di Hari Asyuro
RITUAL KAUM SYI`AH RAFIDLOH DI HARI `ASYURA YANG MENGADA-ADA
Pertama: Kekhususan Hari Asyuro Dan Keutamaan Memuasainya
Dijelaskan bahwa keutamaan Asyuro adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa beserta para pengikutnya dan menenggelamkan Fir'aun beserta para balatentaranya.
Ibnu Abbas t mengabarkan bahwa ketika Rasulullah r tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi memuasai hari Asyuro. Sehingga beliaupun r bertanya, "Hari apa yang kalian puasai ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir'aun bersama pengikutnya. Musa memuasai hari ini sebagai bentuk syukur, maka kami ikut memuasainya." Rasulullah r berkata, "Kami lebih berhak dan lebih utama (meneladani) Musa daripada kalian." Sehingga Rasulullah r pun memuasainya dan memerintahkan para sahabat memuasainya. [Al-Bukhari no.2004 dan Muslim no.11330]
Telah disampaikan mengenai keutamaan puasa Asyuro dalam hadits Abu Qotadah, bahwa ketika Nabi r ditanya tentang puasa Asyuro, beliau menjawab,
قال رسول الله e : (( يُكفِّرُ السَّنَةَ الْماَضِيَة ))
"Menghapus dosa (kecil) setahun yang lalu."
Dalam riwayat hadits yang lain:
قال رسول الله e : ((صِيَامُ يَوْمَ عَاشُوْراَء أَحْتَسِبُ عَلى اللهِ أَنْ يُكَفِّـرَ السَّنَةَ التِي قَبْلَه))
"Puasa hari Asyuro, aku mengharap pahala dari Allah dapat menghapus dosa setahun sebelumnya."
[Hadits riwayat Muslim no.1162]
Dalam hadits yang lain:
قال رسول الله e : (( وَمَنْ صَامَ عَاشُوْرَاء غَفَرَ اللهُ لَهُ سَنَة ))
"Siapa yang berpuasa Asyuro, Allah menghapuskan dosanya selama setahun."
[Hadits riwayat al-Bazzar. Lihat Mukhtashar Zawaid al-Bazzar 1/407 dan dihasankan oleh al-Albaani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib 1/422]
Bahkan memuasainya menyamai puasa selama setahun sebagaimana yang terdapat dalam riwayat:
(( ذَاكَ صَوْمُ سَنَة ))
"Itu menyamai puasa setahun."
[Hadits riwayat Ibnu Hibban 8/394, no.363. Syu'aib al-Arnaut berkata, sanadnya sesuai dengan syarat Muslim]
Ibnu Abbas t menggambarkan keantusiasan Rasulullah r memuasainya dengan mengatakan: "Aku tidak melihat Nabi r begitu antusias memuasai suatu hari yang diharapkan keutamaannya dibanding hari-hari lain selain hari ini, yaitu hari Asyuro, dan bulan ini, maksudnya bulan Ramadhan."
[Hadits riwayat al-Bukhari no.2006]
Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: "Itu bukan berarti mengalahkan keutamaan hari Arafah, karena hari Arafah menghapus dosa dua tahun. Puasa Arafah memiliki keutamaan lebih karena terkumpulnya berbagai macam ibadah, pengampunan dosa, pembebasan dari api neraka dan ia diapit oleh dua bulan haram, sebelum dan sesudahnya. Memuasai hari Arafah adalah kekhususan syari'at kita, berbeda dengan Asyuro. Pahala puasa Arafah digandakan dengan berkah Muhammad Mustofa r. [Fathul Baari 4/292]
Kedua: Tahapan Puasa Asyuro
Puasa Asyuro mengalami beberapa tahapan [Lihat al-Lathaif 102-109]:
Tahapan pertama: Nabi r memuasai hari Asyuro ketika masih berada di Mekkah, dan tidak memerintahkan yang lain untuk memuasinya.
Tahapan kedua: ketika Nabi r sampai di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi memuasai hari Asyuro, maka beliaupun memuasainya dan memerintahkan sahabatnya untuk memuasainya. Sampai-sampai beliau memerintahkan mereka yang telah makan pada hari itu untuk memuasai sisa harinya. Hal itu terjadi pada tahun kedua hijriah, karena beliau tiba di Madinah bulan Rabiulawal.
