Visi Misi Yayasan Bag.5


الوسطية
من خصائص أهل السنة والجماعة
SIKAP TENGAH-TENGAH
Karakteristik Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd
Wasathiyah (Sikap Tengah)  merupakan salah satu karakteristik terpenting yang dimiliki oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah. Seperti halnya umat Islam yang berada di tengah-tengah antara umat yang cenderung bersikap ghuluw (ekstrem) yang berbahaya dan umat yang cenderung bersikap ceroboh yang membahayakan. Ahli Sunnah wal Jama’ah juga bersikap tengah-tengah (moderat) di antara golongan-golongan umat Ahli bid’ah yang menyimpang dari jalan yang lurus.

Wasathiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah terlihat jelas dalam berbagai hal, baik dalam masalah aqidah, hukum, perilaku, akhlak, maupun masalah-masalah lainnya.
 Berikut ini adalah sebagian wujud sikap moderat mereka.
Wasathiyah dalam masalah sifat-sifat Allah,
antara Ahli TA`THIL dan Ahli TAMTSIL
Ahli ta’thil mengingkari dan menafikan sifat-sifat Allah. Sedangkan Ahli tamtsil mengakuinya dan menganggapnya sama dengan sifat-sifat makhluk.
Ahli Sunnah wal Jama’ah mengakui sifat-sifat Allah apa adanya, tanpa melakukan tamtsil (penyerupaan). Mereka menyucikan Allah dari penyerupaan dengan makhluk tanpa melakukan ta’thil (penihilan, peniadaan).
Jadi, mereka (Ahli Sunnah wal Jama’ah) menggabungkan hal terbaik yang ada pada kedua golongan tersebut, yaitu: tanzih (penyucian) dan itsbat (pengakuan), serta meninggalkan kesalahan dan keburukan yang mereka lakukan, yaitu: ta’thil (penihilan) dan tamtsil (penyerupaan).


Wasathiyah dalam masalah JANJIdan ANCAMAN Allah,
antara kaum MRJI`AH dan kaum WA`DIYAH
Kaum Murji’ah menyatakan bahwa dosa tidak akan membahayakan bila disertai dengan iman, sebagaimana ketaatan tidak akan memberikan manfaat bila disertai dengan kekufuran. Mereka juga menganggap bahwa iman hanyalah sekedar membenarkan dengan hati, meskipun tidak diucapkan. Mereka menunda amal dari iman. Dan mereka membolehkan Allah menyiksa orang-orang yang taat dan memberi nikmat kepada orang-orang yang maksiat.
Sementara itu, kaum Wa’idiyah menyatakan bahwa secara rasional Allah wajib menyiksa orang yang berbuat maksiat dan wajib memberi pahala kepada orang yang taat. Jadi, menurut mereka, barangsiapa meninggal dunia dengan membawa dosa besar dan belum sempat bertaubat dari dosa itu, maka Allah tidak boleh mengampuninya.
Sedangkan Ahli Sunnah wal Jama’ah berada di tengah-tengah, antara kaum Murji’ah yang menafikan adanya ancaman dan kaum Wa’idiyah yang mewajibkan adanya ancaman. Jadi, menurut mereka, barangsiapa meninggal dunia dengan membawa dosa besar, maka urusannya terserah Allah. Dia boleh menyiksanya atau mengampuninya. Jika Dia menyiksanya, maka yang bersangkutan tidak akan kekal di Neraka, melainkan akan keluar dari Neraka dan akan masuk Surga.
Wasathiyah dalam masalah pengkafiran (TAKFIR)
Masalah ini termasuk di dalam paragraf berikutnya. Ketika kita menemukan golongan yang begitu gegabah dalam memberikan label kafir -sehingga mereka mengkafirkan orang karena berbuat dosa besar dan tidak mengakui ke-Islaman orang yang  mengucap kan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, dan menunaikan kewajiban-kewajiban Islam, sebelum mereka meneliti ke-Islamannya dengan syarat-syarat tertentu yang tidak pernah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (seperti kaum Khawarij dan para pendukungnya)- kita juga menemukan golongan lain yang begitu longgar dalam masalah ini. Mereka menolak adanya pengkafiran secara total. Mereka berpendapat bahwa orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat sama sekali tidak boleh dikafirkan. Bahkan mereka menyatakan bahwa pengkafiran tidak boleh ditujukan kepada orang tertentu, melainkan ditujukan kepada perbuatan.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak mau mengkafirkan seseorang, sekalipun terhadap orang-orang murtad, orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, orang-orang yang mengingkari kewajiban shalat, dan sebagainya yang telah disepakati oleh para ulama sebagai orang-orang yang keluar dari lingkaran Islam.
Sedangkan Ahli Sunnah telah diberi petunjuk oleh Allah menuju kebenaran yang mereka perselisihkan dengan izin Allah, berkat komitmen mereka terhadap dalil syar’i.
Mereka tidak melarang pengkafiran secara total dan tidak pula mengkafirkan gara-gara sembarang dosa. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa mengkafirkan orang tertentu tidak mungkin dilakukan. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa pengkafiran boleh dilakukan secara umum, meskipun tanpa terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya halangan-halangan pengkafiran pada diri yang bersangkutan. Mereka juga tidak ragu-ragu mengakui keIslaman orang yang secara lahiriah memiliki komitmen terhadap Islam atau menunjukkan ingin masuk Islam.
