BUAH TAQWA DI DUNIA. 

Memberi Jalan Keluar dan Mendatangkan Rizki
Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath Thalaq:2-3)

 Ibnu Abbas radliyallahu ’anhu berkata: (Dia akan mengadakan baginya jalan keluar), artinya menyelamatkannya dari setiap kesulitan di dunia dan akhirat. Ali bin Shalih berkata: (Al Makhraj) artinya Allah akan mencukupkannya (membuatnya qana’ah) terhadap apa-apa yang Allah karuniakan kepadanya. Ar Rabi’ bin Khaitsam berkata: (Yaj’al lahu makhrajan) artinya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dari setiap yang dapat membuat manusia merasa sempit. Sahal bin Abdullah berkata: Barangsiapa bertaqwa dengan mengikuti As Sunnah, maka Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dari ancaman ahlul bid’ah dan memberinya rezki berupa surga yang arah datangnya tiada terduga.

Ibnu Abbas melanjutkan: Barangsiapa bertaqwa, sementara rezkinya menyempit karena terputusnya berbagai hubungan, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar berupa kecukupan. Umar bin Utsman Ash Shadafi berkata: (Wa man yattaqillah) maknanya: bagi orang yang mengikuti ketentuan-ketentuan Allah dan menjauhi maksiat kepada-Nya, Allah akan mengeluarkannya dari haram menuju halal, dari kesempitan menuju halal, dari kesempitan menuju keluasan, dan dari neraka menuju surga. (Wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib) bermakna wa yarzuqhu min haitsu la yarju (Allah akan memberinya rezki dari arah yang tidak dia harap-harapkan).

Ibnu ‘Unaiyah berkata, itu artinya, ia mendapat keberkahan dalam rizkinya. Dan Abu Sa’id Al Khudzri berkata: Barangsiapa berlepas dari kuatnya kesulitan dengan kembali kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan pertolongan kepadanya berupa jalan keluar dari beban yang dia pukul.”(Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, VIII: 6638-6639, secara ringkas)

Memudahkan Segala Perkara
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya  Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath Thalaq:4)
Muqatil berkata: (Waman yattaqillah) yaitu seseorang bertaqwa dalam hal menjauhi maksiat kepada-Nya, maka Allah akan memberikan kemudahan dalam urusannya, berupa pemberian taufiq-Nya untuk melakukan ketaatan.

Sayyid Quthb rahimahullah berkata:
“Kemudahan dalam segala urusan, merupakan tujuan yang diharapkan setiap manusia. Sungguh, ini merupakan suatu kenikmatan besar, yaitu ketika Allah memudahkan perkara hamba-hamba-Nya, sehingga hamba itu tidak merasa kesulitan, tidak berat melakukannya, dan tidak merasakan kesempitan. Dia merasakan perkara-perkaranya menjadi mudah, dan ia mampu melakukan serta mencapainya dengan kemudahan. Dia pun segera puas melihat hasilnya. Dan dia menikmati hidupnya seperti ini, dalam keadaan mudah, menyenangkan dan riang, sampai dia menjumpai Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Tafsir Fi zhilalil Qur’an, VI:3602)
Diberi Ilmu Yang Bermanfaat

Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah akan mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Baqarah : 282)

Muhammad Rasyid Ridha berkata :
“Maksudnya: bertaqwalah kepada Allah dalam segala perintah dan larangan-Nya. Dialah yang mengajarimu tentang apa-apa yang mesti dilakukan sehingga mendatangkan maslahat bagimu, cara memelihara hartamu serta upaya menguatkan keyakinanmu. Sebab, andaikan Allah tidak mengajarimu, tidak memberikan hidayah kepadamu, niscaya kamu tidak akan mengetahui semua itu. Hanya Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu. Maka, jika Allah mensyari’atkan kepadamu tentang sesuatu, pastilah Dia itu mensyari’atkan atas dasar ilmu-Nya, yang meliputi segala sebab yang dapat menghilangkan mafsadat dan mendatangkan maslahat bagi orang yang melaksanakan syari’at-Nya. Lafzhul jalalah ( اللَّهُ )  disebut berulang hingga tiga kali pada ayat tersebut, adalah untuk menunjukkan kesempurnaan penyebutan dan kuatnya pengaruh.

