205 TANYA JAWAB AQIDAH AHLUS SUNNAH
BAGIAN-1 :
MENGENAL SYAIKH AL `ALLAMAH HAFIZH AL-HAKAMI
IN ILAH AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH

KEUNGGULAN DAN SIKAP TENGAH AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Syaikh Hafizh Ahmad Al Hakamy

Kata Pengantar
Segala puji untuk Allah semata. Semoga shalawat dan salam Allah sampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tiada lagi nabi sesudahnya, juga kepada keluarganya, para sahabatnya, serta para tabi’in yang mengikuti sunnah sepeninggal beliau.
Dakwah merupakan jalan bagi orang-orang yang mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya nikmat dan anugerah Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya adalah bahwa Dia telah menghadirkan para du’at yang menyeru pada kebaikan disetiap tempat dan waktu. Diantara du’at itu, hadirlah Syaikh Abdullah bin Muhammad Al Qar’awy rahimahullah yang telah mencurahkan segenap daya upaya serta menghabiskan hidupnya dalama dakwah diseluruh sudut wilayah Kerajaan Saudi Arabia. Dakwah dan ajarannya telah luas tersebar dan menembus kurang lebih dua ribu dua ratus sekolah yang didalmnya terkumpul sekitar 75.000 murid atau lebih. Dari sekolah tersebut telah lahir hakim-hakim, pengajar, dan pembimbing, serta pejabat-pejabat keagamaan, baik di lembaga resmi maupun bukan.
Semua merupakan hasil niat dan kesungguhannya, juga atas kerja samanya dengan pemerintah. Dan diantara sekian banyak murid asuhannya adalah penyusun buku ini: Hafizh bin Ahmad Al Hakamy.

Syaikh Abdullah bin Sulaiman bin Hamid


SEKILAS TENTANG PENULIS :
Syaikh Al ‘Allamah Hafizh bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali Al Hakamy yang dinasabkan kepada Al Hakam bin Sa’ad Al ‘Asyariyah, beliau adalah salah seorang syaikh yang lahir dari suku Madzhaj. Beliau dilahirkan pada tahun 1346 H di Al Madhaya, sebelah selatan Jazan; lalu bersama ayahnya pindah ke Jadhi, sebelah timur Samithah.

Sebagaimana kebiasaan masyarakat ketika itu, Al Hakamy dibesarkan sebagai penggembala ternak. Namun, berbeda dengan pemuda-pemuda dilingkungannya, beliau terlihat cerdas dan daya hafalnya luar biasa. Karenanya, beliau telah hafal Al Qur’an ketika usianya belum menginjak 12 tahun. Karena ayah dan ibunya tidak setuju jika beliau bersekolah, Syaikh Abdullah Al Qar’awy lah yang sering mengunjungi beliau dan memberi pelajaran. Beliau bertahan dengan sistem belajar seperti itu hingga ayahnya meninggal dunia pada tahun 1360 H. Setelah itu, beliau mengikuti jejak sang guru, Al Qar’awy, yang kemudian menyebabkannya berkiprah dalam pengajaran syair dan prosa. Seperti yang dikatakan gurunya sendiri, tak ada waktu lain baginya kecuali menulis, belajar, dan bekerja. Akhirnya, beliau menikahi putri gurunya dan dianugerahi anak-anak yang shalih.

Pada tahun 1362 H, Syaikh Abdullah Al Qar’awy meminta Hafizh Al Hakamy menyusun buku tentang tauhid menurut pemahaman Salafush Shalih dalam masalah Aqidah. Beliau pun menyusun kitab tersebut dengan judul Urjuzah Sullamil Wushul ila Ilmil Ushul. Sebelumnya beliau telah menyusun tentang fiqh dan ushul, tauhid, Sirah Nabawiyyah, Mushthalah, serta Faraidh dalam bentuk Nazham (syair dan puisi). Tulisan-tulisan tersebut ada yang telah diterbitkan dan ada juga yang belum, semuanya tidak kurang ada lima belas buku. Buku-buku tersebut disusun ketika beliau tengah belajar dan melakukan pendekatan kepada guru-gurunya. Jabatan terakhir yang beliau pegang adalah kepala Mahad Ilmu di Samithah.

Beliau berpulang ke Rahmatullah setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1377 H, tepat pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 1377 H di Makkah Al Mukarramah dan dimakamkan disana pula. Kepergian beliau tentu menimbulkan kesedihan murid-murid maupun kawan-kawannya. Mereka merasa kehilangan seorang ulama yang mereka cintai.
Riwayat singkat ini diambil dari Riwayat Hidup Para Ulama dan Ahli Hukum karangan Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Yusuf.
Allahlah pemberi Taufiq. Dan semoga Shalawat dan Salam dicurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabat yang diridhaiNya.

Isi Buku
KATA PENGANTAR
SEKILAS TENTANG PENULIS
MUQADDIMAH
PENDAHULUAN
TANYA JAWAB

Bab I
Hamba Allah: Antara Hak dan Kewajiban
Bab II
Syarat-Syarat Ibadah
Bab III
Hakikat Al Islam
Bab IV
Tiada Ilah Yang Berhak Disembah Kecuali Allah
Bab V
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Utusan Allah
Bab VI
Kewajiban Shalat, Zakat, Shaum dan Haji
Bab VII
Hukum Maksiat Terhadap Rukun Islam
Bab VIII
Hakikat Keimanan
Bab IX
Beriman Kepada Allah
Bab X
Sifat Dzat Allah subhanahu wata’ala
Bab XI
Keutamaan Asma’ul Husna dan Sifat Dzat Allah subhanahu wata’ala
Bab XII
Beriman Kepada Malaikat dan Kitab Allah
Bab XIII
Apakah Al Qur’an Itu Makhluk?
