Hukum Mengambil Upah Ruqyah
Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA.
Pendahuluan
Alhamdulillah,
segala puji semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.
Merawat kesehatan dan pengobatan
penyakit adalah salah satu kebutuhan primer setiap manusia. Bahkan seringkali
begitu pentingnya kebutuhan ini, dalam banyak kesempatan, Anda lebih
mandahulukannya dibanding kebutuhan primer lainnya, sehingga Anda rela
mengeluarkan biaya yang begitu besar. Semua itu demi menjaga dan mengembalikan
kesehatan Anda.
Inilah yang menyebabkan banyak pihak
dengan mudah memanfaatkan kesusahan Anda untuk mengeruk keuntungan yang
melimpah ruah. Setiap orang yang merasa memiliki keahlian dalam perawatan dan
pengobatan kesehatan, berlomba-lomba memasang tarif tinggi untuk perawatan atau
pengobatan yang mereka tawarkan. Tanpa terkecuali sebagian orang yang merasa
memiliki keahlian dalam pengobatan dengan metode "ruqyah" atau
jampi-jampi dengan bacaan Al Qur'an dan doa'-doa'.
Hukum Upah Ruqyah.
Secara prinsip, tidak ada larangan
bagi Anda untuk mengampil upah dari jasa menjampi-jampi saudara Anda yang
menderita sakit. Bahkan dapat disimpulkan, bahwa seluruh ulama' sepakat bahwa
upah "jampi-jampi" adalah halal. Kesepakatan ulama' ini berdasarkan
beberapa dalil berikut:
Dalil pertama :
Sahabat Abu Said Al Khudri radhiallahu
'anhu mengisahkan bahwa ia bersama sebagian sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melintasi satu kabilah Arab Badui, dan ternyata mereka
enggan untuk memberikan jamuan. Di saat para sahabat Nabi sedang beristirahat,
tiba-tiba kepala suku penduduk kampung tersebut disengat oleh binatang berbisa.
Tak ayal lagi, penduduk kampung tersebut berupaya sekuat tenaga untuk mengobati
kepala suku mereka. Akan tetapi, upaya yang mereka lakukan semuanya sia-sia,
tidak mendatangkan hasil. Akhirnya mereka menjumpai para sahabat yang sedang
beristirahat dan berkata, “Adakah bersama kalian obat atau seorang yang ahli
menjampi-jampi?” Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para sahabat untuk
membalas perilaku penduduk kampung yang tidak simpatik terhadap mereka. Para
sahabat berkata, “Sesungguhnya kalian tidak sudi menjamu kami, maka sekarang
kami pun tidak sudi untuk menjampi-jampinya kecuali jika kalian memberi kami
upah.” Tanpa menunda panjang, mereka pun setuju dan menjanjikan upah beberapa ekor
kambing.
Akhir kisah, setelah disepakati upah
yang dijanjikan, sebagian sahabat, yaitu Abu Sa'id Al Khudri menjampi-jampinya
dengan bacaan Al Fatihah sebanyak tujuh kali. Tanpa butuh waktu yang lama,
kepala suku itu segera sembuh seakan terbebas dari belenggu yang melilit
tubuhnya.
Setelah upah berupa beberapa ekor
kambing diterima, segera sebagian sahabat mengusulkan agar upah itu dibagi
merata di antara mereka. Akan tetapi Abu Sa'id tidak menerima usulan ini, dan
berkata, “Janganlah kalian terburu-buru untuk membaginya, hingga kita
menanyakan perihal upah ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Setiba mereka di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
segera mereka menceritakan perihal upah tersebut. Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menanggapi kisah mereka dan upah yang mereka dapat dengan
bersabda, "Dari mana engkau mengetahui bahwa surat Al Fatihah dapat
dijadikan untuk menjampi-jampi? Kemudian beliau melanjutkan sabdanya dengan
berkata: kalian telah berbuat benar, bagilah upah itu, dan sertakan aku dalam
pembagian upah yang kalian dapatkan." (Muttafaqun 'alaih) Pada riwayat
lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Sesungguhnya
hal yang paling layak untuk engkau pungut upah atasnya ialah kitabullah".
