Sebelas Tanda Khusnul Khatimah
(oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq
Al-Atsariyyah)
Meninggalkan dunia yang fana ini
dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan yang beriman,
karena hal itu sebagai bisyarah, kabar gembira dengan kebaikan untuknya.
Al-Imam Al-Albani Rahimahullah menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah dalam
kitabnya yang sangat bernilai Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha.
Berikut ini kami nukilkan secara
ringkas untuk pembaca yang mulia, disertai harapan dan doa kepada Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan
husnul khatimah dengan keutamaan dan kemurahan dari-Nya. Amin!
Pertama: mengucapkan syahadat ketika
hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin
Jabal Radhiyallaahu ‘anhu, ia menyampaikan dari Shallallaahu ‘alaihi
wasallam:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang akhir ucapannya adalah
kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya
dengan sanad yang hasan1)
Kedua: meninggal dengan keringat di
dahi.
Buraidah ibnul Hushaib Radhiyallaahu
‘anhu ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya
saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun
berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ
“Meninggalnya seorang mukmin dengan
keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas
syarat Al-Bukhari)
Ketiga: meninggal pada malam atau
siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin
‘Amr Radhiyallaahu ‘anhu, beliau menyebutkan sabda Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ
الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidak ada seorang muslimpun yang
meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya
dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi. Hadits ini memiliki syahid dari
hadits Anas, Jabir bin Abdillah g dan selain keduanya, maka hadits ini dengan
seluruh jalannya hasan atau shahih)
Keempat: syahid di medan perang. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb
mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan
karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap
orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan
Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan
karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171)
Dalam hal ini ada beberapa hadits:
1. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ
دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ،
وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا
مِنْ أَقَارِبِهِ
“Bagi orang syahid di sisi Allah ia
beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya,
diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari
kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan
dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada
tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Ahmad dengan sanad yang shahih)
2. Salah seorang sahabat Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai
Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur
mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau Shallallaahu ‘alaihi
wasallam menjawab:
كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً
“Cukuplah kilatan pedang di atas
kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
Kelima: meninggal di jalan Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala.
Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu
menyampaikan sabda Rasulullah n:
مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي
إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ
فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ
شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي
الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terhitung syahid menurut
anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di
jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari
kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan
mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa
yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan
Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia
syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa
yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)
Keenam: meninggal karena penyakit
tha’un. Selain disebutkan dalam hadits di
atas juga ada hadits dari Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“Tha’un adalah syahadah bagi setiap
muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Aisyah Radhiyallaahu ‘anha pernah
bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang tha’un, maka
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepadanya:
إِنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلىَ مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ
اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ
فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا
كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Tha’un itu adalah adzab yang Allah
kirimkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka Allah jadikan tha’un itu sebagai
rahmat bagi kaum mukminin. Siapa di antara hamba (muslim) yang terjadi wabah
tha’un di tempatnya berada lalu ia tetap tinggal di negerinya tersebut dalam
keadaan bersabar, dalam keadaan ia mengetahui tidak ada sesuatu yang menimpanya
melainkan karena Allah telah menetapkan baginya, maka orang seperti ini tidak
ada yang patut diterimanya kecuali mendapatkan semisal pahala syahid.” (HR.
Al-Bukhari)
Ketujuh: meninggal karena penyakit
perut, karena tenggelam, dan tertimpa reruntuhan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ
وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Syuhada itu ada lima, yaitu orang
yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit
perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa
reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim
dari hadits Abu Hurairah z)
Kedelapan: meninggalnya seorang ibu
dengan anak yang masih dalam kandungannya,
berdasarkan hadits Ubadah ibnush Shamit Radhiyallaahu ‘anhu. Ia mengabarkan
bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa syuhada
dari umatnya di antaranya:
الْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ شَهَادَةٌ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا
بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ
“Wanita yang meninggal karena
anaknya yang masih dalam kandungannya adalah mati syahid, anaknya akan
menariknya dengan tali pusarnya ke surga.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan
Ath-Thayalisi dan sanadnya shahih)
Kesembilan: meninggal dalam keadaan
berjaga-jaga (ribath) fi sabilillah.
