Kata Tajdid dalam Al-Hadits
Kata tajdid[1] terdapat dalam beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadits Pertama:
Sesungguhnya iman itu bisa usang di dalam hati salah seorang di antaramu sebagaimana usangnya baju. Maka, mintalah kepada Allah untuk memperbarui keimanan yang ada dalam hatimu.[2]
Dalam hadits ini ada tiga makna yang saling terkait yang segera terlintas dalam pikiran kita ketika kata tajdid itu disebutkan. Ketiga makna tersebut adalah, iman itu telah masuk ke dalam hati seseorang dan tertanam di dalamnya, kemudian imannya memudar dan menjadi usang seperti usangnya pakaian, kemudian melalui do’a yang dipanjatkannya kepada Allah ia berharap iman yang ada dalam hatinya diperbarui menjadi seperti semula atau menjadi yang lebih baik.

Hadits Kedua:
Imam Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu. Ia berkata:
“Rasulullah telah menyatakan, ‘perbarui imanmu.’ Dikatakan, ‘ya Rasulallah, bagaimana cara memperbarui iman kami?’ Rasulullah menjawab, ‘perbanyaklah dari mengucapkan kalimat La ilaha illallah’.”[3]
Dalam hadits ini, lafazh tajdidul-iman terulang dua kali dan Nabi menjelaskan bahwa pembaruan iman dilakukan dengan memperbayak menyebut kalimat la ilaha illallah, karena persaksian bahwa ‘tidak ada ilah kecuali Allah’ merupakan tanda iman. Setiap orang yang mengulangi syahadat ini, maka ketika itu pula keimanan yang telah masuk ke dalam hatinya pertama kali menjadi semakin kuat.

Hadits Ketiga:
Imam Ahmad bin Habal meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan menyatakan bahwa Nabi telah berkata:
“Tidaklah seorang muslim, laki-laki maupn perempuan, yang tertimpa suatu musibah, lalu menyebutnya (mengucapkan ‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), dan sekalipun panjang masanya (dalam riwayat yang lain ‘lama masanya’) kemudian ia memperbarui ucapan tersebut, melainkan Allah akan memperbarui baginya ketika itu, lalu memberinya pahala seperti pada hari ketika ia mendapat musibah.[4]
Hadits ini menerangkan bahwa seorang muslim, laki-laki dan perempuan, yang tertimpa suatu musibah dan ia bersabar menerimanya seraya mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan setelah waktu berlalu ia kemudian memperbaruinya lagi, maka Allah memperbarui pahalanya. Allah memberikan pahala seperti yang diberikan kepadanya seperti ketika ia mendapat musibah.
Dari beberapa makna yang disebutkan dalam hadits ini, kita melihat adanya makna pengulangan dan pengembalian yang terkandung dalam makna tajdid (pembaruan) terhadap pahala yang diberikan setiap kalimat inna lillahi wa inna lillahi wa inna ilaihi raji’un diucapkan ulang.

Hadits Keempat:
Dari Abu Hurairah rdliyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa Rsulullah telah mengatakan:
“Janganlah kamu mencela masa, sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, ‘Akulah (pencipta) masa, hari siang dan malam itu milik-Ku. Aku memperbaruinya dan memusnahkannya dan Aku mendatangkan raja-raja setelah raja-raja.[5]
Dalam hadits ini disebutkan lafazh tajdid yang terjadi pada siang dan malam, sehingga siang dan malam itu pergi dan kembali lagi. Maka, setiap kali hari itu pergi, berarti ia telah lenyap (hancur) dan kemudian akan kembali seperti semula. Artinya hari pun telah mengalami proses tajdid.
Dari beberapa penggunaan kata tajdid sebaimana tersebut di atas, baik dari tinjauan bahasa, tinjauan Al-Qur’an, maupun tinjauan Al-Hadits, semakin jelaslah bahwa tajdid berarti menghidupkan, membangkitkan, dan mengembalikan. Dan makna ini membentuk suatu gagasan yang terdiri dari tiga unsur dalam alam pikiran, yaitu:
·         eksistensi awal dari sesuatu
·         sesuatu itu kemudian mengalami kerusakan dan lenyap
·         sesuatu itu dihidupkan dan dikembalikan (seperti semula)

