SIAPAKAH MUJADDID ITU ?
Jawaban atas pertanyaan ini akan membantu kita dalam memperjelas pandangan kalangan Salaf tentang hakikat tajdid. Terdapat perbedaan di antara kalangan Salaf dalam menentukan mujaddid dalam setiap abad. Ibnu Katsir mengungkapkan bahwa setiap kaum menganggap imam atau pemimpinnya sebagai mujaddid seperti yang dimaksudkan dalam hadits tentang tajdid, yaitu hadits yang mengabarkan bahwa Allah senantiasa akan mengutus setiap akhir abad orang yang akan memperbaiki agamanya.[1]
Perbedaan dalam menentukan nama-nama mujaddid memunculkan beberapa pertanyaan: Bagaimana cara mengidentifikasi seseorang sebagai mujaddid? Adakah cara untuk mengetahui mujaddid dalam setiap abad?

Satu hal yang jelas bahwa tidak ada satu pun jalan atau metode yang dapat memberikan kepastian untuk menetapkan seorang mujaddid. Penetapan seorang mujaddid didasarkan pada anggapan yang terkuat dengan meneliti segala sesuatu yang bertalian dengan kondisi seseorang dan seberapa besar manfaat yang diberikanya.[2]
Mengingat bahwa penentuan mujaddid ini didasarkan pada zhan (sangkaan), sementara zhan bisa benar dan bisa salah, maka penentuan mujaddid tidak dapat dianggap sebagai suatu kemutlakan yang tidak dapat dibantah. Tidak ada kewenangan untuk mengklaim seseorang sebagai mujaddid sebagaimana yang dimaksud dalam hadits. Dalam hal ini, tidak ada yang mengetahui hakikatnya, kecuali Allah subhanahu Wa Ta’ala.[3] Karena itu, ketika Ahmad bin Hanbal menyebutkan secara pasti, dua mujaddid pada abad pertama adalah Umar bin Abdul-Aziz dan Syafi’i, maka orang-orang sesudahnya berani beranggapan lain, yaitu dengan menyebut seseorang yang mereka anggap lebih layak untuk disebut mujaddid.[4] Sikap seperti itu juga diikuti oleh para ulama pada masa-masa berikutnya. Mereka mengkritik orang-orang yang sebelunya disebut sebagai mujaddid dan menyusun nama-nama baru yang dianggap lebih tepat disebut mujaddid. Dari fenomena ini tampak jelas bahwa cukup besar peluang terjadinya ikhtilaf di seputar nama-nama mujaddid. Karenanya, kaidah-kaidah untuk mengetahui mujaddid semakin perlu adanya, sehingga tidak ada orang yang menyatakan klaim tanpa disertai dasar yang kuat.[5]
Syarat-Syarat Mujaddid
Dalam menetapkan seseorang sebagai mujaddid, sebagian orang menilai dari sifat-sifat dzatiyahnya dan ada juga yang menilai amal dan karya yang dihasilkan selama hidupnya, serta kemasyhuran dan pengaruh yang ditinggalkan pada zamannya.[6]

Penilaian yang berkaitan dengan sifat-sifat dzatiyah seorang mujaddid adalah sifat-sifat yang memungkinkan seseorang mampu mengemban tugas beratnya, yaitu suatu tugas yang serupa dengan tugas para nabi. Karenanya, seorang mujaddid semestinya mempunyai kemampuan intelektual atau daya pikir yang memungkinkannya menguasai berbagai disiplin ilmu secara mendalam. Sifat itu tidak ditunjukkan oleh kemapuan seseorang dalam menghimpun berbagai disiplin ilmu dan perangkatnya, seperti menumpuk-numpuk kitab dalam lemari, tetapi harus ditampakkan dengan wawasan yang baik serta daya penalaran yang membuatnya mampu menjelaskan kebenaran dan memilahnya dari penyelewengan. Dengan kalimat lain, seorang mujaddid harus memiliki keahlian mengendalikan pemikiran yang sedang berkembang pada zamannya.