 Mereka justru berbaik sangka kepada Ahli kiblat yang bertauhid dan kepada orang yang sudah masuk Islam atau ingin masuk Islam.
Barangsiapa melakukan sesuatu yang mengkafirkan, lalu memenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak memiliki halangan untuk dikafirkan, maka mereka tidak akan takut, tidak akan luluh, dan tidak segan-segan mengkafirkannya.
Wasathiyah dalam masalah predikat-predikat agama dan iman, atau predikat-predikat dan hukum-hukum, antara Khawarij dan Muktazilah dengan Murji’ah dan Jahmiyah
Yang dimaksud dengan predikat-predikat di sini adalah predikat-predikat agama, seperti: mukmin, muslim, kafir, dan fasiq.
Dan yang dimaksud dengan hukum-hukum di sini adalah hukum-hukum bagi para pemilik predikat-predikat tersebut di dunia dan di Akhirat.
Kaum Khawarij dan Muktazilah berpendapat bahwa predikat iman tidak berhak disandang kecuali oleh orang yang membenarkan dengan hatinya, mengakui dengan lisannya, melaksanakan seluruh kewajiban, dan menjauhi seluruh larangan.
Dengan demikian, menurut mereka, pelaku dosa besar tidak bisa disebut mukmin. Hal ini disepakati oleh kedua golongan tersebut. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah yang bersangkutan disebut kafir atau tidak.
Kaum Khawarij menyebutnya kafir dan menghalalkan darah berikut harta bendanya. Sedangkan kaum Muktazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari iman, namun tidak masuk ke dalam kufur, melainkan berada di antara dua tempat (manzilah bainal manzilatain).
Sedangkan mengenai ketentuan hukum di Akhirat, kedua golongan tersebut sepakat bahwa orang yang meninggal dunia dengan membawa dosa besar dan belum sempat bertaubat dari dosa itu, ia akan kekal di Neraka.
 Sementara itu kaum Murji’ah, sebagaimana disebutkan di muka, berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak membahayakan bila disertai dengan iman. Sehingga, menurut mereka, pelaku dosa besar adalah mukmin yang sempurna imannya dan tidak berhak masuk Neraka.
 Adapun madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah berada di tengah-tengah antara kedua madzhab tersebut. Jadi, menurut kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah, pelaku dosa besar adalah mukmin dengan imannya dan fasiq dengan dosa besarnya. Atau, ia disebut mukmin yang kurang iman. Karena imannya telah berkurang sebanyak maksiat yang ia perbuat. Jadi, mereka tidak menafikan iman dari dirinya secara total, seperti kaum Khawarij dan Muktazilah. Dan mereka juga tidak menyatakan bahwa ia seorang mukmin yang sempurna imannya, seperti kaum Murji’ah.
Mengenai ketentuan hukumnya di Akhirat mereka berpendapat bahwa Allah bisa saja mengampuni dosanya dan memasukkannya ke dalam Surga secara langsung, atau mengadzabnya menurut kadar dosanya, kemudian mengeluarkannya dan memasukkannya ke dalam Surga, sebagaimana disebutkan di muka.
Wasathiyah dalam masalah takdir, antara kaum Qodariyah dan Jabariyah.

Kaum Qodariyah menyatakan bahwa manusia mandiri dengan perbuatannya dalam hal kehendak dan kemampuan, tanpa ada pengaruh dari kehendak dan kekuasaan Allah.
Mereka menyatakan bahwa perbuatan manusia tidak diciptakan oleh Allah, melainkan oleh manusia itu sendiri.
Sementara itu kaum Jabariyah sangat berlebihan dalam menetapkan takdir, sehingga mereka mengingkari adanya perbuatan secara hakiki bagi manusia. Bahkan, mereka menganggap bahwa manusia tidak memiliki kebebasan maupun perbuatan, bagaikan bulu yang diterpa angin. Perbuatan-perbuatan itu dinisbatkan kepadanya hanyalah sekedar majaz. Lalu dikatakan bahwa ia shalat, puasa, membunuh, dan mencuri, sebagaimana ketika dikatakan bahwa matahari terbit, angin berhembus, dan hujan turun.
 Sedangkan Ahli Sunnah wal Jama’ah berada di tengah-tengah. Mereka menyatakan, “Kami mengakui bahwa manusia memiliki kehendak untuk memilih dan kemampuan untuk berbuat. Namun, kehendak dan kemampuannya berada di bawah kehendak Allah dan tunduk kepada kehendak-Nya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ (٢٨)
28. (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. (Qs. At-Takwir : 28)
Mereka juga menyatakan bahwa manusia bisa berbuat dan Allah adalah Pencipta perbuatan mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ (٩٦)
96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". QS ASH SHAFFAT : 96
Jadi, perbuatan manusia berasal dari Allah dalam tataran penciptaan, pengadaan, dan penetapan; dan berasal dari manusia itu sendiri dalam tataran aksi dan tindakan.
