Rincian Makna Tajdid
Seorang ulama mengatakan bahwa makna tajdidudin adalah menghidupkan amal yang telah terhapus dan lenyap, yaitu menggunaka Al-Qur’an dan As-Sunnah serta hal-hal yang menopang keduanya.[1] Pendapat ini berbicara dengan terang proses tajdid, yaitu dimulai dengan adanya sesuatu yang terhapus dan lapuk, kemudian adanya usaha untuk menghidupkan kembali seksistensinya. Dalam pembahasan ini, yang perlu dikemukakan harus dihidupkan. Yang dimaksud dengan sesuatu yang terhapus adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pengamalannya. Dengan demikian, saya katakan bahwa ungkapan ini merupakan penjabaran dari pada mengembalikan din. Hal itu tidak cukup dengan sekedar isyarat bahwa di sana ada kekurangan dalam din, dan makna memperbaruinya adalah menghidupkan dan mengembalikan sesuatu yang kurang, tetapi hal itu juga memberikan rincian tentang hal tersebut.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah aslud-din (asal dari din). Dapat dikatakan bahwa din adalah kumpulan ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah serta amal yang bersumber dari keduanya. Ilmu itu mencakup nash-nash dan lafazh-lafazhnya serta pengetahuan terhadap makna nash-nash dan lafazh-lafazhnya. Dan pernyataan bahwa amal harus didasari ilmu adalah suatu aksioma. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sesungguhnya yang lapuk atau terhapus dari Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah mencakup tiga hal: pertama; nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, kedua; makna nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, ketiga; pengamalannya.
Telah kita maklumi, keterpeliharaan nash-nash Al-Qur’an tidak diragukan. Keabadian suatu din pada dasarnya terletak pada keabadian nash-nash aslinya. Apabila tidak ada keyakinan terhadap kebenaran nash-nash tersebut dan kebenaran penyandarannya terhadap sumber-sumber aslinya, maka hal itu berarti din tersebut telah terlepas dari pondasinya. Dengan memperhatikan sejarah din lain, misalnya Yahudi dan Nasrani, maka dapat kita mengerti pentingnya keterpeliharaan nash-nash kitabullah, dan betapa berbahayanya apabila keaslian sebuah kitab suci tidak lagi terjaga. Kitab-kitab suci mereka telah tersusupi pemikiran manusia, sehingga sulit kembali mendapatkan standar untuk membedakan antara nash-nash yang diwahyukan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan nasihat-nasihat para nabi yang diutus kepada mereka, serta pernyataan-pernyataan yang ditulis oleh para murid dan para pengikutnya setelah mereka. Ditinjau dari kaidah dokumentasi sejarah, kitab suci agama-agama itu sangat dirraguka kebenarannya karena tidak otentik lagi dan terputus dari sumber-sumber aslinya.[2]
Islam juga akan mengalami kerancuan seperti yang dialami agama-agama itu, jika Allah tidak menjaga keotentikan din ini. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Al-Qur’an tidak akan pernah tersusupi penyelewengan sama sekali. Hadits pun tidak akan tersusupi anasir lain yang dilakukan oleh para pencipta hadits palsu. Suatu upaya telah tercurahkan secara maksimal untuk mempertahankan keotentikan dan keshahihan hadits-hadits Nabi. Mengingat bahwa tajdiduddin mengandung arti menghidupkan dan menjaga keotentikan din, maka memelihara nash-nash din yang asli agar tidak hilang dan tidak tercampur dengan yang lainnya juga merupakan salah satu dari makna tajdid. Mungkinkan kita mengembalikan dan menghhidupkan agama tanpa adanya jalan ilmiah yang jelas untuk menjaga keotentikan dan tanpa keabsahan  nash-nash asli Al-Qur’an dan As-Sunnah? Mungkinkah menghidupkan dan mengembalikan tanpa adanya penukilan yang benar terhadap lafazh yang benar terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dari suatu generasi ke generasi selanjutnya?
Jelaslah, kesungguhan yang tercurahkan dalam menjaga keotentikan nash Al-Qur’an dan hadits dan beberapa ilmu yang dikembangkan untuk merealisasikan maksud tersebut dalam makna tajdiduddin. Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa salah satu dari makna tajdiduddin adalah memelihara nash-nash yang asli dengan benar dan bersih.