Kemampuan intelektual dan keilmuan yang tinggi itu diistilahkan oleh Suyuthi dengan ungkapan “dikenal karena ilmunya” dan “menguasai semua disiplin ilmu”.[7] Menurut ulama Salaf, sifat-sifat itulah yang harus dimiliki oleh seorang mujaddid. Mereka menjadikan sifat-sifat tersebut sebagai ukuran bagi seseorang yang berhak mendapat gelar sebagai mujaddid pada suatu abad. Sebagai contoh, didasari oleh kemestian adanya sifat-sifat itulah Ibnu Asakir menyanggah pendapat yang menyatakan bahwa mujaddid pada abad ke-5 adalah Amirul-Mu’minin Al-Mustarsid Billah. Ibnu Asakir menyatakan, “Menurut pendapat saya, mujaddid pada permulaan abad lima ratus tahun adalah Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi Al-Faqih, karena ia adalah seorang yang ‘alim, faqih, fadlil, menguasai ilmu ushul dengan sempurna, penulis kitab, berotak cemerlang, ilmunya terkenal dan menyebar di seluruh dunia, dan ia melebihi orang-orang pada masanya.[8]

Menurut ulama Salaf, disamping memiliki kafasitas keilmuan sebagai sifat lain yang paling menonjol, seorang mujaddid haruslah juga seorang mujtahid.[9] Tidak diragukan lagi, sifat ini sangat penting dimiliki seorang mujaddid. Hal ini, karena seperti yang kita ketahuidalam pemaparan pendapat Salaf tentang tajdid, diperlukan seorang mujaddid untuk menghadapi masalah yang muncul pada setiap masa. Karena itu, ijtihad untuk menetapkan solusi terhadap masalah-masalah tersebut dengan didasari fikrah Islam yang murni merupakan lapangan tajdid yang terpenting.
Di samping sifat-sifat tersebut, jelas bahwa seorang mujaddid harus menjadi teladan dalam sifat-sifatnya  yang lain dan mempunyai keutamaan yang banyak. dalam hal ini, ulama Salaf tidak merasa perlu mengemukakan penjelasan terinci. Mereka hanya memberi isyarat bahwa seorang mujaddid selayaknya mempunyai sifat-sifat kebaikanyang banyak.[10]
Telah menjadi suatu kemestian pula bahwa seorang mujaddid harus mampu mencetuskan amal-amal yang masuk dalam kategori tajdid. Di antaranya, dan yang paling penting dalam hal ini, adalah usahanya dalam meninggikan dan memurnikan Islam dari segala bentuk penyelewengan yang menyusup ke dalam pemahaman Islam yang murni dan mengembalikannya kepada sumber Islam pertama, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah. Usaha itu dapat dilakukan dalam bidang pemikiran, yaitu dengan mengmukakan pendapat-pendapat dan menyebarkan ilmu dalam kegiatan mengajar menulis kitab atau dalam bidang amaliyah, yaitu misalnya dengan memperbaiki perilaku manusia dan pada puncaknya memperbaiki pemerintahan dan hukum. Secara keseluruhan, mujaddid itu haruslah sebagaimana yang diungkapkan oleh ulama Salaf, “Penolong Sunnah dan penghancur bid’ah.” Bila seorang tokoh tidak memenuhi kriteria itu, maka ia sama sekali tidak dapat dianggap sebagai mujaddid, sekalipun ia menguasai beberapa disiplin ilmu dan masyhur sebagai rujukan umat.[11]
Seseorang yang berperan sekedar sebagai titian ilmu, yaitu yang hanya mentransfer ilmu, belum cukup syarat untuk ditempatkan dalam jajaran mujaddid. Untuk disebut sebagai mujaddid masih diperlukan pengakuan atas tingginya amal yang ditunaikan (yang oleh ulama Salaf diistilahkan dengan ar-riwayat), kesungguhanya dalam menghilangkan kesalahan-kesalahan pandangan dalam ilmu dan mengembalikannya kepada sumber Sunnah, serta kesungguhannya dalam membenahi penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat. Itulah yang dimaksud oleh ulama Salaf sebagai “penolong Sunnah dan penghancur bid’ah”.

