GENDER Dari Wacana Transnasional
Kontroversial Menjadi RUU Seksis
Oleh: Henri Shalahuddin (Peneliti
INSISTS Bidang Gender)
Pengantar
Membincang gender
sejatinya membincang tentang cara pandang dan interaksi sebuah bangsa terhadap
budaya lain. Paham kesetaraan gender muncul dan berkembang dari Barat dan
pastinya juga tidak netral nilai-nilai lokal paham itu berasal. Bisa jadi di
antara muatan nilai-nilai paham feminisme dan kesetaraan gender Barat itu ada
yang sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, namun juga tidak mustahil
sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar dan bermartabat, sikap
kritis saat berinteraksi dengan budaya bangsa lain sangat diapresiasi, sehingga
tidak tidak terperosok ke dalam ekstrimisme, baik terlalu apriori maupun
terlalu permisif.
Ideologi feminisme yang
kemudian diejawantahkan ke dalam paham kesetaraan gender (gender equality)
belakangan ini menjadi tren baru masyarakat modern. Di hampir seluruh belahan
dunia, gender telah menjadi keniscayaan global dan secara perlahan merambah ke
dalam semua lini kehidupan. Bahkan menjadi tolak ukur maju tidaknya pembangunan
di sebuah negara, yaitu dengan menggunakan ukuran HDI (Human Development
Indeks), GDI (Gender-related Development Index), GEM (Gender Empowerment
Measurament), dll.
Di Indonesia, konsep
”kesetaraan gender” tiba-tiba menjadi isu yang paling kontroversial setelah DPR
mengusulkan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG).
Artikelini berusaha secara kritis menelaah ulang paham kesetaraan gender.
Feminisme dan Gender:
Definisi yang Tidak Pasti
Feminisme bermula dari
pergerakan sekelompok aktivis perempuan Barat yang lambat laun mendapat
sambutan banyak pihak.Melalui berbagai usaha yang intensif, feminisme akhirnya
menjadi ideologi mainstream yang mengakar dalam masyarakat.
Istilah
“feminisme“mempunyai definisi beragam, di antaranya sebagai berikut:
1) Menurut
Elinor Burkett, feminisme adalah suatu aktivitas terorganisir yang
mengatasnamakan kepentingan dan hak perempuan. Keyakinan terhadap kesetaraan
dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik ini membuat paham feminisme
Barat dimanifestasikan di seluruh dunia dan diwakili oleh berbagai institusi
yang berkomitmen untuk aktivitas atas nama hak dan kepentingan perempuan.[1]
2) Madeleine
Pelletier melihat feminisme sebagai paham yang beragam, tidak tunggal dan
senantiasa berkembang. Ia mengatakan bahwa setiap feminis memiliki pandangan
pribadi sendiri tentang feminisme. Keberagaman feminisme bisa dilihat dengan
adanya perbedaan internal di kalangan tokoh-tokoh feminis. Pada umumnya feminis
kelas menengah menolak kecenderungan feminis kulit putih yang melibatkan semua
wanita ketika mereka menguraikan tentang feminisme dengan kata-kata “kita”.
Bagaimana seorang feminis kulit putih bisa memberikan bobot yang cukup dari
sebuah pengalamannya untuk mengatakan bahwa wanita memiliki kesamaan, dan tetap
menghormati mereka yang telah mengelompokkan wanita ke dalam kelas dan warna
kulit?[2]
3) Cara
melihat dunia dari perspektif perempuan. Feminisme memusatkan perhatiannya
kepada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan laki-laki yang
menindas perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik dan ekonomi.[3]Maka tidak mengherankan ketika aktivis
Prancis, NellyRoussel, mengasumsikan bahwa semuaperempuan memilikipengalaman
yang samadi bawah sistem patriarkis. Pada tahun 1904, beliau menyerukan bahwa
tidak adalagi kelas istimewa atau penguasa kelas di antara kaum wanita.[4]
4) Sebagian
kalangan feminis mengartikan bahwa feminisme merupakan perjuangan melawan seksisme
sebagai sebuah paradigma penindasan. Sebagian lainnya mengartikan sebagai
komitmen untuk mengakhiri supremasi kulit putih, dominasi laki-laki dan
eksploitasi ekonomi. Sementara itu ada pula yang memaknai bahwa feminisme
adalah penciptaan sikap untuk merangkul kebersamaan, yang meliputi perjuangan
melawan apa yang disebut "trinitas", yakni seksisme, rasisme dan
kelas. Namun ada pengamat yang mengartikan bahwa feminisme berawal dari
pernyataan seorang perempuan tentang kekuatannya. Di mana pada awalnya ia
bukanlah sesuatu teori melainkan tindak personal itu sendiri.[5]
Dari keberagaman
definisidi atas, sejatinya tidak mudah untuk menyimpulkan feminisme sebagai
suatu pemahaman dan teori yang komprehensif (jami’-mani’). Karena
feminisme merupakan paham yang sangat relatif, beragam dan masing-masing
perempuan mempunyai definisi berbeda sesuai dengan pengalaman dan tindak
personalnya sendiri. Namun, makna yang palingmendasar daripaham iniadalah
keyakinan bahwa perempuan benar-benar bagian dari manusia, dan bukan spesies
yang terpisah. Definisi ini seringkali dijadikan slogan dan diabadikan dalam
bentuk tulisan di T-shirt: Feminisme adalah proposisi radikal bahwa perempuan
adalah manusia (“Feminism is the radical proposition that women are human
being”).[6]
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa feminisme sebenarnya adalah ideologi yang dilandasi dengan
protes dan ketidakpuasan kaum feminis atas eksistensi sosial kaum perempuan
yang belum sepenuhnya diakui dalam struktur masyarakat Barat kala itu.Hal ini diperparah lagi dengan posisi Gereja di
Barat yang menjadi pijakan nilai-nilai dalam masyarakat, kurang berpihak kepada
perempuan. Maka perjuangan feminisme difokuskan untuk melawan sistem patriarkhi
yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua.