Persoalan kedua yang perlu diperhatikan adalah lenyapnya makna nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masalah ini sangat luas dan merupakan celah penyelewengan, karena pemahaman seseorang terhadap nash-nash tersebut dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya faktor pribadinya, faktor zaman ketika ia hidup, faktor lingkungan sosialnya, faktor kualitas intelektualnya, faktor pengetahuan yang mengarahkan jalan pikirannya, faktor motivasi, dan faktor-faktor lain yang saling berinteraksi untuk membentuk pemahamannya terhadap nash-nash tersebut.

Pemahaman terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan hasil akal yang berbeda-beda, bahkan di atara perbedaan itu sangat besar dan berkaitan dengan pemahaman terhadap nash-nash pokok. Akibatnya, betapa banyak bentuk din yang mungkin muncul akibat cara pemahaman yang berbeda-beda tersebut. jika hal ini memang merupakan fakta, din yang benar itu tidak akan terpelihara eksistensinya, kecuali dengan adanya manhaj tertentu dalam memahami nash-nash tersebut.

Menurut pendapat Salaf, para sahabatlah yang langsung menerima penjelasan makna-makna Al-Qur’an dari Rasulullah sebagaimana mereka menerima lafazh-lafazhnya. [3] demikian pula dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sangat tidak masuk akal apabila Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nnya berbicara tentang mereka dengan sesuatu yang yang tidak mampu mereka pahami. Disamping karena para sahabat bertemu langsung dengan Rasulullah, para sahabat memiliki beberapa keistimewaan yang membuat pemahaman mereka terhadap nash-nash menjadi benar, [4] di antaranya adalah nash-nash tersebut memakai dialek mereka sehari-hari. Lebih dari itu, mereka menyaksikan peristiwa-peristiwa yang menjadi penyebab diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an dan diucapkannya hadits-hadits. Mereka hidup dalam suatu suasana yang meliputinya dan berlomba-lomba untuk mengamalkannya. Mereka telah menyelami masalah-masalah secara detail dalam kehidupan mereka. Lebih istimewa lagi, amal telah menjadi wasilah terpenting yang membantu terbentuknya pemahaman terhadap nash-nash sehingga menjadi suatu madrasah (aliran pemikiran) yang terpelihara dari generasi ke generasi. Dengan demikian, terpeliharalah makna nash-nash yang benar dan manhaj yang benar untuk mengetahui maksud dan saran-saran setiap nash. Inilah aliran pemikiran yang meninggalkan bekas-bekasnya dalam kitab-kitab tafsir induk dan kitab-kitab syarah induk. Kemudian, mengingat bahwa din yang benar adalah hasil pemahaman yang benar terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka salah satu makna tajdiduddin adalah meriwayatkan makna-mana yang benar dari nash-nash dan menghidupkan pemahamannya yang benar.
Selanjutnya, beramal dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah tujuan dari pengetahuan dan pemahaman terhadap nash-nash. Mengetahui nash-nash dan makna-maknanya dapat membentuk dasat teoritis bagi din. Penyelewengan demi penyelewengan yang paling berbahaya yang menimpa din ini adalah pemisahan antara ilmu dan amal, apapun bentuk dan tingkatan pemisahan tersebut.

