tidak akan terjadi generasi seperti mereka, sebab mereka merupakan generasi yang paling terpelihara dari umat ini, sebaik-baik umat, dan semulia-mulia umat di sisi Allah. (Juz 3:152-156)
(11) Ahli Sunnah Waljama`ah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada mereka.
Termasuk pokok keyakinan Ahli Sunnah Waljama`ah adalah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian yang diberlakukan Allah pada mereka dalam berbagai ilmu, temuan, kemampuan, dan pengaruh-pengaruh mereka. Hal demikian, sebagaimana banyak diriwayatkan, telah ada sejak umat-umat terdahulu, seperti yang terdapat dalam Al Qur`an Surah Al-Kahfi dan lainnya, sampai kepada para sahabat dan tabi`in dan seluruh generasi umat ini. Dan kejadian-kejadian seperti itu akan tetap ada sampai hari kiamat. (Juz 3:156)
(12) Ahli Sunnah Waljama`ah bersepakat untuk memerangi siapa pun yang keluar dari syari`at Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Telah ditegaskan berdasarkan Kitabullah, Sunnah, dan ijma` umat bahwa siapa pun yang keluar dari syari`at Islam berhak diperangi sekalipun mengucapkan dua kalimat syahadat. Memerangi mereka merupakan kewajiban yang, tentu saja, harus didahului denga penyampaian dakwa Nabi kepada mereka. Maka jika mereka mendahului memerangi kaum muslimin, haruslah mereka diperangi. Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka mereka wajib membela diri, sementara kaum muslimin yang lainnya memberikan pertolongan menurut kemampuan masing-masing, baik dengan diri dan harta ataupun dengan berjalan kaki dan berkendaraan. Hal seperti ini sebagaimana pernah diperlihatkan kaum muslimin ketika hendak menyerang musuh pada Perang Khandaq yang tak seorang pun dari mereka diizinkan untuk tidak ikut berjihad membela agama, jiwa, dan kehormatan. (Juz 28:357-359)
(13) Ahli Sunnah Waljama`ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun durhaka, demi menegakkan syari`at Islam.
Termasuk pokok keyakinan Ahli Sunnah Waljama`ah adalah berperang bersama orang yang baik dan fajir (buruk, durhaka). Sebab Allah memperkuat Dinul Islam ini di antaranya dengan orang-orang fajir dan orang-orang yang tidak berakhlak, sebagaimana diberitakan oleh Nabi. Maka dalam situasi seperti ini hanya ada dua alternatif yang harus dihadapi setiap muslim, tidak mau berperang bersama mereka sehingga muncul kekuasaan lain yang akan membawa mudharat lebih besar dalam ad-Din dan dunia. Atau berperang bersama mereka (pemimpin yang fajir) sehingga dapat mengalahkan orang-orang yang lebih fajir –sehingga sebagian besar syari`at Islam bisa ditegakkan, meskipun tidak seluruhnya. Dalam hal ini, maka alternatif yang kedua yang harus dipilih. Bahkan kebanyakan peperangan yang terjadi sesudah masa Khulafaur Rasyidin dalam bentuk seperti ini (Juz 28:506)


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------