Wasathiyah dalam masalah kecintaan kepada Nabi saw, antara golongan yang berlebihan dan yang kurang ajar
Ahli Sunnah wal Jama’ah mencintai Rasulullah saw  dan meyakini bahwa beliau adalah manusia terbaik, penghulu para Rasul dan penutup para Nabi. Mereka berpendapat bahwa manusia yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling sempurna kecintaan dan kepatuhannya kepada Rasulullah r. Namun demikian, mereka tetap meyakini bahwa beliau adalah manusia biasa yang tidak bisa memberikan manfaat ataupun madlarat terhadap dirinya sendiri –apalagi terhadap orang lain- kecuali dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah. Mereka juga meyakini bahwa beliau sudah mati dan agamanya tetap bertahan sampai hari Kiamat.
Berbeda dengan orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan terhadap beliau. Mereka mengangkat beliau lebih tinggi dari kedudukan yang semestinya. Mereka juga meyakini bahwa beliau bisa mengabulkan doa orang yang memohon kepadanya, sehingga mereka pun menyembah beliau selain Allah.
Misalnya, tindakan kalangan sufi yang ektrem. Di dalam bait-bait syairnya, Al-Bushiri berbicara tentang Nabi saw,
يا أكرم الخلق مالي من ألوذ به سواك عند حلول الحادث العمم
فإن من جودك الدنيا وضرتها ومن علومك علم اللوح والقلم

Wahai makhluk yang paling mulia Aku tak punya siapa pun selain dirimu
Yang bisa kumintai pertolongannya Saat terjadi bencana dan malapetaka
Dunia dan pasangannya adalah bagian dari kemurahanmu
Lauh mahfudh dan qalam adalah bagian dari pengetahuanmu.

Dalam bait lain ia juga mengatakan,
إن لم يكن في معادي آخذا بيدي فضلا وإلا فقل يا زلة القدم
Jika pada hari Kiamat ia tak mau memegang tanganku
Oh, betapa rawannya kakiku terpeleset.
 Dan sikap-sikap berlebihan (ghuluw) lainnya yang bisa membuat pelakunya keluar dari lingkaran Islam.
Juga berbeda dengan orang-orang yang kurang ajar kepada Rasulullah saw. Mereka meninggalkan syariatnya dan tidak menjadikannya sebagai hakim dalam masalah yang mereka persengketakan, atau orang-orang yang mengklaim bahwa syariatnya sudah di-nasakh (dihapus) dengan syariat lain. Seperti tindakan golongan Bathiniyah yang ekstrem. Salah seorang dari mereka, yaitu penyair Ali bin Fadlal Al-Bathini, menjelaskan madzhabnya dalam bati-bait syair seperti berikut ini,
Hey kamu, ambillah gendang dan pukullah
Bernyanyilah sambil bergoyang lalu bersenang-senanglah
Nabi bani Hasyim ‘tlah pergi berlalu
Dan ini adalah Nabi bani Ya’rub.

Setiap Nabi yang berlalu punya syariat
Dan ini adalah syariat milik Nabi ini.
Ia membebaskan kita dari kewajiban shalat
Dan juga kewajiban puasa
Maka kita tak perlu lagi bersusah payah.

Bila manusia bangkit mengerjakan shalat
Kamu tak perlu bangkit mengerjakannya
Bila mereka semua mengerjakan puasa
Kamu boleh makan dan minum sepuasnya.

Jangan mencari haji di bukit Shafa
Ataupun ziarah ke kuburan Yatsrib.

Dan seterusnya yang berisi kekufuran nyata dan terbuka.
 Begitu juga dengan orang-orang yang beranggapan bahwa syariat Nabi saw tidak sesuai dengan peradaban dan tidak mampu memenuhi tuntutan zaman.
Sedangkan kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah –sebagaimana dinyatakan dimuka- berada di tengah-tengah. Mereka melihat bahwa beliau adalah hamba Allah dan sekaligus utusan-Nya. Hal itu sesuai dengan perintah yang kita terima mengenai apa yang harus kita katakan tentang beliau. Mereka tidak kurang ajar kepada beliau dan juga tidak berlebih-lebihan dalam menghormatinya, melainkan memposisikannya pada posisi yang selayaknya.
Wasathiyah dalam masalah sahabat-sahabat Rasulullah saw,
antara kaum Rafidlah (Syi’ah) dan Khawarij
Kaum Rafidlah (Syi’ah) suka mencaci maki dan mengutuk sahabat-sahabat Nabi saw. Bahkan tidak jarang mereka mengkafirkan mereka atau sebagian dari mereka. Dan mayoritas mereka –di samping, mengecam banyak sahabat Nabi r, termasuk para khalifah- memuja Ali bin Abi Thalib t dan anak-anaknya secara berlebih-lebihan, dan meyakini bahwa mereka memiliki sifat ketuhanan.

Sementara kaun Khawarij justru berlawanan dengan kaum Rafidlah. Mereka malah mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, dan para sahabat yang menjadi pengikut mereka. Mereka memerangi para sahabat itu dan menghalalkan darah berikut harta bendanya.