Sebagai ilustrasi, Ibnu Asakir berpendapat, bahwa Abil-Hasan Al-Asy’ari adalah Mujaddid abad ke-3, bukan Abul-Abbas bin Suraij. Ia mengatakan, pendapat yang menyebutkan mujaddid abad tersebut adalah Abul-Hasan Al-Asy’ari lebih tepat, karena perjuangannya dalam menolong Sunnah lebih dekat dengan kriteria tajdiduddin. Ia telah pula menerangi Mu’tazilah dan semua aliran bid’ah yang menyesatkan. Pada saat itu, Asy’ari sudah terkenal dan kitab-kitabnya yang memuat bantahan terhadap aliran-aliran sesat itu telah menyebar luas. Sementara itu, Abul-Abbas bin Suraij adalah seorang faqih, berilmu tinggi, menguasai ushul fiqh, dan cabang-cabangnya, serta seorang yang cerdik.[12]

Dan tidak selayaknya pengaruh mujaddid itu hanya pada suatu daerah yang sempit. Begitu pula manfaat yang diberikannya, tidak sepatutnya hanya dalam bidang yang terbatas. Menurut ulama Salaf, seorang yang berhak mendapatkan sebutan atau gelar mujaddid haruslah mampu menyebarkan berbagai ilmu dan manfaatnya ke seluruh manusia pada zamannya.[13] Pengaruh dan karya-karyanya tersebar luas, kesungguhan yang diberikan dalam rangka islah (perbaikan) mempunyai pengaruh yang jelas dalam arus pemikiran, ilmu, dan kehidupan manusia.di antara indikasi untuk mengetahui pengaruh seorang mujaddid, yaitu apakah generasi sesudahnya, yakni para sahabat dan muridya, melanjutkan penyebaran gagasan-gagasannya dan perluasan pemanfaatan karya-karya  dan amal-amal ishlahnya. Dalam kaitan ini, Az-Zain Al-Iraqi mengataka bahwa dasar dalam menetapkan seorang mujaddid itu adalah kemasyhuran manfaat yang dihasilkannya terhadap para sahabat dan karya-karyanya.[14] Dalam kalimat lain, dalam masa kehidupan seorang mujaddid dan masa sesudahnya terbentuk suatu kecenderungan ilmu dan amal, atau suatu aliran pemikiran, atau madzhab atau gerakan, atau jama’ah. Semua ungkapan itu berdekatan makna dan menunjukkan suatu pengaruh yang harus ditinggalkan oleh seorang mujaddid. Jika seseorang tidak memiliki pengaruh sedalam itu, ia tidak terhitung dalam jajaran mujaddid. Syarat ini bukanlah merupakan syarat yang dibuat-buat. Tidaklah mungkin seseorang dianggap memiliki kapasitas seorang mujaddid, jika bekas atau pengaruhnya habis bersamaan dengan kematiannya.

Saat Kebangkitan Mujaddid
Penetapan saat kebangkitan mujaddid dan beberapa hal lainnya merupakan standar yang digunakan untuk menentukan jumlah mujaddid. Berdaarkan standar itulah dibangun ketika terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan seorang mujaddid. Standar yang sifatnya umum dan tidak terinci itu memang dapat memilah orang-orang yang dianggap mujaddid, tetapi kadang-kadang tidak cukup mampu untuk menjadi penapis yang memungkinkan ditetapkannya seorang atau dau orang mujaddid saja dalam setiap masa. Konsekuensinya, apabila kita cermati, banyak di antara ulama dan orang-orang terkenal yang memenuhi sifat-sifat yang merupakan kriteria seorang mujaddid. Oleh karena itu, ada standar lain yang diisyaratkan oleh ulama Salaf, yakni suatu kriteria yang barangkali dapat diistilahkan dengan standar zaman. Kriteria ini mengacu kepada isyarat dari hadits yang menyebutkan bahwa seorang mujaddid itu akan dibangkitkan pada setiap akhir seratus tahun. Dalam hal ini, Al-Karmani, seorang pen-syarah Shahih Bukhari, menyatakan, “menjelang setiap akhir seratus tahun juga ada orang yang membenarkan dan menegakkan urusan din, namun yang dimaksud dengan orang yang melampui seratus tahun (mujaddid) adalah ia yang hidup pada kurun itu, ‘alim dan terkenal.” Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ibnu Atsir, Suyuthi, dan lebih dari seorang ulama Salaf.[15]