Bab XIV
Beriman Kepada Para Rasul
Bab XV
Keistimewaan dan Mukjizat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Bab XVI
Hari Akhir dan Tanda-Tandanya
Bab XVII
Maut Itu Pasti Datang
Bab XVIII
Alam Akhirat: Siksa dan Nikmatnya
Bab XIX
Gambaran dan Sifat Alam Akhirat
Bab XX
Surga dan Neraka Itu Haq dan Abadi
Bab XXI
Golongan Penerima Syafa’at
Bab XXII
Amalan Manusia Tidak Sebanding Dengan Surga Allah
Bab XXIII
Taqdir dan Kehendak Allah Serta Cara Menghadapinya
Bab XXIV
Allah subhanahu wata’ala Maha Pencipta Kebenaran
Bab XXV
Cabang-Cabang Keimanan dan Hakikat Ihsan
Bab XXVI
Cabang-Cabang Kekufuran
Bab XXVII
Gambaran Zhalim, Fasiq, Munafiq, dan Syirik
Bab XXVIII
Hukum Sihir, Jimat, dan Jampi (Ruqyah)
Bab XXIX
Hukum Perdukunan, Ramalan, dan Mantra
Bab XXX
Jenis Dosa dan Upaya Menghapusnya
Bab XXXI
Hakikat Shirathal Mustaqim
Bab XXXII
Bid’ah: Perbuatan Melawan Sunnah
Bab XXXIII
Tentang Para Sahabat dan Ahli Bait
Bab XXXIV
Karamah ParaWali

MUQADDIMAH
          Segala puji bagi Allah Yang telah Menciptakan tujuh lapis langit dan bumi; Yang telah Menciptakan seberkas cahaya dalam kegelapan. Dialah yang yang telah menciptakanmu dari tanah liat, lalu ajal (kematian) mu ditentukan, hingga penentuan hari berbangkit yang hanya Dia sendirilah yang tahu, sementara kamu masih ragu-ragu. Dia Mengetahui apa yang kamu sembunyikan, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit; dan Dia pun Mengetahui apa yang kamu usahakan.
Aku bersaksi, bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, tiada sekutu bagiNya. Dia lah satu-satunya tempat bergantung, tidak beranak dan tidak diperanakan. Tidak ada sesuatu pun yang setara denganNya. Semua yang ada di langit dan di bumi tunduk dan berserah diri kepadaNya.
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia.(Al Baqarah: 117).
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).(Al Qashash: 68).
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.(Al Anbiyaa’: 23).
Aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, serta pembawa petunjuk (Al Qur’an) dan dien untuk lebih dimuliakan daripada yang lain, sekali pun orang-orang musyrik membencinya. Shalawat dan Salam semoga dilimpahkan kepadanya dan keluarganya, serta kepada para sahabat yang telah menjalankan kebenaran dan para tabi’in yang tidak bergeser sedikit pun dari Sunnah. Di atas kebenaran itulah mereka menerapkan dan mempertahankan prinsip kecintaan dan kebencian. Semoga Shalawat dan Salam dilimpahkan juga kepada seluruh ummat manusia yang berjalan mengikuti jejak mereka hingga datang hari kiamat.
Manfaat buku ini sangatlah besar karena mencakup prinsip-prinsip ketauhidan yang diserukan para rasul sehingga Allah pun menurunkan kitab-kitab. Melalui buku ini, kita dibimbing menuju manhaj yang benar. Di dalamnya terdapat uraian tentang perkara keimanan, dalil-dalil, dan cabang-cabangnya, tanpa menghilangkan keutuhan atau menafikan kesempurnaanya. Bahasan materi diatas didasarkan pada Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah serta membuang jauh-jauh pendapat-pendapat ahli hawa-nafsu dan ahli Bid’ah, sebab mereka hanya berkeinginan untuk membantah sunnah dan memasukkan racun kedalamnya.
Materi buku ini di sajikan dalam bentuk tanya jawab dengan tujuan mengundang minat dan memberi keterangan bagi siapa saja yang memiliki masalah dan mengharapkan jawaban yang jelas dan tegas.
Semoga Allah shubhanahu wata’ala menjadikan usaha ini sebagai jalan mencari keridhaanNya dan semoga buku ini bermanfaat. Sesungguhnya, Dia itu Berkuasa atas segala sesuatu, kepadaNya lah tempat kita kembali. Dialah sebaik-baiknya perlindungan bagi kita.

PENDAHULUAN[1]
          Kita memohon kepada Allah agar pembahasan ini senantiasa berada dalam berkahNya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya diberi pahala yang setimpal. Serta, mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang terbaik dari perkataan itu, seperti tercantum dalam ayat berikut, “yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya...”(Az Zumar: 18).
Tema pembahasan kita sekarang adalah masalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beserta sifat dan manhaj mereka. Semoga Allah memberi kekuatan agar kita dapat megikuti jalan mereka. Topik yang akan kita bahas adalah ta’rif (definisi), Manhaj, serta sifat Aqidah dan Amal mereka.
Diriwayatkan, Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berkata kepada para sahabatnya: “Mengapa aku lihat ulama kalian meninggal padahal orang-orang bodoh belum menuntut ilmu dari mereka? Sungguh, aku takut ulama akan habis (meninggal dunia), sedangkan orang-orang bodoh tidak belajar. Ketahuilah, jika orang berilmu menuntut ilmu, ilmunya akan bertambah; dan jika orang-orang bodoh menuntut ilmu, ia akan menjadi orang berilmu. Mengapa kalian kekenyangan makan, tetapi kelaparan ilmu?”.
Menurut riwayat Ibrahim At Taimy rahimahullah, suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu merenung: “Mengapa pendapat umat ini berbeda-beda? Bukankah Nabi mereka satu, Kiblat mereka satu, dan Kitab mereka pun satu? Maka ditanyalah seorang ahli Tafsir Al Qur’an, Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang masalah itu. Abdullah menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, kepada kita telah diturunkan Al Qur’an. Lalu kita, para sahabat membacanya dan mengetahui tentang masalah yang diturunkan dalam Al Qur’an. Sungguh akan datang setelah kita berbagai kaum yang membaca Al Qur’an tanpa berusaha mengetahui sebab turunnya. Maka bagi setiap kaum akan ada pendapat yang berbeda-beda.”
          Kembali kepada masalah semula, apa yang dimaksud dengan Manhaj As Sunnah dan Al Jama’ah itu, serta siapakah orang-orang yang sepakat (ijma’) menjalankan manhaj tersebut?
          Menurut ahli hadits, sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan ketetapan (taqrir) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ahli Ushul Fiqh mengartikan Sunnah sebagai segala sesuatu yang bersumber khusus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu yang mereka tetapkan sebagai empat dalil: Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Selain itu, dikatakan juga bahwa Sunnah itu bukan sesuatu yang wajib, melainkan sesuatu yang disukai (Allah) untuk kita laksanakan.
