Biarkan
Syiah Bercerita Tentang Kesesatan Agamanya (1)
29
April 2013,
PROLOG
Segala
puji bagi Allah Robb semesta alam, sholawat dan salam semoga selalu
terlimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabatnya, istri-istrinya dan orang-orang yang senantiasa
setia mengikuti jalannya hingga hari akhir nanti.
Enam
tahun yang silam di salah satu pesantren terbesar di Indonesia, penulis menjadi
salah satu peserta dauroh yang diadakan oleh Jami’ah Islamiyah Madinah.
Kebetulan ada suatu kisah yang tidak terlupakan hingga detik ini. Seperti
biasanya, sebelum pelajaran dimulai, para dosen (baca: masyayikh) mengabsen
peserta dauroh satu persatu. Hingga sampai ke suatu nama, dosen tersebut
mengernyitkan dahinya dan terheran-heran, nama itu adalah Ayatullah Khomeini,
(kebetulan dia salah seorang teman akrab penulis di pesantren). Dosen itu
bertanya, “Kamu sunni (termasuk golongan ahlus sunnah)?”, dengan
tenangnya peserta itu menjawab, “Iya”, “Mengapa kamu pakai nama dedengkot
Syiah?”, “Karena bapak ana ngasih nama seperti itu”, sahutnya. Setelah
dialog singkat itu sang dosen minta agar teman kami tersebut mengganti namanya.
Penulis
-dengan lugunya- berkata dalam hati, “Memangnya kenapa sich nggak boleh
pakai nama tokoh Syi’ah tersebut? Masa gitu saja dipermasalahkan! Toh dia juga
salah satu pejuang besar dunia?!”
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan; setahun kemudian penulis diberi kesempatan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menuntut ilmu di kota Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tepatnya di Jami’ah Islamiyah. Di situlah
wawasannya mulai terbuka sedikit demi sedikit, pengetahuannya tentang
kelompok-kelompok yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam sedikit demi
sedikit mulai bertambah. Hingga terbelalaklah matanya tatkala mengetahui
hakikat kelompok Syi’ah. Dan hilanglah sudah keheran-heranan dia enam tahun
yang silam, mengapa sang dosen pengajar dauroh itu begitu ‘ngotot’-nya
minta agar peserta Ayatullah Khomeini mengganti namanya.
Maka,
dalam rangka menyampaikan ilmu walaupun hanya sedikit, juga berhubung semakin
menjamur dan larisnya ajaran itu di tanah air kita, penulis merasa berkewajiban
untuk menyampaikan sedikit dari apa yang diketahuinya tentang agama yang satu
ini. Tulisan ini ditranskrip, diterjemahkan dan diringkas dari sebuah ceramah
ilmiah dalam suatu kaset yang berjudul “Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib”
(Beberapa renungan beserta para da’i penyeru persatuan antara Ahlusunnah dengan
Syi’ah) yang disampaikan oleh Syaikh Abdullah as-Salafy. Kaset ini bukan hanya
membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama klasik Syi’ah saja, tapi juga
membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka yang
suaranya sempat terekam dalam kaset, dan jatuh ke tangan Ahlusunnah(*).
Kami
ucapkan kepada para pembaca yang budiman, Selamat menikmati!
(*)
Perkataan-perkataan ulama klasik mereka kami sebutkan dengan referensinya
beserta nomor jilid dan halamannya. Bagi yang menginginkan bukti otentik
fakta-fakta tersebut bisa merujuk ke kitab Ulama asy-Syi’ah Yaqulun, Watsaiq
Mushawwarah Min Kutub asy-Syi’ah, yang diterbitkan oleh Markaz Ihya Turots
Alul Bait. Adapun perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka jika terdapat
dalam suatu kaset, maka kami sebutkan dengan kata-kata, “Dengarlah perkataan
fulan…” Suara asli mereka bisa didengarkan dalam kaset Waqafat Ma’a
Du’at at-Taqrib.
FAKTA
PERTAMA: Syi’ah
bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlul Bait (keluarga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ahlul
bait adalah: keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far dan Abbas. Tidak diragukan lagi
(menurut Ahlus Sunnah) bahwa istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
termasuk ahlul bait karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ
النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً
مَعْرُوفاً. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ
أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Hai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.”
(QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat
ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait (keluarga) nya.
Ahlusunnah
mencintai dan mengasihi ahlul bait, mencintai dan mengasihi para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka (Ahlusunnah) juga meyakini bahwa
tidak ada yang ma’shum melainkan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di antara keyakinan mereka juga: wahyu telah terputus dengan
wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang mengetahui
hal yang gaib kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak seorang pun
dari para manusia yang telah mati bangkit kembali sebelum hari kiamat. Jadi,
kita Ahlusunnah menjunjung tinggi keutamaan ahlul bait dan selalu mendoakan
mereka agar senantiasa mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lupa
kita juga berlepas diri dari musuh-musuh mereka.
Di
pihak lain, orang-orang Rafidhah (Rafidhah adalah salah satu julukan kelompok Syi’ah.
Julukan ini disebutkan oleh ulama kontemporer mereka Al Majlisy dalam kitabnya Bihar
al-Anwar hal 68, 96 dan 97. Kata-kata Rafidhah berasal dari fi’il
rafadha yang berarti menolak. Adapun asal muasal mengapa mereka digelari
Rafidhah, ada berbagai versi. Antara lain:
Karena
mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar.
Versi
lain mengatakan karena mereka menolak agama Islam. (lihat Maqalat
al-Islamiyin, karya Abu al-Hasan al-Asy’ary jilid I, hal 89).
Selain
berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka dengan mengatakan
bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari para nabi dan para rasul,
mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di dalam diri para imam, hingga
mengeluarkan mereka dari batas-batas kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa
ini merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling
rusak dan paling kufur.
Di
antara sikap ekstrem mereka, klaim mereka bahwa para imam mengetahui hal-hal
yang gaib, dan mereka mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi, tidak
terkecuali. Mereka mengetahui apa-apa yang ada dalam hati, apa-apa yang ada
dalam tulang belakang kaum pria dan apa-apa yang ada dalam rahim kaum wanita.
Mereka juga mengetahui apa yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari
kiamat.
Al
Kulainy dalam kitabnya al-Kaafi -yang mana ini merupakan kitab yang
paling shahih menurut Rafidhah-, dia telah mengkhususkan di dalamnya bab-bab
yang menguatkan sikap ekstrem tersebut. Contohnya: di jilid I, hal 261, dia
berkata, “Bab bahwasanya para imam mengetahui apa yang telah lalu dan apa
yang akan datang, serta bahwasanya tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi
dari pengetahuan mereka.” Dia juga telah meriwayatkan dalam halaman yang
sama dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa mereka mendengar Abu Abdillah ‘alaihis
salam (yang dia maksud adalah Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Sesungguhnya
aku mengetahui apa-apa yang ada di langit dan di bumi, aku mengetahui apa-apa
yang ada di dalam surya dan aku mengetahui apa yang telah lalu serta yang akan
datang.”
Dia
juga berkata dalam jilid I, hal 258, “Bab bahwasanya para imam mengetahui
kapan mereka akan mati dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kemauan mereka
sendiri.”
Di
antara bukti-bukti sikap ekstrem orang-orang Syi’ah, klaim mereka para imam
memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini semau mereka; mereka bisa
menghidupkan orang yang telah mati, juga menyembuhkan orang yang buta, orang
yang terkena kusta, kemudian dunia akhirat milik para imam, mereka berikan
kepada siapa saja sesuai dengan kehendak mereka.
Al-Kulainy
di jilid I, hal 470 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bashir bahwa ia
bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Apakah kalian pewaris
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Benar!” Lantas aku bertanya
lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pewaris para nabi mengetahui
apa yang mereka ketahui?” “Benar!”, jawabnya. Aku kembali bertanya, “Mampukah
kalian menghidupkan orang yang sudah mati dan menyembuhkan orang yang buta dan
orang yang terkena penyakit kusta?” “Ya, dengan izin Allah”, sahutnya.”
