PERKARA-PERKARA
YANG DIPERSELISIHKAN DI KALANGAN
AHLI SUNNAH WALJAMA`AH
Oleh : Syaikh Abdul Hadi al Mishri, Penerjemah: Abu Fahmi (Imam Bukhari-Jatinangor), Buku sumber : Ahlussunnah wal Jama`ah, Ma`alim Inthilaqatul Kubra

Ahli Sunnah Waljama`ah menerima perbedaan ijtihad yang menyangkut beberapa perkara yang pernah diperdebatkan kaum Salaf, tanpa menuduh sesat terhadap oranng yang tidak sependapat. Kami sebutkan beberapa persoalan sebagai contoh:

Di antara Ahli Sunnah berselisih tentang Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, mana yang lebih utama diantara kedua sahabat itu, sedangkan perihal Abu Bakar dan Umar mereka sepakat menerimaya. Ada kelompok yang mendahulukan Utsman –sebagai khalifah pengganti Abu Bakar dan Umar- dan menomorempatkan Ali bin Abi Thalib, sementara sebagian yang lain diam. Sebagian kelompok lagi mendahulukan Ali bin Abi Thalib, dan sebagian lain tidak memberi komentar. Akan tetapi, Ahli Sunnah mendahulukan Utsman.
Masalah Utsman dan Ali bukan masalah prinsip yang dapat menyesatkan penentangnya, menurut jumhur Ahli Sunnah. Tetapi persoalan yang dapat menyesatkan penentangnya adalah mengenai Khilafah. Sebab Ahli Sunnah mengimani bahwa khalifah –setelah Rasulullah wafat- adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Maka barang siapa mengingkari kekhilafahan salah seorang dari mereka, dialah orang yang lebih sesat dari keledai piaraannya.(Juz 3:153)

Bagian kedua dari pembahasan ini adalah apa yang telah dikatakan oleh sebagian Salaf, sebagian ulama, atau sebagian manusia, yang dapat dikatakan benar sebagai objek ijtihad, atau sebagai madzhab bagi yang mengatakannya. Sekalipun masalah tersebut lebih banyak kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip Sunnah, namun jika ada sementara orang yang menentangnya tidaklah dihukum sebagai pembuat bid`ah. Sebagai contoh, masalah kenikmatan pertama yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Masalah ini menimbulkan perslisihan di kalangan Ahli Sunnah, namun hanya bersifat lafzhi. Sebab letak persoalannya adalah apakah kelezatan yang disusul kepedihan itu dapat disebut sebagai kenikmatan atau bukan.(Juz 3:386)

Aisyah Ummul Mukminin berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas dan para sahabat lainnya mengenai persoalan: Muhammad Saw melihat Rabbnya. Aisyah mengatakan bahwa barang siapa mengakui Muhammad Saw melihat Rabbnya, maka ia telah berdusta besar terhadap Allah. Sedangka jumhur umat mengikuti pendapat Ibnu Abbas, tetapi mereka tidak memvonis sebagian penentangnya- yang menyetujui Aisyah- sebagai pelaku bid`ah.
Aisyah juga mengingkari perihal orang yang mati dapat mendengar doa orang yang hidup. Ketika dikatakan kepadanya bahwa Nabi bersabda: “Kalian tidak lebih mendengar apa yang kukatakan daripada mereka,” maka Aisyah Ra berkata, “sesungguhnya beliau hanya mengatakan, `sesungguhnya mereka mengetahui sekarang bahwa apa yang aku katakana kepada mereka adalah benar.`” Meskipun deikian, tidak ada keraguan bahwa orang mati mendengar bunyi sandal, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits Rasulullah:”Tidaklah seseorang melewati kubur orang yang dikenalnya di dunia, lalu member salam kepadanya, melainkan Allah mengembalikan ruhnya hingga ia menjawab salam itu.” Hadits-hadits tersebut benar dari Rasulullah, tetapi Aisyah Ra menakwilkannya (semoga Allah ridha kepadanya)

