AQIDAH ISLAMIYAH DAN KEISTIMEWAANNYA
(Oleh : Fadhilatus Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd)
TA`RIF AQIDAH MENURUT BAHASA (ETIMOLOGI)
Kata “aqidah” diambil dari kata al-‘aqdu, yakni ikatan dan tarikan yang kuat. Ia juga berarti pemantapan, penetapan, kait-mengait, tempel-menempel, dan penguatan.
Perjanjian dan penegasan sumpah juga disebut ‘aqdu. Jual-beli pun disebut ‘aqdu, karena ada keterikatan antara penjual dan pembeli dengan ‘aqdu (transaksi) yang mengikat. Termasuk juga sebutan ‘aqdu untuk kedua ujung baju, karena keduanya saling terikat. Juga termasuk sebutan ‘aqdu untuk ikatan kain sarung, karena diikat dengan mantap.
TA`RIF AQIDAH SECARA ISTILAHI (TERMINOLOGI)
Istilah “aqidah” di dalam istilah umum dipakai untuk menyebut keputusan pikiran yang mantap, benar maupun salah.
Jika keputusan pikiran yang mantap itu benar, maka itulah yang disebut aqidah yang benar, seperti keyakinan umat Islam tentang ke-Esa-an Allah. Dan jika salah, maka itulah yang disebut aqidah yang batil, seperti keyakinan umat Nashrani bahwa Allah adalah salah satu dari tiga oknum tuhan (trinitas).
Istilah “aqidah” juga digunakan untuk menyebut kepercayaan yang mantap dan keputusan tegas yang tidak bisa dihinggapi kebimbangan. Yaitu apa-apa yang dipercayai oleh seseorang, diikat kuat oleh sanubarinya, dan dijadikannya sebagai madzhab atau agama yang dianutnya, tanpa melihat benar atau tidaknya.
AQIDAH ISLAM
Yaitu, kepercayaan yang mantap kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, qadar yang baik dan yang buruk, serta seluruh muatan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah berupa pokok-pokok agama, perintah-perintah dan berita-beritanya, serta apa saja yang disepakati oleh generasi Salafush Shalih (ijma’), dan kepasrahan total kepada Allah Ta’ala dalam hal keputusan hukum, perintah, takdir, maupun syara’, serta ketundukan kepada Rasulullah r dengan cara mematuhinya, menerima keputusan hukumnya dan mengikutinya.
Topik-Topik Ilmu Aqidah.
Dengan pengertian menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah di atas, maka “aqidah” adalah sebutan bagi sebuah disiplin ilmu yang dipelajari dan meliputi aspek-aspek tauhid, iman, Islam, perkara-perkara ghaib, nubuwwat (kenabian), takdir, berita (kisah-kisah), pokok-pokok hukum yang qath’iy (pasti), dan masalah-masalah aqidah yang disepakati oleh generasi Salafush Shalih, wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri), serta hal-hal yang wajib dilakukan terhadap para sahabat dan ummul mukminin (istri-istri Rasulullah r).
Dan termasuk di dalamnya adalah penolakan terhadap orang-orang kafir, para Ahli bid’ah, orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsu, dan seluruh agama, golongan, ataupun madzhab yang merusak, aliran yang sesat, serta sikap terhadap mereka, dan pokok-pokok bahasan aqidah lainnya.
Nama-Nama Ilmu Aqidah
Pertama: Nama-Nama Ilmu Aqidah Menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah
Ilmu aqidah menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah memiliki beberapa nama dan sebutan yang menunjukkan pengertian yang sama. Antara lain: Aqidah, I’tiqad, dan Aqo’id.
Maka disebut Aqidah Salaf, Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, dan Aqidah Ahli Hadis.
Kitab-kitab yang menyebutkan nama ini adalah :
1) Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah karya Al-Lalika’iy (wafat:418 H)
2) Aqidah As-Salaf Ashab Al-Hadits karya Ash-Shobuni (wafat:449 H)
3) Al-I’tiqad karya Al-Baihaqi (wafat:458 H).
TAUHID
Kata “tauhid” adalah bentuk mashdar dari kata wahhada – yuwahhidu – tauhiid. Artinya: menjadikan sesuatu menjadi satu. Jadi “tauhid” menurut bahasa adalah memutuskan bahwa sesuatu itu satu. Menurut istilah, “tauhid” berarti meng-Esa-kan Allah dan menunggalkan-Nya sebagai satu-satunya Dzat pemilik rububiyah, uluhiyah, asma’, dan sifat.Ilmu Aqidah disebut Tauhid karena tauhid adalah pembahasan utamanya, sebagai bentuk generalisasi.
Kitab-kitab aqidah yang menyebut nama ini adalah kitab :
1) At-Tauhid min Shahih Al-Bukhari yang terdapat di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Bukhari (wafat: 256 H)
2) I’tiqad At-Tauhid karya Abu Abdillah Muhammad Khafif (wafat: 371 H)
3) At-Tauhid wa Ma’rifat Asma’ Allah wa Shifatihi ‘Ala Al-Ittifaq wa At-Tafarrud karya Ibnu Mandah (wafat: 395 H)
4) At-Tauhid karya Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat: 1206 H).
5) At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah.
SUNNAH
Kata As-Sunnah di dalam bahasa Arab berarti cara dan jalan hidup.
Sedangkan di dalam pemahaman syara’, istilah As-Sunnah dipakai untuk menyebut beberapa pengertian menurut masing-masing penggunaannya. Ia dipakai untuk menyebut Hadis, mubah, dan sebagainya.
Alasan penyebutan Ilmu Aqidah dengan Sunnah adalah karena para penganutnya mengikuti Sunnah Nabi r dan sahabat-sahabatnya. Kemudian sebutan itu menjadi syiar (simbol) bagi Ahli Sunnah. Sehingga dikatakan bahwa Sunnah adalah antonim (lawan kata) bid’ah. Juga dikatakan: Ahli Sunnah dan Syi’ah.
