6.5  Kebenaran Ilahiyat Tegak, Kebatilan Yahudi-Nasrani pun Sirna
          Allah menimpakan kehinaan dan kemiskinan kepada mereka, Yahudi dan Nasrani, karena kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah yang disertai dengan perbuatan jahat terhadap para Nabi dan penganutnya.
          Allah berfirman,
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Buruj:8)

Dan mereka ditimpa kehinaan dan kesengsaraan serta mereka kembali mendapat murka dari Allah. Demikian itu, karena mereka menghindari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa haq. Hal itu karena mereka durhaka dan melampaui batas. (Al-Baqarah:61)
         
Firman-Nya lagi,
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa rasul itu (Muhammad) benar-benar Rasul, dan keterangan-keterangannya pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zhalim. Mereka itu, balasannya ialah laknat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikina pula) laknat malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dlalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
(Ali Imran:86-88)
         
          Jika kita kaitkan antara berita-berita Allah tersebut dan realitas kontemporer keadaan Yahudi dan Nasrani sekarang ini, seakan-akan ada kontradiksi antara janji dan ancaman Allah pada mereka. Sebab, di bagian lain, Allah berjanji kepada orang-orang mukmin, yakni janji pertolongan, kemenangan, kemakmuran, keberkahan, kebahagiaan, keteguhan, dan kekukuhan serta kekuasaan.
          Orang-orang beriman yang dungu atau kacau pehamannya, tentu akan membenarkan syubhat ini, dan bisa beralih menjadi pendukung mereka, takjub kepada mereka, dan bahkan mungkin murtad dari keimanannya. Mungkin saja orang-orang beriman akan berkata, bahwa janji dan ancaman Allah itu tidak berlaku atau sunnah rabbniyah ini telah berubah. Benarkah ini semua?
          Ali Imran ayat 112 dapat ditafsirkan,
1.    Bahwa hukuman asal bagi Yahudi adalah terhina dan sengsara, atau bangsa tertindas untuk selama-lamanya;
2.    Terdapat istitsna (pengecualian) bagi mereka yang memegang teguh hablum minallah dan hablum minannas.  
          Mereka, Yahudi itu bisa mengubah nasib kodratinya dengan cara hablum minallah dan hablum minannas. Jika demikian apa makna pengecualian tersebut. Justru pengecualian inilah yang sekarang ada pada mereka, adanya keteguhan, kemapanan, dan dominasi kekuasaan di dunia internasional. Di sinilah perlunya kita memahami tafsir istitsna tersebut. Dengan pendekatan hukum sebab akibat dan masyi'atillah, mungkin sekali terjadi peneguhan dan pendominasian Yahudi atas dunia, karena masyi'atillah, iradah-Nya, dan pertolongan-Nya. Dalam hal ini bisa terjadi pada siapa saja, manusia umumnya, tidak terkait oleh iman dan kufurnya. Mengingat bahwa dunia dan isinya itu tidak ada nilainya di mata Allah , tetapi bernilai besar bagi manusia, terutama oleh kaum kuffar Yahudi. Untuk ukuran dunia, pengukuhan dan peneguhan serta kekuasaan yang mendominasi dunia ini merupakan ‘penangguhan’ (tempo) di pandangan-Nya  bagi mereka.
          Sehingga makna ayat “.... kecuali dengan hablum minallah adalah kecuali masyi'atillah, iradah-Nya, dan pertolongan-Nya”. Puncak kejayaan Yahudi sekarang ini adalah karena masyi'atillah, iradah-Nya, dan pertolongan-Nya. Walau tidak mustahil karena disertai pengambilan sebab, menurut hukum kausalitas. Akan tetapi, tidak mengharuskan berakibat sebuah kejayaan atau dominasi kekuasaan. Sebab kenyataannya, banyak bangsa yang bekerja keras untuk bangkit, tetapi masyi'atillah belum berkehendak ke sana.
          Lalu makna hablum minannas adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa kejayaan dominasi kekuasaan Yahudi itu tidak terlepas dari dukungan dan bantuan kekuatan negara lain. Tidak hanya Amerika, bahkan Rusia dan negara-negara Eropa, baik dukungan politik, militer, dana maupun psikologis terhadap Israel. Sebenarnya, apa yang dilakukan organisasi politik dan sosial, seperti PBB, Nato, Pakta Warsawa (dahulu), MEE, dll. sekadar sandiwara akbar, yang disertai dengan pernyataan-pernyataan kosong.
          Hal ini persis seperti yang Allah lukiskan dalam surat Al-Munafiqun. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa;
1.    Kehinaan dan kenistaan adalah karakter dan identitas asli bangsa Yahudi, dan tidak akan berubah;
2.    Kecuali jika mereka mendapatkan pertolongan Allah atas takdir dan masyi'atillah serta iradah-Nya. Itulah makna illah bihablin minallah. Dan, karena dukungan berbagai pihak dalam segala aspeknya, itulah makna dari hablum minannas. Namun, itu semua dalam batas istidraj dan penangguhan tempo dalam jangka waktu yang telah Allah tetapkan untuk mereka.
          Sejalan dengan takdir-Nya pula Allah memberikan taklif  kepada Nasrani dan kaum Muslim untuk menjadi penghambat yang dapat menghentikan sepak terjang Yahudi di muka bumi. Muhammad Quthb mengibaratkan seperti binatang buas yang dikurung oleh dua penjagaan algojo (Nasrani dan umat Islam). Jika kedua penjaga ini tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan sempurna, binatang buas itu akan keluar dari kerangkengnya, kemudian menerkam penjaga-penjaganya. Nampaknya, itulah yang terjadi sekarang. Sebab-sebab Yahudi dapat bangkit dari kehinaan dan kenistaannya, lalu menjadi dominan dalam memainkan percaturan politik internasionalnya.
          Ada satu hal dari kedua penjaga tadi, satu diantaranya, yaitu Nasrani, telah menjadi budak Yahudi. Mereka bersekongkol melakukan makar jahat terhadap Islam. Kaum Nasrani sejak keluar dari keaslian ajarannya tidak mampu lagi melakukan taklif penjagaan terhadap Yahudi. Padahal beban itu dipikulkan Allah atasnya hingga hari kiamat.
          Allah berfirman,
“Ingatlah ketika Allah berkata, Wahai ‘Isa, sesungguhnya Aku memenuhi dan mengankatmu kepada-ku dan menyucikanmu dari orang kafir sampai hari kiamat.” (Ali Imran:55)