 Sedangkan kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah mengambil sikap yang tengah-tengah, antara sikap berlebihan mereka dan kekurangajaran mereka. Allah memberikan petunjuk kepada mereka (Ahli Sunnah wal Jama’ah) untuk mengakui keutamaan para sahabat Nabi r sebagai umat yang paling sempurna keimanan, keislaman, keilmuan, dan kebijaksanaannya. Akan tetapi, mereka tidak berlebih-lebihan dalam menghormati para sahabat tersebut, dan tidak menganggap mereka terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Mereka mencintai para sahabat karena jasa baik mereka sebagai sahabat Nabi r, kebesaran mereka sebagai pendahulu, jasa baik mereka dalam memperjuangkan Islam dan berjihad bersama Rasulullah saw.
Wasathiyah dalam masalah AKAL antara golongan yang menuhankannya dan golongan yang mengabaikannya
Ahli Sunnah wal Jama’ah tidak mengabaikan akal, tidak menolaknya, dan tidak pula mengekangnya. Mereka justru meyakini bahwa akal memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka juga meyakini bahwa Islam menghargai akal dan memberinya ruang di bidang ilmu, penelitian, dan pemikiran.
Namun, pada saat yang sama, mereka tidak mentuhankan akal dan tidak menjadikannya sebagai hakim atas nash-nash wahyu. Mereka justru melihat bahwa akal memiliki batasan yang membuatnya harus berhenti di situ. Karena Allah telah menetapkan batasan-batasan bagi akal yang tidak boleh dilanggar dan dilampauinya.
Sementara itu, golongan-golongan lainnya ada yang ekstrem ke atas dan ada yang ekstrem ke bawah. Kalangan Muktazilah, filsuf, dan Ahli kalam pada umumnya mentuhankan akal dan menjadikannya sebagai sumber ajaran. Sehingga, apa saja yang sesuai dengan akal –atau apa yang mereka sebut sebagai kepastian rasional- akan mereka terima dan mereka ikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan akal akan mereka tolak atau mereka takwilkan. Padahal, akal mereka bermacam-macam dan kemampuannya pun bertingkat-tingkat. Bahkan akal satu orang pun bisa berbeda pendapat dengan dirinya sendiri.
Sedangkan ahli khurafat dan kebohongan justru mengabaikan akal dan menerima hal-hal yang tidak bisa diterima dan tidak masuk akal.
Seperti sikap banyak kalangan sufi yang tertipu oleh kebatilan-kebatilan dan kekeliruan-keliruan.
 Kaum Tijaniyah –salah satu tarekat sufi- meyakini bahwa orang yang melihat guru tarekat, Ahmad Tijani, pasti masuk Surga.
Bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan manusia terbaik, Rasulullah r, dilihat oleh banyak orang kafir, namun penglihatan mereka tidak memberikan manfaat apa-apa ketika mereka kufur kepada Allah Azza wa Jalla, seperti Abu Lahab dan Abu Jahal?!
Adapun khurafat-khurafat dan ketololan-ketololan kaum Rafidlah (Syi’ah) di antaranya adalah:
 Mereka tidak suka berbicara dengan kata “sepuluh”, atau melakukan sesuatu yang sifatnya sepuluh. Bahkan mereka tidak mau membangun bangunan dengan sepuluh tiang atau menggunakan sepuluh batang kayu dan sebagainya. Alasannya, karena mereka membenci sahabat-sahabat Nabi r yang terbaik, yaitu sepuluh orang sahabat yang dipersaksikan oleh Nabi r sebagai Ahli Surga. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Tholhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid bin Amr bin Naufail, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Semoga Allah meridhai mereka semua. Mereka membenci semuanya, kecuali Ali bin Abi Thalib.
Termasuk ketololan mereka adalah bahwa mereka mengibaratkan orang yang mereka benci dengan benda mati atau hewan, kemudian mereka melakukan sesuatu terhadap benda atau hewan tersebut. Mereka menganggapnya sebagai hukuman terhadap orang yang mereka benci. Misalnya, mereka mengambil seekor sapi berwarna merah, karena Aisyah dikenal dengan sebutan Humaira’ (wanita yang kemerah-merahan). Sapi itu mereka anggap sebagai Aisyah. Kemudian mereka mencabuti bulu-bulunya dan sebagainya. Mereka beranggapan bahwa hal itu adalah hukuman bagi Aisyah.
 Mereka juga mengambil sebuah kantong yang berisi minyak samin. Kemudian mereka merobek perut kantong itu sehingga minyak saminnya tumpah. Mereka meminumnya pun seraya mengatakan bahwa hal itu sama seperti memukul dan meminum darah Umar bin Khaththab.
 Juga seperti sebagian mereka yang menamakan dua dari keledai penarik gilingan mereka dengan nama Abu Bakar dan Umar. Mereka menyiksa kedua keledai itu sebagai bentuk kekesalan mereka kepada Abu Bakar dan Umar.
Secara global, setiap orang yang menjauhi jalan yang lurus pastilah menyimpang dalam masalah akal, baik dalam tataran individu maupun kelompok. Sekalipun mereka adalah orang-orang yang berada di level yang tinggi dalam hal nyalanya pikiran dan tajamnya kecerdasan. Karena, akal yang hakiki adalah akal kesadaran, bukan akal pengetahuan. Dus, apabila kecerdasan dan rangkaiannya tidak digunakan dalam rangka melaksanakan tujuan diciptakannya manusia, maka itu hanya akan menjadi malapetaka bagi pemiliknya.
