Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)
Malam
Nishfu Sya’ban Sampai Akhir Bulan
Oleh : Muhamad
Abduh Tuasikal, Riyadl Saudi Arabia
Sebagian
ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan
malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka
sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan
mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban
–dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam
tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan
malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah
suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).
Namun
bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan
khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu
(tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun,
mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha
(pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal
tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif
Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat
dengan beberapa alasan berikut:
Pertama,
tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu
Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang
shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan
dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri
Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Seorang
ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di
Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan,
“Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits
yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan
mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah
berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh
kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20). Begitu juga Syeikh Ibnu
Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah,
jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun
untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil
shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At
Tahdzir minal Bida’, 20)
Kedua,
ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan
menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut,
sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya
dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga
orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari
perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan
tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah,
296)
Ketiga,
adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka
tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja
mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini
dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran
kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus
dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil
dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat
Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)
Keempat,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ
مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ
بَيْنِ الأَيَّامِ
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya
untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk
berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1144)
Seandainya
ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih
utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama
daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari
hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya
matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at
dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa
malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di
dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir
minal Bida’, 28).
Syeikh
Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam Nishfu Sya’ban,
malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan
perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal
ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan,
tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut
pada kita umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya.
Ingatlah,
para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus
dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan
kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa
tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan
Rajab dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari
tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama
sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu
memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan
ini. [Silakan lihat penilaian kelemahan beberapa hadits mengenai malam Nishfu
Sya'ban di akhir pembahasan ini]
Adapun
mengenai Shalat Alfiyah, apakah shalat ini adalah suatu amalan yang dituntukan
ketika malam Nishfu Sya’ban?
Perlu
diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada malam Nishfu
Sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Babin Abul Hamroo’. Dia tinggal di
Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu
saat di malam Nishfu Sya’ban dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho.
Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi
tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut
di belakangnya bertambah banyak. Ketika datang tahun berikutnya, semakin banyak
yang shalat bersamanya pada malam Nishfu Sya’ban. Kemudian amalan yang dia
lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin,
sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al
Hawliyah, 299)
Lalu
kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini
dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas
sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at
dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang
dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.
Adapun
hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat
alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul
Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi
mengatakan, “Hadits yang membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan
lagi bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas
jalan dalam tiga jalur adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di
dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya
sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)
Tentang Puasa Sunnah Setelah Pertengahan Sya’ban
Ada
beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban.
Dari
Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ
تَصُومُوا
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud
no. 2337)
Dalam
lafazh lain,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ
فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa
sampai datang Ramadhan.”
(HR. Ibnu Majah no. 1651)
Dalam
lafazh yang lain lagi,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ
فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri
dari berpuasa hingga datang bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)
Sebenarnya
para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum
mengamalkannya.
Di
antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban,
Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang
menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.
Sedangkan
ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan
hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang
berpendapat demikian adalah ‘Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu
Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas
bertentangan dengan hadits,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ
يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua
hari berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh
mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.
Al
Atsrom mengatakan, “Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban
bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan
beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga
bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan.
Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan
hadits yang lebih kuat.”
At
Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh
Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus). Bahkan Ath Thohawiy
menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal
dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits
tersebut.
Namun
ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki
pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa
larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak
memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan
berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut
pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)
Puasa
Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ
يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua
hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka
berpuasalah.”
(HR. Muslim no. 1082)
Berdasarkan
keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban
ada tiga model:
Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan
puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas
terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa
Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas
ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang
mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban
dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di
antaranya adalah Al Hasan Al Bashri. Namun yang tepat dilihat apakah puasa
tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna
tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah
kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun
jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy
Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)
Kenapa
ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan?
Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah
dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari
berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan.
Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan
memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang
disyariatkan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
menyambungkan shalat wajib dengan shalat sunnah tanpa diselangi dengan salam
atau dzikir terlebih dahulu. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)
Beberapa
Hadits Lemah (Dho’if) dan Palsu (Maudhu’) di Bulan Sya’ban
[Hadits
Pertama]
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ
لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ
لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan
mengampuni dosa walaupun itu lebih banyak dari jumlah bulu yang ada di kambing
Bani Kalb.” [Bani Kalb adalah salah satu kabilah di Arab yang punya banyak
kambing]
Hadits
ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Majah. At Tirmidzi mengatakan bahwa
beliau mendengar Muhammad (yaitu Imam Bukhari) mendhoifkan hadits ini. (Lihat As
Silsilah Ash Shohihah, no. 1144)
[Hadits
Kedua]
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ
مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا. فَإِنَّ اللَّهَ
يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ
مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ
مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila
datang malam nishfu sya’ban, maka hidupkanlah malam tersebut dan berpuasalah di
siang harinya. Karena ketika itu, Allah turun ke langit dunia pada malam
tersebut mulai dari tenggelamnya matahari. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Siapa saja yang meminta ampunan, Aku akan mengampuninya. Siapa saja
yang meminta rizki, aku pun akan memberinya. Siapa saja yang tertimpa kesulitan,
Aku pun akan membebaskannya. Siapa pun yang meminta sesuatu, Aku akan
mengabulkannya hingga terbit fajar”.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Sanad hadits ini adalah lemah, bahkan menurut
Syeikh Al Albani adalah maudhu’ (palsu) karena di dalamnya terdapat
perowi yang bernama Ibnu Abi Sabroh yang tertuduh sering memalsukan hadits
sebagaimana dikatakan dalam At Taqrib. Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu
Ma’in juga berpendapat demikian yaitu Ibnu Abi Basroh sering memalsukan hadits.
Sehingga Syeikh Al Albani berkesimpulan bahwa sanad hadits ini maudhu’
(palsu). (Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah, no. 2132)
[Hadits
Ketiga]
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَانُ شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ
شَهْرُ أُمَّتِي .
“Rajab
adalah syahrullah (bulan Allah), Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah
bulan ummatku.”
Dalam
Al Jami’ Ash Shogir (6839), Syeikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini dho’if.
[Hadits
Keempat]
من صلى ليلة النصف من شعبان ثنتى عشرة
ركعة يقرأ في كل ركعة قل هو الله أحد ثلاثين مرة، لم يخرج حتى يرى مقعده من الجنة …
“Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 12 raka’at, setiap
raka’atnya membaca surat “Qul huwallahu ahad” sebanyak tiga kali, maka dia
tidaklah akan keluar sampai dia melihat tempat duduknya di surga …”
Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)
Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)
Demikian
pembahasan kami mengenai panduan amalan di bulan Sya’ban. Semoga apa yang kami
suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah selalu
memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayib dan amalan yang
diterima. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
------------------------------------------
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------