Demikianlah. Banyak ulama menulis kitab-kitab tentang Ilmu Aqidah dengan judul “Kitab As-Sunnah”. Di antaranya:
1) Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hambal (wafat:241 H)
2) As-Sunnah karya Al-Atsram (wafat:273 H)
3) As-Sunnah karya Abu Daud (wafat:275 H)
4) As-Sunnah karya Abu Ashim (wafat:287 H)
5) As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad bin Hambal (wafat:290 H)
6) As-Sunnah karya Al-Khallal (wafat:311 H)
7) As-Sunnah karya Al-Assal (wafat:349 H)
8) Syarh As-Sunnah karya Ibnu Abi Zamnin (wafat:399 H)
SYARI`AH
Syari’ah dan Syir’ah adalah agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah, seperti puasa, shalat, haji, dan zakat. Kata syari’ah adalah turunan (musytaq) dari kata syir’ah yang berarti pantai (tepi laut). Allah Ta’ala berfirman, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir’ah dan minhaj.” (QS. Al-Maidah:48)
Di dalam tafsir ayat ini dikatakan: Syir’ah adalah agama, sedangkan minhaj adalah jalan. Jadi “syari’ah” adalah sunnah-sunnah petunjuk yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya r. Dan yang paling besar adalah masalah-masalah aqidah dan keimanan.
Kata “syari’ah” –seperti halnya kata “sunnah”- digunakan untuk menyebut sejumlah makna:
a. Digunakan untuk menyebut apa yang diturunkan oleh Allah kepada para Nabi-Nya, baik yang bersifat ilmiah (kognitif) maupun amaliyah (aplikatif).
b. Digunakan untuk menyebut hukum-hukum yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing Nabi agar diberlakukan secara khusus bagi masing-masing umatnya yang berbeda dengan dakwah Nabi lain, meliputi minhaj, rincian ibadah, dan muamalah. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa semua agama itu asalnya adalah satu, sedangkan syariatnya bermacam-macam.
c. Terkadang juga digunakan untuk menyebut pokok-pokok keyakinan, ketaatan, dan kebajikan yang ditetapkan oleh Allah bagi seluruh Rasul-Nya, yang tidak ada perbedaan antara Nabi yang satu dengan Nabi lainnya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ (١٣)
13. Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Qs.Asy-Syuuraa : 13)
[*] Yang dimaksud: agama di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya.
d. Dan secara khusus digunakan untuk menyebut aqidah-aqidah yang diyakini oleh Ahli Sunnah sebagai bagian dari iman. Sehingga mereka menyebut pokok-pokok keyakinan mereka dengan istilah “syari’ah”.
IMAN
Istilah “iman” digunakan untuk menyebut Ilmu Aqidah dan meliputi seluruh masalah I’tiqadiyah. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang kafir terhadap iman, maka terhapuslah (pahala) amalnya.” (QS. Al-Maidah:5) Kata “iman” di sini berarti tauhid.
Kitab-kitab aqidah yang ditulis dengan judul “iman” adalah :
1) Al-Iman karya Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam
2) Al-Iman karya Ibnu Mandah.
Ushuluddin atau Ushuluddiyanah.
Ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah rukun-rukun Islam, rukun-rukun iman, dan masalah-masalah I’tiqadiyah lainnya.
Kitab-kitab aqidah yang ditulis dengan nama ini adalah :
1) Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah karya Imam Al-Asy’ari (wafat:324 H)
2) Ushulid Diin karya Al-Baghdadi (wafat:429 H).
Sebagian ulama mengingatkan bahwa nama ini tidak selayaknya digunakan. Karena pembagian agama menjadi ushul (pokok) dan furu’ (cabang) adalah sesuatu yang “muhdats” dan belum pernah ada pada masa Salaf. Menurut mereka, pembagian ini tidak memiliki batasan-batasan yang definitif dan bisa menimbulkan dampak negatif. Sebab, boleh jadi orang yang tidak mengerti Islam atau orang yang baru masuk Islam memiliki anggapan bahwa di dalam agama ini terdapat cabang-cabang yang bisa ditinggalkan. Atau, dikatakan bahwa di dalam agama ini ada inti dan ada kulit.
Dan sebagian ulama menyatakan, “Yang paling aman adalah dikatakan, aqidah dan syari’ah, masalah-masalah ilmiah (kognitif) dan masalah-masalah amaliyah (aplikatif), atau ilmiyat dan amaliyat.
Kedua: Nama-Nama Ilmu Aqidah Menurut Selain Ahli Sunnah wal Jama’ah:
Ilmu Aqidah juga memiliki sejumlah nama dan sebutan yang digunakan oleh kalangan di luar Ahli Sunnah wal Jama’ah. Antara lain:
Ilmu Kalam.
Sebutan ini dikenal di semua kalangan Ahli kalam, seperti Muktazilah, Asy’ariyah, dan sebagainya. Sebutan ini keliru, karena ilmu kalam bersumber pada akal manusia. Dan ia dibangun di atas filsafat Hindu dan Yunani. Sedangkan sumber tauhid adalah wahyu. Ilmu kalam adalah kebimbangan, kegoncangan, kebodohan dan keraguan. Karena itu ia dikecam oleh ulama Salaf. Sedangkan tauhid adalah ilmu, keyakinan, dan keimanan. Bisakah kedua hal tersebut disejajarkan? Apa lagi diberi nama seperti itu?!
Filsafat.
Istilah ini juga digunakan secara keliru untuk menyebut Ilmu Tauhid dan Aqidah. Penyebutan ini tidak bisa dibenarkan, karena filsafat bersumber pada halusinasi (asumsi yang tidak berdasar), kebatilan, tahayul, dan khurafat.
Tasawwuf.
Sebutan ini dikenal di kalangan sebagian Ahli tasawwuf, para filsuf, dan kaum orientalis. Sebutan ini adalah bid’ah, karena didasarkan pada kerancuan dan khurafat ahli tasawwuf dalam bidang aqidah.
Ilahiyat (Teologi).
Istilah ini dikenal di kalangan Ahli kalam, orientalis, dan filsuf. Sebagaimana juga disebut Ilmu Lahut. Di universitas-universitas Barat terdapat jurusan yang disebut dengan Jurusan Kajian Lahut.
Metafisika
Sebutan ini dikenal di kalangan filsuf, penulis Barat, dan sebagainya.
Setiap komunitas manusia meyakini ideologi tertentu yang mereka jalankan dan mereka sebut sebagai agama dan aqidah.
Sedangkan aqidah Islam –jika disebutkan secara mutlak- adalah aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah. Karena, Islam versi inilah yang diridhai oleh Allah untuk menjadi agama bagi hamba-hamba-Nya.
Aqidah apa pun yang bertentangan dengan aqidah Salaf tidak bisa dianggap sebagai bagian dari Islam, sekalipun dinisbatkan kepadanya. Ideologi-ideologi semacam itu harus dinisbatkan kepada pemiliknya, dan tidak ada kaitannya dengan Islam.