Husain
bin Abdul Wahab dalam kitabnya ‘Uyun al-Mu’jizat hal 28 bercerita
bahwasanya, Ali pernah berkata kepada sesosok mayat yang tidak diketahui
pembunuhnya, “Berdirilah -dengan izin Allah- wahai Mudrik bin Handzalah bin
Ghassan bin Buhairah bin ‘Amr bin al-Fadhl bin Hubab! Sesungguhnya Allah dengan
izin-Nya telah menghidupkanmu dengan kedua tanganku!”
Maka
berkatalah Abu Ja’far Maytsam, Sesosok tubuh itu bangkit dalam keadaan memiliki
sifat-sifat yang lebih sempurna dari matahari dan bulan, sembari berkata, “Aku
dengar panggilanmu wahai yang menghidupkan tulang, wahai hujjah Allah di
kalangan umat manusia, wahai satu-satunya yang memberikan kebaikan dan
kenikmatan. Aku dengar panggilanmu wahai Ali, wahai Yang Maha Mengetahui.”
Maka berkatalah amirul-mu’minin, “Siapakah yang telah membunuhmu?”
Lantas orang tersebut memberitahukan pembunuhnya.
Berkata
al-Kasany dalam kitabnya ‘Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din jilid
II, hal 597, “Semua makhluk diciptakan untuk mereka (para imam), dari
mereka, karena mereka, dengan mereka dan akan kembali kepada mereka. Karena
-tanpa diragukan lagi- Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia dan akhirat
hanya untuk mereka. Dunia dan akhirat untuk mereka dan milik mereka. Para
manusia adalah budak-budak mereka!”
Dengarlah
salah seorang syaikh mereka Baqir al-faly yang mengatakan bahwasanya Nabiyullah
Isa ‘alaihis salam mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali rodhiallahu
‘anhu, “Wahai para manusia, beberapa hari yang lalu telah dirayakan hari
kelahiran Isa al-Masih, yang telah mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak
Ali bin Abi Thalib!”
Berkata
Imam mereka Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya Al-Hukumah al- Islamiyah
hal 52, “Sesungguhnya para Imam memiliki kedudukan terpuji, derajat yang
tinggi dan kekuasaan terhadap alam semesta, di mana seluruh bagian alam ini
tunduk terhadap kekuasaan dan pengawasan mereka.”
Sulaim
bin Qois dalam kitabnya hal 245 dengan ‘gagahnya’ berdusta dengan perkataannya,
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali, “Wahai
Ali, sesungguhnya engkau adalah ilmu pengetahuan Allah yang paling agung
sesudahku, engkau adalah tempat bersandar yang paling besar di hari kiamat.
Barang siapa bernaung di bawah bayanganmu niscaya akan meraih kemenangan.
Karena hisab (penghitungan amal) para makhluk berada di tanganmu, tempat
kembali mereka adalah kepadamu. Mizan (timbangan amalan), shirath (jalan yang
mengantarkan para hamba ke surga), dan al-mauqif (tempat berkumpulnya semua
makhluk di hari akhir) semua itu adalah milikmu. Maka barang siapa yang
bersandar kepadamu, niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelisihimu
niscaya akan celaka dan binasa! Ya Allah, saksikanlah 3x!”
Na’udzubillah…
Dengarlah
Basim al-Karbalaiy menghasung dan mendorong orang-orang Rafidhah untuk pergi ke
kuburan Ali radhiallahu ‘anhu dan meminta kesembuhan darinya, berihram
dan thawaf di sekitar kuburannya, “Wahai yang berada di bawah kubah putih di
kota Najaf! Wahai Ali! Barang siapa yang berziarah ke kuburanmu dan meminta
kesembuhan darimu niscaya dia akan sembuh!”
Di
dalam kitab Wasail ad-Darojat karangan ash-Shaffar (hal 84), Abu
Abdillah berkata: Konon Amirul Mu’minin pernah berkata, “Aku adalah ilmu
Allah, aku adalah hati Allah yang sadar, aku adalah mulut Allah yang berbicara,
aku adalah mata Allah yang melihat, aku adalah pinggang Allah, aku adalah
tangan Allah.”
Na’uzubillah dari ghuluw ini!
