LIBERALISME DAN FEMINISME
Penulis: Tiar Anwar
Bachtiar
(Mahasiswa S3 Sejarah – Universitas Indonesia)
Gerlombang
liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh
dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah
berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah
satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang
salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat
telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan
membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana
gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?
Gerakan perempuan di
Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi
surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella,
Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini
menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka,
menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini
dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan
harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi
wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun
didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini.
Dalam surat-suratnya,
Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita
seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua
setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang,
sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati
Rembang.
Atas pengalaman yang
dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus
bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini
bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi
pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri
mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.”
(Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).
Sampai pada titik ini,
pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun
akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini
rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah,
punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan
sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan
dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani.
Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama
Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai
seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak
dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak
terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan
beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon
dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat
bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini
diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru.
Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan
menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…”
(Surat-Surat Kartini, hal. 348).
***
Mencermati perjalanan
hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran
feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa
yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir
dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah
mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak
seperti yang diajarkan para feminis.
Pertanyaan ini tidak akan
pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan
dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia
seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak
Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide
politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus
wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Selain karena arus wacana
politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan
menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak
bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan
perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan
liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda
ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan
liberal.
Pengaruh feminis yang
paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya
sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding
teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari
orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis
feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan
dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah
wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata
berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada
abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul
dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di
atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini
sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi
laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam
pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri
tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan
sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah
melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan
pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon,
Menteri Agama, Pengajaran,
dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini,
menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat.
Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal)
di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal
seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung
Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia,
namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah
sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia
yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki
perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.
Penulis: Tiar Anwar
Bachtiar
(Mahasiswa S3 Sejarah – Universitas Indonesia)
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------