Bag-8 : Apakah Ummat Ini Tanpa Kerajaan?
Dan di antara hadits yang menginformasikan tentang perkembangan persoalan tersebut bagi kaum muslimin adalah apa yang disebutkan dalam Abu Daud at Thoyalati. Dia berkata: Jarir bin Hazim telah menginformasikan kepada kami dari Laits dari Abdurrahman bin Tsabit dari Abi Tsa’labah al Khosyani dari Abi Ubaidah ibnul Jarrah dan Muadz bin Jabal dari Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt telah memulai perkara tersebut dari nubuwwah dan rahmat. Kemudian diganti menjadi sistem kerajaan yang zhalim. Kemudian diganti menjadi pemerintahan yang diktator terhadap rakyatnya, menghalalkan kebebasan seks, khamr dan sutera. Mereka menang atas itu dan mereka diberi rizki selamanya sampai menghadap Allah ‘Azza wa Jall.”
Dan di antara hadits yang membedakan antara khilafah dan kerajaan adalah apa yang diriwayatkan oleh al Hafizh Baihaqi dari hadits Abdullah ibnul Harits bin Muhammad bin Hatib al Jamahi dari Suhail bin Abi Shaleh dari ayahnya dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Setelah para nabi akan terdapat para khalifah. Mereka berbuat berdasarkan Kitabullah (al Qur’an) dan berlaku adil terhadap hamba-hamba Allah. Kemudian setelah para khalifah akan terdapat para raja,mereka banyak melakukan pembantaian, mengambil dan menimbun harta kekayaan (melakukan tindak korupsi), maka ubahlah dengan tanganmu, (kalau tidak bisa) ubnahlah dengan lisanmu, dan setelah itu tidak ada ima sedikit pun.” (Syama’ilur rasul oleh Ibnu Katsir : 382)
Dan di antara hadits yang menunjukkan bahwa Allah swt telah mensyari’atkan kepada kiat khilafah saja pada awal mulanya adalah apa yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dari hadits Syu’ban dari Qurob al Qozaz dari Abi Hazim dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw. Beliau bersabda:
“Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap nabi mereka meninggal diganti oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi setelah Aku. Namun akan ada para khalifah. Jumlah mereka banyak. mereka (para sahabat) bertanya: ‘wahai Rasulallah apa yang Engkau perintahkan kepada kami? (dalam hal ini)’
Beliau bersabda: tetapilah baiat yang pertama. Kemudian yang sesudah itu dan penuhilah hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka tentang kepemimpinan mereka.”
Ibnu Taimiyyah berpendapat dari hadits tersebut bahwa boleh memberikan gelar ‘khalifah’ setelah khulafa’urrasyidin sekalipun mereka adalah pra raja yang bukan pengganti nabi. Karena kalimat ‘jumlah mereka banyak’ menunjukkan ada selain khulafa’urrasyidin yang termasuk rasyidun (mengikuti jalan yang benar) namun jumlahnya tidak banyak. dan juga kalimat ‘tetapilah baiat yang pertama’ menunjukkan bahwa mereka itu berselisih. Sedangkan ar rasyidun tidak berselisih. Dan kalimat ‘penuhilah hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka tentang kepemimpinan mereka’ menunjukan tentang madzhab ahli sunnah dalam memenuhi hak umara’ dari harta dan rampasan perang.
Ibnu Taimiyyah berpendapat kembalinya persoalan tersebut adalah kepada para raj dan para wakilnya dari para wali, qodhi dan amir. Kelemahan yang ada bukanlah karena kelemahan mereka saja bahkan karena kelemahan yang ada pada pemimpin dan rakyatnya secara keseluruhan. Sebagaimana halnya kondisimu (sekarang) bahwa dia itu memimpinmu. Sedangkan Allah swt telah berfirman:
“Dan Demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An’am: 129)
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan apa yang diisyaratkan oleh hadits mengenai kerajaan setelah khilafah nubuwwah: “Di sini tujuanya adalah menjelaskan seluruh kebaikan dan kejelekan yang terjadi dalam pemerintahan setelah khilafah nubuwwah, dan bila dibiarkan (tidak dijelaskan) akan berbahaya. Hal itu disebabkan informasi tentang lenyapnya ‘khilafah nubuwwah’ mengandung aib bagi kerajaan. Apalagi di dalam hadits Abi Bakrah disebutkan aib untuk diimpikan, dan dia berkata: “Setelah khilafah nubuwwah kemudian Allah memberikan kerajaan kepada siapa saja yang dikehendaki.” Kemudian nash-nash yang mewajibkan untuk mengangkat imam dan amir dan tentang amal-amal shaleh yang mereka urus mengandung deduatu yang terpuji. Dan yang terpuji tersebut harus dipisahkan dari yang tercela. Dan mengenai hukum berkumpulnya dua perkara tersebut telah diriwayatkan dari Nabi saw. Sesungguhnya beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menawarkan pilihan padaku antara menjadi seorang hamba dan rasul dan menjadi seorang nabi dan raja. Lantas aku memilih untuk menjadi seorang hamba dan rasul.”