Tajdid Adalah Menyiarkan Ilmu
Mengingat pentingnya kedudukan ilmu, maka berikut ini dipaparkan seagian pendapat Salaf tentang definisi tajdid yang berkaitan dengan ilmu.
Tajdid adalah menghidupkan ilmu. Ibnu Katsir menyatakan, “Satu kelompok ulama mengatakan bahwa hadits itu (yakni hadits mengenai tajdid/mujaddid) mencakup pribadi-pribadi ulama sepanjang masa yang melaksanakan fardlu kifayah yaitu menimba ilmu dari kalangan orang yang memahami ilmu-ilmu kalangan Salaf (generasi terdahulu) lalu menyampaikannya kepada yang diberi pemahaman dari kalangan khalaf (umat Islam generasi kemudian –ed), sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits, baik hadits dengan jalur/sanad mursal maupun tidak mursal. Ilmu tersebut mereka bawa kepada kaum khalaf secara lurus. Mereka telah membersihkan ilmu tersebut dari segala penyelewengan manusia dan dari pencurian orang-orang batil (terhadap ilmu tersebut  -ed).[5]
Kesimpulan dari pendapat ini bahwa tajdid adalah usaha yang dilakukan oleh ulama untuk mentransfer ilmu-ilmu Salaf dari generasi ke generasi dengan cara yang bersih dari berbagai bentukpenyelewengan dan selamat dari pencurian.
Urgensi mentransfer ilmu-ilmu din dan menganggap bahwa tajdid adalah menjelaskan dan menyebarkan ilmu-ilmu din tampak pada definisi tajdid yang lain. Disebutkan bahwa persoalan din yang diperbarui adalah setiap hal yang lenyap dari petunjuk-petunjuk sunnah, dan setiap hal yang tersembunyi dari ilmu-ilmu din, baik yang tampak maupun yang tidak.[6]
Beberapa riwayat Ahmad bin Hanbal tentang hadits mengenai tajdid bahkan menggunakan lafazh ta’limud-din, mengantikan lafazh tajdiduddin. Riwayat-riwayat yang lebih memperjelas makna tajdid tersebut adalah:

Riwayat Pertama:
Ahmad bin Hanbal berkata, telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan,
“Sesungguhnya Allah akan senantiasa mengutus pada setiap akhir seratus tahun orang yang mengajarkan kepada manusia din mereka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Bazzar.

Riwayat Kedua:
Dari jalur yang lain, Ahmad bin Hanbal berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
“Sesungguhnya Allah akan senantiasa akan mengutus manusia pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan sunnah-sunnah kepada manusia dan meniadakan kedustaa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi.

Riwayat Ketiga:
Dari jalur yang lain lagi, Ahmad bin Hanbal berkata bahwa telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan,
“sesungguhnya Allah memberi nikmat kepada ahli din-Nya pada setiap akhir seratus tahun dengan seorang dari ahli rumahku (ahli bait) yang akan menjelaskan kepada mereka urusan din mereka.”
Inilah beberapa nash yang menjelaskan pentingnya ta’lim (pengajaran) dalam pemahaman tajdiduddin. Jelaslah bahwa tajdiduddin adalah menjelaskan din dan mengajarkannya. Lafazh ta’lim adalah lafazh umum seperti ‘adah (mengembalikan). Dan sebaiknya kita melihat pasal-pasal yang lainnya.