Ra’sul-Mi’ah sebagaimana diungkapkan dalam bahasan ini maksud sebenarnya adalah setiap akhir seratus tahun. Ini salah satu makna dari lafazh tersebut dalam konteks bahasa. Dengan demikian berarti, tajdiduddin yang dilakukan mujaddid akan terjadi pada setiap akhir seratus tahun. Lafazh ra’sul-mi’ah ini maknanya sama dengan makna yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar dalam dua kitab shahih, yaitu:
“Maukah pada malam ini aku tunjukkan kepada kalian, sesungguhnya pada akhir seratus tahun tidak seorang pun yang tinggal dari orang-orang yang ada di bumi (sekarang) ini.”
Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ra’sul-mi’ah dalam hadits ini adalah akhir seratus tahun, dan dalam konteks tersebut sama sekali tidak dapat dipahami sebagai awal atau permulaan dari seratus tahun. Selanjutnya, sebuah riwayat yang ditakhrij (ditelusuri sumbernya maupun sanadnya –ed.) oleh Tirmidzi dalam Asy-Syama’il dari Anas radliyallahu ‘anhu, disebutkan:
“Allah telah mengutusnya (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pada akhir empat puluh tahun, lalu tingal di Makkah sepuluh tahun, dan di Madinah sepuluh tahun, dan Dia mewafatkannya pada akhir enam puluh tahun.”
Menilik riwayat-riwayat di atas, maka jelaslah bahwa pendapat ulama Salaf yang menyatakan bahwa saat dibangkitkannya mujaddid adalah pada setiap akhir seratus tahun menjadi semakin kuat.[16]

Sekalipun demikian, adanya anggapan bahwa yang dimaksud dengan ra’sul-qarni adalah setiap awal abad, tidak menimbulkan suatu perbedaan yang berarti, karena akhir dari suatu abad adalah permulaan dari abad sesudahnya.[17]
Di samping itu, pendapat ulama Salaf yang mengataka bahwa perhitungan seratus tahun itu berdasarkan tahun Hijriyah, juga merupakan pendapat yang tepat. Selain pendapat tersebut, berkembang pula penafsiran lain, misalnya bahwa perhitungan seratus tahun itu dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, saat turunnya amanah kenabian, atau tahun kelahirannya.[18]

Ada pendapat yang mengatakan bahwa penentuan waktu kebangkitan mujaddid pada akhir seratus tahun, yang dimaksud di sini tidaklah pengkhususan, akan tetapi secara ittifaq (kesepakatan) seperti telah disebutkan. Atas dasar ini, bisa jadi mujaddid itu akan dibangkitkan pada awal atau pertengahan atau pada akhir abad, khususnya kadang ada orang yang hidup pada akhirnya. Seandainya pendapat ini berdasarkan pada dalil yang benar, niscaya wilayah tajdid semakin bertambah luas, dan banyak di antara ulama yang belum mencapai akhir seratus tahun masuk dalam pembilangan mujaddid. Akan tetapi, tidak seorang pun yang menerima pendapat ini, dan para penganutnya tidak mempunyai dalil untuk dijadikan sebagai sandaran.[19]