Sebagian peneliti menyebutnya sebagai ideologi Islam karena mengacu kepada letak geografis, histories, atau sekedar klaim afiliasi. Akan tetapi, ketika dilakukan penelitian yang mendalam, maka perlu menghadapkannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa-apa yang sesuai dengan keduanya adalah kebenaran dan menjadi bagian dari agama Islam, sedangkan apa-apa yang bertentangan dengan keduanya harus dikembalikan dan dinisbatkan kepada pemiliknya.
Dialihbahasakan dari Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah : Mafhumuha Khashaishuha wa Khashaishu Ahliha karya Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd dan ditaqdim oleh al-Allamah Ibnu Bazz rahimahullahu.
· Lihat Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Ibnu Faris, 4/86-90, materi ‘aqada; Lisanul Arab; 3/296-300, dan Al-Qamus Al-Muhith, 383-384
· Lihat Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Syaikh DR. Nashir Al-Aql, hal. 9
· Lihat Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Syaikh DR. Nashir Al-Aql, hal. 9-10
· Lihat Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Syaikh DR. Nashir Al-Aql, hal. 9-10
· Lihat Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Syaikh DR. Nashir Al-Aql, hal. 9-10; Mafhum Ahli Sunnah wal Jama’ah Inda Ahli Sunnah wal Jama’ah, DR. Nashir Al-Aql; Muqaddimaat fi Al-I’tiqad, Syaikh DR. Nashir Al-Qifari, hal. 5-11; artikel milik Syaikh Utsman Jum’ah Dlumairiyah di Majalah Al-Bayan, no. 54, hal. 19, dan no. 55, hal. 18
· Yang terakhir ini adalah tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz
· Lihat Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Ibnu Faris, 3/262-263, materi syara’a, Lisanul Arab, 8/176
· Lihat Al-Wujuh wa An-Nadho’ir fi Al-Qur’an Al-Karim, DR. Sulaiman Al-Qar’awi, hal. 187
· Lihat: Tabshir Ulil Albab bi Bid’ati Taqsim Ad-Diin ila Qisyr wa Lubab karya Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Ismail Al-Muqaddam
· Lihat: Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, hal.11, dan Muqaddimat fi Al-I’tiqad, hal.
KEISTIMEWAAN AQIDAH ISLAM
(AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH)
Oleh : Fadhilatus Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd
Aqidah Islam yang tercermin di dalam aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh aqidah manapun. Hal itu tidak mengherankan, karena aqidah tersebut diambil dari wahyu yang tidak tersentuh kebatilan dari arah manapun datangnya.
KEISTIMEWAAN ITU ANTARA LAIN:
1. Sumber Pengambilannya adalah Murni
Hal itu karena aqidah Islam berpegang pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ Salafush shalih. Jadi, aqidah Islam diambil dari sumber yang jernih dan jauh dari kekeruhan hawa nafsu dan syahwat.
Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh berbagai madzhab, millah dan ideologi lainnya di luar aqidah Islam (aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah).
Orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.
Kaum sufi mengambil ajarannya dari kasyaf (terbukanya tabir antara makhluk dengan Tuhan), ilham, hadas (tebakan), dan mimpi.
Kaum Rafidlah mengambil ajarannya dari asumsi mereka di dalam al-jafr (tulisan tangan Ali bin Abi Thalib t) dan perkataan imam-imam mereka.
Para Ahli kalam mengambil ajarannya dari akal (rasio).
Sementara itu para penganut madzhab-madzhab pemikiran dan aliran-aliran sesat lainnya, seperti Komunisme dan Sekularisme, mendasarkan pokok-pokok mereka pada sampah pikiran orang-orang sesat dan pola pikir orang-orang kafir dan atheis yang menjadikan hawa nafsu dan syahwat mereka sebagai sumber hukum bagi hamba-hamba Allah.
Sedangkan aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah –alhamdulillah- selamat dan bersih dari kebohongan dan kepalsuan semacam itu.
2. Berdiri di atas Pondasi Penyerahan Diri kepada Allah dan Rasul-Nya
Hal itu karena aqidah bersifat ghaib, dan yang ghaib tersebut bertumpu pada penyerahan diri. Dus, kaki Islam tidak akan berdiri tegak melainkan di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan.
Jadi, iman kepada yang ghaib merupakan salah satu sifat terpenting bagi orang-orang mukmin yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Firman-Nya,
“Alif laam miin. Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Yaitu, mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3)
Sebab, akal tidak mampu memahami yang ghaib dan tidak mampu secara mandiri mengetahui syariat secara rinci, karena kelemahan dan keterbatasannya. Sebagaimana pendengaran manusia yang terbatas penglihatannya yang terbatas, dan kekuatan yang terbatas, maka akalnya pun terbatas. Sehingga tidak ada pilihan lain selain beriman kepada yang ghaib dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan aqidah-aqidah lainnya tidak berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan tunduk kepada rasio, akal, dan hawa nafsu. Padahal, sumber kerusakan umat dan agama tidak lain adalah karena mendahulukan aqli daripada naqli, mendahulukan rasio daripada wahyu, dan mendahulukan hawa nafsu daripada petunjuk.
3. Sesuai dengan Fitrah yang Lurus dan Akal yang Sehat
Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan fitrah yang sehat dan selaras dengan akal yang murni. Akal murni yang bebas dari pengaruh syahwat dan syubuhat tidak akan bertentangan dengan nash yang shahih dan bebas dari cacat.
Sedangkan aqidah-aqidah lainnya adalah halusinasi dan asumsi-asumsi yang membutakan fitrah dan membodohkan akal.
Oleh karena itu, jikalau diandaikan bahwa seseorang bisa melepaskan diri dari segala macam aqidah dan hatinya menjadi kosong dari kebenaran dan kebatilan, kemudian ia mengamati semua jenis aqidah –yang benar maupun yang salah- dengan adil, fair, dan pemahaman yang benar, niscaya ia akan melihat kebenaran dengan jelas dan mengetahui bahwasanya orang yang menganggap sama antara aqidah yang benar dan yang tidak benar adalah seperti orang yang menganggap sama antara malam dan siang.