 Ambillah contoh, bangsa Jepang. Jepang adalah negara paling maju dalam bidang pengembangan industri. Akan tetapi, itu semua tidak ada gunanya ketika mereka kufur kepada Allah dan menyimpang dari aqidah dan agama yang benar. Pada saat pikiran mereka terbuka lebar untuk menciptakan inovasi-inovasi yang paling rumit dan paling modern, ternyata mereka benar-benar bangkrut dalam aspek aqidah. Mereka mengabaikan akal mereka dan tidak memfungsikannya sama sekali, karena mereka mengingkari hal-hal yang paling jelas dan paling benar.
Sebagai contoh, ketika kaisar mereka yang lama, Hirohito, meninggal dunia, maka pada tanggal 22 Nopember 1990 diumumkan bahwa kaisar mereka yang baru, Akihito, secara resmi menjadi tuhan bangsa Jepang. Hal itu terjadi menyusul usainya pelaksanaan ritual keagamaan khusus yang berlangsung sepanjang malam di istana kekaisaran. Ritual itu sendiri menghabiskan biaya sekitar 9 juta Poundsterling.
Ya Allah, terima kasih atas limpahan karunia Islam, terima kasih atas limpahan karunia Sunnah, dan terima kasih atas limpahan karunia akal.
Wasathiyah dalam masalah berinteraksi dengan Ulama.
Kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah mencintai para ulamanya, menghormati mereka, bersikap sopan kepada mereka, membela mereka, berbaik sangka kepada mereka, menyebarluaskan kebaikan mereka, mendatangi mereka, mengambil ilmu mereka, dan menyebarkan pendapat mereka. Karena mereka tahu bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi yang melaksanakan tugas dakwah dan menyampaikan amanat Allah. Mereka adalah tempat mengadu umat –sesudah Allah- ketika terjadi kesulitan. Sehingga umat ini wajib berpihak kepada mereka, memposisikan mereka secara proporsional, dan menghargai mereka dengan sebaik-baiknya.
Namun, pada saat yang sama, Ahli Sunnah wal Jama’ah melihat bahwa para ulama itu adalah manusia biasa yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan). Secara global, para ulama mungkin saja melakukan kesalahan, lupa, dan terpengaruh oleh hawa nafsu. Hanya saja, hal itu tidak mengurangi kehormatan mereka dan tidak boleh dijadikan sebagai dalih untuk mengabaikan mereka.
Ahli Sunnah wal Jama’ah juga tidak gegabah dalam mempersalahkan para ulama, melainkan selalu melakukan check and recheck mengenai hal itu. Apabila terbukti -menurut mereka- bahwa ulama fulan telah melakukan kekeliruan, maka mereka tidak menyetujui dan tidak mengikuti kekeliruan ulama tersebut. Juga tidak menjadikannya sebagai pintu masuk untuk mendiskreditkan dan menjatuhkannya, melainkan menutupnya dan tidak mempublikasikannya. Kecuali apabila hal itu menyangkut kepentingan orang banyak dan dikhawatirkan akan menyesatkan khalayak. Jika demikian adanya, maka pendapat ulama tersebut bisa dibantah, namun dengan tetap menjaga kedudukannya. Juga dengan catatan, bahwa bantahan itu hanya boleh dilakukan oleh orang yang berkompeten, dan bantahan itu ditujukan kepada pendapatnya, bukan pribadinya. Ia juga harus diberi solusi terbaik dan ucapannya dipahami dengan pemahaman yang paling baik.
Berbeda dengan orang-orang yang suka menjatuhkan martabat para ulama. Mereka tidak mau menghormati para ulama dan tidak mau memperhatikan hak-hak mereka, seperti kaum Khawarij dan sejenisnya.
 Juga berbeda dengan orang-orang yang suka mengkultuskan para ulama. Berlebih-lebihan dalam menghormati mereka dan mengangkat mereka melebihi kedudukan mereka. Sehingga muncullah taqlid kepada mereka secara absolut. Mereka tidak lagi menjadikan dalil dan kebenaran sebagai pemandu mereka, tetapi ucapan ulama itu, mereka jadikan sebagai pemandu mereka. Seperti perilaku kaum Rafidlah (Syi’ah) yang berlebih-lebihan dalam menghormati imam-imam mereka, menempatkan mereka pada posisi yang bahkan tidak bisa dicapai oleh seorang Nabi, Rasul, atau Malaikat muqorrob sekalipun. Mereka meyakini bahwa para imam itu ma’shum, terpelihara dari kesalahan, kelalaian, dan kelupaan.
 Demikian pula halnya dengan kaum sufi yang berlebih-lebihan dalam menghormati guru-guru mereka. Mereka bahkan berpendapat bahwa orang yang bertanya, “Mengapa?” kepada gurunya, berarti telah kafir. Mereka juga menyatakan, “Jika anda berada di sisi guru (Syaikh), maka anda harus bersikap seperti mayit yang ada di hadapan orang yang memandikannya.”
 Juga berbeda dengan orang-orang yang melihat bahwa para ulama memiliki kedudukan yang tinggi, tetapi tidak memperlakukan mereka sebagai manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan, lupa, dan terpengaruh oleh hawa nafsu. Mereka justru memperlakukan para ulama itu dengan paradigma bahwa mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan. Sehingga, ketika mereka melihat seorang ulama melakukan kesalahan, mereka pun akan segera membesar-besarkannya dan menyebarluaskannya ke mana-mana. Mereka juga akan menjadikannya sebagai pintu masuk untuk menjatuhkannya, mempermalukannya, mendiskreditkannya, dan membuat orang enggan menerimanya.