Al Baidlawi berkata: “Diulang lafzhul jalalah (  اللَّهُ )
sampai tiga kali, untuk menunjukkan kemandirian dan kemerdekaan. Penyebutan yang pertama, sebagai anjuran untuk bertaqwa, yang kedua, janji dengan kenikmatan-kenikmatan-Nya, dan yang ketiga, pengagungan perkaranya, juga karena Dia telah memasukkan sebagian kinayah (kata-kata yang tidak terang-terangan) dalam pengagungan-Nya. Ayat ini (wa yu’allimukumullah, Allah mengajarmu), dijadikan dalil oleh orang-orang sufi untuk membenarkan pengakuannya bahwa mereka memperoleh ilmu laduni, yang mereka peroleh (hanya) dengan cara latihan-latihan dan wirid-wirid saja, tanpa harus mengambil sebab-sebab yang mendatangkan ilmu, menuntutnya ataupun mempelajarinya. Padahal Bukhari menyebutkan, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:”(           )

"Sesungguhnya ilmu itu (akan diperoleh) hanyalah dengan mempelajarinya.” Bahkan dengan bangga mereka mengatakan : Kamu mengambil ilmu dari makhluk yang bakal mati (manusia), sedang kami mengambil ilmu dari Dzat yang tidak akan mati. Sebagian mereka berkata: Kamu mengambil ilmu Abdurrazaq (hamba Allah)’ sedangkan kami mengambil ilmu dari Al Wahidul Khallaq(Dzat Yang Maha Esa lagi Pencipta Makhluk). Pernyataan ini, tidak diragukan lagi disebabkan oleh kebodohan mereka terhadap agamanya dan terbukanya pintu-pintu syaithan, sehingga kadang-kadang seorang sufi bisa mengatakan apa saja, seperti: “Hatiku menceritakan dari Rabbku.”

Kita yakin, bahwa orang yang diberi wahyu taklif-taklifsyar’iyyahmendapatkan predikat nubuwwah mendapatkan predikat nubuwwah, dan Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para nabi. Lafazh ayat tersebut tidak membantu klaim mereka, sebab Allah tidak berfirman dengan: wattaqullah yu’allimukumullah (ditulis tanpa wawu athaf , sehingga dapat bermakna: Allah mengajarkan ilmu secara langsung, ed). Jika tertulis seperti itu, tentu bermanfaat untuk mendukung perkataan orang-orang sufi. Namun, ayat tersebut menggunakan wawu ‘athaf (وَ ), sehingga menuntut makna yang lain. Maka makna yang benar untuk dikatakan adalah: Allah memudahkan bagi hamba, sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada belajar, jika memang dia bertaqwa kepada Allah. Dan ini menunjukkan benarnya atsar: Siapa yang beramal dengan ilmunya, Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dia ketahui.

Memancarkan Cahaya Bashirah
Allah Ta’ala berfirman:
“ Jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan.”( Al Anfal: 29)

Muhammad Rasyid Ridla berkata:
Al furqan menurut bahasa adalah “waktu shubuh” yang membedakan antara malam dan siang, dan Al Qur’an dinamakan Al Furqan karena (seperti halnya subuh) dapat membedakan antara haq dan bathil. Dengan bertaqwa kepada Allah dalam berbagai urusan, akan muncullah cahaya pada pelakunya sehingga dapat mengenali syubhat yang halus (samar-samar), yang kebanyakan orang tak mengetahuinya (secara pasti). Dengan taqwa, seseorang bisa mendapatkan ilmu khusus yang tidak akan bisa dicapai, apabila tidak ada taqwa. Namun, ilmu ini bukan ilmu yang tunduk pada penyampaian (ilmu yang diperoleh melalui metode penyampaian, atau disampaikan) oleh seseorang,ed) seperti syari’at, baik yang prinsip maupun yang cabang. Walaupun, taqwa itu sendiri tak akan terwujud apabila tidak ada ilmu tersebut (ilmu yang tunduk pada penyampaian). Taqwa melandasi setiap amalan yang dikerjakan atau ditinggalkan dengan dasar ilmu. Dan ilmu yang merupakan pangkal ketaqwaan, tidak akan ada kecuali dengan belajar, sebagaimana diterangkan di dalam hadits: ilmu itu dengan belajar (اَلْعِلْمُ بِالَّتَعَلُّمِ  ). (FathulBari,XI: 161, innamal ‘ilmu bita ta’llum, hadits ini marfu’ disebutkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dan Thabrani dari hadits Mu’awiyah sanadnya hasan)