4. Sanadnya Bersambung kepada Rasulullah SAW, Para Tabi’in, dan Imam-Imam Agama, baik dalam Bentuk Ucapan, Perbuatan, maupun Keyakinan (I’tiqad)
Keistimewaan ini merupakan salah satu karakteristik Ahli Sunnah yang diakui oleh banyak seterunya, seperti Syi’ah dan lain-lain. Sehingga –alhamdulillah- tidak ada satu pun di antara pokok-pokok Ahli Sunnah wal Jama’ah yang tidak memiliki dasar atau landasan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau riwayat dari generasi Salafush shalih.
Berbeda dengan aqidah-aqidah lainnya yang bersifat bid’ah dan tidak memiliki landasan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun riwayat dari generasi Salafush shalih.
5. Jelas, Mudah dan Terang
Aqidah Islam adalah aqidah yang mudah dan jelas, sejelas matahari di tengah hari. Tidak ada kekaburan, kerumitan, kerancuan, maupun kebengkokan di dalamnya. Karena, lafazh-lafazhnya begitu jelas dan makna-maknanya demikian terang, sehingga bisa dipahami oleh orang berilmu maupun orang awam, anak kecil maupun orang tua. Karena Rasulullah r membawakannya dalam kondisi yang putih bersih, malam harinya seperti siang harinya. Tidak ada yang menyimpang darinya selain orang yang binasa.
Salah satu contoh kejelasannya adalah sebuah kitab yang sangat populer di dalam Hadis tentang Jibril. Hadis ini memaparkan pokok-pokok ajaran Islam dengan sangat mudah, ringan, jelas dan terang.
Dalil-dalil lain seperti itu sangat banyak jumlahnya. Begitu pasti, nyata, dan jelas. Maknanya merasuk ke dalam pemahaman dengan penglihatan awal dan pandangan pertama. Semua orang bisa memahaminya. Karena dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah bagaikan makanan yang dimanfaatkan oleh setiap manusia, bahkan seperti air yang bermanfaat bagi anak-anak, bayi, orang yang kuat maupun orang yang lemah.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah demikian nikmat dan jelas, sehingga bisa memuaskan dan menenangkan jiwa, serta menanamkan keyakinan yang benar dan tegas di dalam hati.
Tidakkah anda memikirkan bahwa yang mampu memulai pasti lebih mampu untuk mengembalikan lagi. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Dia-lah yang memulai penciptaan kemudian mengembalikannya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya.” (QS. Ar-Ruum: 27)
Manajemen di sebuah tempat saja tidak mungkin bisa berjalan dengan tertib bilamana ditangani oleh banyak manajer. Bagaimana pula dengan alam semesta? Allah Ta’ala berfirman,
“Sekiranya di langit dan di bumi itu ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (QS. Al-Anbiya’: 22)
Yang hendak menciptakan pastilah mengetahui dahulu kemudian menciptakan. Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui; sedangkan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk: 14)
Dalil-dalil semacam itu bagaikan air yang digunakan oleh Allah untuk menciptakan segala sesuatu yang hidup.
6. Bebas dari Kerancuan, Paradoks dan Kekaburan
Di dalam aqidah Islam sama sekali tidak ada tempat untuk hal-hal semacam itu. Bagaimana tidak? Aqidah Islam adalah wahyu yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan dari arah manapun datangnya.
Sebab, kebenaran itu tidak mungkin rancu, paradoks, maupun kabur, melainkan serupa satu sama lain dan saling menguatkan. Allah Ta’ala berfirman,
“Andaikata Al-Qur'an itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka mendapat banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)
Sedangkan kebatilan justru sebaliknya. Anda menemukan bahwa bagian yang satu membatalkan bagian yang lain, dan para pendukungnya benar-benar paradoks. Bahkan anda bisa menemukan salah seorang dari mereka mengalami paradoks dengan dirinya sendiri, dan ucapan-ucapannya tampak serampangan.
Jadi, aqidah Ahli Sunnah bebas dari semua itu. Sedangkan aqidah-aqidah lainnya, jangan ditanya kerancuan, paradoks, dan kekaburan yang ada di dalamnya. Kaum Rafidlah, misalnya, mereka mengatakan bahwa para imam mereka mengetahui apa-apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari mereka. Mereka tahu kapan mereka akan mati, dan mereka tidak akan mati kecuali dengan persetujuan mereka.
Salah satu pokok agama mereka (kaum Syi’ah Rafidlah) adalah berlebih-lebihan terhadap para imam. Mereka menyebut para imam itu memiliki sifat-sifat yang bahkan tidak dimiliki oleh para Nabi. Tapi kita melihat pokok agama mereka yang lain ternyata bertolak belakang dengan klaim tersebut. Karena, salah satu prinsip agama mereka adalah “taqiyah” (menghindar).
Jika mereka ditanya, “Mengapa imam-imam anda bersembunyi? Mengapa mereka tidak menyuarakan kebenaran?” Maka mereka akan menjawab, “Taqiyah” (menghindar).” Jika mereka ditanya, “Taqiyah (menghindar) dari siapa?” Mereka menjawab, “Dari musuh-musuh.” Musuh yang mana? Bukankah anda mengklaim bahwa para imam itu tahu kapan mereka akan mati, dan mereka tidak akan mati kecuali dengan persetujuan mereka?!
Hal yang sama juga tentang kaum sufi. Betapa banyak paradoks (pertentangan) di dalam keyakinan mereka. Salah satu contohnya adalah bahwa sebagian dari mereka berkeyakinan bahwa Nabi r adalah makhluk pertama. Bahkan, menurut mereka, seluruh alam semesta ini diciptakan dari cahayanya (nuur Muhammad SAW)
Kendati pun demikian, mereka terlihat selalu mengadakan perayaan maulid (hari kelahiran) Nabi r. Jika mereka ditanya, “Perayaan apa yang anda adakan?” Mereka menjawab, “Perayaan maulid Nabi r yang dilahirkan pada tahun gajah.” Lihatlah paradoks ini. Anda tidak perlu heran terlalu jauh, karena paradoks adalah perilaku dari setiap kebatilan dan pembuatnya.
Pun, tentang madzhab-madzhab pemikiran sesat lainnya. Komunisme –misalnya- yang dibangun berdasarkan atheisme dan pengingkaran terhadap semua agama. Mereka menyatakan bahwa tuhan tidak ada dan seluruh kehidupan adalah materi. Ternyata ketika penindasan Hitler terhadap Rusia semakin kuat pasca Perang Dunia Kedua, maka Stalin si durjana memerintahkan untuk membuka tempat-tempat ibadah dan menundukkan diri kepada Allah Ta’ala.