Apabila dalam hal tersebut pada asalnya adalah memadukan kekuasaan – dari pemerintahan, hukum dan kerajaan – apakah hal itu boleh pada asalnya sedangkan khilafah hanyalah sunnah? Ataukah tidak boleh kecuali karena keperluan yang diantaranya kurangnya ilmu atau kurang mampu (menggunakan sistem khilafah)? Hal itu tidak boleh pada asalnya bahkan wajib menegakkan dengan khilafah nubuwwah. Alasan kami adalah sabda Rasulullah saw;
“Barangsiapa di antara kamu hidup sepeninggalku, akan menyaksikan banyak perselisihan. Berpeganglah pada sunnahku dan khualafa’urrasyidin setelahku. Peganglah sunnah itu erat-erat. Takutlah kalian pada hal-hal yang diada-adakan (bid’ah) karena setiap bid’ah sesat.”
Hal itu merupakan perintah dan anjuran untuk berpegang pada sunnah dan para khalifah dan waspadalah terhadap hal-hal yang diada-adakan yang menyimpang dari padanya. Perintah dan larangan tersebut merupakan dalil yang jelas untuk menunjukkan wajibnya (khilafah). Dan karena Nabi saw memandang aib kerajaan setelah khilafah nubuwwah juga merupakan dalil bahwa hal itu mengandung arti meninggalkan sebagian dien yang wajib.
Orang-orang yang membolehkan sistem kerajaan beralasan dengan beberapa nash yang diantaranya perkataan Umar terhadap Muawiyah: “Jika kamu berkuasa (jadi raja), maka berkuasalah dengan baik, dan yang semisal dengan ini.” Ha itu perlu diselidiki dengan alasan bahwa Umar menyatakan kepada Muawiyah tatkala datang ke Syam tentang apa yang telah dilihatnya dari kebesaran kerajaan. Tatkala dilontarkan kepadaya tentang kemaslahatannya, Umar berkata: “Saya tidak melarang dan tidak menyuruhmu.” Dalam hal ini dikatakan: “Sesungguhnya Umar tidak melarangnya.” Bukan berarti ia mengijinkannya, karena Muawiyah menyebutkan segi kebutuhanya terhadap hal itu dan Umar tidak percaya dengan kebutuhan tersebut, jadilah ladang jihad.
Pendapat yang merupakan jalan tengah adalah:
Pertama, khilafah itu wajib namun boleh keluar darinya sesuai dengan kebutuhan.
Kedua, boleh menerima sistem kerajaan untuk mempermudah tercapainya tujuan dengan adanya kekuasaan tersebut dan tidak menyulitkannya.
Adapun sistem kerajaan mutlak, maka untuk menentukan hukumnya apakah wajib atau sunnah adalah merupakan ladang ijtihad. Persoalan yang pasti adalah: beralihnya sistem kekuasaan dari sistem khilafah menjadi kerajaan bisa jadi karena kelemahan ummat (tidak kuasa) terhadap sistem khilafah nubuwwah, atau karena ijtihadnya orang yang membolehkan (sistem kerajaan), sekalipun punya kemampuan terhadap hal itu baik secara ilmu maupun praktek, dalam hal ini bisa dimaklumi. Dan jika khilafah nubuwwah hukumnya wajib dengan syarat punya kemampuan, maka gugurlah (sistem khilafah tersebut) sebagaimana gugurnya seluruh kewajiban kalau tidak punya kemampuan. Sebagaimana halnya Raja Najasyi tatkala ia masuk Islam dan tidak mampu untuk menyatakan hal itu terhadap kaumnya. Bahkan Nabi Yusuf as, menyerupai hal tersebut dari salah satu segi, dan sistem kerajaan diperbolehkan untuk beberapa nabi seperti Daud, Sulaiman dan Yusuf. Dan jika punya kemampuan baik dari segi ilmu maupun praktek dan dia menganggap bahwa khilafah nubuwwah adalah sunnah (tidak wajib) dan memilih sistem kerajaan adalah boleh di dalam syari’at kita seperti diperbolehkannya pada syari’at selain kita. Maka anggapan tersebut apaiba benar, maka tiada dosa atas sistem kerajaan yang adil.
Dan lihatlah rincian (penjelasan) yang lain yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah di dalam Fatawanya. Ringkasan yang kami nukilkan darinya hanyalah untuk menjelaskan pokok persoalan tersebut.
Dan barangkali lebih cepat bila di akhir pembahasan ini kami sajikan beberapa ungkapan penting dan atsar yang mempertegas apa yang kita bahas yaitu disyari’atkannya khilafah terhadap ummat ini pada awal mulanya tanpa sistem kerajaan.