Pendapat Salaf Tentang Tajdid
Telah kita pahami bahwa pemahaman tajdid yang benar adalah seperti yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mengabarkan kepada para sahabatnya, yaitu bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa akan membangkitkan pada akhir setiap seratus tahun orang yang akan memperbarui Dinul-Islam. Dan manusia yang paling berkompeten untuk menjelaskan pemahaman yang dimaksud oleh Rasulullah adalah Salafush-Shalih. Kata salaf makna aslinya adalah terdahulu. Dalam hal ini salaf berarti jama’ah yang terdahulu. Salaf dari manusia adalah orang-orang terdahulu, yaitu nenek moyang mereka. Generasi awal dari para sahabat dan tabi’in dinamakan Salafush-Shalih.[6] Sedangkan secara istilah, yang dimaksud salaf adalah para sahabat Rasulullah, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, para pengikut mereka, serta generasi selanjutnya dari para pemuka (iman) din yang diakui keimanannya dan dikenal kebesaran perananya dalam din, sehingga manusia dapat menerima pendapatnya serta belum pernah tertuduh menyimpang atau berbuat bid’ah.[7]
Beberapa pendapat salaf tentang tajdid tersebar dalam beberapa kitab hadits dan syarah atau penjelasannya serta dalam kitab thabaqat dan tarajim (kedua istilah yang disebut terakhir kurang lebih bermakna biografi –ed). Imam Ibnu Hajar (773-852 H.) menulis judul tersendiri mengenai tajdid. Dalam karyanya itu, ia menyatakan, “Semoga Allah melapangkan usaha ini dan memudahkanku untuk mengumpulkan dalam satu bagian tersendiri.[8] Tetapi, aku belum menemukannya. Barangkali, kitab tersebut belum ditemukan sejak masa yang silam[9]. Sementara itu, Imam Suyuthi (wfat 911 H) membahas para mujadid dalam karyanya yang berjudul “At-Tanbi’ah Fiman Ba’atsahullahu ‘ala Ra’si Kullimi’atin.”[10]

Dan karena istilah tajdid ini bersumber dari hadits Nabi yang meriwayatkan tentang hal ini, maka ada beberapa kitab hadits yang telah mengeluarkan hadits ini dan syarahnya yang mengandung beberapa kelompok pendapat di sekitar tajdid. Kitab-kitab tersebut di antaranya adalah Sunan Abu Dawud (Abu Dawud wafat pada tahun 275 H.) dan syarahnya, Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir (544-606 H), dan Al-Jami’ush-Shaghir oleh Suyuthi dan syarahnya.
Sedangkan kitab-kitab tarajim dan thabaqat menjadi lahan kedua untuk menjelaskan fikrah salaf tentang tajdid, yaitu ketika mengupas sirah/sejarah salah seorang mujaddid. Contohnya adalah kitab tarjamah (bentuk singularis dari tarajim) tentang Abil Hasan Al-‘Asykari yang disusun oleh Ibnu Asakir (499-571 H) dengan judul ‘Tabyinu Kadzbil Muftari fima Nusiba Ilal Imam Abul-Hasan Al-‘Asy’ari; kitab Thabaqatusy-Syafi’iyyah Al-Kubra yang disusun oleh As-Subki (727-771 H),dan kitab tarjamah tentangImam Syafi’i yang disusun oleh Imam Ibnu Hajar dengan judul Tawalit-Ta’sisi bima’ali Al-Ibni Idris. Demikian juga disebutkan bahwa Zain Al-Iraqi (725-806 H) telah membahas judul ini dalam penulisan judul biografi Al-Ghazali pada awal takhrijnya terhadap hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.[11]