Dengarlah
Muhsin al-Khuwailidy dalam khotbah kufurnya di mana dia melekatkan kepada Ali
sifat-sifat rububiyah Allah, “Dan di antara khutbah-khutbahnya shallallahu
‘alaihi wa sallam: Aku mempunyai semua kunci hal-hal yang gaib, tidak ada yang
mengetahuinya sesudah Rasulullah kecuali aku. Aku-lah penguasa hisab, aku
pemilik sirath dan mauqif, aku pembagi (distributor) surga dan neraka dengan
perintah Robb-ku. Akulah yang menumbuhkan dedaunan dan mematangkan buah-buahan.
Akulah yang memancarkan mata air dan mengalirkan sungai-sungai. Akulah yang
menyimpan ilmu, akulah yang meniupkan tiupan pertama yang mengguncangkan alam,
akulah sang petir, akulah shaihah. Aku adalah Al Quran yang tidak ada keraguan
di dalamnya. Akulah asma al-husna yang para hamba diperintahkan untuk berdoa
dengannya. Akulah yang memiliki sangkakala dan yang membangkitkan manusia dari
dalam kubur. Akulah penguasa hari kebangkitan. Akulah yang menyelamatkan Nuh,
yang menyembuhkan Ayub. Akulah yang menegakkan langit dengan perintah Tuhanku.
Akulah si pemegang keputusan yang tidak dapat diubah, hisab para makhluk berada
di tanganku. Para makhluk menyerahkan urusannya kepadaku. Akulah yang mengokohkan
gunung-gunung yang menjulang tinggi, yang memancarkan mata air, dan yang
menciptakan alam semesta. Akulah yang membangkitkan para mayat, yang menurunkan
kuburan. Akulah yang memberi cahaya matahari, bulan dan bintang. Akulah yang
membangkitkan hari kiamat, yang mengetahui hal yang telah lalu dan yang akan
datang. Akulah yang membinasakan para raja lalim terdahulu dan yang melenyapkan
negeri-negeri. Akulah yang menciptakan gempa, yang membuat gerhana matahari dan
bulan. Aku pula yang menghancurkan fir’aun-fir’aun dengan pedangku ini. Akulah
yang ditugasi Allah untuk melindungi orang-orang lemah dan Allah perintahkan
mereka taat kepadaku.”
Dalam
kitab Kasyf al-Yaqin Fi Fadhail Amir al-Mu’minin karya Hasan bin Yusuf
bin al- Muthahhir al-Hilly (hal 8) disebutkan, Akhthab Khawarizm meriwayatkan
dari Abdulloh bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: Tatkala Allah ciptakan Adam dan Dia tiupkan ruh-Nya ke dalamnya,
Adam bersin lantas mengucapkan, “Alhamdulillah!” Maka Allah mewahyukan padanya,
“Engkau telah memuji-Ku wahai hamba-Ku, demi kekuatan dan keagungan-Ku kalau
bukan karena dua hamba yang akan Kutempatkan mereka di dunia, niscaya Aku tidak
akan menciptakanmu wahai Adam!” Serta merta Adam bertanya, “Mereka berdua dari
keturunanku?”, “Betul wahai Adam. Angkatlah kepalamu dan lihatlah!” Maka Adam
mengangkat kepalanya, dan ternyata telah tertulis di atas ‘Arsy, “Tidak ada
yang berhak disembah selain Allah, Muhammad nabi kasih sayang dan Ali penegak
hujjah. Barang siapa yang mengetahui hak Ali maka dia akan suci dan bahagia,
dan barang siapa yang taat kepadanya meskipun dia berbuat maksiat kepada-Ku
akan Kumasukkan ke dalam surga. Aku bersumpah demi kepekerkasaan-Ku; barang
siapa yang tidak taat kepada Ali meskipun dia taat kepada-Ku, niscaya akan
Kumasukkan ke dalam neraka!”
Lihatlah
wahai para hamba Allah, bagaimana dia mengedepankan ketaatan kepada Ali di atas
ketaatan kepada Allah!!!
