CIRI-CIRI KHUSUS
AKHLAK DAN PERILAKU AHLI SUNNAH WALJAMA`AH
Oleh : Syaikh Abdul Hadi al Mishri, Penerjemah: Abu Fahmi (Imam Bukhari-Jatinangor), Buku sumber : Ahlussunnah wal Jama`ah, Ma`alim Inthilaqatul Kubra

Ahli Sunnah adalah sebaik-baik manusia.
Ahli Sunnah, sebagaimana yang kita ketahui, adalah pengemban pusaka peninggalan Nabi Saw yang menyangkut aspek ilmu dan amal. Sedangkan aspek amaliah yang paling menonjol dalam petunjuk nubuwwah adalah akhlak. Oleh karena itu, akhlak nubuwwah seperti cinta dan kasih sayang, keteguhan dan kesabaran dalam berdakwah kepada sesama mausia, dan lainnya, merupakan ciri khas yang dimiliki oleh golongan yang selamat ini sekaligus sebagai rahmat Allah yang mereka terima. Karena perilaku seperti ini merupakan pancaran sumber yang dapat memberi pahala kepada Ahli Sunnah.

Muhammad diutus Allah dengan membawa petunjuk sekaligus rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana Allah mengutusnya dengan ilmu, bukti-bukti rasional, dan bukti-bukti pendengaran. Allah juga mengutusnya dengan membawa kebaikan untuk umat manusia, kasih sayang dan rahmat bagi mereka tanpa mengharap imbalan, dan sabar dalam menghadapi cercaan. Oleh karenanya, Allah membekalinya dengan ilmu, kemuliaan, serta sifat penyantun: member bimbingan dan berbuat baik kepada semua manusia. Dia mengajar, member petunjuk, memperbaiki hati, dan menuntun manusia kepada jalan kebaikan di dunia dan akhirat tanpa mengharap imbalan apa pun. Ini merupakan sifat semua rasul. Dan inilah jalan bagi siapa saja yang mau mengikutinya. Karena itu, dalam Al Qur`an Allah menganugerahi sifat kepada umat Muhamad;

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”(Ali Imran 110)
Abu Hurairah berkata:”Kalian adalah sebaik-baik manusia bagi manusia.” Artinya, mereka dating di tengah-tegah manusia untuk menyeru mereka masuk ke dalam surge. Mereka berjihad dengan mengorbankan jiwa dan harta demi kepentingan dan kemaslahatan manusia, sementara manusia tidak menyukai hal itu karena kebodohan mereka.

Mengenai hal ini, Imam Ahmad pun pernah berkata dalam khutbahnya; “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan golongan ahli ilmu yang masih tertinggal –pada setiap masa kosong para rasul- untuk menyeru orang-orang yang telah sesat dari petunjuk Allah. Mereka bersabar atas segala cercaan dan gangguan, menghidupkan hati orang-orang (yang mati karena tidak beriman) dengan Kitabullah, serta menjadikan orang yang buta hati “melihat” dengan cahaya Allah. Sehingga banyak orang yang telah “dibunuh”iblis berhasil dihidupkan hatinya, dan banyak orang yang sesat serta ragu mereka berikan bimbingan dan petunjuk. Sungguh alangkah baiknya peranan mereka dalam memperbaiki mausia, dan alangkah buruknya tanggapan manusia kepada mereka, dan seterusnya….”

Allah Swt sangat menyukai keluhuran akhlak dan sanngat membenci keburukan akhlak. Dia menyukai kehati-hatian (kepekaan) ketika merajalelanya syubhat, menyukai keberanian (karena benar) walaupun sekedar membunuh ular. Allah pun menyukai toleransi dan kemurahan hati meskipun hanya sekedar member segenggam kurma. (Juz 16:313-317)