Salman Al-Farisi Radhiyallaahu ‘anhu
menyebutkan hadits Rasulullah :
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ،
وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأًُجْرِيَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتّاَنَ
“Berjaga-jaga (di jalan Allah)
sehari dan semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan shalat sebulan. Bila
ia meninggal, amalnya yang biasa ia lakukan ketika masih hidup terus dianggap
berlangsung dan diberikan rizkinya serta aman dari fitnah (pertanyaan kubur).”
(HR. Muslim)
Kesepuluh: meninggal dalam keadaan
beramal shalih.
Hudzaifah Radhiyallaahu ‘anhu
menyampaikan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ
بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ
لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ
اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan La ilaaha
illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal
tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan
wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.
Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang
ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad,
sanadnya shahih)
Kesebelas: meninggal karena
mempertahankan hartanya yang ingin dirampas orang lain. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terbunuh karena
mempertahankan hartanya maka ia syahid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin ‘Amr c)
Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu
berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah n, ia berkata, “Wahai Rasulullah,
apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab,
“Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang
itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia
berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu
engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang
tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)
Keduabelas: meninggal karena membela
agama dan mempertahankan jiwa/membela diri.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ
أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ
قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang meninggal karena
mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela
keluarganya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela agamanya maka
ia syahid, dan siapa yang meninggal karena mempertahankan darahnya maka ia
syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan At Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid
Radhiyallaahu ‘anhu dan sanadnya shahih)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Penghukuman hadits ini dari
Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam kitab yang sama.
2 Satu pendapat menyebutkan bahwa tha’un
adalah luka-luka semacam bisul bernanah yang biasa muncul di siku, ketiak,
tangan, jari-jari dan seluruh tubuh, disertai dengan bengkak serta sakit yang
sangat. Luka-luka itu keluar disertai rasa panas dan menghitam daerah
sekitarnya, atau menghijau ataupun memerah dengan merah lembayung (ungu) yang
suram. Penyakit ini membuat jantung berdebar-debar dan memicu muntah. (Lihat
Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/425)
Penjelasan lain tentang tha’un bisa
dilihat dalam Fathul Bari, 10/222,223) -pent.
Sumber
: http://asysyariah.com/tanda-khusnul-khatimah.html
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi
038
Su’ul Khatimah (akhir yang
buruk)
Su’ul khatimah (akhir yang buruk)
adalah meninggal dalam keadaan berpaling dari Allah, berada di atas murka-Nya
serta meninggalkan kewajiban dari Allah. Tidak diragukan lagi, demikian ini
akhir kehidupan yang menyedihkan, selalu dikhawatirkan oleh orang-orang yang
bertakwa. Semoga Allah menjauhkan kita darinya.
Terkadang nampak pada sebagian orang
yang sedang sakaratul maut, tanda-tanda yang mengisyaratkan su’ul khatimah,
seperti: menolak mengucapkan syahadat, justru mengucapkan kata-kata jelek dan
haram, serta menampakkan kecenderungan padanya dan lain sebagainya. Kami perlu
menyebutkan begaina contoh nyata kejadian tersebut.
Kisah yang dibawakan oleh Ibnul
Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya, al Jawaabul Kaafi, bahwa ada seseorang saat
sakaratul maut, dia diingatkan, “Ucapkanlah Laa ilaha illallah.” Lalu orang itu
menjawa:”Apa gunanya bagiku, Aku pun tidak pernah mengerjakan shalat karena
Allah, meskipun sekali,” akhirnya ia pun tidak mengucapkannya.
Al Hafizh Rajab rahimahullah dalam
kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, menukil dari salah satu ulama,’Abdul ‘Aziz bin
Abu Rawwad, beliau berkata: “Aku menyaksikan seseorang, yang ketika hendak
meninggal di talqin (diajari) Laa ilaha illallah. Akan tetapi, ia
mengingkarinya pada akhir ucapannya.”
Kemudian Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bertanya kepadanya tentang orang ini. Ternyata ia seorang pecandu khamr
(minuman keras). Selanjutnya Syaikh ‘Abdul Aziz berkata: “Takutlah kalian
terhadap perbuatan dosa, karena perbuatan dosa itu yang telah
menjerumuskannya.”