          Menurut istilah, kata Sunnah dalam Ahlussunnah mengandung dua pengertian, yaitu:
Hal-hal yang ditunjukkan dengan dalil syar’i, baik dari Al Qur’an, As Sunnah, maupun Ijma para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku serta sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku yang mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gerahammu (pegang kuat-kuat), serta waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah) ...” (HR Tirmidzi, hasan dan shahih).
Lawan dari bid’ah, terutama yang diluncurkan oleh kalangan Salafush Shalih[2] mutakhir ketika ahlul bid’ah bermunculan. Karenanya, mereka mewajibkan Umat Islam untuk berpegang teguh pada As Sunnah.
Dengan demikian, pengertian sunnah berkaitan dengan dua perkara, yaitu mengikuti dalil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum serta menentang bid’ah.
          Pengertian Jama’ah pun bermacam-macam, yaitu:
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum;
Mayoritas Umat Islam, berdasarkan hadits ‘alaikum bis sawaad al ‘azhiim;
Orang-orang yang bersatu di bawah Imam Syar’i (Ahlul Jama’ah) sebagaimana bersatunya Umat Islam di bawah Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma pada tahun 41 H ketika Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berdamai dengannya. Karenanya, tahun tersebut dikenal dengan sebutan Tahun Jama’ah; dan
Ulama yang bersepakat dalam urusan syar’i.
Dengan demikian, golongan yang mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang bersatu dibawah naungan Imam syar’i atau orang-orang yang mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah dalam hal ittiba’ (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum) serta meninggalkan ibtida’ (berbuat bid’ah).
          Selain itu, kita pun perlu mengetahui hal yang menjadi pertimbangan sehingga ada sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah. Imam Abu Syamah rahimahullah berkata: Perintah untuk berpegang pada Jama’ah adalah berpegang dan mengikuti al haq (kebenaran), meskipun pengikutnya sedikit dan penentangnya banyak. Karena Jama’ah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallamdan para sahabat radhiyallahu ‘anhum pun sedikit sementara kelompok orang kafir banyak. Janganlah gentar terhadap banyaknya ahli batil sesudah itu!”.
          Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Diantara jalan yang ditempuh Ahlussunnah wal Jam’ah adalah mengikuti atsar (jejak) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahir maupun batin, serta mengikuti langkah para sahabat radhiyallahu ‘anhum, kaum Muhajirin dan Anshar, serta mengikuti wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala bersabda:
“Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah Khulafa yang mendapat hidayah dan petunjuk sesudahku. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu. Waspadalah terhadap ciptaan persoalan-persoalan baru (dalam agama).” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, dan yang lainnya, shahih).
Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini sebenar-benarnya kalam ialah kalam Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ahlussunnah wal Jama’ah tidak merasa perlu mengambil konsep dari ahli bid’ah meskipun diantara mereka terdapat orang-orang yang berilmu. Standar yang harus diikuti adalah segala sesuatu yang datangnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.
          Kita pun perlu mengetahui Manhaj Aqidah para Salafus Shalih. Manhaj mereka tegak di atas kejelasan, ketegasan, kekuatan sanad, serta kekuatan hujjah, sehingga melegakan dan mempersatukan jiwa, menguatkan keimanan, menyatakan kebenaran, serta terbebas dari kedengkian sebagaimana difirmankan Allah:
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar Ra’d: 28).
Secara rinci, asas-asas Manhaj Aqidah para Salafus Shalih adalah:
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan sumber Aqidah maupun syar’i. Keharusan berpegang pada kedua sumber tersebut meliputi tiga perkara berikut.
Wajib berhukum pada keduanya jika berselisih sebagaimana firman Allah:
“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian ...”(An Nisaa’: 59).
Serta firmanNya:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(An Nisaa’: 65).
Mereka berhukum pada Al Qur’an dan As Sunnah, tidak pada ra’yu dan akal manusia, tidak pula pada filsafat Barat maupun berkiblat pada putusan organisasi (badan) dunia seperti PBB (UNO). Setiap masalah dikembalikan kepada Pemilik segala perkara, yaitu Allah subhanahu wata’ala sebagaimana firmanNya berikut:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An Najm: 3-4).
Agama Islam mengandung kesempurnaan sehingga sumber kehidupan pun cukup mengambil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu...”(Al Maidah: 3).
Dengan demikian, setiap manusia yang berjalan di atas bid’ah atau yang mengacu pada Manhaj Timur maupun Barat, atau bahkan berusaha mengganti hukum Allah dengan hukum buatan manusia, berarti mereka telah menentang kesempurnaan dienullah.
Dalam membahas masalah Aqidah yang tercantum di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, para Salafus Shalih menggunakan tata cara yang baik (adab). Masalahnya, Aqidah merupakan masalah yang penting dan peka serta berhubungan dengan asma dan sifat Allah, berita dan hukum-hukumNya, Malaikat, serta masalah-masalah gaib.
Wajib mendahulukan syar’i daripada akal, terutama ketika seolah-olah merasa ada perbedaan antara keduanya. Jika kita menemukan keraguan atas suatu masalah, yang patut kita dahulukan adalah syar’i dan naqli yang shahih. Tak mungkin ada pertentangan antara wahyu yang shahih dan akal yang sehat.
Manhaj Salafus Shalih jauh dari ilmu kalam dan filsafat, apalagi sampai ikut campur di dalamnya, serta sangat keras menentang ahli bid’ah. Imam Syafi’i mengatakan, “Hukuman bagi ahli bid’ah adalah hukuman cambuk dengan pelepah kurma serta diarak keliling pasar sambil diumumkan kepada khalayak, ‘Inilah hukuman bagi orang yang meninggalkan Al Qur’an dan As Sunnah serta menerima ilmu kalam’.”
Salafus Shalih menolak pendapat orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, menentang manhaj mereka, dan teguh memegang dalil Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian orang menuduh bahwa Manhaj Salaf adalah manhaj naqli sehingga pengikutnya menerima kandungan Al Qur’an dan As Sunnah mentah-mentah tanpa pemanfaatan akal. Padahal, ketika menjelaskan suatu kebenaran, Al Qur’an menggunakan dalil naqli yang juga menyangkut dalil-dalil aqli dan berbagai fakta. Dengan begitu, orang yang beriman yang mengikuti Syari’at Allah serta memegang teguh Al Qur’an dan As Sunnah adalah orang yang akalnya paling sempurna. Orang-orang yang menjelaskan masalah Aqidah atau masalah-masalah Islam melalui keterangan lain dari ilmu Mantiq, Ilmu Kalam, pendapat Barat dan Timur, Filsafat, Sejarah, Materialisme, atau Sekularisme justru merupakan orang-orang yang kurang akal karena mereka mengambil hukum bukan dari sumbernya. Selain itu, kita pun tahu, urusan Aqidah itu bersifat gaib sehingga hanya dapat kita peroleh dari Pemilik Kegaiban, Allah shuhanahu wata’ala.
Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan hadits aahaad yang shahih sebagai hujjah dalam masalah Aqidah. Banyak ahli bid’ah, baik dahulu seperti Jahmiyyah[3] dan Mu’tazilah[4] maupun sekarang seperti ahli-ahli kalam dan golongan sekuler yang telah terbukti menyepelekan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta menganggap beliau sebagai manusia biasa melalui ungkapan “Dia manusia, kita pun manusia”. Ahlussunnah wal Jama’ah beritikad bahwa apa pun yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kemudian dikutip para sahabat, baik dalam masalah Aqidah maupun hukum, adalah wahyu Allah. Sehingga, mereka berpegang pada keduanya asalkan Shahih menurut para ulama seperti Bukhari atau Muslim. Dengan demikian, manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dibangun atas tiga perkara penting, yaitu:
Konsekuen terhadap Syahadatain dengan membenarkan setiap tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena manusia yang tidak membenarkan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam syahadatnya telah batal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling tahu, paling takut, dan paling taqwa kepada Allah. Beliau pun senantiasa menyampaikan kebaikan kepada manusia. Seorang mukmin berkeyakinan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan yang memperoleh petunjuk dari Allah sebagai pembawa kebahagian, kebaikan, dan kebenaran. Tidak ada kebaikan kecuali yang telah beliau anjurkan, dan tidak ada keburukan kecuali yang telah beliau larang sehingga seorang Yahudi berkata kepada sahabat, “Aku kagum kepada Nabi kalian, dia tidak meninggalkan hal yang kecil, bahkan sampai masalah khoroah (menunaikan hajat).” Jika demikian, bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai melupakan hal-hal besar yang menyangkut Aqidah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menyayangi para mukminin seperti difirmankan Allah:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At Taubah: 128).
Bukan suatu keraguan lagi, diantara konsekuensi syahadat adalah mengimani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam urusan Aqidah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan segala hal yang beliau terima dari Allah subhanahu wata’ala tidak ada yang beliau sembunyikan sedikitpun.
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia ...”(Al Maidah: 67).
Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan urusan agama serta segala sesuatu yang beliau terima dari Allah subhanahu wata’alakepada para sahabat dan  umatnya, baik itu masalah pokok-pokok Aqidah, rincian Syari’at, bahkan urusan pribadi yang beliau sampaikan melalui istri-istri beliau.
Para sahabat adalah orang-orang yang paling mengetahui masalah agama sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itulah, keyakinan atas keutamaan, keadilan, dan kebaikan para sahabat merupakan salah satu pokok dalam manhaj Ahlussunnah Wal Jam’ah. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dalam pengalaman segala tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kesaksian atas turunnya Al Qur’an dan penerapan Al Qur’an untuk yang pertama kali merupakan dasar untuk manhaj ini. Mereka menyaksikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari para sahabat, berjihad di jalan Allah, membangun ummat, dan bagaimana menyampaikan dalil-dalil Al Qur’an. Selain itu, para sahabat pun memang dikhususkan Allah untuk mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan syariatNya kepada para tabi’in (generasi setelah sahabat) hingga kepada kita. Namun, begitu beraninya para ahli bid’ah menuduh mereka murtad setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali tiga orang! Justru, merekalah para sahabat yang membantu beliau, yang berjihad di jalan Allah, serta menegakkan dien ini sesuai tuntunan beliau. Semoga Allah subhanahu wata’ala meridhai dan menyatukan kita dalam jama’ah mereka. Karenanya, para sahabat tidak pernah berselisih dalam masalah Aqidah. Jika menemukan perbedaan, mereka akan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan pengetahuan, pemahaman, dan kefaqihan, mereka menyampaikan tuntunan Aqidah itu kepada seluruh manusia.
Salafus Shalih menerima tuntunan Aqidah untuk disampaikan, diyakini, dan diamalkan. Mereka tidak memasukkan akal dan pendapat untuk mencari-cari dalil dalam nash. Mereka tidak pernah bersikap hanya mencari sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan menolak sesuatu yang bertentangan sebagaimana ahli bid’ah yang memutuskan sesuatu sebelum dilihat nash nya; hal yang sesuai dengan keinginan dan pikirannya mereka terima, sedangkan yang bertentangan mereka tolak. Dengan demikian, manhaj Salafus Shalih selalu berkeyakinan bahwa apapun yang dikatakan Allah dan Rasulullah akan dijawab dengan keimanan, keyakinan, dan ketenangan hati.
Untuk dalil, Salafus Shalih mengambil nash secara keseluruhan. Sedangkan Ahli bid’ah, mereka hanya mengambil nash yang menguatkan pendapat mereka. Misalnya saja, Qadariyyah yang meyakini kebebasan manusia tanpa campur tangan Allah mengambil nash yang menjelaskan keinginan dan ikhtiar manusia. Sementara itu, Hatmiyyah dan Jabariyyah yang berpendapat bahwa manusia tidak mampu berusaha dan berkehendak, seperti yang ditunjukkan ahli tasawuf, tentu akan mengambil dalil-dalil yang menyatakan bahwa segala yang terjadi merupakan kehendak Allah. Ahlussunnah wal Jama’ah beri’tikad bahwa manusia memiliki kehendak, namun tetap tunduk kepada Allah sebagaimana pengertian nash Al Qur’an dan sesuai dengan firman Allah berikut:
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At Takwir: 28-29).
Demikian juga dalam masalah sifat-sifat Allah[5], Iman[6], dan keutamaan para sahabat[7], dan lain-lain. Dengan demikian, umat Islam yang ingin mengikuti para salaf hendaklah menerima nash secara keseluruhan, apa adanya, tidak ada yang membeda-bedakan. Sesungguhnya, tidak ada pertentangan di dalam nash Al Qur’an. Pikiran-pikiran orang yang mengikuti hawa nafsulah yang mempertentangkan nash Al Qur’an tersebut. Dalam konsep orang-orang yag beriman, yang ada hanyalah keterkaitan dan kesatuan yang saling menguatkan.
