PENTINGNYA ILMU SYARI`AH DALAM KEHIDUPAN 
oleh Abu Fahmi Ahmad
 
Penjelasan dari As Sunnah:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Dari Mu’awiyyah ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa dikehendaki Allah akan beroleh kebaikan, diberinya pemahaman (ilmu) dalam agama” (HR Bukhori di dalam Kitab al ‘ilmu, 1/25-26, 4/49, 8/149. Muslim di dalam kitab Zakat, lihat 3/95, 6/53,54. Imam Ahmad 4/92-101, Turmudzi, dan Ibnu Majah, hadits ini dishohihkan menurut Al Bani di dalam serial hadits shohihnya, 3/191-194).

Di dalam hadits ini: menetapkan kebaikan bagi orang tafaqquh (memahami dan mendalami ilmu agama. Dan hal ini tidaklah terjadi semata-mata dengan pencarian, bahkan bagi orang yang dibukakan Allah untuk memperolehnya” (Fathul Bari: 1/164).

Berkata Imam Nawawi:
فيه فضيلة العلم، والتفقه في الدين والحثّ عليه، وسببه أنه قائد إلى تقوى الله تعالى
“Di dalam hadits ini terdapat fadhilah ilmu, tafaqquh fid dien dan dorongan tehadapnya, oleh sebab itu (tafaqquh fid dien) sebagai pemandu ke arah taqwa kepada Allah SWT. (Shohih Muslim, syarah Nawawi: 7/128).

Dari Abu Darda’ ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
من سلك طريقا يطلب فيه علما، سهّل الله له به طريقا من طرق الجنة، وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضا لطالب العلم، وإن العلم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض، والحيتان في جوف الماء، وإن فضل العالم على العباد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب. وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما، ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ الوافر
“Barangsiapa yang meniti jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan membuka jalan baginya tempat berlalu menuju syurga. dan sesungguhnya malaikat meletakkan kedua sayapnya sebagai bukti kerelaanya terhadap penuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang ‘alim itu akan dimintakan ampunan baginya oleh penduduk langit dan bumi, juga oleh ikan Yu yang berada di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan ilmu dibanding dengan seorang yang rajin beribadah (ritual) itu ibarat kelebihan bulan pada malam badar (bulan purnama) terhadap seluruh bintang. Dan sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan  sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka itu mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan itu (ilmu) berarti ia memperoleh limpahan kesempurnaan” (HR Abu Daud, 3641, Ibnu Majah 233, Turmudzi 2835, dishohihkan oleh Al Bany, Lihat shohih sunan Abu Daud 2/694, shohih Ibnu Majah 1/43, shohih Sunan Turmudzi 2/342).

Ibnu Jama’ah berkata:
واعلم أنه لا رتبة فوق رتبة من تشتغل الملائكة وغيرهم بالاستغفار والدعاء له، وتضع له أجنحتها
 “Ketahuilah bahwasanya tidak ada tingkatan di atas tingkatan dimana malaikat dan lainnya sibuk memintakan ampunan dan do’a kepada (penuntut ilmu), dan atasnya dinaungi malaikat dengan bentangan kedua sayapnya” (Tadzkirah As Saami’ wal mutakallim fi adab ‘l ‘Aalim wal muta’allim, hal. 8).

Hadits tesebut mengandung kabar gembira dan keindahan besar bagi penuntut ilmu, dan menerangkan kemampuan yang dimiliki oleh ulama dan kedudukannya yang tinggi. Ini jelas menunjukkan keutamaan ilmu, ketinggian martabatnya dan kedudukannya yang luhur lagi terhormat.

Penjelasan dari perkataan-perkataan salafush sholih

Dari Umar bin Khattab ra berkata:
تفقّهوا قبْل أنْ تسودوا
“Hendaklah kalian mendalami ilmu sebelum anda menjadi tua” (Ta’liq Bukhari, 1/165; Ad Darimi, 1/7; Ibnu ‘Abdi Barr, 186; Al Khotib al Badhdady dalam “al faqih wal mutafaqqah”, 2/78).
Ibnu Hajar menyebutkan banyak perkataan ulama tentang makna perkataan Umar bin Khattab -qabla an tasuuduu-.