 Jadi, mereka menggabungkan antara dua hal yang bertolak belakang, pengagungan mereka yang berlebihan mengiring mereka untuk bersikap meremehkan. Mereka menghormati para ulama dan menempatkan mereka pada posisi di mana tidak bisa dibayangkan adanya kesalahan dari mereka. Tetapi, mereka mencampakkan kedudukan para ulama itu dengan menjatuhkan mereka manakala mereka melakukan kesalahan, dan mempermalukan mereka ketika mereka tergelincir. Ini jika mereka tidak mengada-adakan kesalahan pada diri para ulama.
Wasathiyah dalam masalah Interaksi dengan Pemerintah.
Ahli Sunnah dalam masalah ini berada di tengan-tengah, antara golongan yang berlebihan dan golongan yang meremehkan. Mereka tidak seperti golongan ekstrem dan menganut ideologi pemberontakan terhadap pemerintah yang tidak adil. Mereka berpendapat bahwa pemerintah adalah satu-satunya pihak yang menjadi penyebab timbulnya keburukan dan kerusakan. Dan, menurut mereka, pemberontakan terhadap pemerintah adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki keadaan.
 Seperti halnya kaum Khawarij yang berpendapat bahwa penyebab kerusakan adalah para pejabat pemerintah, sehingga pemberontakan terhadap mereka adalah wajib hukumnya. Menurut mereka, jalan satu-satunya untuk melakukan perbaikan –sebagaimana dibuktikan oleh sejarah masa lalu mereka- adalah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang tidak adil. Bahkan, tidak jarang mereka juga melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang adil, seperti yang mereka lakukan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib ra.
 Juga seperti kaum Muktazilah yang menjadikan pemberontakan terhadap pemerintah sebagai salah satu pokok agamanya.
 Sebaliknya, Ahli Sunnah wal Jama’ah tidak seperti orang-orang oportunis (aji mumpung, jawa), para penjilat, dan pencari muka yang mendiamkan kezhaliman para penguasa dan tidak mau memberikan nasihat ataupun menyatakan protes kepada mereka. Bahkan, tidak jarang malah menghiasi kebatilan mereka dan melegitimasi kezhaliman dan kerusakan mereka. Terkadang justru menyatakan protes kepada orang-orang yang memprotes para penguasa itu.
Ahli Sunnah wal Jama’ah juga tidak seperti para pemuji yang munafik dan berlebih-lebihan dalam membela para penguasa, memuji mereka dengan hal-hal yang tidak ada pada diri mereka. Tidak jarang para pemuji juga mengklaim bahwa para penguasa terpelihara dari kesalahan, dan memiliki sifat-sifat yang hanya pantas disandang oleh Tuhan semesta alam. Sehingga mereka begitu patuh pada apa saja yang mereka perintahkan, tak peduli benar ataupun salah.
 Seperti yang dilakukan oleh Perdana Menteri Ibnul Alqomi Ar-Rafidli (Asy-Syi’i) terhadap Khalifah terakhir dinasti Abbasiyah, Al-Mu’tashim. Peristiwa itu terjadi ketika sang Perdana Menteri menipu dan membohongi sang khalifah, serta menghiasi kebatilan dan perilaku buruknya. Ia juga menyarankan kepada khalifah agar menarik mundur pasukannya. Ia pun menjerumuskannya ke dalam jurang kehancuran ketika menyarankan kepada khalifah agar keluar bersama pasukan khususnya untuk berunding dengan Hulago Khan, komandan pasukan Tartar. Setelah itu, Hulago Khan berhasil menangkap khalifah dan membunuh para pengikutnya. Walhasil, khalifah itu menjadi rampasan perang yang dingin bagi Hulago Khan dan pasukannya. Akhirnya pasukan Tartar melakukan apa yang mereka lakukan terhadap kota Baghdad.
 Hal serupa juga dilakukan oleh An-Nushair Ath-Thusi Ar-Rafidli yang pernah merangkai qasidah panjang berisi pujian kepada khalifah yang baru disebut di atas. Ketika Hulago Khan berhasil menangkapnya, Ath-Thusi menyarankan kepada Hulago Khan agar membunuh sang khalifah.
Hal yang sama dilakukan oleh banyak orang yang mentuhankan para penguasa dan menyematkan sifat-sifat rububiyah dan uluhiyah kepada mereka. Seperti perkataan Ibnu Hani’ Al-Andalusi ketika memuji Khalifah Al-Mu’iz Lidinillah Al-Ubaidi,
Terserah kehendakmu… Bukan atas kehendak takdir
Berilah keputusan hukum
Karena engkaulah satu-satunya Sang Maha Perkasa

Engkau bagaikan Nabi Muhammad
Dan pendukungmu bagaikan kaum Anshar.