Tahapan ketiga: ketika puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah, hukum wajibnya puasa Asyuro dinaskh (dirubah) menjadi mustahabbah (disukai). Perintah yang mewajibkan puasa Asyuro hanya terjadi satu tahun saja. [Al-Fath 4/289]
Tahapan-tahapan ini dibuktikan dengan hadits-hadits diantaranya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah –semoga Allah meridoinya-, dia berkata:
"Dahulu Quraisy memuasai hari Asyuro di masa jahiliah, dan Rasulullah r memuasainya. Ketika Nabi r hijrah ke Madinah, beliau memuasainya dan memerintahkan yang lain untuk memuasainya. Ketika turun perintah diwajibkannya puasa Ramadhan beliau bersabda, 'Siapa yang berkehendak (berpuasa Asyuro) silahkan memuasainya dan siapa yang bekehendak meninggalkannya silahkan meninggalkannya (tidak memuasainya)'." [Hadits riwayat Muslim no.1125]
Dan dari ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz, dia berkata, "Rasulullah r mengirim utusan pada siang hari Asyuro ke desa-desa Anshar yang ada disekitar Madinah (dengan mengatakan), "Siapa diantara kalian yang sedang berpuasa hendaklah menuntaskan puasanya, dan siapa yang paginya tidak berpuasa hendaknya memuasai sisa harinya." Setelah itu kamipun memuasainya dan mengajak anak-anak kecil kami memuasainya. Mengajak anak-anak itu ke masjid dan membuatkan untuk mereka mainan dari bulu yang kami bawa bersama kami. Jika mereka meminta makanan, kami berikan mainan itu kepada mereka agar bermain-main dengannya hingga mereka menyempurnakan puasa mereka." [Hadits riwayat Muslim no.1136]
Tahapan keempat: perintah untuk menyelisihi kaum Yahudi dalam berpuasa Asyuro.
Dahulu Rasululullah r suka menyepakati ahlulkitab dalam perkara yang belum ada perintahnya. (Sebagaimana berita yang shahih dari Ibnu Abbas di dalam kitab al-Bukhari no.5917) hingga datang perintah Allah untuk menyelisihi mereka dan dilarang menyerupai mereka. Sehingga beliaupun betekat untuk tidak memuasai hari Asyuro saja. Penyelisihan Beliau r dilakukan dengan tidak memuasai satu hari Asyuro saja.
Hal itu dibuktikan dengan hadits-hadits diantaranya:
Dari Ibnu Abbas t, dia berkata, "Ketika Rasulullah r memuasai hari Asyuro dan memerintahkan yang lain untuk memuasainya, para sahabat bertanya, "Hari itu adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani!" Maka Rasulullah r pun bersabda,
قال رسول الله e : ((فَــإِذَا كـَـانَ الْعَامُ الْمُقْبِل ـ إِنْ شَاءَ اللهُ ـ صُمْنَا الْـيَـوْمَ الـتَّـاسِــع))
"Jika nanti ditahun depan –insyaAllah- kita akan memuasai (juga) hari kesembilan." Ibnu Abbas melanjutkan: "Belum tiba tahun berikutnya Rasulullah r telah wafat." [Hadits riwayat Muslim no.1134]
Ketiga: Tatacara Menyelisihi Kaum Yahudi Dalam Puasa Asyuro
Telah jelas dari hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya –wallahu a'lam- bahwa yang sempurna adalah memuasai hari kesembilan dan kesepuluh, karena itulah hari yang Nabi r bertekat untuk melaksanakannya.
Keempat: Ritual Asyuro Dalam Timbangan Syari'at
Siapa yang melihat keadaan orang-orang sekarang ini (ketika memasuki hari Asyuro) akan mendapati berbagai ritual yang khusus dilakukan pada hari itu. Diantaranya: puasa –untuk hal ini kita telah mengetahui pensyari'atannya-, melakukan shalat malam, menyiapkan makanan diluar kebiasaan, menyembelih hewan untuk dinikmati dagingnya serta menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan.
Diantaranya pula: -ini banyak dilakukan diberbagai negeri- mengadakan perayaan hari berkabung, yang diekspresikan dengan ritual tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah/Syi'ah dan selain mereka.
Hal ini perlu diketahui agar kita tahu sejauh mana kebenaran pensyari'atan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai pendekat diri kepada Allah atau justru tidak disyari'atkan sehingga hanya menjadi bid'ah yang diada-adakan yang malah menjauhkan hamba dari Allah r.
Kita haruslah benar-benar mengetahui bahwa suatu amal diterima disisi Allah bila terpenuhi syarat-syaratnya, diantaranya: hendaklah amal itu mutaba'ah (berkesesuaian) dalam pelaksanaannya dengan tuntunan Rasulullah r.
Jika kita perhatikan, perbuatan orang-orang pada hari Asyuro, baik yang dahulu sekarang ini atau waktu-waktu belakangan[1] ada berbagai macam:
Perbuatan yang termasuk dalam lingkup ibadah. Seperti mengkhususkan hari tersebut dengan ibadah tertentu, seperti shalat malam, membaca surat al-Quran yang di dalamnya tersebut nama Nabi Musa pada fajar hari Asyuro. Semua ini dan yang sejenisnya menyelisihi sebab-sebab diterimanya amal; yaitu telah mengkhususkan waktu ibadah yang tidak dikhususkan oleh syari'at. Jika memang perbuatan itu dibenarkan, tentu syari'at telah menganjurkannya, sebagaimana anjuran untuk memuasainya. Perbuatan-perbuatan tersebut terlarang karena pelaksanaannya dikaitkan dengan waktu (yang dibuat-buat sendiri), sekalipun pada asalnya disyari'atkan.