Jika anda mengetahui bahwa taqwa adalah amalan yang harus berdiri di atas ilmu, ilmu harus diperoleh melalui belajar dan penyampaian, beramal dengan ilmu merupakan penyebab bertambahnya ilmu dan pembebas dari sempitnya pemahaman menuju kejelasan, maka anda telah memahami makna Al Furqan secara umum. Dan anda telah mengetahui, bahwa kaum sufi yang bodoh itu tidak memiliki ilmu pertama ( ilmu syari’at yang disampaikan kepadanya,ed) yang dapat melahirkan ketaqwaan, juga tidak memiliki ilmu akhir yang didapat dari pengaruh taqwa dan pengamalan ilmu sekaligus.”(ringkasan dari Tafsir Al Manar, III: 129-131)
         
Dicintai Allah, Malaikat dan Manusia
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran : 76)

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollollohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jika Allah mencintai seorang hamba, maka dipanggil-Nya Jibril ‘alaihi wa sallam, seraya berfirman : “Hai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai Fulan, maka cintailah dia. Dan Jibril pun mencintainya. Kemudian diserunya penduduk langit, katanya : “Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai Fulan, maka cintailah dia olehmu semua. Lalu penduduk langit pun mencintai orang itu. Kemudian ia disambut baik oleh penduduk bumi.” (HR Muslim, XVI : 183), Bab Al Birr wash Shilah; Al Bukhari, X:461, Bab Adab; Imam malik dalam Muwaththa’, II:953, Asy Syi’ir)

Abu Darda’ menulis kepada Maslamah bin Mukhallid ; “Semoga keselamatan atasmu, amma ba’du, sesungguhnya bagi seorang hamba, jika beramal dengan ketaatan kepada Allah, niscaya Allah akan mencintainya. Dan jika Allah telah mencintainya, Allah  pun menanamkan kepada hamba-hamba-Nya rasa cinta kepadanya.”

Haram bin Hayyan berkata : “Tidaklah seorang hamba menyerahkan hatinya kepada Allah, kecuali Allah hadapkan hati orang-orang mukmin kepadanya, sehingga Allah anugerahkan kepadanya kasih sayang mereka.”

Sungguh Allah telah berjanji kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan terus menerus beramal shalih, untuk menanamkan ke dalam hati mereka rasa kasih sayang dan kecintaan (mawaddah dan mahabbah), seperti firman-Nya :

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang.” (Maryam : 96)
                  
Allah akan Menolong, Memperkokoh dan Menguatkannya
Allah Ta’ala berfirman :
“Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (Al Baqarah : 194)

Maksud ayat di atas, bahwa Allah turut serta dalam memperkukuh, menolong, dan memperkuat nabi-nabi-Nya, wali-wali-Nya, orang-orang bertaqwa, serta orang-orang sabar.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Kesertaan Allah yang khusus untuk orang-orang bertaqwa ini, berbeda dengan kesertaan umum yang Allah sebutkan dalam ayat berikut:
“Dan Dia selalu bersamamu dimana pun kamu berada.” (Al Hadid: 4)
“Tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridlai.” (An Nisa’: 108)

Sedangkan kesertaan khusus menuntut adanya pembelaan, pengukuhan, penjagaan, dan perhatian dari Allah, sebagaimana firman-Nya kepada Musa dan Harun:
“Janganlah kamu berdua merasa takut, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan Aku melihat.” (Thaha: 46)

Jelasnya, kesertaan Allah secara umum menuntut seorang hamba untuk waspada, takut, da mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan kesertaan yang bersifat khusus, menuntut seorang hamba untuk bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tsiqat (percaya penuh) terhadap pertolongan-Nya dan pengukuhan-Nya.