Tajdid dan Ijtihad
Kaum Salaf juga telah mengisyaratkan makna tajdidudin yang lain, yaitu penyusunan solusi-solusi Islam terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan manusia. Hal itu karena kehidupan ini penuh dengan perubahan, dan nash dalam bentuk zhahir tidak cukup untuk menjelaskan hukum-hukum dari setiap masalah. Sepanjang zaman akan tetap dijumpai peristiwa demi peristiwa yang membutuhkan penanganan hukum syari’at. Banyak sekali nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memberikan jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dihajatkan sebagaimana tampak pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hal ini sudah ma’ruf (terkenal) dalam sejarah Al-Qur’an dan sejarah As-Sunnah.
Pendekatan hukum syari’at untuk menghadapi masalah melingkupi kehidupan manusia pada setiap zaman dengan mengerahkan akal yang sehat untuk mengembalikan masalah tersebut kepada sumber-sumber din, disebut ijtihad. Melalui ijtihad, hukum din menjadi leluasa untuk menempati medan yang lebih sesuai dengan perkembangan kehidupan. Karena itu, ijtihad termasuk dari bagian makna tajdiduddin. Bahkan, menurut pandangan sebagian Salaf, sesungguhnya kebutuhan untuk tajdid ini muncul dari kebutuhan ini. Berikut ini dipaparkan pernyataan-pernyataan mereka yang berkaitan dengan pengertian tersebut.
Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan Musthafa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai penutup para nabi dan rasul, berbagai peristiwa terjadi hari demi hari di luar perhitungan Nabi. Pengetahuan terhadap hukum-hukum din merupakan suatu keharusan sampai hari Kiamat. Namun, zhahir nash belum cukup untuk menjelaskannya, padahal harus dicari jalan yang mampu menyesuaikannya dan menyelesaikanya. Karena itu, Allah Yang Maha Mengetahui menghendaki munculnya suatu kaum dari kalangan para imam pada setiap abad, yang memikul tanggung jawab menghadapi peristiwa ini. Hal ini berjalan pada umat Islam seperti yang pernah terjadi pada Bani Israil bersama para nabi mereka.[7]
Sifat yang dimiliki seorang mujaddid adalah kesungguhan menegakkan hujjah, menjadi penolong Sunnah, berkemampuan mengembalikan ayat mutasyabbihat ke ayat muhkamat, dan mempunyai kemampuan untuk melakukan istinbath (penyimpulan) terhadap hakikat dan beberapa kajian yang mendalam dari nash-nash Al-Qur’an, berikut osyarat-isyarat dan petunjuk-petunjuknya, yang berasal dari hati yang sadar.[8]
Demi Allah, betapa besar kebutuhan din ini kepada hati yang sadar dan akalyang sehat, yang menjadikan din ini sebagai pengarah dan hakim bagi segala sesuatu, sebagai sumber segala ilmu, sebagai dasar dari segala sistem, serta sebagai sumber dari seluruh hukum.

Tajdid Adalah Lawan dari Bid’ah
Definisi lain dari kalangan Salaf mengenai tajdid adalah memperbarui din dengan menjelaskan (memisahkan) Sunnah dari Bid’ah, memperbanyak ilmu, memuliakan ahlinya, meruntuhkan bid’ah dan pendukungnya.[9]