Demikian juga dengan Mu`awiyah, ia meriwayatkan tentang mi`raj dengan mengatakan bahwa Nabi Saw melakukan mi`raj dengan ruhnya. Tetapi, orang-orang berpendapat lain dengannya. Abu Bakar dan Umar, sebagai pemimpin kaum muslimin, sering berbeda pendapat dalam banyak hal, tetapi yang mereka maksudkan adalah kebaikan. Ketika menghadapi Bani Quraidlah, Nabi bersabda kepada para sahabatya:”Janganlah seseoranng melakukan shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah.” Maka tibalah waktu ashar ketika mereka di perjalanan. Sebagian sahabat yang memegang ucapan tersebut tidak mengerjakan shalat ashar sampai habis waktunya. Tetapi sebagian yang lain mengatakan: “Nabi tidak menyuruh kita menta`khirkan shalat.” Dan mereka pun shalat diperjalanan. Ternyata, Nabi tidak mencela seorang pun dari kedua kelompok tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari jalan Ibnu Umar. Meskipun perselisihan semacam ini bukan erupakan prinsip penting, namun tetap digolongkan dalam masalah hukum.(Juz 24:172-174)

Kaum muslimin bersepakat bahwa barang siapa yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat tergolong kafir. Adapun mengenai amalan-amalan yang empat (shalat,zakat,puasa, dan haji –pen.), di atara mereka berselisih pendapat soal kafir tidaknya bagi yang meniggalkannya. Sedangkan yang kami maksud bahwa Ahli Sunnah sepakat tidak mengkafirkan seseorang yang berbuat dosa adalah dalam hal perbuatan maksiat seperti zina dan minum arak. Adapun dalam masalah mengkafirkan atau tidak bagi orang yang meninggalkan rukun Islam selain syahadat, masih terdapat perselisihan. (Juz 7:302)

Mereka pun berselisih mengenai batal tidaknya wudlu seseorang karena keluar darah disebabkan berbekam (canduk), luka, mimisan, atau muntah. Mengenai hal ini ada dua pendapat yang masyhur. Telah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berwudlu` disebabkan hal itu, demikian pula sebagian besar sahabat.. Namun, ada riwayat yang kuat (shahih) yang mengatakan bahwa Nabi mewajibkan berwudlu` karena hal itu.Bahkan pernah terjadi pada para sahabat dalam peperangan, mereka melakukan shalat tanpa wudlu` meskipun penuh darah dari luka-luka mereka. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa mengulangi wudlu` karena keluarnya darah adalah mustahab. Begitu pula mengenai memperbaharui wudlu` karena menyentuh kemaluan dan menyentuh wanita bukan mahrom dengan syahwat adalah terhukum mustahab bukan wajib. Demikian juga halnya dengan memperbarui wudlu` karena tertawa terbahak-bahak atau karena makan daging bakar, hal itu terhukum mustahab. Maka barang siapa berwudlu` akan lebih baik, dan bagi yang tidak melakukannya tidaklah menjadi soal.

Persoalan-persoalan seperti inilah yang sering muncul di kalangan kaum muslimin. Dan pemaparan beberapa kasus tersebut bukan bertujuan mengungkit-ungkit perselisihan, tetapi sekedar memberi gambaran.

Demikian juga banyak terjadi perselisihan dalam soal waris, seperti yang menyangkut hak seorang kakek, orang musyrik, dan lainnya. Juga dalam persoalan thalaq, ila`, shalat, puasa, dan haji. Perselisihan juga timbul dalam perkara ziarah kubur, di antara mereka ada yang menghukum makruh secara mutlak, ada pula yang membolehkannya. Di antara mereka ada juga yang membolehkan ziarah kubur jika disertai dengan ketetapan syari`at, inilah pendapat mayoritas.

Mereka pun berselisih tentang cara mengucapkan salam kepada Nabi Saw. Apakah mengucapkan salam kepadanya di masjid dengan menghadap kiblat atau menghadap kamar? Apakah berdiri mendoakannya setelah salam atau tidak perlu? Termasuk di dalamnya adalah perselisihan tentang masjid mana yang lebih utama : Masjidil Haram atau Masjid Nabawi? (Juz 35:358-360)


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------