Ahli Sunnah mengikuti Al Qur`an dan Sunnah dalam seluruh hubungan mereka
Ahli Sunnah Waljama`ah selalu mengikuti Al Qur`an dan Sunnah Rasul, baik dalam perilaku dan langkah-langkah yag mereka tempuh maupun hubugan antara sesama manusia. Mereka menyuruh berlaku sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan, bersyukur ketika mendapatkan kesenangan, ridla terhadap keputusan Allah, dan menyerukan agar manusia menyempurnakan akhlak dan amala-amalan yang baik. Mereka benar-benar meyakini makna sabda Rasulullah:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
Ahli Sunnah waljama`ah menganjurkan agar menyambung tai persaudaraan, member sesuatu kepada orang yang enggan member, memaafkan orang yang berbuat kesalahan. Mereka menyuruh berbakti kepada kedua orangtua, menyambung tali kerabat, berbaut baik kepada tetangga, berbuat baik kepada anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan bersikap lembut kepada sahaya. Mereka juga melarang berlaku sombong dan membanggakan diri, serta melarang berbuat keji dan menodai kehormatan makhluk tanpa hak. Alhasil, apa-apa yang mereka katakana dan amalkan, termasuk aktivitas lainnya, tidak lain hanyalah mengikuti Al Qur`an dan Sunnah Rasul. (Juz 3:158)

Ahli Sunnah adalah golongan penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran, di samping selalu memelihara keutuhan jama`ah
Hal itu mereka lakukan karena merupakan prinsip utama dan tonggak penting yang menjadikan mereka sebaik-baik umat yang ditampilkan bagi manusia. Mereka menegakkan hal demikian berdasarkan tuntunan syari`at, sehingga dalam waktu yang sama sekaligus mereka menunaikan prinsip utama dan menegakkan tonggak penting, yaitu menjaga keutuhan jama`ah, menyatukan hati, menyatukan irama dan perkataan, serta menyingkirkan ikhtilaf dan tafarruq.

Mereka menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar berdasarkan tuntunan syari`at. Mereka menyuruh menunaikan haji dan jihad, menunaikan shalat Jumat dan Id bersama para pemimpin mereka –yang baik maupun durhaka. Termasuk menyuruh agar menjaga keutuhan jama`ah serta memberikan nasihat kepada umat. Mereka benar-benar meyakini sabda Nabi Saw.:

“Orang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang sebagian memperkokoh bagian lainnya.”

Kemudian beliau mengait-ngaitkan jari-jarinya sendiri. Mereka juga meyakini hadits Nabi:
“ Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kasih sayang dan saling mencintai di antara mereka adalah bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya mengaduh (karena sakit), maka seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur.” (Juz 3:158)
Wajib bagi Ulil Amri –yang terdiri dari para ulama masing-masing kelompok, para pemimpin, dan tokoh-tokoh umat- agar menjalankan kepemimpinannya dengan baik terhadap rakyat mereka. Mereka juga sepatutnya memerintah berdasarkan perintah Allah dan Rasul, serta melarang berbuat kemungkaran berdasarkan larangan Allah dan Rasul. (Juz 3:423)

Termasuk perintah kebaikan adalah mengnjurkan persatuan dan kerukunan sert mecegah timbulnya perbedaan dan perpecahan. (Juz 3:421)
Ahli Sunnah selalu memelihara (keutuhan) jama`ah dan iltizam melakukan ketaatan dalam kebaikan
Ahli Sunnah menjalankan fungsi ketaatan dan memelihara jama`ah berdasarkan ketentuan syari`at dan pengamalannya. Maka ketaatan mereka dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan ketaatan dalam maksiat kepada-Nya.

Jalan hidup moderat adalah Dinul Islam yang murni dan memerangi orang yang harus diperangi. Berjihad bersama Amir dan kelompok yang lebih mengutamakan (jalan) Islam, jika tidak ada cara lain kecuali dengan berperang. Tetapi, tidak membantu kelompok yang berperang untuk maksiat kepada Allah. Mereka harus mentaati penguasa dalam mentaati Allah, dan tidak mentaati mereka dalam bermaksiat kepada-Nya, karena tidak diperkenankan mentaati makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq. Inilah jalan terbaik bagi umat ini, umat dahulu maupun kini, jalan yang seharusnya ditempuh oleh para mukallaf. Jalan ini merupakan jalan tengah antara jalan Hururiyah dan yag semisalnya yang menempuh jalan maksiat dan kerusakan karena sedikitnya ilmu. Juga antara jalan Murji`ah dan golongan sejenisnya yang mentaati pemimpin mereka dengan mutlak, sekalipun pemimpin itu bukan orang baik-baik. (Juz 28:508)