Tradisi yang mereka lakukan pada hari Asyuro menyerupai hari raya. Diantaranya: mandi, bercelak, memakai wewangian, melebihkan makanan dan minuman, memasak kacang-kacangan, membuat masakan khusus, menyembelih ternak untuk dinikmati dagingnya serta menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan.
Tradisi mungkar yang timbul dari perlawanan balik atas pesta berkabung yang dilakukan kaum Rafidhoh mengenang kematian al-Husain t yang dilangsungkan dengan kesedihan. Diantara kaum Nashibah[2] memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan. Mereka membuat-buat bid'ah yang bukan dari ajaran agama. Sehingga terjerumus pada menyerupai kaum Yahudi yang menjadikannya sebagai hari raya. [Syaikhul Islam dalam kitabnya Iqtidho as-Shirootil Muataqim 2/129-134]
Perihal mandi, bercelak dan memotong kuku tidak ada keterangan yang falid sedikitpun. Ketika Ibnu Taimiyah meyinggung mengenai hadits-hadits keutamaan Asyuro, dia mengatakan: "Semua itu adalah kebohongan terhadap Rasulullah r. Tidak ada hadits yang shahih mengenai keutamaan hari Asyuro selain puasa." [Manhaj as-Sunnah an-Nabawiah 7/39]
Dengan demikian diketahui bahwa syari'at tidak mengkhususkan hari Asyuro dengan amal-amal selain puasa. Inilah manhaj (metode) Rasulullah r:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah." (QS.al-Ahzaab:21)
Berapa banyak dari mereka yang menyibukkan diri dengan bid'ah lalai meneladani Nabi r dan mengamalkan sunnahnya?!
Acara Bekabung Rofidhah dan Bathiniah (sufiah)
Mengenai acara bekabung kaum Syi'ah, kita tidak berselisih mengenai keutamaan al-Husain t dan kebaikan-kebaikannya. Dia termasuk ulama shahabat dan tokoh kaum muslimin di dunia dan di akhirat, yang dikenal ibadah, keberanian dan kedermawanannya. Putra dari putri insan paling mulia r, putrinya yang paling utama. Pembunuhan yang terjadi pada al-Husain adalah perbuatan munkar, tercela dan memilukan bagi setiap muslim. Allah telah membalas pembunuhnya dengan kehinaan di dunia dan menjadikannya pelajaran. Mereka ditimpa berbagai penyakit dan fitnah (kemelut), sehingga sedikit sekali dari mereka yang selamat.
Yang semestinya dilakukan ketika mengingat musibah yang menimpa al-Husain dan yang semisalnya adalah bersabar dan ridho dengan ketentuan dan keputusan Allah. Allah memilihkan bagi hamba-Nya yang terbaik. Selanjutnya bagi kita adalah berharap pahala dari-Nya r.
Tidaklah dibenarkan sama sekali apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi'ah, dari ekspresi ratapan dan kesedihan yang kebanyakannya mengada-ada dan memaksakan diri. Sungguh ayah al-Husain, Ali t lebih utama darinya juga terbunuh. Mengapa mereka tidak menjadikan kematiannya sebagai perayaan berkabung?! Demikian pula terbunuhya Utsman, Umar dan meninggalnya Abu Bakar –semoga Allah meridhoi mereka semua-. Mereka semua lebih utama dari pada al-Husain. Wafat pula pemimpin umat ini r Nabi Muhammad r, tetapi tidak terjadi pada hari kematiannya apa yang mereka lakukan pada hari kematian al-Husain. Membuat perayaan hari berkabung bukanlah ajaran agama kaum mulimin sama sekali. Bahkan hal itu menyerupai perbuatan jahiliah. [Fatawa Syaikh Islam Ibnu Taimiyah 25/307-314 dan Iqtidho as-Shirotol Mustaqim 2/129-131].
Ibnu Rajab berkata mengenai hari Asyuro: "Adapun membuat perayaan berkabung seperti yang dilakukan Rafidhoh dalam memperingati terbunuhnya al-Husain bin Ali t adalah perbuatan mereka yang tersesat jalannya dalam kehidupan dunia dan menyangka telah melakukan kebaikan. Allah I dan Rasul-Nya tidak memerintahkan menjadikan hari-hari sulit para nabi dan kematian mereka sebagai perayaan berkabung, maka bagaimana lagi dengan yang lebih rendah dari mereka?! [Kitab Lathoif al-Ma'aarif:113].
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perayaan hari berkabung yang dilakukan Rafidhoh di hari Asyuro tidak ada sama sekali asalnya dalam ajaran Islam, baik dari dekat maupun dari jauh. Tidak ada hubungannya dengan diselamatkannya Musa, tidak pula dengan puasa Nabi r. Yang nyata adalah mereka menyimpangkannya kepada sisi yang lain, dan itu termasuk mengganti ajaran agama Allah U.
Perayaan Berkabung Kaum Rafidhah (Syi'ah)
di Hari Asyuro
di Hari Asyuro
﴿ مآتم الرافضة في يوم عاشوراء ﴾
Salman bin Yahya al-Maaliki
Terjemah : Syafar Abu Difa
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Islam House.com : 2010 - 1431
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------