03 Sep 2013
Bagi yang ingin menunaikan haji, perlu sekali mengetahui dan membekali diri dengan ilmu
ini. Karena ada yang tidak menyadari bahwa ia telah melakukan pelanggaran ihram
dan mesti menunaikan fidyah. Dan ada pula yang tidak mengetahui apa saja yang
menjadi kewajiban saat ia berhaji, di mana jika ditinggalkan wajib menunaikan
damm.
Secara jelasnya, kami dapat merinci
fidyah bagi orang yang berhaji sebagai berikut:
1-
Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong
kuku, memakai harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakain
berjahit yang membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan,
menutup rambut kepala, dan memakai niqob bagi wanita.
Bentuk fidyah dari setiap
pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:
Menyembelih satu ekor kambing
Memberi makan kepada enam orang
miskin
Berpuasa selama tiga hari
2-
Fidyah karena meninggalkan wajib haji yaitu melempar jumroh, mabit di
Muzdalifah, mabit di Mina, thowaf Wada’, berihram dari miqot.
Bentuk fidyah dari meninggalkan
wajib haji adalah kewajiban damm, yaitu menyembelih satu ekor kambing.
Jika tidak mendapati, maka berpuasa sebanyak sepuluh hari, yaitu tiga hari saat
haji dan tujuh hari saat kembali ke negerinya. Jika berpuasa saat haji tidak
mampu, maka boleh berpuasa dengan tujuh hari tadi di negerinya.
3- Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat.
Bentuk fidyahnya adalah memilih
salah satu dari tiga hal:
Menyembelih hewan yang semisal, lalu
memberi makan kepada orang miskin di tanah haram.
Membeli makanan (dengan harga
semisal hewan tadi), lalu memberi makan setiap orang miskin dengan ½ sho’
(2 mud, sekitar 1,5 kg).
Berpuasa setiap satu makanan yang
diberikan kepada orang miskin senilai satu hari puasa. Misal kewajiban memberi
makan dari hewan sembelihan tadi disalurkan pada 10 orang miskin, maka berarti
puasanya selama 10 hari.
4- Fidyah damm bagi yang menjalani
manasik tamattu’ dan qiron.
Bentuk fidyahnya yaitu menunaikan hadyu
dengan menyembelih (dzabh) kambing atau sapi, atau melakukan nahr
(penyembelihan pada unta). Jika tidak mampu, maka berpuasa selama sepuluh hari
yaitu tiga hari saat haji dan tujuh hari saat kembali ke negerinya.
5- Fidyah muhshor, yaitu terhalang tidak bisa menyelesaikan ibadah haji atau umroh, baik karena dihadang musuh, karena
kecelakaan, karena kemataian mahrom (suami atau istri) atau karena lainnya yang
membuat seseorang terpaksa tidak bisa melanjutkan hajinya. Orang yang terhalang
itu disebut muhshor. Ia boleh bertahallul tidak melanjutkan ibadahnya
setelah menyembelih hadyu (seekor kambing). Jika tidak didapati, maka
diganti dengan berpuasa selama sepuluh hari, yaitu tiga hari saat haji dan
tujuh hari ketika kembali ke negerinya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ
الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji
dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena
sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya.” (QS. Al
Baqarah: 196). Jika ia terhalangi dan tidak bersabart, maka ia menyembelih
hadyu, lalu menggundul rambut kepala, lalu bertahallul. Jika haji tersebut,
haji yang wajib, maka ia harus mengulangi hajinya, begitu pula dengan umroh.
Namun jika haji atau umrah sunnah, maka tidak ada kewajiban untuknya.
6- Fidyah jima’ (hubungan seksual suami istri) sebelum tahallul
awwal dan melakukan perbuatan yang mengantar pada jima’.
Hajinya tidaklah sah namun tetap
harus diselesaikan hingga tuntas ditambah menunaikan fidyah. Bentuk fidyahnya
adalah menyembelih unta. Jika tidak didapati, maka berpuasa selama sepuluh
hari, yaitu tiga hari saat haji dan tujuh hari ketika kembali ke negerinya.
Semoga Allah senantiasa
menganuriakan pada kita ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Al Hajj Al Muyassar, Sholeh bin Muhammad bin Ibrahim As Sulthon, terbitan
Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H.
Al Hajj wal ‘Umroh, Prof. Dr. ‘Abdullah bin Muhammad Ahmad Ath Thoyyar,
terbitan Madarul Wathon, cetakan ketujuh, 1431 H.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud,
Riyadh, KSA, 22/11/1433 H
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------