Malam Nishfu Sya’ban Sampai Akhir Bulan
Oleh : Muhamad Abduh Tuasikal, Riyadl Saudi Arabia

Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).

Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut:

Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20). Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)

Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan  menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)

Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)
Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144)

Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini  menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).

Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam Nishfu Sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya.

Ingatlah, para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. [Silakan lihat penilaian kelemahan beberapa hadits mengenai malam Nishfu Sya'ban di akhir pembahasan ini]

Adapun mengenai Shalat Alfiyah, apakah shalat ini adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam Nishfu Sya’ban?

Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada malam Nishfu Sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Babin Abul Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam Nishfu Sya’ban dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika datang tahun berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam Nishfu Sya’ban. Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)

Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.

Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)

Tentang Puasa Sunnah Setelah Pertengahan Sya’ban
Ada beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)

Dalam lafazh lain,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Dalam lafazh yang lain lagi,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga datang bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.

Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdurrahman bin  Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.
Al Atsrom mengatakan, “Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

At Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus). Bahkan Ath Thohawiy menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut.

Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)

Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:
Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)

Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan?

Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan.
Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyambungkan shalat wajib dengan shalat sunnah tanpa diselangi dengan salam atau dzikir terlebih dahulu. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)

Beberapa Hadits Lemah (Dho’if) dan Palsu (Maudhu’) di Bulan Sya’ban
[Hadits Pertama]
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni  dosa walaupun itu lebih banyak dari jumlah bulu yang ada di kambing Bani Kalb.” [Bani Kalb adalah salah satu kabilah di Arab yang punya banyak kambing]

Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Majah. At Tirmidzi mengatakan bahwa beliau mendengar Muhammad (yaitu Imam Bukhari) mendhoifkan hadits ini. (Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144)

[Hadits Kedua]
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا. فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila datang malam nishfu sya’ban, maka hidupkanlah malam tersebut dan berpuasalah di siang harinya. Karena ketika itu, Allah turun ke langit dunia pada malam tersebut mulai dari tenggelamnya matahari. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapa saja yang meminta ampunan, Aku akan mengampuninya. Siapa saja yang meminta rizki, aku pun akan memberinya. Siapa saja yang tertimpa kesulitan, Aku pun akan membebaskannya. Siapa pun yang meminta sesuatu, Aku akan mengabulkannya hingga terbit fajar”.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Sanad hadits ini adalah lemah, bahkan menurut Syeikh Al Albani adalah maudhu’ (palsu) karena di dalamnya terdapat perowi yang bernama Ibnu Abi Sabroh yang tertuduh sering memalsukan hadits sebagaimana dikatakan dalam At Taqrib. Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Ma’in juga berpendapat demikian yaitu Ibnu Abi Basroh sering memalsukan hadits. Sehingga Syeikh Al Albani berkesimpulan bahwa sanad hadits ini maudhu’ (palsu). (Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah, no. 2132)

[Hadits Ketiga]
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَانُ شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِي .
“Rajab adalah syahrullah (bulan Allah), Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku.”
Dalam Al Jami’ Ash Shogir (6839), Syeikh Al Albani mengatakan bahwa hadits  ini dho’if.

[Hadits Keempat]
من صلى ليلة النصف من شعبان ثنتى عشرة ركعة يقرأ في كل ركعة قل هو الله أحد ثلاثين مرة، لم يخرج حتى يرى مقعده من الجنة
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 12 raka’at, setiap raka’atnya membaca surat “Qul huwallahu ahad” sebanyak tiga kali, maka dia tidaklah akan keluar sampai dia melihat tempat duduknya di surga …”
Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)

Demikian pembahasan kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah selalu memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayib dan amalan yang diterima. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

------------------------------------------



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------