Imam An Nawawi berkata: "Pada
hadits ini terdapat penegasan bolehnya mengambil upah dari menjampi-jampi
dengan bacaan Al Fatihah dan bacaan dzikir lainnya. Upah ini halal, dan tidak
makruh. Demikian juga halnya dengan upah mengajarkan Al Qur'an. Inilah pendapat
yang dikemukakan oleh Imam As Syafi'i, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan
ulama' terdahulu lainnya. Adapun Imam Abu Hanifah melarang upah dari
mengajarkan Al Qur'an dan membolehkan upah menjampi-jampi." (Syarah
Shahih Muslim oleh Imam An Nawawi14/188)
Ibnu Hajar Al Asqalani juga menarik
kesimpulan yang sama dengan yang ditegaskan oleh Imam An Nawawi. Beliau
berkata, "Pada hadits ini terdapat penegasan bolehnya mengambil upah
dari menjampi-jampi dengan bacaan Al Qur'an dan juga bacaan dzikir dan doa
lainnya yang telah diajarkan atau tidak diajarkan, asalkan tidak menyelisihi
bacaan yang telah diajarkan." (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani
4/457)
Dalil kedua:
Sahabat 'Ilaqah bin Shahhar radhiallahu
'anhu mengisahkan bahwa ia melintasi suatu kaum, dan mereka berkata
kepadanya, “Sesungguhnya engkau datang dari sisi Nabi Muhammad dengan membawa
sesuatu yang baik (Al Qur'an dan bacaan dzikir), maka harap engkau sudi
menjampi orang ini.” Mereka segera mendatangkan seorang gila yang telah mereka
ikat kuat-kuat. Sahabat 'Ilaqah pun menjampi-jampinya dengan bacaan Al Fatihah
selama tiga hari, setiap pagi dan petang. Setiap ia usai membaca Al Fatihah, ia
meludahi orang gila tersebut. Setelah berlalu tiga hari, orang gila itu kembali
sehat, seakan terbebas dari belenggu. Sebagai imbalannya, mereka memberi
sahabat 'Ilaqah suatu pemberian.
Sepulangnya, sahabat 'Ilaqah segera
mengisahkan perihalnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
beliau menanggapi kejadian ini dengan bersabda,"Nikmatilah upahmu, bila
sebagian orang sungguh mendapatkan upahnya dengan bacaan jampi-jampi yang
batil, maka engkau sungguh telah mendapatkannya dengan bacaan yang benar."
(HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini
shahih).
Pada hadits ini dengan jelas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan sahabat 'Ilaqah radhiallahu 'anhu
untuk memakan upah yang ia terima. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapa
pun untuk mengharamkan upah hasil menjampi-jampi.
Dalil ketiga:
Ibnu Qudamah mengutarakan alasan
ketiga dibolehkannya mengambil upah dari menjampi-jampi dengan bacaan Al Qur'an
atau doa, "Jampi-jampi (ruqyah) adalah pengobatan salah satu bentuk
pengobatan, .... sedangkan pengobatan adalah pekerjaan yang halal untuk
dipungut upah atasnya." (Al Mughni 8/139)
Beberapa Peringatan Penting
Penjelasan di atas tentang bolehnya
mengambil upah dari menjampi-jampi dengan bacaan Al Qur'an, bukan berarti Anda
bebas memasang tarif layanan sesuka hati Anda. Tidak dipungkiri, orang-orang
yang menyediakan layanan pengobatan alternatif sering kali memasang tarif yang
tinggi, tanpa terkecuali sebagian ustadz yang melayani pengobatan dengan
"jampi-jampi" alias ruqyah.
Dari mencermati keterangan para
ulama', Anda dapat menyarikan beberapa ketentuan penting, agar upah layanan ruqyah
halal untuk Anda miliki.
1- Jampi-jampi Dengan Bacaan Al Qur'an atau Dzikir Atau Doa
yang dibenarkan.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, "Nikmatilah upahmu, bila
sebagian orang sungguh mendapatkan upahnya dengan bacaan jampi-jampi yang
batil, maka engkau sungguh telah mendapatkannya dengan bacaan yang benar."
Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits
shahih.
Fakta di lapangan, membuktikan
betapa banyak orang yang menjampi-jampi dengan bacaan yang berbau syirik,
kultus khurofat, dan bahkan bacaan yang tidak diketahui apa artinya.
Ibnu Hajar al Asqalani menegaskan, "
Ulama' telah bersepakat tentang bolehnya pengobatan dengan bacaan ruqyah,
bila memenuhi tiga persyaratan. Hendaknya bacaan ruqyah menggunakan kalamullah,
atau nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan bahasa arab atau dengan bahasa lain
yang dapat dipahami artinya. Dan hendaknya diyakini bahwa bacaan ruqyah
tidaklah dapat dengan sendirinya mendatangkan kesembuhan. Kesembuhan hanyalah
diperoleh atas karunia Allah Ta'ala. (Fathul Bari oleh ibnu Hajar Al Asqalani
10/195)
Karena itu, dahulu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengoreksi bacaan-bacaan ruqyah yang telah beredar
di masyarakat, sebagaimana yang dikisahkan oleh sahabat Auf bin Malik Al
Asyja'i radhiallahu 'anhu,
قَالَ كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ
فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ ( اعْرِضُوا
عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ) رواه مسلم
“Kami biasa melakukan ruqyah pada
masa jahiliyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, 'Ya Rasulullah! bagaimana pendapat Anda tentang ruqyah? ' Jawab beliau,
'Peragakanlah ruqyahmu itu di hadapanku. Mantera itu tidak ada salahnya selama
tidak mengandung syirik” (HR. Muslim)
Selain bacaan jampi-jampinya selaras
dengan syari'at, jauh dari mistik, syirik, khurafat, tahayul dan lain-lain,
metode ruqyah-nya haruslah benar. Bila Anda amati praktek ruqyah
sebagian orang, niscaya Anda akan keheranan, dari manakah asal usul cara ruqyah
mereka. Sebagian mereka mengesankan kepada Anda, bahwa mereka berhasil
menangkap jin, atau menggiring jin masuk ke dalam botol dan masih banyak lagi
metode yang aneh dan jauh dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2- Jujur.