Berkata
Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I,
hal 33): Pengarang buku Masyariq al-Anwar telah meriwayatkan dengan sanadnya
kepada al-Mufadhal bin ‘Amr: Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah ‘alaihis
salaam tentang perihal sang imam; bagaimana ia bisa tahu apa yang ada di
penjuru bumi, padahal ia berada di rumah yang tertutup? Lantas ia menjawab,
“Wahai Mufadhal, sesungguhnya Allah telah menciptakan di dalam diri mereka 5
ruh:
1. Ruh kehidupan, yang dengannya dia
bisa memukul dan naik.
2. Ruh kekuatan, yang dengannya dia
bisa bangkit.
3. Ruh syahwat, yang dengannya dia bisa
makan dan minum.
4. Ruh keimanan, yang dengannya dia
memerintahkan dan berbuat adil.
5. Ruh kudus, yang dengannya dia
mengemban kenabian. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berpindahlah
ruh kudus ke tubuh sang imam, maka dia tidak akan pernah lalai dan lengah.
Dengan ruh itulah dia bisa melihat apapun yang ada di penjuru dunia. Tidak ada
sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari sang imam. Dia bisa
mengetahui semua yang ada di langit semesta, sekecil dan selirih apapun dia.
Barang siapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka dia bukanlah seorang
imam!”
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Berkata
Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I,
hal 30), Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku bersama
Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api dan akulah yang menjadikan api itu
dingin serta menyelamatkan. Aku juga bersama Nuh di kapalnya lantas akulah yang
menyelamatkan dia dari ketenggelaman. Aku juga bersama Musa, lantas aku ajarkan
Taurat kepadanya. Aku jugalah yang menjadikan Isa berbicara saat dia masih
dalam buaian, kemudian kuajarkan Injil padanya. Akulah yang bersama Yusuf di
dalam sumur, lantas kuselamatkan dia dari tipu daya saudara-saudaranya. Dan aku
bersama Sulaiman di atas permadani, kemudian aku hembuskan angin baginya.”
Lantas
apa yang tersisa untuk Allah?! Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Ziarah
Makam Husain Lebih Utama Dari Haji Ke Baitullah
Dalam
kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid I, hal 371) dan
di dalam kitab al-Mazar karangan al-Mufid (hal 58) disebutkan: Dari
Yunus bin Dzobyan, berkata Abu Abdillah, “Barang siapa yang ziarah ke makam
Husain pada malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Idul Fitri dan malam hari
Arafah dalam satu tahun, niscaya Allah akan tuliskan baginya pahala 1000 ibadah
haji yang mabrur, 1000 ibadah umrah yang diterima dan akan dikabulkan baginya
1000 doa yang berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan dia di dunia dan akhirat.”
Bahkan
menurut orang-orang Rafidhah, para penziarah makam Husain itu lebih utama
daripada orang-orang yang berada di padang Arafah. Dalam kitab Wasail
asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid X,hal 361) dan kitab Tahdzib
al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid VI, hal 42) disebutkan: Dari Ali
bin Asbath, dari sebagian sahabat-sahabat kami, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam
bahwa dia ditanya, “Benarkah Allah mendahulukan ‘menengok’ para peziarah
makam Ali bin Husain ‘alaihi salam sebelum ‘menengok’ orang-orang yang berada
di padang Arafah?”, “Betul” jawabnya. Lantas dia kembali ditanya, “Bagaimana
itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Karena di antara orang-orang yang
berada di padang Arafah terdapat anak-anak hasil perzinaan, adapun para
penziarah makam Husain seluruhnya suci tidak ada satupun anak hasil perzinaan.”
(Bagaimana mungkin mereka menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil
perzinaan, padahal zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan
salah satu ritual ibadah yang paling utama?!! (-pen).
Na’udzubillah!
Dalam
kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid V, hal 372)
disebutkan: Dari Zaid asy-Syahham, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam berkata, “Barang
siapa yang ziarah makam Abu Abdillah (Husain) ‘alaihis salam pada hari ‘Asyura
sedang dia mengetahui hak-haknya, seakan-akan dia telah menziarahi Allah di
‘Arsy-Nya.”
Na’udzubillah dari ghuluw dan kesesatan ini!
–bersambung
insya Allah–
***
Penulis:
Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen, Lc. (Mahasiswa S2, Universitas
Islam Madinah) Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------