Qotadah berkata:
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia bersamanya dan menyertainya. Dan barangsiapa yang Allah besamanya, maka baginya terdapat penolong yang tidak terkalahkan, penjaga yang tidak pernah tidur, dan petunjuk yang tidak pernah menyesatkan.”

Seorang salaf menulis kepada temannya:
Amma ba’du, jika Allah bersamamu, maka siapa (lagi) yang mesti anda takuti? Dan jika Allah telah memihakmu, maka siapa lagi yang anda harap-harap (akan memihak) mu?.”

Keberkahan Dari Langit dan Bumi
Allah Ta’ala berfirman:
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf: 96)

Al Qosimi rahimahullah berkata:
Maksud ayat tersebut: Seandainya penduduk negeri-negeri yang telah dimusnhkan itu, beriman dan bertaqwa kepada Allah dan rasul-Nya, menjauhi kekufuran dan kemaksiatan, tentu Allah melapangkan kehidupan mereka dan mendatangkan kebaikan kepada mereka dari segala penjuru, dimana yang sebagian datangnya dari langit, dan sebagian lagi dari bumi." (”ahasinut Ta’wil: VII: 221, ringkasan)

Ayat lain yang semakna adalah firman Allah:
“Dan bahwasanya, jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Dinul Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizqi yang banyak).” (Al Jin: 16)

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“Jika Allah hendak membersihkan bumi ini dari kezhaliman, kedustaan, dan kebohongan, maka Allah melahirkan hamba-hamba-Nya dari Ahlu Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bumi dipenuhi oleh keadilan, Al Masih membunuh Yahudi dan Nashara, serta menegakkan din yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bumi pun mengeluarkan berkahnya kembali, sehingga manusia bisa makan buah delima dan bernaung dengan kulitnya, setandan anggur sudah cukup memberatkan seekor unta, dan satu perahan susu sudah cukup menghilangkan dahaga sekelompok manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ketika bumi bersih dari kemaksiatan, ia akan melahirkan berbagai keberkahan dari Allah Ta’ala, namun keberkahan bumi ini dapat musnah oleh perbuatan dosa dan kekufuran penduduknya.” (Al Jawabul Kafi, hal. 67, Dar Umar Ibnul Khathab, dengan ringkasan)

Coba anda bandingkan, antara keberkahan taqwa dengan apa yang ada pada kita, tentang sedikitnya keberkahan, kurangnya buah-buahan, dan banyaknya penyakit. Semua ini, tidak lain diakibatkan oleh lemahnya kendali taqwa dan banyaknya kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Telah nampak kerusakan di darat dan ldi laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ka jalan yang benar).” (Ar Rum: 41)

Melihat Mimpi Yang Baik dan Benar
Allah Ta’ala berfirman:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 62-64)

Az Zamakhsyari berkata:
“Berita gembira di dunia, maksudnya adalah berita gembira yang disampaikan kepada orang-orang yang beriman lagi bertaqwa, yang tidak terdapat di dalam kitab-Nya. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Dia (berita gembira) adalah mimpi baik atau benar yang dilihat oleh seorang muslim atau diperlihatkan kepadanya.” (H.R. Tirmidzi, IX:128, Bab Ar Ru’ya; dan dia berkata: Hadits ini Hasan, Malik di dalam Al Muwaththa’ II:958, Ar Ru’ya; Al Hakim, IV:391, Ar Ru’ya; shahih menurut Adz Dzhahabi)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula:
“Nubuwwah telah pergi (habis) dan (masih) tersisa mimpi yang benar.” (H.R. Bkhari, XII:375, At Ta’bir; At Tirmidzi, IX:127, Bab Mimpi-Mimpi; dari Anas bin Malik)
Berita gembira itu berupa cinta kasih manusia kepadanya dan adanya sebutan (nama) baik atau indah baginya.