Pendapat Tsa’labi
Abul Fatah al Basatiy membenarkan pendapat saya dalam kitab “al Mabhaj: kerajaan adalah khilafah dari Allah terhadap hamba dan karunia-Nya. Dan sekali-kali tidak akan tegak khilafahnya bersama orang yang menentang-Nya.
Dan di dalam terjemah Abil Abdillah al Muqry at Til. Misalnya dari ‘Takmilatud Dibaj’ darinya bahwa dia berkata: saya ditanya oleh beberapa fuqora (orang-orang fakir) tentang jeleknya nasib kaum muslimin di dalam kerajaan mereka. Dimana mereka tidak dipimpin oleh orang yang benar-benar membimbing (memimpin) mereka. Bahkan mereka itu dipimpin oleh orang yang terpedaya oleh kehidupan dunia dan lalai dari kehidupan akhirat. Dia tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian. Maka saya jawab: Bahwa sistem kerajaan itu bukan sistem syari’at kita. Itu adalah syari’at orang-orang sebelum kita. Allah swt berfirman yang mengungkit terhadap Bani Israil: “Dia telah menjadikan kamu raja-raja.” Dan Dia berfirman: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Dan Dia berfirman juga: “(Sulaiman berkata): anugerahkanlah kepadaku kerajaan!” dan tidak disyari’atkan kepada kita kecuali sistem khalifah.
Dan Abu Bakar adalah seorang khalifah (pengganti Nabi saw) sebagaimana yang dipahami manusia tentang dia dan mereka bersepakat atas hal itu. Kemudian Umar diangkat menjadi khalifah. Dia keluar dari sistem kerajaan yang bisa diwariskan dari seorang bapak kepada anaknya menuju sistem khalifah yang melalui seleksi dan pemilihan. Kemudian ahli Syura bersepakat terhadap Utsman. Umar tidak mewariskannya kepada anaknya karena bukan sistem kerajaan. Kemudian setelah itu pilihan jatuh atas Ali lantas dia dibaiat oleh orang-orang yang mengutamakan kebenaran dari hawa nafsunya dan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Kemudian begitu juga Hasan.
Kemudain Muawiyah adalah orang yang pertama kali mengubahnya menjadi sisten kerajaan. Namun Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (terhadap Muawiyah). Kemudian (kekuasaan) menjadi barang warisan.
Dan Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah, karena Sulaiman[1] mengutamakan hak kaum muslimin. Dia tidak menyukai anak-anak ayahnya (saudara-saudaranya), seluruh masyarakat mengetahuinya. Tidak akan menegakkan sistem khalifah yang benar kecuali seorang, sedangkan para raja sebagaimana telah saya sebutkan jarang sekali bahkan biasanya kondisinya tidak menyenangkan.
Dan diantara ungkapan-ungkapan penting yang menjelaskan tentang kendali ketaatan terhadap ulil amri  adalah apa yang dikatakan oleh al Hafizh di awal kitab al ahkam dari al Fattah: “Dan diantara jawaban yang mengagumkan adalah ucapan sebagian tabi’in terhadap sebagian umara’ dari Bani Umayyah tatkala dikatakan kepadanya: bukankah Allah menyruhmu untuk taat kepadaku di dalam firman-Nya, “Dan Ulil Amri di antara kamu.” Maka dikatakan kepadanya: bukankah telah dicabut (ketaatan tersebut) dari kamu bila kamu menyimpang dari kebenaran? Dia berfirman: “Jika kalian berselisih dalam suatu persoalan maka kembalikanlah ini kepada Allah (al Qur’an) dan Rasul (sunnah) jika kalian benar-benar berilmu kepada Allah.”
Ath Thoyyibi berkata di dalam firman-Nya ‘Athi’urrasul’ yang artinya ‘taatilah rasul’ adalah mengembalikan fi’il kepada Rasul yang berarti menunjukkan tentang kemadirian Rasul dengan ketaatan. Dia tidak mengembalikan fi’il tersebut kepada ‘ulil amri’ yang menunjukkan bahwa diantara mereka (ulil amri) terdapat yang tidak wajib untuk ditaati. Kemudian hal itu dijelaskan dalam firma-Nya: “Jika kalian berselisih dalam suatu persoalan” yang seolah-olah dikatakan: “Dan jika mereka tidak bekerja dengan benar (menyimpang dari kebenaran) janganlah menaati mereka. Dan kembalikanlah persoalan yang kalian perselisihkan itu kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.[2]




[1] Sulaiman bin Abdul Malik. Raja sebelum khalifah Umar bin Abdul Aziz
[2] Lihat kitab “At Taratibul Idariyah” oleh Abdul Hayyi al Katami.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------