Kebijaksanaan dan keadilan adalah salah satu asas manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah. Karenanya, mereka mencintai mukminin dan membenci kafirin, mencintai orang-orang taat dan membenci orang-orang yang berbuat maksiat. Jika mendapati manusia yang selain beriman juga sekaligus melakukan maksiat, para Salafus Shalih tidak akan mengambil dan menolak semua pendapat mereka. Mereka akan tetap dicintai dalam keimanan serta dituntun pada kebaikan. Karenanya, jika mendapati saudara-saudar kita tengah berada dalam kemaksiatan dan bid’ah, tuntunlah mereka ke jalan Allah.
Jika kita mempelajari sejarah serta komitmen Ahlussunnah wal Jama’ah terhadap Islam, kita akan menemukan beberapa sifat mereka didalam beramal, yaitu:
Mereka tidak terkait kepada satu pun dari nama-nama kelompok bid’ah, seperti Sufi, Bathiny, Rafidhy, Qadary, dan lain-lain. Mereka hanya bersandar pada nama yang disebutkan dalam hadits shahih.
“Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah Khulafa/Para Khalifah yang mendapat hidayah dan petunjuk sesudahku.”(HR Tirmidzi, Abu Dawud, dan yang lainnya, shahih).
“Hendaklah kalian beserta Al Jama’ah, sesungguhnya kekuatan (pertolongan) Allah diberikan kepada Al Jama’ah (persatuan umat).”
Karenanya, mereka senantiasa berkata, ‘Kami adalah kaum (pengikut) Ahlussunnah wal Jama’ah’. Hal ini dipertegas dengan jawaban Imam Malik ketika seorang laki-laki bertanya kepadanya: “Wahai Abu ‘Abdillah, aku ingin menanyakan suatu masalah sehingga jawabanmu bisa kujadikan hujjah dihadapan Allah.” Imam Malik menjawab, “Masya Allah, tidak ada kekuatan (aku membuat dalil apapun) kecuali dengan pertolongan Allah.” Orang itu bertanya lagi, “Siapakah Ahlussunnah itu?”Imam Malik menjawab, “Ahlussunnah ialah yang tidak punya identitas tambahan yang dikenal seperti Al Jahmy, Ar Rafidhy (Syi’ah), Qadariyyah dan lain-lain. Dengan demikian, barangsiapa yang mengikatkan diri dengan bid’ah, dia tidak termasuk Ahlussunnah.”
Mereka sangat mencintai Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta menjadikan Ahli Hadits sebagai wali, teman, kecintaan, atau pemimpin. Dengan demikian, Ahlussunnah wal Jama’ah senang mempelajari dan mengamalkan Sunnah serta mencintai orang-orang yang memiliki pemahaman dan pengalaman terhadap Sunnah. Sebaliknya, ahli bid’ah tidak pernah menyukai ulama-ulama Sunnah.
Imam Utaibah bin Sa’id berkata: “Jika kamu melihat seseorang mencintai ulama Sunnah (Ahli Hadits) seperti Abu Sa’id Al Qahthaan, Abdurrahman bin Malik, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Ruwaih dan lain-lain, ketahuilah bahwa dia berada di dalam Sunnah, sedangkan jika menentang, maka dia berada di dalam bid’ah.”
Itulah standar yang berlaku sampai sekarang. SyaikhAbu Isma’il Ash Shabuny, dalam risalah tentang sifat-sifat Ahlussunnah, menyatakan: “Salah satu tanda Ahlussunnah adalah kecintaan mereka terhadap Imam Sunnah, Ulama Sunnah, penolongnya, dan walinya serta membenci ahli bid’ah yang menyeru ke neraka.”
Sekali waktu mungkin kita pernah bertemu dengan orang-orang yang mengajak ke madzhab tertentu dan mengharamkan keluar dari madzhab tersebut dalam masalah apapun juga. Sekali pun konsep madzhabnya keliru dan bertentangan dengan hadits shahih, mereka tetap berpegang teguh pada madzhabnya. Ada seorang teman yang tengah mempelajari hadits, tetapi tetap fanatik terhadap madzhabnya sehingga memiliki konsep “tidak akan keluar dari pendapat imam sekalipun ada hadits shahih yang berbeda dengannya”. Menyaksikan itu saya bertanya, “Engkau orang yang sangat mementingkan pelajaran hadits sehingga dapat membedakan hadits shahih dengan dha’if. Tapi anehnya, engkau berfatwa sesuai dengan madzhabmu meskipun bertentangan dengan hadits shahih. Lantas, apa gunanya engkau belajar ilmu hadits?” Dia menjawab, “Saya belajar Ilmu Hadits untuk berkah saja!” Jawaban tersebut bukan jawaban Ahlussunnah wal Jama’ah sebab Imam Asy Syafi’i sendiri bekata, “Jika terdapat hadits shahih, itulah madzhabku yang disetujui oleh Al Imam Malik, Al Imam Abu Hanifah, dan Al Imam Ahmad bin Hanbal.” Dengan demikian, pengambilan dalil Ahlussunnah wal Jama’ah adalah melalui berpegang teguh pada Sunnah yang benar-benar shahih selain juga memperhatikan pendapat ulama. Keduanya merupakan keharusan, tetapi keharusan berpegang teguh kepada sunnah lebih utama. Selain itu, ketika mengambil dalil, mereka tidak menuruti hawa nafsu. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh, yang paling aku takuti akan menimpa kalian adalah dua perkara: panjang angan-angan dan menuruti hawa nafsu. Panjang angan-angan akan membuat lupa pada akhirat, dan menuruti hawa nafsu akan menghalangi kebenaran.”
Seorang Imam tabi’in yang masyhur, Maimun Al Mahraan memperingatkan: “Seorang pengumbar nafsu tidak layak disebut muslim. Pada zaman Khalifah Umar bin Abdil Aziz radhiyallahu ‘anhu berkembang bid’ah Qadariyyah[8]. Khalifah Umar mendatangi mereka dan bertanya, “Pendapat apa yang kalian pegang?” Mereka menjawab, “Kami berpegang kepada kehendak bebas.” “Apa dalil kalian?” tanya Khalifah. Mereka lalu membaca ayat:
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Al Insaan: 1-3).