Sementara itu, meskipun anggapan bahwa mujaddid dibangkitkan pada setiap akhir abad diterima sebagai suatu pendapat yang kuat, masih ada pertanyaan yang tersisa, yaitu: apakah yang dimaksud dengan kebangkitan seorang mujaddid pada setiap akhir abad itu? Saat kebangkitan seorang mujadid tentu bukanlah saat wafatnya mujaddid yang terjadi pada akhir suatu abad. Namun, pendapat yang menyatakan demikian berkembang luas. Perlu diketahui, kata al-ba’tsu menunjukkan makna pengutusan dan penampakkan, sedangkan wafatnya seseorang lebih mendekati makna pencabutan dan pengambila, bukan pembangkitan dan pengutusan. Suatu hal yang jelas dipahami bahwa akhir suatu abad dialami oleh seorang mujaddid dalam keadaan masih hidup. Dan pada saat itulah ia menegakkan amal tajdid, melakukan usaha-usaha perbaikan, dan ia menjadi masyhur karena hal-hal tersebut.[20] seseorang lazimnya tidak mencacapai tingkatan seorang muajdid, yaitu menjadi masyhur karena ilmunya, karena usaha-usaha perbaikan yang diperjuangkannya, serta tajdid yang dilakukannya, kecuali setelah ia hidup dalam jangka waktu yang panjang atau sampai berusia lanjut. Akhir hidup seorang mujaddid terkadang di sekitar akhir satu abad. Contohnya: Umar bin Abdul-Aziz, yang menurut kesepakatan kalangan Salaf adalah mujaddid abad pertama. Ia wafat pada tahun 10 Hijriyah dalam usia empat puluh tahun. Ia menjadi khalifah hanya dua setengah tahun. Pada masa kekhilafannya yang singkat itulah ia mencurahkan kesungguhan dalam mewujudkan situasi islah. Contoh lainnya adalah Syafi’i, yang dianggap sebagai mujaddid abad kedua. Ia wafat pada tahun 204 H.

Karena ada kaidah yang menyatakan bahwa munculnya mujaddid dan tercapainya puncak kemasyhuran seorang mujaddid terjadi pada akhir abad, ulama Salaf tidak mengkategorikan sejumlah tokoh terkenal pada permulaan suatu abad sebagai mujaddid. Ahmad bin Hanbal adalah salah satu contohnya. Sekalipun ia mempunyai keutamaan, diakui telah meluruskan dan membenahi din, tetapi namanya tidak termasuk dalam bilangan mujaddid yang disusun oleh Ibnul-Asakir, Ibnu Atsri, As-Subki, Zain Al-Iraqi, maupun Suyuthi. [21] Alasan tidak disebutkannya Ahmad bin Hanbal sebagai mujaddid oleh Ibnul-Atsir adalah, “Ahmad bin Hanbal pada saat itu belum terkenal. Ia wafat pada tahun 241 H).[22]

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa akhir abad adalah penentu zaman bagi siklus tajdid. Penentuan waktu yang digabungkan dengan standar lainnya, yaitu sifat-sifat yang harus dimiliki seorang mujaddid, yang meliputi amal seseorang yang patut untuk diangkap suatu tajdid dan kuatnya pengaruh yang ditinggalkannya, merupakan petunjuk untuk mengetahui siapakah mujaddid pada suatu abad. Namun, gabungan kedua standar ini pun hanya sekedar petunjuk saja, bukan suatu kemutlakan. Standar-standar itu masih memungkinkan adanya lebih dari seorang nominasi mujaddid pada suatu abad. Tidak mustahil terdapat lebih dari satu nama yang dicalonkan untuk mendapat gelar mujaddid untuk suatu abad.