Abu Dzar berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Seseorang telah melakukan perbuatankarena Allah lalu manusia menyukainya. Kemudian Rasulullah bersabda: Itulah berita gembira di dunia yang diperoleh seorang mu’min (karena taqwa dan amalnya).” (H.R. Muslim, XVI:189, Al Birr wash Shilah; Ahmad, V:157,158,168; Ibnu Majah, 4225, Az Zuhd. Ulama berkata: maknanya, bahwa beritagembira di dunia yang diberikan kepadanya dangan kebaikan, menunjukkan adanya keridlaan Allah atasnya, serta kecintaan Allah kepadanya, Syarah An Nawawi, Shahih Muslim, XVI: 19)

Atha’ berkata: Berita gembira pada saat datangnya maut, adalah datangnya malaikat kepada mereka dengan kasih sayang.
Allah berfirman:

“Maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): Janganlah kamu merasa takut dan jangan pula merasa sedih. Dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (fushhilat: 30)
Adapun berita gembira di akhirat, yaitu ketika malaikat menemui mereka dengan membawa berita gembira tentang keberuntungan dan kemuliaan mereka, tampak wajah mereka yang putih (cerah) berseri, malaikat memberikan catatan amal dan mereka menerimanya denga tangan kanan, kemudian dibaca isinya. Dan masih ada berbagai kegembiraan yang lain.” (Al Kasysyaf, II:356, ringkasan)

Terpelihara dari Tipu Daya dan Makar Musuhnya
Allah Ta’ala berfirman:
“Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudlaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan” (Ali Imran: 120)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah membimbing mereka kejalan keselamatan, menghindarkan mereka dari kejahatan orang-orang jahat dan tipu daya kaum durjana, karena mereka bersabar, bertaqwa serta bertawakal kepada Allah. Dan Allah maha mengetahui musuh-musuh mereka. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya, apa yang Dia kehendaki, terjadi, dan yang tidak Dia kehendaki, tidak terjadi.” (Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I:329)

Az Zamakhsyari berkata:
Jika kamu bersabar menghadapi musuh-musuhmu dan bertaqwa dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang atasmu yaitu bermuwalah dengan mereka, atau jika kamu bersabar menerima taklif- taklifad din dan kesulitan- kesulitannya, serta bertaqwa kepada Allah dengan menjauhi apa-apa yang diharamkan atasmu, maka kamu semua berada di dalam perlindungan dan rahmat Allah, sehingga tipu daya musuh-musuhmu tidak mampu memberikan mudlarat kepadamu.

Inilah pelajaran dari Allah Ta’ala dan bimbingan untuk memohon pertolongan-Nya dari tipu daya musuh, melalui sabar dan taqwa. Al Hukuma’ berkata: “Jika anda ingin menghinakan orang yang hasad kepadamu, maka tambahkanlah keutamaan pada dirimu. Sesungguhnya Allah melihat kesabaran dan ketaqwaanmu, serta membalasmu sesuai dengan apa yang kamu kerjakan.” (Al Kasysyaf, I:408, secara ringkas)

Terpeliharanya Dzurriyyah (Keturunan)
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An Nisa’: 9)

Al Qasimi berkata:
Di dalam ayat tersebut Allah menunjukkan, bahwa karena rasa takutnya meninggalkan keturunan yang lemah, para orang tua membimbing anak-anak mereka dengan taqwa dalam semua perkara mereka, sehingga terpelihara dan mendapat pertolongan dari-Nya. Ayat tersebut menunjukkan pula adanya ancaman aka hilangnya anak-anak mereka, jika taqwa kepada Allah sirna dari diri mereka. Selain itu juga menunjukkan, bahwa dengan memelihara yang ushul (ajaran pokok) bisa terpelihara furu’ (cabang-cabang), dan bahwasanya orang-orang shalih memelihara dzurriyahmereka yang lemah, sebagaimana firma Allah dalam ayat ini:
“Adapun dinding rumahitu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan bahwasanya ad harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (Al Kahfi: 82)

Maka kedua anak tersebut terpelihara baik jiwa maupun harta mereka, berkat keshalihan bapak mereka berdua.” (Mahasinut Ta’wil, V:47)

Muhammad bin Al Mukadir berkata: Sesungguhnya Allah akan memelihara seorang anak melalui seorang ayah yang shalih, seoran cucu melalui anak tersebut (yang shalih pula), dan memelihara negeri dimana mereka tinggal di dalamnya serta wilayah yang mengelilinginya. Dan mereka semua senantiasa berada dalam pemeliharaan dan perlindungan Allah.