Dan seperti perkataan seorang penyair ketika terjadi gempa bumi di Mesir pada masa pemerintahan seorang sultan. Ia menyatakan bahwa gempa bumi itu terjadi karena keadilan sang sultan. Dalam sebuah bait syairnya ia menyatakan,
Gempa bumi di Mesir bukanlah bermaksud buruk
Tapi bergoyang gembira ria atas keadilannya
Kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu berpegang teguh pada kebenaran dan berinteraksi dengan pemerintah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam nash-nash syara’.
Mereka mendengar dan patuh kepada pemerintah dalam kondisi senang maupun benci, sulit maupun mudah, dan tunduk terhadap mereka, selama mereka tidak diperintahkan berbuat maksiat. Jika mereka diperintahkan berbuat maksiat, maka mereka berpendapat bahwa perintah itu tidak boleh didengar dan dipatuhi. Sebab, tidak boleh mentaati makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Khaliq. Dan kepatuhan hanya berlaku untuk hal-hal yang ma’ruf (baik).
Mereka juga memberi nasihat kepada para penguasa dan bekerja sama dengan mereka untuk berbuat kebajikan dan taqwa, meskipun mereka jahat. Karena, tujuan mereka satu-satunya adalah untuk mendapatkan atau menyempurnakan manfaat dan meniadakan atau meminimalkan kerusakan. Jadi, mereka tidak dilarang membantu orang zhalim untuk berbuat baik dan menganjurkannya berbuat baik. Sehingga mereka pun bergabung bersama penguasa yang zhalim dalam perkara kebajikan dan menghindarinya dalam perkara keburukan.
 Oleh karena itu, mereka (Ahli Sunnah wal Jama’ah) menyatakan bolehnya melaksanakan shalat Jum’at, shalat Jama’ah, dan shalat ‘Ied bersama mereka. Dan mereka juga berpendapat bahwa kewajiban jihad tetap berlangsung sampai hari Kiamat bersama pemimpin yang baik maupun yang jahat.
 Mereka tidak menarik diri dari ketaatan dan tidak menentang perintah orang yang berhak memerintah. Mereka juga tidak berpendapat bahwa para penguasa itu bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua kemunkaran dan kerusakan. Memang, mereka memikul tanggung jawab terbesar, tetapi setiap muslim juga memikul tanggung jawab yang harus dikerjakan menurut kapasitas dan kemampuannya.
Mereka (Ahli Sunnah wal Jama’ah) tidak melakukan pemberontakan kepada pemerintahan yang jahat, apalagi kepada pemerintahan yang adil. Kecuali apabila mereka melihat kekafiran yang terang-terangan dan mereka memiliki bukti yang kuat dari Allah. Lalu mereka memiliki kekuatan dan pertahanan, serta tidak akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, supaya tidak menjerumuskan umat ke dalam berbagai bencana dan malapetaka.
 Mereka adalah orang-orang yang paling jauh dari kebiasaan menenggelamkan para penguasa dengan pujian palsu dan sanjungan fatal yang membuat hati para penguasa itu terlena, membuatnya berbangga diri, sehingga melupakan kekurangan dan menganggap diri sempurna, lalu tidak bisa mengetahui letak kekurangannya dan tidak mau berusaha untuk mengatasinya.
 Di samping itu, kalangan Ahli Sunnah tidak mengizinkan adanya basa-basi dalam agama, maupun basa-basi dengan orang-orang jahat dan orang-orang zhalim. Mereka juga tidak akan ragu-ragu untuk membuat perhitungan dengan para penguasa zhalim. Pun, mereka tidak pernah takut untuk menyuarakan kebenaran sesuai dengan tuntutan kondisi dan kemaslahatan. Dalam hal ini, mereka tidak akan berbasa-basi kepada siapa pun dan tidak takut pada kecaman siapa pun dalam rangka membela agama Allah.
Namun, mereka tidak berpendapat bahwa tugas itu harus dilakukan oleh setiap individu, melainkan cukup dilakukan oleh sebagian orang saja, sehingga seluruh umat terbebas dari beban dosa. Karena umat yang tidak mau mengatakan, “Hai orang zhalim!” kepada orang yang zhalim, maka anda bisa meninggalkannya.
 Ahli Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa orang yang tidak mampu menyuarakan kebenaran, maka paling tidak ia harus memberikan dukungan kepada kebenaran -walaupun di dalam hati- dan membenci kebatilan serta menjauhi para pelakunya.
 Adapun orang yang melaksanakan kebenaran dan menerima perlakuan buruk, lalu mereka bersabar dan mempertahankan hal itu, maka ia akan mendapatkan pahala yang besar. Barangsiapa yang dibunuh oleh penguasa yang jahat setelah menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar kepadanya, maka ia adalah pemimpin para syuhada’.
 Contoh konkrit yang paling baik dalam hal interaksi antara Ahli Sunnah dengan penguasa adalah sikap Imam Ahmad bin Hambal ketika menolak pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Ketika itu ia diperlakukan sangat buruk dan disakiti, namun tekadnya tidak pernah kendur, semangatnya tidak pernah surut, dan ia tidak pernah ragu-ragu untuk menyampaikan kebenaran. Bahkan ia menyuarakannya secara terang-terangan dan siap menanggung segala resikonya.
 Namun pada saat yang sama, ia tidak menyuruh para pengikutnya melakukan pemberontakan terhadap penguasa, melainkan justru melarangnya dan sangat mewanti-wanti mereka agar tidak melakukan hal itu.