Definisi tajdid ini mengisyaratkan kepada atau persoalan penting dalam pemahaman Salaf tentang tajdid. Dari definisi ini diperoleh pengertian bahwa tajdid adalah lawan dari bid’ah. Dua istilah ini, bid’ah dan tajdid, merupakan dua hal yang saling berlawanan. Lalu apakah yang disebut dengan bid’ah?
Definisi bid’ah dapat kita telusuri dari asal katanya, bada’a, yang maknanya menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya. Kata tersebut misalnya tertera dalam firman Allah:
“Dia Pencipta langit dan bumi....” (Al-An’am: 101)
Maksud dari ayat itu adalah Allah menciptakan langit dan bumi tanpa mencontoh sesuatu yang sebelumnya telah ada. Kata tersebut juga dalam firman Allah lainnya sebagai berikut:
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul yang pertama membawa risalah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada para hamba-Nya, tetapi sebelmuku telah banyak rasul yang diutus-Nya.”
Contoh lain penggunaan kata tersebut adalah dalam kalimat ibtada’a fulan bid’atan yang artinya dia memulai suatu cara yang belum ada orang lain yang memulainya.[10]
Pengertian lain dari bid’ah adalah segala sesuatu yang diciptakan dan tidak ada alasannya dalam syari’at, sedangkan segala sesuatu yang ada dalam syari’at tidak disebut sebagai bid’ah secara syar’i, sekalipun dapat dikatakan bid’ah menurut tinjauan bahasa.
Dengan demikian, setiap orang yang membuat-buat sesuatu dan menyandarkannya kepada din, maka hal itu dianggap sebagai suatu kesesatan, dan din berlepas dari dirinya, baik hal-hal itu menyangkut masalah i’tiqadat (aqidah), perbuatan, maupun perkataan. Pernyataan kalangan Salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah adalah bid’ah dalam konteks bahasa, bukan konteks syar’i. Dalam kaitan ini, Imam Syafi’i menyatakan, “bid’ah itu ada dua macam. Pertama bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Segala sesuatu yang sesuai dengan Sunnah berarti terpuji dan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan Sunnah berarti tercela. Dan yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan bid’ah madzmumah segala sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syari’ah. Sedangkan bid’ah mahmudah adalah segala sesuatu yang sesuai dengan Sunnah, maksudnya segala sesuatu yang mempunyai asal dari Sunnah. Dan hal yang disebut terakhir adalah bid’ah dalam konteks bahasa, bukan konteks syar’i, karena kesesuainnya dengan Sunnah.
Dijelaskan pula oleh Syafi’i, ketika menafsirkan pendapatnya yang pertama, bahwa hal yang baru (bid’ah) itu ada dua, yang pertama segala sesuatu yang diciptakan yang menyalahi Al-Qur’an atau As-Sunnah atau Atsar  atau Ijma’. Hal ini disebut bid’ah yang sesat. Sedangkan kedua adalah segala sesuatu yang diciptakan yang bernilai kebaikan dan tidak menyalahi satu pun (dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Atsar maupun Ijma’), dan hal ini disebut bid’ah yang tidak tercela.[11]