Jumlah Mujaddid Pada Satu Abad
Sekalipun terdapat perbedaan di sekitar nama-nama mujaddid dan terdapat anggapan adanya lebih satu mujaddid pada setiap abad, jumhur (mayoritas) Salaf menyatakan bahwa muhaddid pada setiap abad itu hanya seorang, tidak lebih. Suyuthi telah menisbatkan pendapat ini kepada jumhur Salaf dalam syairnya tentang mujaddid.[23] Pendapat ini tidak didasarkan suatu hujjah kecuali riwayat yang telah dikeluarkan oleh Baihaqi tentang hadits tajdid dari jalur Ahmad bin Hanbal. Dalam hal ini, Suyuthi menyatakan, “telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya Allah memberi nikmat kepada ahli din-Nya pada akhir setiap seratus tahun dengan seorang laki-laki dari ahli rumah-Ku (ahlilbait) yang akan menjelaskan kepada mereka urusan din-Nya.’ Dan aku melihat pada tahun seratus ada seseorang dari keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Umar bin Abdul-Aziz, dan pada permulaaan seratus tahun kedua yakni Muhammad Idris Asy-Syafi’i.[24]
Dalam riwayat ini terdapat fase seorang laki-laki, dan ini merupakan hal yang jelas bahwa mujaddid dalam setiap abad itu hanyalah seorang. Riwayat ini pun mengemukakan syarat lain, yaitu bahwa ahlul mujaddid itu berasal dari ahlul-bait. Suyuthi mengutarakan riwayat ini,[25] dengan menegaskan bahwa mujaddid itu dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hanya seorang. Namun, nama-nama mujaddid yang telah dikemukakannya tidak seluruhnya berasal dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pendapat Suyuthi tersebut dan nama-nama mujaddid itu terdapat dalam syairnya yang sama.

Pada kenyataannya, tidak terdapat nama mujaddid dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam beberapa abad setelah abad kedua dalam daftar nama-nama mujaddid.[26] Itulah yang mendorong As-Subki untuk menghilangkan kesulitan ini dengan membatasi semua nama-nama mujaddid pada abad-abad setelah abad kedua pada pengikut madzhab Syafi’i. Hal ini karena ia berpendapat, Syafi’i adalah mujaddid abad kedua dan termasuk keluarga Nabi (ahlul-bait), ia menjadi imam yang pendapatnya tetap diikuti orang, dan madzhabnya adalah madzhab yang tetap sesuai dengan kondisinya dan pada akhir setiap seratus tahun dibangkitkan orang yang akan menetapkan madzhabnya pada setiap akhir abad.[27] Ini adalah suatu keanehan As-Subki. Saya menduga, tidak seorang pun yang mengikuti pendapat ini, karena As-Subki, dalam hal ini tidak mempunyai dalil.
Sisi lain yang menarik dari persoalan jumlah mujaddid adalah adanya pendapat yang mengatakan bahwa mujaddid dalam satu saja masa mungkin saja lebih dari seorang. Pandapat ini antara lain dikuatkan oleh Aibnul-Atsir, Ad-Dzahabi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Hajar. [28]
Ibnul-Atsir menyatakan, “Yang lebih utama, hadits tajdid itu dipahami secara umum. Pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu sesungguhnya Allah akan membangkitkan seorang mujaddid untuk umat ini pada akhir seratus tahun, dapat bermakna seorang atau lebih dari seorang. Hal ini karena lafazh “man” bisa berarti satu dan banyak.
Disamping itu, Ibnul-Atsir berpendapat, mujaddid tidak harus seorang fuqaha (ahli fikih) sebagaimana diyakini oleh sebagian ulama. Walaupun manfaat yang dipetik oleh umat dari para fuqaha bersifat umum dalam persoalan agama, manfaat yang dapat dipetik dari selain fuqaha juga banyak. Contohnya, manfaat yang dapat dipetik dari seorang Ulil-Amri, hali hadits, ahli qira’ah, ahli nasihat, dan orang-orang yang zuhud juga banyak. Sebab, setiap tokoh dalam suatu bidang bisa memberikan manfaat yang tidak diberikan oleh orang lain. Memelihara din dapat pula diwujudkan dalam bentuk memelihara undang-undang politik dan menegakkan keadilan yang akan melestarikan harga diri umat dan menegakkan undang-undang syar’i, dan hal ini merupakan tanggung jawab ulil-amri. Demikian pula para ahli hadits, mereka dapat memberi manfaat yang besar dengan menyeleksi hadits sebagai dalil syar’i. Ahli qira’ah dapat memberi manfaat yang banyak dengan cara memelihara bacaan-bacaan  dan menyeleksi riwayat-riwayat tentang bacaaan itu. Dan orang-orang yang zuhud bisa memberi manfaat dengan memberi nasihat dan menganjurkan untuk selalu bertakwa dan tidak terlalu mementingkan dunia.
Sekali lagi, setiap tokoh dapat memberi manfaat yang tidak bisa diberikan oleh yang lainnya. Tetapi, yang diutus pada setiap akhir seratus tahun haruslah orang yang masyhur penguasaannya terhadap semua bidang dan disiplin ilmu tersebut. satu hal yang positif dan perlu digarisbawahi, fenomena ini  menunjukkan munculnya sekelompok tokoh besar dan masyhur dalam berbagai bidang pada akhir setiap abad.[29]
Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bari, mengajukan hujjah-hujjah yang lain. Ia menyataka, “Sebagian imam mengingatkan bahwa yang akan dibangkitkan pada permulaan setiap seratus tahun  itu tidak hanya mesti seorang. Persoalannya adalah seperti yang disebutkan oleh Nawawi dalam sebuah hadits yang menyebutkan, bahwa senantiasa ada sekelompok orang (tha’ifah) dari umat Nabi, yang membela kebenaran. Kata tha’ifah bisa menunjukkan jumlah yang banyak, ada orang yang pemberani, ada orang yang cerdik dalam peperangan, ada ahli fikih, ada ahli hadits, ada ahli tafsir, ada orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, ada orang yang zuhud, dan pula orang yang ahli beribadah.” Lebih lanjut, Ibnu Hajar menyatakan, “Mereka tidak harus berkumpul di satu negara, tetapi bertebaran dan saling bahu-membahu. Bahkan, bisa saja bumi ini dikosongkan satu persatu dari keberadaan mereka, sampainya tidak tersisa kecuali satu firqah saja dalam satu negara. Bila mereka telah binasa, maka datanglah ketentuan Allah. Masih menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, berkumpulnya sifat-sifat yang dibutuhkan untuk tajdid tidak terbatas hanya pada satu kebaikan. Di samping itu, tidak pula harus berkumpul semua kebaikan pada satu orang, walaupun ada orang yang mempu memiliki kualitas seperti itu, yaitu Umar bin Abdul-Aziz. Ia adalah penegak kebenaran pada akhir seratus tahun, karena ia memiliki semua sifat kebaikan. Untuk itu Ahmad menyebutkan bahwa hadits (tajdid) tersebut dibawa kepadanya. Sesudah Umar bin Abdul-Aziz, Syafi’i diyakini mempunyai sifat-sifat yang indah dan utama. Namun, ia tidak menegakkan jihad dan tidak menegakkan hukum dengan dalil.