Istilah 'patriarkhi',
sebagaimana yang dikatakan oleh Mendelson dan Crawford, merujuk kepada sebuah
sistem sosial yang lebih mengutamakan laki-laki. Sedangkan menurut perumusan
Fletcher, patriarkhi adalah kekuasaan laki-laki yang dilembagakan terhadap
perempuan dan anak-anak dalam keluarga, dan penaklukkan (subordination)
perempuan dalam masyarakat pada umumnya.[7]
Secarah harfiah, istilah patriarchy
bermakna kekuasaan bapak (rule of the father). Ia berasal dari dua kata
bahasa Yunani; “patēr” yang bermakna bapak, dan “archō” kekuasaan, peraturan.
Ursula King mendefinisikan patriarkhi sebagai struktur kekuasaan dan properti
laki-laki, di mana mereka berkuasa untuk memojokkan perempuan. Struktur
kekuasaan dalam sistem patriarkhi meliputi sosial, ekonomi, agama dan
berakarmendalam dalam sikap, nilai, bahasa, dan pemikiran.
Dolores Williams
menyebutkan bahwa ciri utama patriarkhi adalah penindasan gender. Dia memaknai
patriarkhi sebagai hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, dan
antara perempuan dan lembaga masyarakat yang dikendalikan oleh laki-laki.
LettyRussell (1929-2007), salah seorang teologterkemuka di duniafeminis
danprofessor di Yale Divinity School, menulis bahwa paradigma patriarkhi
senantiasa menempatkan segala sesuatu dalam hierarki dominasi dan subordinasi,
menerima marginalisasi yang tak berdaya sebagai kodrat.[8]
Menurut Johnson, budaya
patriarkhi mempunyai unsur-unsur definisi khusus, yaitu: dominasi laki-laki,
dan laki-laki sebagai pusat karakter. Budaya patriarki mengandung ide-ide
tentang sifat segala sesuatu, termasuk laki-laki, perempuan, dan kemanusiaan.
Yaitu dengan menempatkan maskulinitas dalam posisi yang paling dekat
hubungannya dengan manusia dan feminitas diturunkan ke posisi marjinal.[9]
Oleh sebab itu konsep
feminis modern menginginkan isu subordinasi perempuan dilihat sebagai isu
utama, bahkan sebagai masalah yang mendasar dan bukan hanya dilihat sebagai
satu unsur pendukung saja. Sebab dalam pandangan feminis, struktur masyarakat
modern awal dioperasikan berdasarkan pada subordinasi perempuan.
Dengan begitu, aktivis
feminis mengharapkan kajian sejarah patriarkhi akan memiliki banyak kaitannya
untuk mengatakan tentang anak-anak dan remaja, hubungan mereka dengan orang
tua, dan kondisi generasi lainnya yang terbebas dari sistem kekuasaan
laki-laki.[10] Dengan tujuan kajian sejarah patriarkhi
ini, kelompok feminis bisa terus memperjuangkan kepentingan perempuan sehingga
tercapainya keberpihakan kepada mereka dalam hubungan sosial.
Uraian-uraian tentang
definisi feminisme, patriarkhis medan pengalaman ketertindasan perempuan di
atas, sedikit banyak mempunyai implikasi bagi penelitian akademik tentang
agama, dan praktek pribadi seseorang terhadap agamanya, karena feminis mendapat
dipahami sebagai metod seseorang akademisi dan sekaligus sebagai visi sosial.