Sebagian orang secara lahir
mengesankan kepada pasiennya bahwa ia memberikan layanan secara gratis atau
murah. Demikian nampak secara sekilas. Akan tetapi di belakang itu semua, ia
menjual kepada Anda berbagai ramuan dengan harga yang luar biasa mahalnya.
Sudah barang tentu, Anda merasa sungkan untuk menolak atau menawar ramuan
tersebut dengan harga yang sepantasnya.
Kadang kala, sebagian orang yang
membuka layanan ruqyah mengesankan kepada calon pasiennya bahwa ia telah
berpengalaman, dengan harapan, agar pasien rela memberinya upah lebih.
Bila ini terjadi, maka keuntungan
atau upah ruqyah yang diperoleh dengan cara semacam ini tidak halal untuk
dinikmati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Tidaklah
halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya". (HR.
Ahmad, Ad Daraquthny, dan Al Baihaqi. Al Hafizh Ibnu Hajar dan Syaikh Al Albany
menyatakan bahwa hadits ini shahih).
3- Kesembuhan Hanyalah Kuasa Allah
Ta'ala.
Di antara prinsip dasar akidah Islam
ialah meyakini bahwa kekuasaan mengatur alam semesta hanyalah milik Allah,
tidak terkecuali urusan sakit dan kesembuhan. Allah Ta’ala berfirman, "Dan
apabila aku sakit, maka Dialah Yang menyembuhkan aku". (QS. As
Syu'ara' 80)
Tidak heran, bila di antara bacaan ruqyah
yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, “Adzhibil
baasa Robban Naasi, isyfi wa antasy syaafi, laa syifaa-a illa syifaa-uka, syifaa-an
laa yughodiru saqoman” [Sirnakanlah keluhan wahai Tuhan seluruh manusia,
sembuhkanlah dia, karena Engkaulah Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan
kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan rasa sakit]. (Muttafaqun
'alaih).
Karenanya, di antara tanggung jawab
moral orang yang membacakan ruqyah adalah menjelaskan hal ini kepada
pasiennya.
Prinsip keimanan ini tentu
menyelisihi ulah sebagian orang yang mengesankan bahwa ia kuasa menyembuhkan
dan menolak penyakit sebelum datang dari pasiennya. Bila hal ini terjadi, maka
dapat mempengaruhi status kehalalan upah yang ia peroleh. Sebab anda pasti
setuju dengan saya bahwa sikap semacam ini termasuk penipuan dan pembodohan
terhadap masyarakat.
Penutup:
Saudaraku! Kisah berikut sudah
sepantasnya menjadi cerminan bagi Anda, terlebih-lebih bila Anda yang memiliki
keahlian dalam pengobatan dan perawatan kesehatan.
Sahabat Jabir bin Abdillah
mengisahkan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
kami dari mengobati orang sakit dengan bacaan ruqyah. Lalu pada suatu hari
keluarga Amer bin Hazem menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami memiliki bacaan
ruqyah yang kami gunakan untuk menjampi orang yang disengat kalajengking. Akan
tetapi sekarang engkau melarang pengobatan dengan bacaan ruqyah.
Selanjutnya mereka menunjukkan
bacaan ruqyah mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah mengetahui bacaan ruqyah tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku tidak menemukan hal yang bermasalah (pada bacaan
ruqyah kalian). Barang siapa dapat membantu saudaranya, hendaknya ia
melakukannya." (HR. Riwayat Muslim)
Anda bisa renungkan, betapa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa pasien yang Anda layani adalah
saudara Anda. Dengan demikian, tidaklah layak, bila Anda hanya memikirkan
keuntungan pribadi dari layanan pengobatan yang Anda berikan. Hubungan antara
tenaga medis dan pasien adalah hubungan persaudaraan yang dilandasi oleh iman
dan ketakwaan. Betapa indah dan harmonisnya tatanan masyarakat Islam bila hal
ini benar-benar terwujud di tengah-tengah mereka. Wallahu Ta'ala a'alam. (*)
Sumber: Majalah Cetak Pengusaha
Muslim Indonesia
27/06/2013 •oleh: Ust. Dr. Muhammad
Arifin Badri •
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------