Artikel www.muslim.or.id
Amalan-Amalan Aneh menjelang dan selama Bulan Ramadhan
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, (Mahasiswa S-2 di Universitas
Ibnu Sa`ud Saudi)
Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan
Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin.
1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah
waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan
“nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita
semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika
seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa
menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh
suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal
ini.
2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan
Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini
juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan
“padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam
satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak
mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan
yang bisa mendatangkan murka Allah?!
3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak
memakai kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula memakai hisab (dalam penetapan
bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan
seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal
ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at ini telah melarang
mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan
bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya
suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan
ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang
menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari,
6/156)
4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari
Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ
يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau
dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa
pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari
tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ
صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah
mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR.
Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih
wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…”
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk
melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya dasar dari perintah atau
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para
sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah
–ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ
إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ
خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat
adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak
terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin,
I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)
6. Membangunkan “Sahur … Sahur”
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk
menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum
adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk
menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu kaum
muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan
berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin
dengan meneriakkan “sahur … sahur ….” baik melalui speaker atau pun
datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini
sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini.
Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan
pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua
untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah
cukup bagi kalian.” (Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah,
hal. 334-336)
7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit
sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh
pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi
kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud,
Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani
mengatakan hadits ini hasan shahih). Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak
(menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu
ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah
makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, “Berapa
lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar
50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur
dan iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat
dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10
atau 15 menit)
8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika
Aamantu…”
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka
semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus
Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun
hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di
antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar
hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah
dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar
yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,
ذَهَبَ
الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya
Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala
telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan
hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
9. Dzikir Jama’ah Dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat
Lima Waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala
menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak diperbolehkan para jama’ah
membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang
membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir
secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya
dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189)
10. “Ash Sholaatul Jaami’ah…” untuk Menyeru Jama’ah dalam
Shalat Tarawih
Ulama-ulama Hambali berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk
memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah…” Menurut
mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)
11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis
untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi.
Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun
seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
12. Perayaan Nuzulul Qur’an
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan
oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,
لَوْ
كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat)
sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para
ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para
sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera
melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al
Ahqof ayat 11)
13. Membayar Zakat Fithri dengan Uang
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya
mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh
bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan
padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-
akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan
uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah
(ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling
bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang
membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana
perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil
(sampai pada kita).” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)
14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Hari Raya kepada
Pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan,
“Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat (tentang penetapan 1
Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri
tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan
yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa
no. 388)
Demikian beberapa kesalahan atau kekeliruan di bulan Ramadhan
yang mesti kita tinggalkan dan mesti kita menasehati saudara kita yang lain
untuk meninggalkannya. Tentu saja nasehat ini dengan lemah lembut dan penuh
hikmah.
Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan
diri dari hal yang tidak diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan. Semoga
Allah memperbaiki keadaan setiap orang yang membaca risalah ini.
Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi
wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------