7. Aqidah Islam Terkadang Berisi Sesuatu yang Membuat Pusing, tetapi tidak Berisi Sesuatu yang Mustahil
Di dalam aqidah Islam terdapat hal-hal yang memusingkan akal dan sulit dipahami, seperti perkara-perkara ghaib: siksa kubur, nikmat kubur, shirath (jembatan), haudl (telaga), Surga, Neraka, dan bagaimana bentuk sifat-sifat Allah Ta’ala.
Akal mengalami kebingunan dalam memahami hakikat dan bentuk perkara-perkara tersebut. Akan tetapi, akal tidak menilainya mustahil (impossible), melainkan pasrah, tunduk, dan patuh. Karena, perkara-perkara tersebut berasal dari wahyu yang diturunkan, yang tidak berbicara dari hawa nafsu dan tidak dimasuki kebatilan dari arah manapun datangnya.
Sedangkan aqidah-aqidah lainnya berisi kemustahilan-kemustahilan yang secara aksioma dinyatakan mustahil oleh akal. Misalnya, aqidah-aqidah Yahudi yang sudah diubah. Orang-orang Yahudi beranggapan bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah. Menurut mereka, Allah telah memilih mereka sebagai pilihan dan menjadikan bangsa-bangsa lainnya sebagai keledai-keledai yang bisa ditunggangi oleh bangsa Yahudi.
Lihatlah omong kosong di atas yang dinilai mustahil oleh akal. Sebab, bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Bijaksana menjadi rasialis, berpihak kepada salah satu etnis, dan menelantarkan etnis-etnis lainnya?!
Adapun umat Nashrani, mereka mengatakan bahwa Allah adalah oknum ketiga dari tiga oknum (trinitas). Menurut mereka, dengan nama bapa, anak dan ruhul qudus adalah tuhan yang satu. Bagaimana mungkin tiga oknum menjadi satu? Ini adalah kemustahilan yang tidak bisa digambarkan.
Termasuk keyakinan mereka tentang “Perjamuan Tuhan”, sertifikat pengampunan dosa, dan lain-lain yang dinilai mustahil oleh akal.
Oleh sebab itu, sebagian cerdik pandai mengatakan bahwa semua ucapan manusia bisa dimengerti kecuali ucapan umat Nashrani. Hal itu karena orang yang membuatnya tidak bisa memahami apa yang mereka katakan. Mereka berbicara berdasarkan kebodohan. Mereka menggabungkan dua hal yang paradoks di dalam pembicaraan mereka. Karena itu, ada sebagian orang yang mengatakan, “Seandainya ada 10 orang Nashrani berkumpul, niscaya mereka akan terbagi menjadi 11 pendapat.” Dan ada pula yang mengatakan, “Seandainya anda bertanya kepada seorang pria Nashrani, istrinya dan anaknya tentang tauhid mereka, niscaya si pria akan mengatakan sesuatu, si wanita mengatakan sesuatu yang lain dan si anak mengatakan pendapat yang lain lagi.
Jikalau kita mengamati dengan seksama aqidah-aqidah yang diyakini oleh aliran-aliran sesat, maka kita akan menemukan bahwa di dalamnya banyak terdapat kemustahilan. Kaum Rafidlah, misalnya, berpendapat bahwa Al-Qur’anul Karim yang ada di tangan umat Islam dan telah dijamin untuk dilindungi oleh Allah adalah Al-Qur’an yang tidak lengkap dan telah diubah. Menurut mereka, Al-Qur’an yang lengkap bersama dengan imam yang sedang ditunggu akan muncul di akhir zaman dari sebuah terowongan di Samura. Pertama-tama, lihatlah khurafat terowongan itu; kemudian, simaklah statemen mereka, bahwa Al-Qur’an yang lengkap bersama dengan imam yang sedang ditunggu akan muncul di akhir zaman.
Lalu, apa gunanya Al-Qur’an yang tidak akan muncul kepada manusia kecuali di akhir zaman nanti? Kemudian, sesuaikah dengan kebijaksaan, kasih sayang dan keadilan Allah bilamana manusia hidup tanpa petunjuk dan wahyu hingga ketika akhir zaman tiba maka Allah akan menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi mereka?!
Sedangkan kaum Nushairiyah memiliki reputasi tertinggi dalam kebohongan ini. Semua firqah mereka menyembah Ali bin Abi Thalib RA
Kendati pun demikian mereka sangat menghormati pembunuhnya, Abdurrahman bin Muljam. Karena mereka beranggapan bahwa si pembunuh itu telah membebaskan lahut dari nasut.
Mereka juga berangapan bahwa tempat tinggal Ali bin Abi Thalib t adalah awan. Jika ada awan yang melintasi mereka, maka mereka akan berkata, “Assalamu’alaika, ya Abal Hasan (Salam sejahtera untukmu, wahai Abul Hasan).” Mereka juga mengatakan bahwa petir adalah suaranya dan kilat adalah cemetinya.
Sebagian dari mereka beranggapan bahwa Ali tinggal di bulan. Golongan ini disebut Firqah Qomariyah. Mereka berpendapat bahwa Ali tinggal di bulan, pada bagian kehitaman di bulan tersebut. Oleh karena itu, mereka mengkultuskan bulan dan menyembah Ali yang berada di sana.
Subhanallah! Lalu, apa gerangan bagian kehitaman yang ada di bulan itu sebelum Ali diciptakan?!
Sebagian lainnya beranggapan bahwa Ali berada di matahari. Oleh karena itu, mereka menghadap ke arah matahari sewaktu beribadah. Golongan mereka disebut dengan Firqah Syamsiyah.
Jika kita mengamati aqidah kaum Baha’iyah, maka kita akan melihatnya penuh dengan keanehan, dan setiap orang yang berakal tidak punya pilihan lain selain memvonisnya sebagai aqidah yang sesat dan mustahil.
Ambillah contoh tentang kiblat kaum Baha’iyah. Ketika mengerjakan shalat, mereka menghadap ke arah pemimpin mereka, Al-Baha’ Al-Mazandarani. Hal itu ditegaskan sendiri oleh sang pemimpin. Kiblat itu berubah-ubah seiring dengan perpindahan dan pergerakan sang pemimpin. Ketika ia berada di Teheran, maka penjara Teheran adalah kiblat mereka. Dan ketika ia berada di Baghdad, maka kiblat mereka adalah Baghdad. Pun ketika ia di Akka, maka kiblat mereka di Akka. Begitulah seterusnya…
Adakah seseorang yang pernah melihat permainan seperti ini? Kemudian, bagaimana cara kaum Baha’iyah mengetahui kiblat mereka sewaktu Al-Baha’ –sang pemimpin- berada di perjalanan pada waktu alat komunikasi nirkabel dan televisi belum ada?