Mereka meneruskan bacaannya sampai ayat:
“Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, Maka Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya Dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Al Insaan: 29-30).
Khalifah Umar berkata: “Sekarang apa pendapat kalian? Kalian membesar-besarkan hal yang furu’ (cabang) tetapi meninggalkan ushul (pondasi/dasar), mengambil sebagian ayat dan menolak ayat lainnya serta mempertentangkan ayat-ayat itu satu sama lain.”
Tanda yang sudah disepakati sebagai pembeda antara Ahlussunnah dan golongan lain terletak pada konsistensi terhadap Aqidah. Meskipun berbeda zaman dan tempat, pendirian atas Aqidah senantiasa sama. Aqidah para sahabat, para tabi’in, penerusnya pada abad ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6 hingga sekarang pastilah sama. Karakter seperti ini telah ditegaskan oleh Al Imam Al Asbahany (wafat tahun 535 H) dalam kitab Al Hujjah yang berkata: “Diantara petunjuk benarnya ahli hadits adalah jika engkau perhatikan buku-buku karangan mereka, zaman dahulu maupun zaman sekarang, generasi lama maupun generasi baru. Meskipun tempat mereka berbeda-beda dan mereka berada di berbagai penjuru bumi, dalam menjelaskan masalah Aqidah engkau akan memperoleh prinsip dan metode yang satu(sama). Jika engkau bertemu ahli bid’ah serta penerus-penerus mereka, akan terlihat pertentangan walaupun dalam golongan yang sama. Setiap hari, cabang bid’ahnya bertambah. Misalnya Mu’tazilah, sampai abad ke-4 saja mereka sudah memiliki banyak cabang. Demikian juga dengan Rafidhah dan Khawarij yang dalam waktu singkat sudah terpecah menjadi bermacam-macam firqah(cabang/kelompok) baru. Ahlussunnah wal Jama’ah selalu berjalan di atas jalan dan manhaj tunggal walaupun berbeda tempat dan waktu.”
Mereka tetap memegang teguh Manhaj yang telah diyakini kebenarannya. Sebaliknya, pendirian ahli bid’ah senantiasa berubah-ubah: sehari ke utara, hari lain ke selatan. Di dalam hati Ahlussunnah wal Jama’ah senantiasa tegung berpegang pada manhaj mereka dan terus berjuang di atas kebenaran hingga bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala.
Dalam berbagai urusan, Ahlussunnah wal Jama’ah senantiasa berada di tengah-tengah sebagaimana umat Islam yang pertengahan diantara umat lainnya. Tidak seperti Khawarij yang mengkafirkan orang lain sehingga orang yang dikafirkan itu berputus asa dari rahmat Allah. Tidak pula seperti Murji’ah yang berkata: “Berbuatlah semaumu sebab tauhidmu tidak berubah dan kamu tetap akan masuk surga.” Seorang Imam tabi’in yang masyhur, Amr bin Asyrahiil Asy Sya’by  menggambarkan perbedaan tersebut:
“Cintailah ahli bait Nabimu, jangan menjadi Rafidhah.
Amalkanlah Al Qur’an, jangan jadi Harury (Khawarij).
Ketahuilah, apa-apa yang menimpamu berupa kebaikan berasal dari Allah dan berupa kejelekan berasal dari dirimu sendiri, jangan jadi Qadariyyah.
Taatilah Imam walaupun seorang hamba Habsyi, jangan jadi Khawarij.
Berhentilah dari pekara yang meragukan (syubhat), jangan jadi Murji’.
Sukakanlah orang berbuat baik, meski seorang tua sederhana.”
Gambaran tersebut lebih memperjelas karakter pertengahan Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah senantiasa menolak bid’ah pada setiap zaman serta langsung meluruskan penyelewengan ahli-ahli bid’ah agar kembali pada Sunnah. Demikianlah sikap mereka menghadapi bid’ah Rafidhah, Bathiniyyah, Isma’iliyyah, Qaramithah, Khawarij, Mu’tazilah, dan lain-lain. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, menentang bid’ah-bid’ah pada zamannya. Pada zaman sekarang kita mengenal banyak ulama Sunnah yang menentang bid’ah Qadiyany, Baha’iy, Rafidhy, bahkan menentang orang-orang yang fanatik madzhab dan orang-orang yang mengacu pada filsafat modern.
Ahlussunnah wal Jama’ah sangat mendambakan bersatunya para muslim diatas kebenaran. Sebaliknya, ahli bid’ah senantiasa memecah belah umat dengan paham sesat mereka.
Pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah senantiasa dipercaya karena adil dan tsiqah (terpercaya). Dikalangan ahli bid’ah, sikap saling percaya itu tidak akan kita jumpai. Bahkan, kadang-kadang, jika mereka tidak dapat menyelesaikan suatu masalah, mereka pun bertanya kepada Ahlussunnah wal Jama’ah. Demikianlah, Allah subhanahu wata’ala telah menetapkan kedudukan Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pada setiap zaman dijadikan rujukan dalam perselisihan ummat.
Ahlussunnah wal Jama’ah senatiasa mengikat diri dengan ilmu dan amal. Bertumpuk-tumpuk buku tidak akan bermanfaat tanpa pengamalan. Apa manfaatnya ilmu yang terus bertambah jika dengan ilmu itu kitak tidak dapat bertambah khusyu’ dan takut kepada Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri memohon perlindungan kepada Allah lewat doanya ini:
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan hati yang tidak khusyu’.”(HR Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Ma’ruf Al Karhy berkata: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, dibukanya pntu amal dan ditutupnya pintu Jadal (perdebatan). Sedangkan jika menghendaki kejelekan, dibukanya pintu jadal dan ditutupnya pintu amal.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain:
“Tidaklah sesat kaum (Yahudi) sesudah mendapat petunjuk kecuali karena terlibat dalam perdebatan”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat:
“... mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.”(Az Zukhruf: 58).
Imam tabi’in Ja’far Shadiq rahimahullah berkata: “Jauhilah berbantah-bantah dalam agama sebab itu akan membuat hatimu membatu dan mendatangkan kemunafikan.”
Melihat para sahabat berada dalam petunjuk dan kebenaran, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu merasa tentram dan berkata: “Sesungguhnya kalian berada pada zaman yang banyak ulamanya dan sedikit khutabanya (ahli pidato). Akan datang sesudah kalian suatu zaman yang sedikit ulamanya tetapi banyak ahli pidatonya.”