 Contoh lain dalam hal ini adalah apa yang terjadi pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ia pernah mendapatkan perlakuan buruk dari pemerintah karena menyebarluaskan dan mendukung aqidah Salaf, serta menolak semua golongan sesat yang ada. Gara-gara itu ia dijebloskan ke dalam penjara dan menerima penyiksaan demi penyiksaan. Namun, ia tidak mau berhenti menyuarakan kebenaran dan tidak mau meninggalkan dakwahnya. Dan ia juga tidak mengeluarkan perintah untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Bahkan ia sangat keras dalam memperingatkan hal itu.
Al Wasathiyah dalam masalah Karomah para Wali.
Salah satu prinsip Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah para wali dan hal-hal luar biasa yang dijalankan oleh Allah di tangan mereka, seperti beragam ilmu dan mukasyafat (terbukanya tabir ghaib), atau aneka macam kemampuan dan pengaruh.
Karomah adalah perkara luar biasa yang dijalankan oleh Allah di tangan seorang wali-Nya, sebagai pertolongan baginya untuk urusan agama atau dunia.
 Perbedaan pokok antara karomah dan mukjizat adalah bahwa mukjizat disertai dengan pengakuan sebagai Nabi, sedangkan karomah tidak.
 Dalam masalah ini Ahli Sunnah wal Jama’ah berada di tengah-tengah antara orang-orang yang mengingkari karomah dan yang berlebih-lebihan terhadapnya, sehingga menganggap hal-hal yang bukan karomah sebagai bagian dari karomah.
Para filsuf mengingkari adanya karomah para wali sebagaimana mereka mengingkari adanya mukjizat para Nabi. Sementara kaum Muktazilah dan sebagian Asy’ariyah mengingkari karomah karena dianggap bias dan rancu dengan mukjizat.
 Sedangkan kalangan sufi dan lain-lain yang menyukai mitos-mitos dan mantra-mantra menganggap bahwa hal-hal yang bukan karomah adalah bagian dari karomah. Mereka menganggap tindakan-tindakan dan hal-hal luar biasa ala setan yang mereka lakukan –seperti masuk ke dalam kobaran api, menusuk diri sendiri dengan senjata tajam, memegang ular berbisa, dan sebagainya- adalah karomah. Padahal, tidak ada yang menyangsikan bahwa hal-hal tersebut bukanlah karomah. Karena karomah diperuntukkan bagi para wali Allah, sementara mereka adalah para wali setan.
Wasathiyah dalam masalah Syafaat
Kaum Khawarij dan Muktazilah mengingkari adanya syafaat dari Nabi saw dan lain-lain untuk para pelaku dosa besar. Menurut mereka syafaat hanya berlaku bagi orang-orang mukmin yang sudah bertaubat. Karena, mengakui adanya syafaat untuk orang-orang fasiq bertentangan dengan prinsip ancaman di dalam madzhab mereka. Mereka berpendapat bahwa ancaman itu wajib dilaksanakan terhadap orang yang berhak menerimanya; dan menurut mereka, orang tersebut tidak berhak mendapatkan syafaat dari Nabi saw  maupun orang lain.
Berbanding terbalik dengan mereka yang secara ekstrem menolak adanya syafaat, terdapat pula golongan-golongan yang secara ekstrem menetapkan adanya syafaat. Seperti yang dilakukkan oleh orang-orang Nashrani, musyrik, Rafidlah (Syi’ah), kaum sufi yang ekstrem dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa orang-orang yang mereka agungkan memiliki syafaat di sisi Allah, kelak di Akhirat seperti syafaat mereka di dunia. Menurut mereka, orang-orang yang mereka agungkan itu akan memberikan syafaat kepada mereka di sisi Allah pada hari Kiamat kelak dengan syafaat yang independen.
 Sedangkan kalangan Ahli Sunnah berada di tengah-tengah dalam masalah ini. Mereka tidak menafikan adanya syafaat secara total dan tidak juga mengakui segala bentuk syafaat. Mereka hanya mengakui syafaat-syafaat yang ditetapkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menafikan apa yang dinafikannya.
 Syafaat yang diakui, menurut mereka, adalah syafaat yang diminta dari Allah untuk orang-orang yang bertauhid setelah Allah memberikan izin kepada orang yang akan memberikan syafaat dan memberikan restu kepada orang yang akan diberi syafaat.
 Jadi, syafaat tidak bisa diminta dari selain Allah, dan tidak bisa terjadi kecuali setelah ada izin dan restu (ridha)-Nya.
 Inilah syafaat yang diakui oleh kalangan Ahli Sunnah dengan berbagai macamnya, termasuk syafaat untuk para pelaku dosa besar.
Sedangkan syafaat yang dinafikan oleh kalangan Ahli Sunnah adalah syafaat yang dinafikan oleh syara’. Yaitu, syafaat yang diminta dari selain Allah secara independen dan tidak memenuhi syarat-syarat pemberian syafaat.
----------------------------------------------------------------------
Dari :
عقيدة أهل السنة والجماعة مفهومها – خصائصها – خصائص أهلها
Karya : Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd
Taqdim : Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Daar Ibnu Khuzaimah, Cet. II, 1419/1998, Riyadh ; Ha. 56-72




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------