Ahli Sunnah memikul amanat ilmu dan memeilhara jama`ah
Dengan demikian , mereka memikul amanat ganda yang salah satunya tidak kurang beratnya dibandingkan yang lain. Pertama adalah amanat ilmu berupa iltizam, dakwah, dan ijtihad. Sedangkan yang kedua adalah memelihara (keutuhan) jama`ah Islam dalam pengertiannya yang luas ( menyeluruh). Mereka menempuh jalan tersebut dengan pertimbangan yang cermat berdasarkan syari`at Yang Mahabijaksana, satu-satunya Rabb yang memiliki aturan yang dapat membebaskan penguasaan hawa nafsu, ikatan adat, cengkraman madzhab atau jalan tertentu, atau kelompok yang menyerupai hal itu.

Merupakan kewajiban untuk menjelaskan apa yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya, menyampaikan segala sesuatu yang dibawa para rasul, serta menepati janji Allah sebagaimana dituntut-Nya dari para ulama. Oleh karena itu, wajib untuk mengetahui apa-apa yang dibawa para rasul, juga wajib beriman kepada ajarannya, mengajak kepada jalannya, dan berjihad untuk membelanya. Mereka menimbang seluruh perkataan dan amalan manusia dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik hal-hal yang bersifat prinsip (ushul) maupun cabang (furu`), yang lahir maupun batin; pantang mengikuti hawa nafsu baik berkaitan dengan adat, madzhab, thariqat, atau kepemimpian salaf. Mereka juga tidak mengikuti prasangka, baik menyangkut hadits dhaif atau qiyas yang keliru –sama saja apakah qiyas itu menyeluruh atau sekedar tamsil. Juga tidak bertaklid kepada orang yang tidak wajib diikuti, baik perkataan ataupun perbuatannya. Sesungguhnya Allah mencela orang-orang yang mengikuti prasangka dan hawa nafsu dan mereka yang tidak mengikuti petunjuk yang dating dari sisi-Nya. (Juz 12:467)

Loyalitas ahli Sunnah hanya untuk kebenaran
Mereka memandang setiap individu atau kelompok berdasarkan loyalitas terhadap kebenaran, bukan berdasarkan ta`ashub iahili yang bermuara pada kesukuan, kedaerahan, madzhab, thariqat, tajammu`, atau kepemimpinan. Tidaklah patut bagi seseorang menyandarkan pujian dan cacian, cinta dan kebencian, persahabatan dan permusuhan, doa dan kutukan kepada berbagai nama dan atribut semata , seperti nama-nama suku, daerah (kota), madzhab, thariqat, yang dikaitkan dengan para Imam, tokoh dan syekh (guru atau kiyai), dan sebagainya yang menghendaki pendefinisian.

Barangsiapa yang beriman –dari golongan mana pun- haruslah disikapi dengan loyal; dan siapa yang kafir –dari golongan mana pun- mereka wajib dimusuhi. Barang siapa padanya terdapat keimanan dan kezhaliman, maka loyalitas dan kebencian yang diberikan padanya sesuai dengan kadar keimanan dan kezhalimannya. Seseorang tidaklah dinyatakan keluar dari iman secara total hanya karena dosa-dosa dan kemaksiatannya, sebagaimana pernyataan Khawarij dan Mu`tazilah. Para nabi, shidiqun, syuhada, serta orang-orang shaleh tidaklah disamakan dengan orang-orang fasik dalam hal iman, din, cinta, benci, muwalah, dan mu`adah. (Juz 28: 227-229)

Ahli Sunnah, saling memberikan wala` kepada sesame mereka dengan loyalitas secara umum, dan saling memaafkan
Ahli Sunnah Waljama`ah saling memberikan wala` satu dengan yang lain secara umum tanpa memandang perbedaan asal golongan, jama`ah, kecenderungan, ataupun ijtihad tertentu. Bagi mereka, yang prinsip dan penting ialah berkeinginan menjadikan jama`ah sebagai sesuatu yang utuh, kuat, serta saling memaafkan kekurangan masing-masing; dan mereka tidak cepat melancarkan tuduhan atau saling menyesatkan.