Hal serupa juga diceritakan oleh al
Hafizh adz Dzahabi rahimahullah, ada seorang yang bergaul dengan pecandu khamr,
maka saat ajal akan tiba, dan ada seseorang yang datang untuk mengajarinya
syahadat, ia malah mengatakan:”Minumlah dan beri aku minum,” kemudian ia
meninggal.
Al ‘Alamah Ibnul Qayyim rahimahullah
bercerita mengenai seseorang yang diketahui gemar musik dan mendendangkannya.
Tatkala wafat menjemputnya, dia diingatkan, katakanlah : Laa ilaha illallah
(tetapi) dia justru mulai mengigau dengan lagu sampai kemudian mati tanpa
mengucapkan kalimat tauhid.
Beliau rahimahullah juga
berkata:”Sebagian pedagang mengabarkan kepadaku tentang karib kerabatnya yang
hampir meninggal, sementara mereka disisinya. Mereka mentalkinkan Laa ilaha
illallah, namun ia mengigau “ ini murah, ini barang bagus, ini begini dan
begitu,” sampai ia meninggal dan tanpa bisa melafazhkan kalimat tauhid.”
Berikut ini kami bawakan keterangan
Ibnul Qayyim rahimahullah. Komentar ini dibawakan setelah menyebutkan
kisah-kisah di atas. Beliau rahimahullah berkata:
“Subhanallah, betapa banyak orang
yang menyaksikan ini mendapatkan pelajaran? Apabila seorang hamba, pada saat
sadar, kuat, serta memiliki kemampuan, dia bisa dikuasai setan, ditunggangi
perbuatan maksiat yang diinginkannya, mampu membuat hatinya lalai dari
mengingat Allah Ta’ala, menahan lisannya dari dzikir, dan (begitu pula) anggota
badannya dari mentaati-Nya, lalu bagaimana kiranya ketika kekuatannya melemah,
hati dan jiwanya kacau karena sakitnya naza’ (tercabutnya nyawa) yang sedang
dia alami? Sementera saat itu, setan mengerahkan seluruh kekuatan dan
konsentrasinya, dan menghimpun semua kemampuannya untuk mencuri kesempatan.
Sesungguhnya ini adalah klimaks. Saat itu, hadir setan yang terkuat, sementara
si hamba dalam kondisi paling lemah. Siapakah yang selamat?
Pada kondisi ini, seperti tercantum
dalam firman-Nya:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ
وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang
yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang
Dia kehendaki.”
(QS. Ibrahim:27)
Maka, orang yang dilalaikan hatinya
dari mengingat Allah, (selalu) memperturutkan nafsunya dan melampaui batas,
bagaimana mungkin diberi petunjuk agar husnul khatimah?!
Orang yang hatinya selalu jauh dari
Allah Ta’ala, selalu lalai dari-Nya, selalu mengagungkan nafsunya, selalu
menyerahkan kepada syahwatnya, lisannya kering dari dzikir, serta anggota
badannya terhalang dari ketaatan dan sibuk dengan maksiat, maka mustahil diberi
petunjuk agar akhir kehidupannya baik (husnul khatimah).
Su’ul Khatimah memiliki dua
tingkatan
1. Tingkatan terbesar dan terjelek.
Yaitu orang yang hatinya penuh
dengan keraguan dan penentangan saat sakaratul maut, kemudian ia mati dalam
keadaan seperti ini, Maka hal ini akan menjadi penghalang antara dia dan Allah.
2. Tingkatan yang lebih rendah.
Yaitu orang yang hatinya cenderung
kepada urusan dunia atau keinginan syahwatnya, lalu keinginan ini tergambar di
dalam hatinya saat sakaratul maut. Biasanya, seseorang meninggal dalam kondisi
yang biasa dia lakoni pada kehidupan nyatanya. Jika jelek, maka akhirnya juga
jelek. Semoga Allah melindungi kita dari keduanya.
Sebab-sebab Su’ul Khatimah
Dari uraian ini, maka nampak jelas,
bahwa penyebab su’ul khatimah adalah lawan dari penyebab husnul khatimah yang
telah disebutkan. Penyebab utamanya adalah kerusakan aqidah. Di antara
penyebabnya juga adalah rakus terhadap dunia, mencarinya dengan cara-cara
haram, berpaling dari jalan kebaikan, serta terus-menerus melakukan perbuatan
maksiat.
Khalid bin ‘Abdurrahman asy-Syayi’
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------