ومنها قول أبي عبيد القاسم بن سلام رحمه الله حيث قال
Antara lain perkataan Abi ‘Ubaid al Qasim bin Salam, rahimahullah, ketika ia berkata:
يقول: تعلّموا العْم ما دمْتُم صغارا قبْلَ أنْ تصيروا سادَةً
“Pelajarilah olehmu ilmu mumpung kamu masih kecil sebelum kamu manjadi kuat (dewasa)” (Fathul Bari: 1/166).

Perkataan ini adalah cocok dengan terjemah Bukhari rahimahullah ketika ia mengomentari perkataan Umar bin Khattab ra:
(وبعد أن تسودا) وقد تعلم أصحاب النبي صلى الله عليه ويلم، في كِبَرِسِنِّهِمْ
(ba’da an tasuuduu) para sahabat nabi saw telah belajar pada usia mereka telah dewasa” (Fathul Bari: 1/165).
Ibnu Hajar berkata: Komentar Bukhari tentang perkataan Umar bin Khattab
-ba’da an tasuuduu- tidak lain adalah untuk menerangkan agar tidak terjadi salah paham bagi siapapun dari kalimat tersebut: bahwa usia dewasa itu menghalangi untuk bertafaqquh (menuntut ilmu agama). Yang dimaksud oleh Umar bin Khattab hanyalah menjadi salah satu sebab terhalangnya semangat ilmu” (Idem, 1/166).
Dan dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata:
أغد عالما أو متعلّما ولا تغد إمّعة بين ذلك
“Jadilah anda seorang ‘alim atau penuntut ilmu dan janganlah anda menjadi orang yang mengekor (tanpa ilmu) di antara itu” (Jaami’ Bayan ‘ilm wa fadllihi, oleh Ibnu ‘Abdi Barr: makna “al Imma’ah” adalah tidak mampu berpikir, yaitu mengikuti cara berpikir orang lain. “ha” di sini sebagai mubalaghah” (Lihat An Nihayah fi Gharib al hadist, 1/67).

Dan dari Kamil bin Ziyad: hawa Ali bin Abi Thalib ra berkata kepadanya: Hai Kamil, sesungguhnya hati ini adalah penampung muatan, maka sebaik-baik muatan isilah hati itu dengan kabaikan-kebaikan.
والناس ثلاثة: (1) فعالم ربّاني، (2) ومتعلّم على سبيل نجاة، (3) وهمجُ رعاعٌ، أتباع كلّ ناعق، لم يستضيئوا بنور العلم، ولم يلجأوا إلى رُكْنٍ وَثِيْقٍ
Dan manusia ada tiga golongan:Orang yg ‘alim rabbani, yang mengajarkan jalan keselamatan, rakyat jembel (yaitu yang) mengikuti setiap orang yang bersuara (mengeluarkan pendapat), tidak meneranginya dengan cahaya ilmu, dan tidak berlingdung kepada sandaran yang bisa dijadikan pegangan” (Jaami bayan ‘l ilm wa fadl-lihi, oleh Ibnu Abdi Barr: 1/29, lihat Al I’tisham, 2/358).

Dari Abu Hurairah ra katanya: Rasululah saw bersabda:
إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: إلا من صدقة جارية، أو ولد صالح يدعو له، أو علم نافع
“Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: orang yang banyak sedekah jariyah, meninggalkan anak shaleh yang mendo’akan kepadanya, atau ilmu yang manfa’at” (HR Muslim di dalam Kitab al Washiyyah nomor 1631, Abu Daud 2880, Turmudzi 1376, Imam Ahmad 2/372, Bukhori nomor 380.
Dan dalam riwayat lain Abi Qatadah ra dikatakan:

“Sebaik-baik yang ditinggalkan seseorang setelah matinya adalah tiga perkara: anak shaleh yang mendo’akan kepadanya, sedekah jariyah yang pahalanya mengalir kepadanya, dan ilmu yang dikerjakan oleh orang lain setelah sepeniggalnya” (Ibnu Majah di dalam Al Muqaddimah 241, disohihkan oleh Syekh Al Bany, lihat sohih sunan Ibnu Majah, 1/46).

Berkata Imam Nawawi rahimahullah: Di dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan sahnya harta yang diwakafkan dan besarnya pahala darinya, juga menjelaskan keutamaan ilmu dan dorongan untuk memperbanyak memperolehnya, dan keinginan yang kuat untuk mendapat warisannya dengan cara belajar. Dan bahwasanya yang diharapkan dari (hadits ini) adalah memilih ilmu-ilmu yang manfa’at (Shohih Muslim, Syarah Nawawi: 11/85).




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------