Beberapa kitab lainnya juga membahas makna tajdid, tetapi tidak sebagai pokok bahasan utama. Masalah tajdid dalam beberapa kitab disinggung dalam muqaddimah. Pembahasan-pembahasan mengenai masalah itu tidak lebih dari beberapa halaman saja. Sebagai contoh, dalam kitab ‘syama’ilur-rasul wa dala’ilun-nubuwwah, Ibnu Katsir (774 H) membahas masalah tersebut secara umum dan hanya dalam beberapa lembar tulisan saja.
Perhatian kalangan salaf terhadap makna tajdid juga terungkap dari pendapat-pendapat mereka mengenai tokoh-tokoh yang berhak menyandang gelar mujaddid. Beberapa sumber menyebutkan bahwa perhatian salaf terhadap masalah ini sebetulnya telah ada sejak zaman dahulu. Muhammad Muslim bin Syihab Az-Zuhri (wafat 124 H.) misalnya, mengemukakan pendapatnya tentang siapakah mujaddid pada abad pertama. Pendapat ini menyebar luas, sehingga ia dikenal sebagai orang yang pertama kali mencurahkan perhatiannya pada persoalan ini. Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H.), ketika meriwayatkan hadits mengenai tajdid dengan beberapa jalur yang berbeda-beda, menyebutkan bahwa ada orang yang dipandangnya sebagai mujaddid periode pertama dan periode kedua. Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini sudah masyhur pada saat itu.[12]
Hadits itu juga pernah disebut dalam Majlis Abul-Abbas bin Suraj, seorang fuqaha Syafi’iyyah pada abad ke-3 Hijriah. Seorang ahli ilmu di atara para hadirin berdiri dan mengucapkan beberapa bait (syair) yang mengandung nama-nama mujaddid abad pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Bait-bait syair itu juga pernah diucapkan dalam Majlis Abu Abdullah Al-Hakim (wafat 405 H), di samping bait-bait lain yang mengandung nama-nama mujaddid abad keempat. As-Subki menjadikan data-data itu sebagai bahan dari dua puluh bait syairnya yang memuat nama-nama mujaddid.[13] Barangkali hal itulah yang kemudian mendorong Imam Suyuthi untuk menciptakan syair (kasidah) serupa yang terdiri dari dua puluh delapan bait. Syair tersebut diberinya judul tuhfatul-muhtadin bi akhbaril-mujaddidin.[14]
Dengan demikian, jelaslah bahwa kalangan salaf telah membahas masalah tajdid, meskipun sedikit. Pendapat-pendapat mereka itu mencerminkan pemikiran yang berkembang dalam mayoritas umat Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa masalah ini termasuk masalah ilmiah yang didiskusikan pada setipa abad dalam majlis-majlis para ulama. Selanjutnya, dengan meninjau kembali nama-nama yang diebutkan dalam pembahasan terdahulu, dapat kita ketahui pula bahwa sebagian besar dari mereka yang melakukan penelaahan tentang masalah tajdid adalah para penulis yang terkenal. Hal ini semakin mendekatkan kita pada kesimpulan, bahwa masalah tajdid tidak pernah sepi dari orang-orang yang membahasnya.

Definisi Tajdid
Tidak mungkin saya menyebut pendapat-pendapat kalangan salaf tentang tajdid sebagai suatu definisi yang terbatas, sesuai dengan makna definisi yang kita kenal. Namun demikian, hal ini tidak dapat dianggap mengurangi bobot persepsi mereka tentang tajdid, sebagaimana akan diterangkan kemudian. Barangkali dari fenomena ini dapat dinyatakan bahwa makna tajdid telah jelas dalam benak mereka, tidak rancu seperti yang terjadi pada sebagian kita sekarang. Masalah definisi tajdid dan penjelasan makna rupanya tidak mendapatkan perhatian besar dari mereka, atau tidak sebesar perhatian mereka terhadap jumlah dan nama-nama mujaddid. Pertanyaan mengenai apakah makna kata tajdid, rupanya tiak menjadi bahan pemikiran mereka dan kurang mendapatkan tanggapan dalam tulisan-tulisan mereka. Berbeda halnya dengan kupasan mereka tentang siapakah mujaddid pada setiap abad. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan penyebutan-penyebutan jumlah mujaddid telah mencakup definisi tajdid. Sebab pendefinisian terhadap sesuatu itu terkadang telah tercakup dalam penyebutam karakteristik atau dengan penyebutan bagian-bagian sesuatu tersebut.
Yang jelas, kita tidak memerlukan penjelasan tentang karakteristik tajdid, ketika kita menghendaki adanya suatu gambaran yang jelas dan tidak rancu tentang hakikat tajdid.
Sekalipun kalangan salaf tidak banyak membahas definisi tajdid, tidak berarti bahwa mereka mengabaikan sama sekali persoalan ini. Pendapat-pendapat mereka mengisyaratkan makna tajdid, meskipun sering hanya selintas dan biasanya pada awal pembahasan saja. Hanya saja tidak seorang pun yang menyebut pembahasan itu sebagai suatu definisi. Meskipun demikian, pendapat-pendapat tersebut tetap memiliki nilai yang besar, dan setelah kita analisis pemaparannya maka pendapat-pendapat tersebut bisa dikategorikan sebagai pandangan salaf tentang hakikat tajdid.