Jadi, alhamdulillah, aqidah Ahli Sunnah bebas dari itu semua.
8. Umum, Universal dan Berlaku untuk Segala Zaman, Tempat, Umat dan Keadaan
Aqidah Islam bersifat umum, universal, dan berlaku untuk segala zaman, tempat, umat, dan keadaan. Ia berlaku bagi generasi awal maupun belakangan, bangsa Arab maupun non Arab. Bahkan, segala urusan tidak bisa berjalan tanpa aqidah Islam.
9. Kokoh, Stabil dan Kekal
Aqidah Islam adalah aqidah yang kokoh, stabil, dan kekal. Aqidah Islam sangat kokoh ketika menghadapi bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi, Nashrani, Majusi, dan lain-lain.
Setiap kali mereka menganggap bahwa tulangnya sudah rapuh, baranya sudah redup, dan apinya sudah padam, ternyata ia kembali muda, terang, dan jernih.
Aqidah Islam akan tetap kokoh sampai hari Kiamat dan senantiasa dilindungi oleh Allah. Ia ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya dan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya tanpa mengalami perubahan, penggantian, penambahan, maupun pengurangan.
Bagaimana tidak, sedangkan Allah lah yang langsung menangani pemeliharaan dan eksistensinya, dan tidak menyerahkan hal itu kepada salah satu makhluk-Nya?
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguh-nya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Dia juga berfirman,
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)
Salah satu contoh yang menunjukkan kekokohan dan keberlanjutan aqidah Islam adalah bahwa pendapat-pendapat Ahli Sunnah tentang sifat-sifat Allah, takdir, syafaat, dan lain-lain, semuanya masih terpelihara, sebagaimana diriwayatkan dari generasi Salaf.
Ini sangat berbeda dengan millah-millah yang lain, golongan-golongan yang sesat, dan paham-paham yang destruktif. Kaum Yahudi dan Nashrani telah melakukan penggantian, pengubahan, dan manipulasi terhadap kitab suci mereka. Sedangkan firqah-firqah lainnya jarang sekali mampu bertahan dengan memegang teguh sebuah pokok.
Aqidah-aqidah tersbut tidak mempunyai sifat kekal dan berkelanjutan. Betapapun besar dan bagusnya aqidah-aqidah tersebut ternyata tidak mampu bertahan dalam waktu yang lama setelah melewati banyak perubahan dan berbagai macam perkembangan. Tidak lama setelah batangnya mengeras dan durinya menguat, tiba-tiba ia mulai hilang dan lenyap. Karena, aqidah-aqidah atau paham-paham tersebut adalah produk manusia yang memiliki keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kebijaksanaan.
Tidak ada bukti yang menunjukkan hal itu dengan lebih jelas ketimbang fakta komunisme yang pernah menggemparkan dan menghebohkan dunia. Tidak lama setelah komunisme mencapai puncak kejayaannya, tiba-tiba ikatannya terlepas dan susunannya berguguran di tangan para penganutnya sendiri.
10. Mengangkat Derajat Para Penganutnya
Barangsiapa menganut aqidah Islam lalu pengetahuannya tentang aqidah itu meningkat, pengamalannya terhadap konsekuensi aqidah pun meningkat, dan aktifitasnya untuk mengajak manusia ke dalamnya juga meningkat, maka Allah akan mengangkat derajatnya, menaikkan pamornya, dan menyebarluaskan kemuliaannya di tengah khalayak, baik dalam skala individu maupun kelompok.
Hal itu karena aqidah yang benar merupakan hal terbaik yang didapatkan oleh hati dan dipahami oleh akal. Aqidah yang benar akan membuahkan pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang luhur. Orang yang memilikinya akan mencapai puncak keutamaannya, sempurna kemuliaannya, dan tinggi derajatnya di tengah-tengah manusia.
Keutamaan sejati yang tidak tertandingi oleh keutamaan manapun dan kemuliaan tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh kemuliaan manapun, sesungguhnya wujudnya adalah upaya mencapai kesempurnaan dan komitmen untuk menghiasi diri dengan keutamaan dan membersihkan diri dari kenistaan.
Kemuliaan seperti itulah yang bisa mengangkat hati, menyucikan jiwa, menjernihkan pandangan mata, dan mengantarkan pemiliknya kepada tujuan tertinggi dan tempat terhormat. Dan kemuliaan itulah yang bisa mengangkat umat ke puncak kejayaan dan kemuliaan. Sehingga, kehidupan yang baik bisa diraih di dunia dan kebahagiaan yang kekal bisa dirasakan di Akhirat. Dasar dan pondasi kemuliaan itu adalah aqidah yang benar yang dibangun di atas pondasi iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk, berikut pekerjaan-pekerjaan hati yang berporos pada kembali kepada Allah dan tertariknya seluruh dorongan hati kepada-Nya, disertai pelaksanaan terhadap syariat-syariat yang lahir, serta pemenuhan hak-hak seluruh makhluk.