Dan berubahnya sebutan “women studies” menjadi “feminism” di kemudian hari
mempunyai implikasi atau agenda politik yang jelas.[11]
Namun demikian dalam
perkembangannya paham feminisme juga mendapatkan kritikan dari berbagai
kalangan. Marlene LeGates menyatakan bahwa di antara kesalahan utama feminis
yaitu menganggap semua wanita mempunyai karakter, kepentingan dan kepribadian
yang sama. Feminis sering melupakan keberagaman yang ada pada setiap wanita
yang berlainan suku, agama, kelas sosial dan bahkan orientasi seksual mereka.
Di samping itu, masalah
inkonsistensi dan rasisme yang menjangkiti kaum feminis juga menjadi sasaran
kritikan terhadap feminisme. Sebagai contoh, ketika Nelly Roussel menyuarakan
pendapatnya berkenaan dengan kesamaan derajat di antara wanita pada awal abad
20, hampir semua wanita dari kelas atas dan menengah memiliki budak
perempuan. Sedangkan rasisme di kalangan feminis bisa dilihat dari pandangan Anne
Kenney dan rekan-rekan feminisnya di Inggris yang menganggap superioritas
mereka lebih tinggi daripada wanita Asia yang mereka pandang sebagai wanita
lemah. Padahal Anne Kenney dikenal dengan seruan beliau tentang persamaan
wanita yang tidak memandang latar belakang negara, politik dan kelas. Beberapa
feminis yang berlatarbelakang seperti Roussel dan Kenney yang merupakan
golongan wanita kelas atas, dikenal sebagai penindas perempuan.Frances Ellen
Watkins Harper, seorang pembaharu Afrika-Amerika, mengingatkan dari
pengalamannya bahwa menjadi orang kulit hitam berarti setiap orang kulit putih,
termasuk setiap wanita kelas pekerja, bias mendiskriminasikan Anda. Sebab pada
umumnya feminis Barat dan kulit putih selalu memandang diri mereka lebih tinggi
dibanding lainnya
Di Amerika Serikat dan
Inggris, gerakan feminis mengembangkan keanggotaan yang relatif heterogen.
Meskipun demikian, wanita yang sadar terhadap pembagian kelas biasanya tetap
memilih untuk tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai feminis. Walaupun
pada saat yang sama, mereka juga sama-sama berjuang melawan penindasan gender.
Wanita-wanita ini menganggap diri mereka sebagai sosialis, dan feminis dianggap
sebagai musuh utama mereka.Ini karena mereka melihat feminisme mengecilkan
perjuangan kelas pekerja melawan kapitalis. Maka kebanyakan kritikus feminisme
kemudian mempertanyakan, haruskah wanita-wanita ini dimasukkan dalam sejarah
feminisme? Bagaimana dengan wanita pekerja yang berjuang untuk memperbaiki
situasi materi mereka dan keluarga mereka?[12]
Di
Indonesia, kaum feminis yang mengkampanyekan perempuan untuk berkiprah di ranah
publik, pada saat yang sama justru memperkerjakan perempuan sebagai pembantu di
rumahnya. Bahkan, mereka sering diindikasikan sebagai pihak yang menolak
kenaikan gaji pembantu rumah tangga.
Demikianlah liku-liku
perjalanan ideologi feminisme yang berkembang dengan memanfaatkan sisi
emosional perempuan, namun pada akhirnya juga tidak ramah dengan kaumnya
sendiri.
(Baca selengkapnya
di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara
Islamisasi dan Kolonialisasi’, Vol. VII, No. 2, 2012).
[1]Burkett,
Elinor, Feminism,dalam Encyclopaedia Britannica 2007 Ultimate Reference
Suite, Version 2007
[2]
LeGates, Marlene, 2001, In Their Time, A History of Feminism in Western
Society, Routledge, New York & London, hal. 2
[5]Reinharz,
Shulaimit, 2005, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial,(Feminist
Methods in Social Research, penerj. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung) Women
Research Institute, Jakarta, hal. 5
[7]
Ingram, Martin, 2005, Men and women in late medieval and early modern times,
dalam English Historical Review Vol. CXX No. 487, Oxford University
Press, hal. 734
[8]
Franzmann, Majella,Women and Religion, Oxford University Press, hal.
7-8, lihat juga http://www.yale.edu/divinity/news/070713_news_russell.shtml,
diunduh9/1/2012
[9]
Johnson, Allan G., (2000) “Patriarchy, the System: An It, Not a He, a Them, or
an Us,” dalam Women’s Lives: Multicultural Perspectives, dalam Gwyn Kirk and
Margo Okazawa-Rey (eds), New York: McGraw Hill, hal. 29–30 dalam Etin Anwar,
2006, Gender and Self in Islam, Routledge, New York, hal. 5
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------