Tajdid Adalah Menghidupkan dan Mengembalikan
Kita telah membhas secara umum asal kata tajdid menurut bahasa dan penggunaan kata tersebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sampai kepada pengertian bahwa tajdid itu pada asalnya berarti mengembalikan. Berdasarkan pengertian ini dimungkinkan bahwa adanya suatu kesimpulan bahwa tajdiduddin berarti mengembalikan din. Inilah kesimpulan umum makna tajdid.
Beberapa ungkapan Salaf menjelaskan makna tajdid secara global, diantaranya adalah pernyataan Abu Sahl Ash-Sha’luki (meninggal th. 387 H.), “Allah mengembalikan din ini (setelah ajarannya dilupakan) melalui Ahmad bin Hanbal, Abul-Hasan Al-Asy’ari, dan Abu Nu’aim Al-Usturbadzi.[15]
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa Dinul-Islam pada awalnya telah lengkap dan sempurna, kemudian mulai berkurang dan dilupakan, lalu mereka mengembalikannya mendekati keadaan seperti pada masa pertama generasi salaf. Satu hal yang perlu diperhatikan dari pernyataan tersebut adalah kaitannya yang erat dengan makna tajdid secara bahasa dengan tiga gambaran yang menyertai makna tersebut.
Abu Sahl Ash-Sha’luki mendefinisikan tajdid dengan menyatakan, “Tajdiduddin ialah mengembalikannya seperti pada zaman salaf yang pertama.” Definisi tersebut adalah makna tajdid secara umum. Tentu saja definisi umum tersebut masih memerlukan perincian. Dan visi kalangan salaf tentang perincian tersebut berbeda-beda, meskipun semuanya tidak keluar dari lingkup makna yang umum tersebut.


[1] Al-Mujma’ul-Mufahras Li Al-Fazhil-Hadits, bab Jaddada
[2] Hadits Riwayat Thabrani dari Umar bin Khattab dengan sanad Hasan; riwayat Al-Hakim dari Ibnu Amru bi Ash dan para periwayat Tsiqat (percaya); Al-Iraqi menilai hadits ini hasan dari dua jalur; Suyuthi, Al-Jami’ush-Shaghir, hal. 133; dan Al-Munawi, Faidlul-Qadir, II: 324
[3] Musnad Ibnu Hanbal, II: 359
[4] Musnad Ibnu Hanbal, I: 202
[5] Musnad Ibnu Hanbal, II: 496
[6] Ibnu Manzhur, Lisanul-Arab, IX: 159
[7] As-Safarini, Lawami’ul-Anwar Al-Bahiyah, I: 18
[8] Ibnu Hajar, Tawalit-Ta’sis, hal. 48
[9] Suyuthi menyebutkan bahwa dia telah membahasnya dan tidak mendapatkannya; lihat: Amin Khauli, Al-Mujaddidun, hal. 12
[10] Lihat: Ahmad Syarqawi, Maktabah Jalal Suyuthi hal. 146; Amin Khauli membahas hal ini secara mendetail dalam Al-Mujaddidun
[11] Al-Mahabi, Khulashatul-Atsar, III: 346
[12] Perkataan Ibnu Hajar dan ia menambahkan, “yang demikian itu merupakan sanad tersebut meskipun sudah kuat karena para perawinya tsiqat; lihat: Ibnu Hajar, Tawalit-Ta’sis, hal. 48; As-Subki, Thabaqatsuy-Syafi’i Al-Kubra, I: 199
[13] As-Subki, Thabaqathusy-Syafi’i Al-Kubra, I: 201-203
[14] Al-Munawi, faidlul-qadir, II: 282; Al-Mahabbi, khulashatul-atsar, III: 344; Syamsul-Haq Abadi, ‘Aunul-Ma’bud, XI: 394
[15] Ibnu Asakir, tabyin kadzbil-muftara, hal. 53


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------