Pada zaman sekarang hal tersebut sudah terasa. Hasan Al Bashri, seorang imam tabi’in yang masyhur, berkata: “Ambillah pelajaran dari manusia dengan amalan-amalannya, dan biarkan pendapatnya. Karena, Allah tidak membiarkan suatu ucapan sampai ada petunjuk berupa amal yang membenarkan dan mendustakan ucapan itu. Jika ucapan seseorang sesuai dengan amalnya, itulah sebaik-baiknya hal. Jika bertentangan, bagaimana dia bisa berpaling? Jika dia sendiri tidak bisa mengambil manfaat dari ucapannya, maka orang lain pun tidak akan bisa.”
Ketika menafsirkan surat Al ‘Ashr ini:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya, setiap manusia itu rugi kecuali yang menyempurnakan kekuatan Ilmiyyahnya dengan iman dan menyempurnakan kekuatan amaliyahnya dengan taat kepada Allah. Lalu, selain menyempurnakan dirinya sendiri, dia pun menyempurnakan orang lain dengan mewasiatkan dan memerintahkan hal yang sama, serta bersabar dalam dakwah tersebut. Dia menyempurnakan dirinya dengan iman dan amal shalih, kemudian menyempurnakan orang lain dengan mengajari mereka serta mewasiatkan kesabaran.”
Alangkah dalamnya kandungan ayat-ayat tersebut sehingga Al Imam Asy Syafi’i berkata, “Kalau manusia merenungkan surat Al ‘Ashr pasti cukuplah bagi mereka (sebagai petunjuk).” Sesungguhnya, kalangan Salafus Shalih hanya mengajak kepada Allah subhanahu wata’ala dan madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah karena mereka merasakan ketentraman jiwa dan ketenangan hati di dalamnya sehingga mereka sebarkan berbagai kebajikan kepada orang lain. Jadilah mereka penolong-penolong agama dan penuntun ke jalan Allah subhanahu wata’ala. Dimana dan kapa saja berada, mereka akan senantiasa menjadi da’i di jalan Allah. Demi Allah, mereka tidak hanya duduk-duduk didalam rumah bersama makanan, tempat tidur, dan istri. Dalam kesulitan dan tantangan yang sangat berat pun mereka senantiasa mengajak ke jalan Allah meskipun orang-orang kafir mengepung dari berbagai penjur. Dalam mengomentari hadits:
“Islam itu mula-mula asing dan nanti akan kembali asing.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala melarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar tidak bersedih atau merasa sempit karena sedikitnya orang yang masuk Islam pada awalnya, maka kita juga dilarang bersedih atau sesak jika sedikit orang yang menerima Islam. Banyak orang yang jika melihat kemungkaran dan memburuknya kondisi umat Islam akan surut, sedih, dan meratap. Padalah itu dilarang. Sebenarnya, mereka diperintahkan untuk bersabar, tawakal, kokoh dalam Islam, serta tetap bersama orang-orang yang taqwa. Ikutilah jalan mereka, jangan meratap, menangis, dan duduk-duduk saja. Hendaklah menyeru kepada Allah subhanahu wata’ala.”
Kalangan Salafus Shalih sudah terjamin, kokoh dalam kebenaran dan hati mereka tidak pernah merasa tentram kecuali dengan menyebarkan kebenaran. Misalnya saja, Al Imam Ahmad yang sudah tua dan sakit-sakitan, ketika diminta istirahat dari berdakwah oleh Abu Sa’id, menolak karena hati beliau belum tentram jika kebatilan belum tertumpas. Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmati beliau dan seluruh Ulama Sunnah. Diriwayatkan, jika Al Imam Ahmad mendengar seseorang yang shalih, zuhud, serta menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, beliau akan berkenalan dengan orang tersebut. Baliau pun pernah berjumpa dengan Musa bin Hisyam, salah seorang guru Al Imam Bukhari. Atas Inayah Allah subhanahu wata’ala setelah perjumpaan dengan beliau, Musa bin Hisyam yang sebelumnya menganut faham Murji’ah kembali ke Sunnah.
Untuk mengomentari ayat-ayat yang sering dijadikan dalil oleh orang-orang yang enggan berdakwah seperti ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk ...”(Al Maidah: 105).
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah berkata: “Dakwah Islam adalah fardhu kifayah atas muslim. Akan tetapi, jika orang lain belum menegakkannya, maka orang yang tahu telah terkena kewajiban berdakwah, beramar ma’ruf nahi munkar, menyampaikan yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jihad di jalan Allah, serta mengajak pada keimanan dan Al Qur’an. Dakwah itu sendiri adalah amar ma’ruf nahi munkar.”
Orang-orang yang enggan berdakwah sering berdalih dengan ayat tersebut. Padahal di dalamnya tidak ada laragan berdakwah atau izin meninggalkan dakwah.Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai manusia, kalian membaca ayat ini tetapi tidak memahaminya dengan sebenarnya. Sesungguhnya, aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Sungguh, jika manusia melihat kezhaliman atau kemunkaran, kemudian tidak berusaha mencegahnya, maka Allah akan menyamaratakan mereka dengan siksa’.”
Kemudian, Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu berkata dalam riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kamu lihat syahwat ditaati, hawa nafsu diikuti, dan setiap yang punya ra’yu mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri, hendaklah engkau menguatkan hati (untuk tetap pada Sunnah).”
Menurut Ibnu Taimiyyah, hadits di atas merupakan tafsir atas hadits Abu Sa’id Al Khudry:
“Siapa diantara kamu melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu (dengan tangannya), ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu (dengan lisannya), ubahlah dengan hatinya.”
Jadi, jika perubahan tidak mungkin terjadi kecuali dengan hati, “hijrah”lah dari ahli munkar. Cinta itu karena Allah dan benci itu karena Allah.
Menurut Syaikhul Islam, dalam ayat 105 surat Al Maidah diatas tidak ada hujjah yang menolak amar ma’ruf nahi munkar. Manfaat yang dapat kita ambil dari ayat tersebut adalah:
Kaum muslimin tidak boleh takut kepada kuffar dan munafiqin sebab mereka tidak akan merugikan jika kita sudah memperoleh petunjuk.