          Sejak kaum Nasrani tidak beragama dengan agama yang benar, mereka tidak lagi menjadi pemegang amanat yang baik. Mereka, bahkan bersekongkol dengan Yahudi melawan satu musuh, yaitu Islam.
          Sementara itu, umat Islam yang oleh Allah dibebani taklif sebagai umat wasathan, penjaga sepak terjang Nasrani dan Yahudi sekaligus, kenyataannya tidak mampu menjalankan risalahnya, bahkan lebih akrab pada kemungkaran dan menjauh dari kebenaran dan manhaj Rabbani.
          Semua ini yang menjadikan kualitas iman, materi, ilmu pengetahuan, dan sikap mujahadnya menurun, merupakan hasil kerja keras Yahudi dalam men-Yahudikan atau me-Nasranikan atau memurtadkan kaum Muslim tanpa harus memindahkan agama mereka. Cukup dengan proses pengendalian tarbiyah dengan doktrin ilmu untuk ilmu, merusakkan keyakinan dan konsepsi Islam  yang murni kepada orientalisme dan westernisasi, merusakkan fikrah, tradisi dan ahlak. Semua itu terjadi karena mereka, Yahudi dan Nasrani, menguasai media informasi. Seharusnya umat Islam  malu menyandang gelar umat wasathan bagi mereka yang menyaksikan ihwal mereka tidak sejalan dengan “polisi umat manusia.”    
“Dan Begitulah Kami jadikan kalian sebagai ummat pertengahan untuk menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul menjadi saksi pula atas (perbuatan) mu”  (Al-Baqarah:143).

          Namun sejarah telah menunjukkan, bahwa tiga generasi abad pertama sejak nubuwwah Muhammad SAW. telah berhasil dengan baik menjalankan tugas misi “polisi umat manusia” tadi. Hingga sekarang belum ada generasi kaum Muslimin yang menandingi mereka, bahkan mendekatinya pun belum.
          Oleh karena itu, tidak ada jalan lain. Kaum Muslimin harus kembali kepada pemahaman, keyakinan, tardisi Sunnah, akhlak, suluk, dan Tsaqafah serta hadlarah kepada metode dan keteguhan mereka dalam memahami dan melaksanakan nash-nash syari’at.
          Insya’Allah.
          Amin ya Rabbal ‘alamin.
Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan balasan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjaan.”  (An-Nahl: 97)

          Ya Allah, Ihdinash shirathal mustaqim, Shirathal ladzina an’amta ‘alaihim, Ghairil maghdlubi ‘alaihim, wa lad  Dlallin. Amin.
Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------