Menjadi kewajiban bagi mereka untuk mendahulukan siapa yang didahulukan Allah dan Rasul, dan mengakhirkan siapa pun yang diakhirkan Allah dan Rasul. Membenci siapa saja yang dibenci Allah dan Rasul, mencegah segala sesuatu yang dilarang Allah dan Rasul, ridha kepada orang yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, diharapkan kaum muslimin menjadi satu kekuatan. Karena kekuatan tidak mungkin terwujud jika sesame mereka saling menyesatkan dan mengkafirkan, dan mereka merasa paling benar dan sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah. Oleh karena itu, sekalipun seorang muslim telah melakukan kekeliruan dalam suatu urusan agama, tidaklah mesti dituduh kafir atau fasiq. Bahkan Allah memaafkan umat ini dari kekeliruan dan kealpaan yang mungkin diperbuatnya. (Juz 3:426)

Ahli Sunnah menentukan dukungan dan permusuhan berdasarkan prinsip ad-Din, dan mereka tidak menguji manusia dengan sesuatu yang bukan dari Allah:
Ahli Sunnah Waljamaah tidak menguji manusia tentang perkara-perkara yang sama sekali Allah tidak memberikan kekuasaan padanya. Mereka tidak fanatic berdasarkan nama-nama, syi`ar-syi`ar, lambing-lambang organisasi, atau kepemimpinan, namun mereka memberikan dukungan (wala`) dan sikap permusuhan (mu`adah) berdasarkan prinsip-prinsip agama dan ketakwaan. Mereka juga tidak berta`ashub (fanatic) kecuali untuk jama`ah muslimin dengan pengertiannya yang hakiki, yakni jama`ah yang dapat meninggikan panji-panji Al Qur`an dan Sunnah serta petunjuk Salaf ash-Shaleh yang diridhai Allah.

Dalam hal ini, yang wajib ditolak adalah mengenai peristiwa Yazid bin Mu`awiyah dan fitnah atas kaum muslimin dengan kasus itu, karena sesungguhnya hal ini termasuk bid`ah yang menyalahi Ahli Sunnah Waljama`ah. Demikian pula, memecah belah atau mengelompok-kelompokkan umat serta mengujinya dengan sesuatu yang tak ada perintah dari Allah dan Rasul, seperti mengatakan kepada seseorang: “Apakah Anda seorang Syakili dan Qarfandi” Karena nama-nama tersebut merupakan nama-nama batil yang tidak diperintahkan Allah, tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah, juga bukan atsar Salaf Umat. Maka jika seorang muslim ditanyai dengan kata-kata seperti itu, hendaklah dia menjawab: “Saya bukan Syakili dan bukan Qarfandi, tetapi saya adalah seorang muslim yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul.” (Juz 3:414)

Bahkan nama-nama yang muncul di kalangan kaum muslimin yang dikaitkan dengan nama Imam (fiqih), seperti pengikut Hanafi, Maliki, Syafi`I, dan Hambali; atau kepada syekh-syekh seperti Al-Qadiri, Al-Adawi, dan lainnya; atau nasab yang dikaitkan dengan suku seperti Qaisy dan Yamani; juga terhadap tempat-tempat seperti Asy-Syami, Al-Iraqi, dan Al-Mishri; maka tidak boleh seseorang menguji orang lain dengan sebutan-sebutan itu.

Demikian juga tidak boleh mengikat persahabatan atau memusuhi seseorang berdasarkan nama-nama tersebut. Karena makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa kepada-Nya, dari mana pun asal kelompoknya. (Juz 3:416)
Maka bagaimana mungkin umat Muhammad Saw diperbolehkan berselisih dan berpecah-belah yang membuat mereka berwala` kepada satu kelompok dan bermu`adah kepada kelompok lainnya hanya berdasarkan prasangka dan hawa nafsu tanpa bukti-bukti dalil dari Allah? Sedangkan Allah telah membersihkan Nabi-Nya dari perilaku seperti itu. Maka jelaslah perbuatan semacam itu termasuk bid`ah, seperti halnya Khawarij yang memisahkan diri dari jama`ah kaum muslimin dan menghalalkan darah kaum muslimin yang menentangnya. Adapun Ahli Sunnah Waljama`ah senantiasa berpegang teguh pada tali Allah, dan pantang elebihkan seseorang yang berperilaku menuruti kemauan hawa nafsu sementara yang lain lebih bertakwa darinya.
Bagaimana mungkin kita bisa membuat kelompok di tengah-tengah umat dengan nama-nama pembuat bid`ah, yang tidak berdasarkan KItabullah dan Sunnah Rasul?