Ibnul Musayyab berkata kepada anaknya: Hai anakku, sesungguhnya aku akan menambahkan (membaca)dalam shalatku (sesuatu) untuk kepentinganmu, dengan harapan aku bisa menjaga apa yang ada pada dirimu, lalu dia membaca ayat ini:
“Sedang ayah mereka berdua adalah seorang yang shalih.” (Al Kahfi: 82)
         
Amalnya Diterima oleh Allah
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban dari orang-orang yang bertaqwa.” (Al Maidah: 27)

Az Zamakhsyari berkata:
“Ketika Qabil hasad karena qurban milik saudaranya (Habil) diterima oleh Allah,  lalu dia mengancam akan membunuh saudaranya itu. Kemudian Habil berkata kepadanya: Sesungguhnya penyebab tidak diterimanyaqurban darimu, tidak lain datangnya dari dirimu sendiri, dikarenakan kamu telah meninggalkan pakaian taqwa. Penyebabnya bukan datang dariku. Lantas mengapa engkau akan membunuhku? Dan mengapa engkau tidak mencela dirimu dan tidak bertaqwa kepada Allah yang menyebabkan diterimanya perbuatanmu?.”

Habil telah menjawab dengan kaata-kata yang bijak, ringkas, dan mencakup makna yang baik. Dan di dalam jewaban tersebut terdapat dalil bahwa Allah tidak menerima ketaatan kecuali dari orang yang mukmin lagi bertaqwa.


Amir bin Abdillah menangis ketika merasa ajalnya hampir menjemputnya, lalu dikatakan kepadanya: Apa yang membuatmu menangis, padahal ajal itu mesti terjadi pada dirimu dan diriku? Dia berkata: Sesungguhnya aku telah mendengar Allah berfirman:
 “Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban dari orang-orang yang bertaqwa.” (Al Maidah: 27) (lihat Al Kasysyaf, I: 624)

Al Ghazali rahimahullah berkata:
Perlu anda cermati satu pokok perkara, yaitu bahwasanya anda telah mengisi seluruh umur dengan beribadah, dan berbagai kesulitan telah anda lampaui, sehingga anda memperoleh apa-apa yang dicita-citakan, bukankah semua ini menunjukkan semua amalmu diterima? (Belum tentu), sebab anda mengetahui bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban dari orang-orang yang bertaqwa,” maka diterimanya semua perkara itu bergantung kepada taqwa.” (Minhajul ‘Abidin: 72)

Sebagian Ulama salaf berkata:
“Andaikan aku mengetahui bahwa Allah menerima sujudku di malam hari dan sujudku di siang hari, niscaya aku sangat merindukan datangnya maut, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban dari orang-orang yang bertaqwa.”       

Menyelamatkan dari Adzab Dunia
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir adzab yang menghinakan disebabkan apa yang mereka kerjakan. Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertaqwa.” (Fushshilat: 17-18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
Tentang firman Allah : “Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk,”   telah berkata Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Jubair, Qatadah, As Sudi dan Ibnu Zaid : Allah telah menjelaskan kepada mereka tentang tauhidullah dan akhlaq mulia melalui lisan Nabi Shalaih ‘alaihissalaam, namun mereka menyalahinya dan mendustakannya, serta menyembelih unta Allah yang dijadikan sebagai tanda kebenaran Nabi mereka tersebut. “Maka mereka disambar petir, adzab yang menghinakan”. Maksudnya Allah mendatangkan kepada mereka suara pekikan, getaran, kehinaan, adzab dan bencana. “Disebabkan apa yang telah mereka kerjakan,” yaitu karena pendustaan dan pengingkaran mereka. “Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman” di tengah-tengah mereka, maknanya orang-orang beriman tidak sedikitpun tersentuh oleh kejahatan dan mudhorot, bahkan mereka diselamatkanoleh Allah Ta’ala bersama Nabi Shalih ‘alihissalaam, karena keimanan dan ketaqwaan mereka kepada Allah Ta’ala.” (Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, IV:95)