Berdasarkan semua pertimbangan tersebut, setiap orang yang mempunyai sifat-sifat sebagaimana telah disebutkan dan sifat tersebut memuncak pada setiap akhir seratus tahun, itulah yang disebut mujaddid, berbilang ataupun tidak.[30]
Sementara itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa mujaddid adalah orang yang menguasai ilmu yang berkembang pada setiap zaman. Pendapat ini mengandung kebenaran, karena hadits tentang tajdid mengisyaratkan pribadi-pribadi ulama pada semua zaman yang melaksanakan wajib kifayah dalam menunaikan ilmu yang berasal dari yang mengetahui dalam kalangan Salaf kepada yang tidak mengetahui dalam kalangan Khalaf.[31]
Perkiraan Nama-Nama Mujaddid
Dua kelompok yang dikemukakan Salaf tentang jumlah mujaddid tentu saja berpengaruh dalam penetapan nama dan jumlah mujaddid pada setiap abad. Daftar nama mujaddid yang dibuat oleh Ibnul-Atsir menunjukkan pendapatnya tentang adanya banyak mujaddid pada setiap abad. Sementara itu, pendapat yang menyebut bahwa hanya ada seorang mujaddid pada setiap abad, dapat dilihat pada daftar nama mujaddid yang disusun oleh As-Suyuthi, yang mencakup daftar yang dibuat oleh Ibnu Asakir, As-Subki, dan Az-Zain Al-Iraqi.[32] Berikut ini kami sajikan daftar yang dibuat oleh Ibnul-Atsir[33] dan As-Suyuthi[34]:


[1] Al-Munawi, Faidlul Wadir, II: 282
[2] Syamsul-Haq Abadi, ‘Aunul-Ma’bud, XI: 391
[3] Pendapat Zain bin Al-Iraqi, lihat: Al-Mahabi, Khulashatul-Atsar, III: 346
[4] Al-Mahabi, Khulashatul-Atsar,
[5] Abdul-Muta’al Ash-Sha’idi, Mujaddidun Fil-ISlam
[6] Dalam usahanya menghimpun pendapat para ulama Salaf tentang kaidah-kaidah tajdid, Imam Suyuthi menyatakan, syarat seorang mujaddid adalah bahwa dalam masa yang melampui seratus tahun, ia hidup di tengah-tengah berbagai golongan. Ia dikenal karena ilmunya, senantiasa menolong Sunnah dalam ucapannya, menguasai banyak bidang ilmu, dan ilmunya itu dirasakan secara merata oleh prang-orang pada zamannya. Ia termasuk Ahlul-Bait Musthafa (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sangat masyhur, dan banyak dibicarakan orang. Penjabaran ini adalah seperti yang diisyaratkan oleh suyuthi dan yang lainnya. Lihat ‘Aunul-Ma’bud, XI: 392 dan Faidlul-Qadir, I: 10
[7] Abyat Suyuthi
[8] Ibnu Asakir, Tabyin Kadzbil-Muftara, hal. 53
[9] Al-Munawi, Faidlul-Qadir, I: 10
[10] Ibnu Hajar, Fathul-Bari, XIII: 295
[11] Al-Azizi, As-Sirajul-Munir, I: 4; ‘Aunul-Ma’bud, XI: 391-392; Al-Munawi, Fadlul-Qadir, I: 10 dan perkataan Suyuthi.
[12] Ibnu Asakir, hal. 53
[13] Abyat Suyuthi
[14] Al-Mahabbi, Khulashatul-Atsar, III: 346
[15] Faidlul-Qadir, VII: 12,; Abyat Suyuthi, Ibnul-Atsir, Jami’ul-Ushul, XI: 324
[16] Syamsul-Haq Abadi, ‘Aunul-Ma’bud, XI: 389
[17] Sebagian orang yakin, yang dimaksud dengan ra’sul-qarni adalah hari pertama dari tahun pertama pada abad baru.
[18] Syamsul-Haq Abadi, XI: 389
[19] Syamsul-Haq Abadi, XI: 390
[20] Faidlul-Qadir, I: 12; Khulashatul-Atsar, III: 347; Abyat Suyuthi
[21] Lihat catatan kaki no. 42 pada pasal ini
[22] Ibnu Atsir, Jami’ul-Ushul, XI: 322
[23] Lihat bait-bait As-Suyuthi
[24] Ibnu Hajar, Tawalit-Ta’sis, hal. 48; As-Subki, Thabaqatusy-Syafi’iyyah, hal. 199
[25] Lihat bait-bait As-Suyuthi
[26] As-Subki, hal. 199
[27] As-Subki, hal. 199-200
[28] Jami’ul-Ushul, XI: 320; Faidlul Qadir, I: 11; Ibnu Katsir, Dala’ilun-Nubuwwah, hal. 495; Ibnu Hajar, Fathul-Bari, XIII: 295
[29] Jami’ul-Ushul, XI: 320
[30] Ibnu-Hajar, Fathul-Bari, XIII: 295
[31] Ibnu Katsir, Dala’ilun-Nubuwwah, hal. 495
[32] Ibnu Asakir, Tabyin Kadzbil-Muftara, hal. 53; As-Subki, Thabaqathusy-Syafi’iyyah, I: 20; Al-Munawi, Faidlul-Qadir, I: 311
[33] Ibnu Atsir, Jami’ul-Ushul, XI: 322
[34] Lihat syair As-Suyuthi dalam ‘Aunul-Ma’bud, XI: 394


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------