Kita dianjurkan untuk tidak sedih dan dendam atas kelakuan mereka sebab maksiat mereka tidak merugikan kita jika kita sudah memperoleh petunjuk. Kebaikan itu terkandung pada sesuatu yang selamanya tidak merugikan.
“ Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (An Nahl: 127).
Jangan cenderung kepada mereka serta jangan kagumi kekayaan, kekuasaan, dan pemenuhan syahwat mereka.
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu) ...”(Al Hijr: 88).
Dengan demikian, di satu ayat Allah melarang untuk takut kepada ahli batil dan di ayat lain Dia melarang iri akan apa yang mereka miliki.
Untuk menyikapi orang yang maksiat, janganlah terlalu berlebihan dalam membenci, mencela, dan mencegah mereka. Begitu juga dalam memisahkan diri dengan mereka atau menghukum mereka, agar tidak timbul fitnah bahwa kita telah melampaui batas.
“dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa ...” (Al Maidah: 8).
Demikian juga dalam masalah Jihad:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(Al Baqarah: 190).
Ciri khusus Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka senantiasa membesarkan anak-anak dan pemuda mereka dalam Sunnah. Mereka senantiasa mengawasi generasi mudanya dari penyelewengan-penyelewengan maksiat maupun bid’ah.
Abdullah bin Su’dud berkata: “Di antara nikmat Allah yang diberikan kepada seorang pemuda yang taat kepadanya adalah dia dibesarkan dalam Sunnah oleh orang tuanya yang memegang Sunnah.”
Disambung oleh Imarah bin Za’dan dari Ayyub As Suhtiyan yang berkata: “Jika seseorang memegang Sunnah dan Jama’ah, maka tidak perlu diragukan lagi keadaannya (baik), karena dengan berjalan di atas Sunnah akan menjadikannya tetap berada di jalan kehidupan yang lurus.”
Sedangkan sebaliknya, ahli bid’ah  senantiasa berada dalam keraguan, syubhat, dan sejenisnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah akan merasa sedih dan menganggap sebuah musibah besar jika seorang ulama yang beramal dan berjihad meninggal dunia. Dalam riwayat Muhammad bin Zaid, Ayyub As Suhtiyan berkata: “Aku diberi tahu tentang meninggalnya seorang ulama Sunnah, maka seolah-olah kurasakan salah satu anggota tubuhku lepas dari tempatnya.”
Demikianlah wujud persatuan mereka, layaknya satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, terasa demam seluruh tubuh. Itulah orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan keimanan, yang memperoleh lindungan Allah di hari yang tiada perlindungan selain dariNya, yang diantara 7 golongan[9] salah satunya ialah seorang laki-laki mencintai saudaranya karena Allah.
Muhammad bin Zaid meriwayatkan pula bahwa dia menyaksikan Ayyub sedang memandikan Syu’aib bin Habbab, seorang ulama Sunnah yang meninggal, seraya berkata: “Sesungguhnya, orang-orang yang menginginkan wafatnya Ahlussunnah, mereka ingin mematikan cahaya Allah, sedangkan Allah menyempurnakan cahayaNya meskipun orang kafir benci.”[10]
Sekarang ini, berapa banyak ahli bid’ah yang menginginkan meninggalnya ulama Sunnah, penerus Salafus Shalihin, agar mereka bisa merajalela dengan bid’ah yang mereka sebarkan.
Kita memohon kepada Allah agar segala ucapan dan perbuatan kita ikhlas karena Dia Yang Mulia, bermanfaat bagi kita, serta diterima sebagai amal. Semoga Allah menjadikan pemahaman Aqidah kita sebagai penambah semangat jihad di jalan Allah.



[1]Disarikan dari ceramah Syaikh Abdurrahman bin Shalih Al Mahmud, dosen kehormatan fakultas Ushuluddin Uniersitas Ibnu Su’ud Al Islamiyyah, Saudi Arabia.
[2]Generasi Umat Islam terbaik sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, dan generasi berikutnya. (HR Bukhari).
[3]Orang-orang yang mengikuti ajaran Jahm bin Shafwan yang menyatakan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat apapun. Selain itu, Jahm pun menyebarkan faham Jabbariyyah yang menyakini bahwa segala urusan manusia telah ditakdirkan oleh Allah sehingga tidak ada cela bagi orang yag berdosa karena semua perbuatan dosanya berasal dari Allah. Begitu juga, orang kafir tidak dicela atas kekafirannya karena itu sudah merupakan takdir Allah.
[4]Pengikut Washil bin Atha’ yang mementingkan akal daripada Al Qur’an dan As Sunnah. Tentang kedudukan orang yang berdosa besar. Washil berpendapat, “Mereka tidak beriman dan tidak kafir.” Sehingga, Hasan al Bashri berkata, “ Sungguh Washil telah meyimpang dari Ahlussunnah wal Jama’ah.” Maka lahirlah sebutan Mu’tazilah untuk orang seperti Washil.
[5] Salafus Shalih menetapkan sifat-sifat Allah itu sebagaimana ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu yang  tidak terbatas hanya 13 atau 20 sifat (lihat Fathul Majid Syarh Kitaab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aali Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz, hal 413).
[6]Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan (Minhajul Firqatin Najiyyah, Muh. Jamil Zainu, bab “Syu’abul iiman wal kufr”). Ahlussunnah berpendirian bahwa orang yang berdosa tidak otomatis kafir selama tidak melakukan dosanya; berbeda dengan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Demikian pula dengan dosa yang mengurangi kesempurnaan Iman karena Ahlussunnah berkeyakinan bahwa Iman dapat bertambah dan berkurang; lain dengan Murji’ah yang menganggap dosa tidak mempengaruhi keimanan seseorang.
[7]Menurut Ahlussunnah, para sahabat adalah orang-orang yang adil. Mereka tidak mencintai sebagian secara berlebihan ataupun mengkafirkan sebagian sahabat yang lain seperti perilaku kaum Rafidhah.
[8]Secara garis besar, ajaran golongan ini mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu yang belum terjadi dan hamba memiliki kebebasan muthlaq, sehingga perbuatan bersumber dari dirinya sendiri, tidak ada campur tangan Allah. Pengikut yang lebih lunak tidak memakai ajaran pertama, mereka hanya berpegang pada kehendak bebas.
[9]Selengkapnya terdapat dalam HR Asy Syaikhaan, Bukhari-Muslim
[10]Sesuai dengan kandungan surat At Taubah: 32 dan surat Ash Shaff: 8


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------