Di samping itu, ada definisi lain yang menambah kejelasan makna bid’ah, yaitu bahwa bid’ah yang hakiki adalah segala sesuatu yang tidak memiliki dalil syar’i, baik dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ atau dalil-dalil lain yang masyhur menurut ahli ilmu, baik secara global maupun secara terperinci. Dengan demikian, sesuatu disebut bid’ah karena merupakan sesuatu yang diciptakan dan tidak ada contoh sebelumnya, meskipun pelaku bid’ah itu enggan disebut telah keluar dari syar’i dan mengaku masih termasuk memenuhi syari’at sesuai dengan kesimpulannya dalam memahami dalil-dalil. Klaim seperti itu tidak dibenarkan. Dalam kenyataannya, dalil-dalil tersebut tidak dapat dianggap sebagai dalil.[12]
Dari pemaparan singkat definisi-definisi yang dikemukakan kalangan Salaf tentang bid’ah, jelaslah kini, betapa bid’ah dan tajdid adalah dua hal yang bertentangan  selama-lamanya.
Bid’ah adalah membuat-buat dan memulai yang baru, sedangkan tajdid adalah mengembalikan dan menghidupkan.

Bid’ah adalah membuat-buat sesuatu yang tidak ada asalnya dalam din, baik dalam nash-nashnya, prinsip-prinsip umumnya, maupun tujuan umumnya, sedangkan tajdid adalah membangun kehidupan ini di atas prinsip-prinsip agama dan membangun cabangnya di atas dasarnya (fondasinya), mengamalkan nash-nash syar’i dan prinsip-prinsip umumnya serta merealisasikan maksud –maksudnya yang umum.
Bid’ah adalah memasukkan unsur lain ke dalam din, sedangkan tajdid membersihkan din dari unsur-unsur lain yang masuk dan membuat din menjadi otentik sesuai dengan asalnya.
Tajdid adalah tashhih (pengesahan) untuk din, sedangkan bid’ah adalah penyelewengan dalam din, bahkan merupakan penyelewengan yang terbesar dalam din. Hal ini karena bid’ah, oleh pelakunya, tidak dimaklumatkan sebagai pembawa unsur-unsur luar yang memusuhi din. Berbeda halnya apabila unsur-unsur luar disuarakan secara terang-terangan oleh musuh-musuh kaum muslimin, unsur-unsur itu akan mudah terungkap. Lebih dari itu, bid’ah tidaklah tersebar melainkan melalui tangan-tangan kaum muslimin dengan menyandarkan kepada din, sehingga dampak pencemaranya lebih luas dibandingkan dengan cara yang lain. Bid’ah juga sebuah jarang yang tersembunyi yang kebatilannya diliputi oleh ketidakjelasan dan tidak mudah diidentifikasi. Oleh karena itu, banyak orang yang tertpu dan terjerumus ke dalamnya karena mereka mengira bahwa hal itu bagian dari din.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat kita ketahui, bahwa secara garis besar tajdid menurut persepsi kalangan Salaf mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
Tajdiduddin adalah usaha untuk menghidupkan, membangkitkan, dan mengembalikan din seperti keadaan semula, yaitu seperti keadaan pada masa Salaf pertama (Salafush-Shalih)
Di antara maksud penting tajdid adalah memelihara nash-nash din yang asli dengan benar dan bersih sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan.
Di antara konsekuensi tajdid adalah konsistensi di atas manhaj yang benar dalam memahami nash-nash din dan memelihara makna-makna seperti yang dijabarkan oleh madrasah fikriyah sunniyah (aliran pemikiran sunniyah)
Tujuan tajdid adalah menjadikan hukum-hukum din berlaku dalam segala aspek kehidupan, segera mengadakan perbaikan dalam mengamalkannya, serta mengembalikan hal-hal yang terkurangi atau yang ditinggalkan.
Di antara konsekuensinya yang lain adalah melakukan ijtihad yaitu menetapkan solusi Islam terhadap segala masalah yang muncul, mensyari’atkan hukum Islam bagi setiap masalah, memperluas wilayah hukum-hukum din agar diperoleh manfaat yang sesuai dengan maksud dan tujuan din.

Di antara ciri-ciri tajdid adalah pembedaan antara esensi din dan unsur-unsur lain yang disisipkan, membersihkan (purifikasi) din dari bentuk-bentuk penyelewengan dan bid’ah, baik penyelewengan yang muncul dari faktor-faktor intern masyarakat muslim maupun dari intrik-intrik jahat dari luar.
Inilah ungkapan umum pendapat Salaf tentang tajdid, dan secara global adalah usaha untuk mendekatkan antara kenyataan masyarakat muslim sepanjang sejarah dengan suri teladan din yang ada pada zaman Nabi dan zaman para Sahabat. Dan dari beberapa gambaran definisi tersebut di atas bisa disimpulkan sebagai berikut:
Tajdiduddin adalah menghidupkan dan membangkitkan petunjuk-petunjuknya yang ilmiyah dan amaliyah yang telah dielaskan oleh nash-nash Al-Qur’an As-Sunnah serta pemahaman Salaf.



[1] Syamsul-Haq Abadi, ‘Aunul-MA’bud Syarah sunan Abui Dawud, XI: 386
[2] Hakikat mengenai masalah ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan pula dalam buku-buku perbandingan din. Lihat Ahmad Salabi, muqaranatul adyan al-yahudiyyah, hal. 264 dan almasihiyyah, hal. 176
[3] Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah Fi Ushulit-Tafsir, hal. 35
[4] Ibnu Taimiyyah, hal. 95
[5] Ibnu Katsir, Dala’ilun-Nubuwwah, hal. 495
[6] Al-Munawi, Faidlul-Qadir, I: 10
[7] Al-Munawi, Faidlul-Qadir, I: 10
[8] Al-Munawi, I: 10
[9] Syamsul-Haq Abadi, ‘Aunul-MA’bud, XI: 391
[10] Asy-Syathibi, Al-I’tisham, I: 29
[11] Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, hal. 235
[12] Asy-Syathibi, II: 3


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------