Disegerakan Kemuliaan dan Kewibawaannya
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
Termasuk anugerah Allah dan rahmat-Nya adalah apa-apa yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang ‘arif dan zuhud terhadap harta dan kemuliaan yang fana, berupa kemuliaan taqwa dan kewibawaannya secara lahiriyah, manisnya iman, ma’rifah, dan ketaatan kepada Allah di dalam bathin. Itulah kehidupan yang baik, yang telah Allah janjikan kepada orang beriman dan beramal shalih, baik laki-laki maupun wanita. Kehidupan baik ini tidak dirasakan oleh raja-raja di dunia dan tidak pula oleh para petinggi atau orang-orang rakus serta penuh ambisi terhadap kemuliaan.

Hajaj bin Arthah berkata : “Cinta terhadap kemuliaan telah membunuhku.
Siwar berkata kepadanya : “Jika Anda bertaqwa kepada Allah, niscaya Anda menjadi mulia. Ketahuilah, taqwa itu tak lain adalah kejayaan dan kemuliaan. Cintamu kepada dunia adalah kehinaan dan pesakitan. Seorang hamba tidak mengenal ‘kekurangan’, jika taqwa telah terwujud, meresap dan menghujam.

Shalih Al Baaji berkata :
“Ketaatan merupakan wilayah kekuasaan. Orang yang menaati Allah adalah seorang pemimpin yang memerintah terhadap pemimpin lain. Bukankah Anda melihat adanya kewibawaan pada dada mereka, yaitu jika dia berkata, diterima perkataannya, dan jika dia memerintah, ditaati perintahnya.

Dzun Nuun Al Mishri berkata :
“Siapakah yang lebih mulia daripada orang yang menyerahkan pengabdiannya secara total kepada Dzat Yang Menguasai segala sesuatu?”

Ibadahnya Lebih Utama
Abu Darda rodhiyallahu ‘anhu berkata :
“Alangkah (masih lebih) baiknya tidur dan tidak shaumnya orang yang pandai (bertaqwa) itu, mereka tidak mungkin tertipu dengan shalat dan shaumnya orang-orang bodoh.
Ibadah sebesar atom yang dilakukan oleh orang bertaqwa, lebih utama daripada ibadah sebesar gunung yang dilakukan oleh orang-orang tertipu. Ini termasuk perkataan yang paling bagus dan menunjukkan kesempurnaan fiqih shahabat, serta keutamaan mereka dibandingkan orang-orang setelah mereka dalam segala kebaikan, semoga Allah meridhoi mereka.
Ketahuilah, bahwa seorang hamba dapat menerobos jalan menuju Allah hanya dengan hatinya, dan bukan dengan badannya. Dan taqwa yang hakiki adalah taqwa hati, dan bukan taqwa anggota badan.

Orang yang pandai, memperpendek jarak menuju Allah dengan berbekal ketulusan niat dan keinginannya. Meskipun amalnya sedikit, namun nilainya berlipat-lipat, melebihi apa yang dicapai oleh orang yang hampa dari niat dan keinginan, meskipun amalnya banyak bahkan disertai dengan kelelahan.
Keinginan yang kuat dan rasa cinta dapat melenyapkan kesulitan, serta dapat menghiasi perjalanan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini hanya bisa terjadi dengan ketulusan dan kebenaran. Pemilik niat yang tulus, meskipun amalnya sedikit, mampu mengungguli orang yang amalnya banyak, hingga beberapa tingkatan. Dan jika niatnya sama, maka ia dapat mengungguli dengan amalnya.” (Al Fawa’id, oleh ibnul Qayyim, 186-187, secara ringkas)

Amalan-amalan itu berbeda tingkatannya, sesuai dengan apa yang ada dalam niat pelakunya, berupa keimanan dan ketaqwaan kepada Allah ‘Azza wa jalla. Dua orang bisa shalat dalam satu shaf, namun  perbedaan sholat keduanya bisa bagaikan langit dan bumi. Seperti yang dikatakan orang : “Berapa banyak orang yang shalat (malam) terhalang dari (rahmat Allah), dan berapa banyak orang  yang tidur mendapat rahmat Allah. Dia shalat sementara hatinya durhaka, dan yang satu lagi tidur, namun hatinya bangun.




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------