Pengkotakan diantara umat, ulama-ulama, para syekh, para umara, dan para pembesar patut digolongkan sebagai musuh. Karena hal demikian meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, manakala manusia meninggalkan sebagian yang diperintahkan Allah, timbullah sikap permusuhan dan kebencian di antara mereka. Jika suatu kaum berpecah-belah, maka rusak dan binasalah mereka. Sedangkan jika mereka berjama`ah, selamat dan berkuasalah mereka. Maka jelas bagi kita jama`ah merupakan rahmat, sedangkan firqah adalah adzab (malapetaka).(Juz 3:419-421)

Ahli Sunnah beramal berdasarkan kesatuan hati dan kesamaan kalimat.
Ahli Sunnah Waljama`ah senantiasa beramal dalam kerangka kesatuan dan kerukunan serta cinta kebaikan bagi seluruh kaum muslimin. Mereka selalu memaafkan kesalahan dan kekeliruan manusia, menyerukan kebenaran, serta mendoakan manusia agar mendapat petunjuk, bimbingan, dan ampunan.
Mereka mengetahui sebagian tonggak-tonggak besar dalam ad-Din, yaitu kesatuan hati, kesamaan kalimat, dan kebaikan antar sesama. Allah Swt berfirman:
“Sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (Al Anfal 1)

Contoh nash-nash seperti itu memerintahkan pentingnya berjama`ah dan kerukunan, serta melarang adanya perselisihan dan perpecahan. Orang yang mengikuti prinsip ini tergolong ahlul jama`ah, dan yang keluar dari prinsip ini termasuklah ke dalam ahlul firqah. Sedangkan pengertian jama`us sunnah adalah mereka yang mentaati Rasulullah Saw.

Saya tidak suka jika orang Islam (mana pun) diganggu dan disakiti –apalagi dari sahabat kita sendiri- baik yang bersifat lahir maupun batin. Saya tidak suka seorang pun dari mereka dicela dan dimaki. Menurut pandangan saya, mereka itu harus dimuliakan, dihormati, dicintai, dan dihargai sesuai dengan ukuran masing-masing. Manusia tidak terlepas dari kemungkinan-kemungkinan sebagai:mujtahid yang benar, mujtahid yang salah dalam berijtihad, seorang yang berbuat dosa. Mereka yang pertama tentu akan mendapatkan pahala ijtihadnya sekaligus pahala kebenarannya (patut mendapat ucapan terima kasih); yang kedua akan mendapatkan pahala ijtihadnya dan dimaafkan kesalahannya, serta mereka mendapatkan ampunan; sedangkan yang ketiga, Allah akan mengampuni kita, mereka, dan seluruh orang beriman. Perlu diketahui, kita seharusnya saling tolong-mrnolong dalam kebaikan dan ketakwaan, wajib bagi kaum muslimin untuk membela sebagian lainnya dengan pembelaan yang sebenarnya.

Kami mencintai kebaikan bagi seluruh kaum uslimin, dan menginginkan setiap mukmin memperoleh kebaikan sebagaimana hal itu kami sukai buat kami sendiri. Kami menghendaki agar orang yang mempunyai maksud baik mensyukuri maksud baik mereka, dan yang suka beramal shaleh mensyukuri amalan mereka. Sedangkan bagi pelaku keburukan, kami memohon kepada Allah semoga dosa mereka diampuni. (Juz 28:50-57)

Ahli Sunnah meninjau permasalahan ilmiah dan amaliah dengan memperhatikan kerukunan dan kesatuan
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi`in, dan pengikut setelah mereka, ketika mengalami perselisihan pendapat dalam suatu masalah, mereka mengikuti perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(An Nisa 59)
Mereka saling memberikan pandangan dalam persoalan-persoalan ilmiah dan amaliah dengan memperhatikan keutuhan persatuan dan persaudaraan agama, serta terlindung dari kesalahan. (Juz 24:172)


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------