Allah Ta’ala berfirman,
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
· Lihat Dakwah At-Tauhid karya Al-Harras, hal. 252-257; Rasa’il fi Al-Aqidah karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, hal. 43-44; Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah, hal. 29-34; dan Wujub Luzum Al-Jama’ah wa Tarki At-Tafarruq, DR. Jamal bin Ahmad bin Basyir Badi, hal. 286-287
· Lihat Ar-Rad Al-Kafi ‘Ala Mughalathati Ad-Duktur Ali Abdul Wahid Wafi karya Ihsan Ilahi Zhahir, hal. 211-216; Ushul Madzhab Asy-Syi’ah Al-Imamiyah Al-Itsnay ‘Asyariyah karya DR. Nashir Al-Qifari, 2/586, 588-609; dan Mas’alah At-Taqrib Baina Ahli Sunnah wa Asy-Syi’ah karya DR. Nashir Al-Qifari, 1/247
· Tentang komunisme lihat Madzahib Fikriyah Mu’ashirah, Muhammad Quthub, hal. 409; Al-Kaid Al-Ahmar, Abdurrahman Habankah Al-Maidani; Asy-Syuyu’iyah fi Mawazin Al-Islam, Labib As-Sa’id; dan Naqd Ushul Asy-Syuyu’iyah, Syaikh Shalih bin Sa’ad Al-Luhaidan. Tentang sekularisme lihat Al-Ilmaniyah DR. Safar bin Abdurrahman Al-Hawali, hal. 21-24, 132-134; dan Al-Ilmaniyah wa Tsimariha Al-Khabitsah, Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif
· Lihat Al-Mahdi Haqiqah La Khurafah, Syaikh Muhammad bin Isma’il, hal. 14
· Lihat Al-Adillah wa Al-Qawathi’ wa Al-Barahin fi Ibthali Ushul Al-Mulhidin, Syaikh Ibnu Sa’di, hal. 309
· Lihat Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, 1/36-38, no. 8
· Lihat Tarjih Asalib Al-Qur’an ‘Ala Asalib Al-Yunan, Ibnul Wazir, hal. 21-22
· Lihat Al-Adillah wa Al-Qawathi’ wa Al-Barahin, hal. 348
· Al-Mujaz fi Al-Madzhib wa Al-Adyan Al-Mu’ashirah, DR. Nashir Al-Aql, Dr. Nashir Al-Qifari, hal. 124; Aqidah Al-Imamiyah Inda Asy-Syi’ah Al-Itsnay Asyariyah, DR. Ali As-Salus, hal. 80-85; Aqidah Al-Imamah Inda Al-Ja’fariyah fi Dlau’I As-Sunnah, As-Salus, Badzlu Al-Majhud fi Musyabahati Ar-Rafidlah li Al-Yahud, Abdullah Al-Jumaili, 2/456-467. Dan lihat Al-Khuthuth Al-Aridlah, Muhibbuddin Al-Khathib, tahqiq: Muhammad Malullah, hal. 69, Asy-Syi’ah wa As-Sunnah, Ihsan Ilahi Dzahir, hal. 66, Asy-Syi’ah Al-Imamiyah Al-Itsnay Asyariyah fi Mizan Al-Islam, Rabi’ bin Muhammad As-Su’udi, hal. 190-193, dan Al-Khumaini wa Tafdlilu Al-A’immah ‘Ala Al-Anbiya’, Muhammad Malullah
· Lihat Hadzihi Hiya Ash-Shufiyah, Syaikh Abdurrahman Al-Wakil, hal. 74-75; dan Al-Fikr Ash-Shufi fi Dlau’I Al-Kitab wa As-Sunnah, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq, hal. 38
· Lihat Dar’u Ta’arudli Al-Aqli wa An-Naqli, 3/147, Al-Firaq Baina Auliya’ Ar-Rahman wa Auliya’ Asy-Syaithon, hal. 89; dan Ad-Durroh Al-Mukhtahsarah fi Mahasin Ad-Diin Al-Islami, Ibnu Sa’di, hal. 40
· Perjamuan Tuhan termasuk salah satu keyakinan umat Nashrani yang sesat. Hakikatnya, mereka beranggapan bahwa Yesus pernah mengumpulkan murid-muridnya pada malam hari sebelum penyalibannya. Konon, ketika itu Yesus membagikan khamr (minuman keras) dan roti kepada mereka. Yesus memotong-motong roti itu dan membagikannya kepada mereka untuk dimakan. Karena –menurut mereka- khamr mengisyaratkan darah Yesus dan roti mengisyaratkan jasadnya. Sehingga, barangsiapa memakan roti dan meminum khamr di gereja pada hari Paskah, maka makanan dan minuman itu akan berubah wujud di dalam dirinya. Jadi, seolah-olah ia memasukkan daging dan darah Yesus ke dalam perutnya, dan dengan demikian ia telah larut di dalam ajaran-ajarannya.
Keyakinan ini merupakan suatu perkara yang pasti ditolak oleh akal. Karena, mana mungkin bisa digambarkan bahwa roti dan khamr berubah wujud menjadi daging dan darah, sementara orang-orang yang makan itu merasakan cita rasa roti dan khamr pada umumnya?!
Dikatakan bahwa jasad Yesus itu satu, sedangkan Perjamuan Tuhan berjumlah ribuan setiap tahunnya dan tersebar di mana-mana. Lantas, mana mungkin jasad dan darahnya bisa dibagikan kepada semua orang?!
Sedangkan sertifikat pengampunan dosa merupakan salah satu lelucon gereja dan ketololan yang tidak akan sudi dilakukan oleh orang yang sedikit berakal sehat.
Hal itu semacam pembagian Surga dan memperjualbelikannya secara terbuka dengan menulis sertifikat untuk para pembeli, yang berisi perjanjian bahwa pihak gereja menjamin pihak pembeli akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang, dan dibebaskan dari segala bentuk kejahatan dan kesalahan yang lalu maupun yang akan datang.
Kemudian, apabila pihak pembeli sudah menerima sertifikat pengampunan dosa dan memasukkannya ke dalam tasnya, maka sejak saat itu yang bersangkutan telah bebas melakukan apa saja yang dilarang, dan dihalalkan baginya apa saja yang semula diharamkan.
· Lihat Al-Ilmaniyah, hal. 99, 110-111, dan Muhadlarat fi An-Nashraniyah, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, hal. 114-115
· Al-Jawab Ash-Shahih li Man Baddala Diin Al-Masih, Ibnu Taimiyah, 2/155. Dan lihat Al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara, Ibnul Qayyim, hal. 321
· Lihat Ar-Radd ‘Ala Ar-Rafidlah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 31-32; dan At-Tasyayyu’ wa Asy-Syi’ah, Ahmad Al-Kasrawi, hal. 87
· Lihat Al-Baha’iyah Naqd wa Tahlil, Ihsan Ilahi Zhahir, hal. 150; Aqidah Khatmi An-Nubuwwah, DR. Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan, hal. 223; Al-Baha’iyah, Abdullah Al-Hamawi, hal. 31-38; Haqiqat Al-Babiyah wa Al-Baha’iyah, DR. Muhsin Abdul Hamid; dan Al-Baha’iyah, Muhibbuddin Al-Khathib, hal. 14-15
· Lihat Tanzih Ad-Diin wa Hamalatihi wa Rijalihi, Ibnu Sa’di, hal. 444; Al-Adillah wa Al-Barahin, hal. 303; dan Al-Adhomah, Muhammad Al-Khadlir Husain, hal. 24
11. Menjadi Penyebab Hadirnya Pertolongan, Kemenangan dan Kemapanan
Semua itu tidak mungkin terjadi kecuali pada orang-orang yang memiliki aqidah yang benar. Merekalah orang-orang yang menang, selamat, dan mendapatkan pertolongan. Sabda Rasulullah SAW,
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.
“Senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang membela kebenaran. Mereka tidak terpengaruh oleh orang yang melecehkan mereka. Sampai datang keputusan Allah, sementara mereka seperti itu.” (HR. Muslim, kitab Al-Imaroh, 3/1524).
Barangsiapa menganut aqidah yang benar, maka Allah akan memuliakannya, Dan barangsiapa meninggalkannya, maka Allah akan menistakannya. Hal itu karena penyimpangan aqidah akan berdampak paling signifikan dalam merusak eksistensi umat, memecah-belah kesatuannya, dan membuat musuh-musuh menguasai mereka.
Kemudian umat yang melenceng dari aqidahnya yang benar dan menyimpang dari minhaj agamanya yang lurus, mereka tidak lama lagi akan segera jatuh dari ketinggiannya, meluncur dari puncak kejayaannya, dan mendekati titik nadir kehancuran dan kebinasaannya. Akibatnya, ia ditimpa kekerdilan sesudah kebesaran, kemalasan sesudah kerja keras, kehinaan sesudah kejayaan, kejatuhan sesudah ketinggian, kebodohan sesudah pengetahuan, perpecahan sesudah persatuan, dan pengangguran sesudah keaktifan.
Hal itu bisa diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah. Manakala umat Islam menyimpang dari ajaran agamanya, maka terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang terjadi di Andalusia dan lain-lain.
Apa yang membuat Andalusia melayang? Dan apa yang mendorong umat Nashrani menguasainya dan menistakan warganya? Apa pula yang membuat bangsa Tartar yang demikian perkasa mampu melakukan serangan sporadis terhadap wilayah teritorial Islam, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang hampir mendekati angka dua juta jiwa dan menyebabkan runtuhnya singgasana khilafah Islamiyah? Dan apa pula yang menuntun umat Islam mundur ke belakang dari pentas peradaban akhir-akhir ini, sehingga menjadi beban bagi orang lain dan menjadi mangsa yang sangat mudah bagi musuh-musuhnya yang telah berhasil menguasai mereka, menghalalkan daerah terlarangnya dan menjarah kekayaannya?
Peristiwa-peristiwa itu disebabkan sejumlah faktor, namun yang terutama dan terpenting adalah “penyimpangan aqidah”.
12. Selamat dan Sentosa
Karena As-Sunnah adalah bahtera keselamatan. Maka barangsiapa berpegang teguh padanya, niscaya akan selamat dan sentosa. Dan barangsiapa meninggalkannya, niscaya akan tenggelam dan celaka.
13. Aqidah Islam adalah Aqidah Persaudaraan dan Persatuan
Umat Islam di berbagai belahan dunia tidak akan bersatu dan memiliki kalimat yang sama kecuali dengan berpegang teguh pada aqidah mereka dan mengikuti aqidah tersebut. Sebaliknya, mereka tidak akan berselisih dan berpecah belah melainkan karena kejauhan mereka dari aqidah itu dan penyimpangan mereka dari jalannya.
Ini adalah fakta yang diketahui dengan benar oleh musuh-musuh Islam pada masa lalu dan pada masa kini. Karena itu, mereka telah –dan terus-menerus- melakukan serangan dahsyat yang bertujuan melemahkan aqidah yang tertanam di dalam jiwa umat Islam. Sehingga mereka akan dilanda perpecahan (friksi) di antara sesamanya dan barisan mareka dipenuhi dengan perselisihan. Walhasil, mereka akan mudah dikalahkan. Jihad maupun dakwah mereka pun akan mudah dipatahkan.
14. Istimewa
Aqidah Islam adalah aqidah yang istimewa, dan pemeluknya pun adalah orang-orang yang istimewa. Karena, jalan mereka adalah lurus dan tujuan mereka jelas.
15. Melindungi Para Pemeluknya dari Tindakan Serampangan, Kekacauan dan Kehancuran
Karena, manhajnya satu. Prinsipnya jelas, tetap, dan tidak berubah-ubah. Sehingga, pemeluknya pun selamat dari tindakan mengikuti hawa nafsu dan tindakan serampangan dalam membagi wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri), cinta dan kebencian. Hal itu karena aqidah yang benar memberinya tolok ukur yang detil dan tidak pernah salah. Walhasil, pemeluknya pasti selamat dari cerai-berai, tersesat jalan, dan kehancuran. Mereka mengetahui siapa yang harus dijadikan sebagai teman dan siapa yang harus diposisikan sebagai musuh. Ia juga tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
16. Memberikan Ketenangan Jiwa dan Pikiran kepada Para Pemeluknya
Tidak ada kecemasan di dalam jiwa dan tidak ada kegalauan di dalam pikiran. Sebab, aqidah ini bisa menyambungkan seorang mukmin dengan Penciptanya. Sehingga ia merasa rela menjadikan-Nya sebagai Rabb Yang Maha Mengatur dan sebagai Hakim Yang Maha Menetapkan hukum. Walhasil, hatinya merasa tenang dengan ketentuan-Nya, dadanya lapang menerima keputusan-Nya, dan pikirannya terang dengan mengenal-Nya.
17. Selamat Tujuan dan Tindakan
Pemeluk aqidah Islam selamat dari penyimpangan di dalam beribadah kepada Allah, sehingga ia tidak pernah menyembah dan berharap kepada selain Allah. Berbeda dengan para penganut aqidah lainnya; sebagian dari mereka melakukan penyimpangan dalam masalah ibadah. Anda bisa menemukan mereka menyembah kuburan dan menyampaikan kurban atau nadzar kepadanya, seperti yang dilakukan oleh kaum Rafidlah dan kalangan sufi.
Di kalangan sebagian aliran sesat dan paham yang destruktif, anda bisa menemukan orang yang menyerahkan kepemimpinannya kepada setan dan mengikuti apa yang dibisikkan setan kepada para pemimpin kekufuran dan para dedengkot kesesatan.
18. Berpengaruh terhadap Perilaku, Akhlak (Moralitas) dan Mu’amalah (Interaksi Sosial)
Aqidah ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap hal-hal tersebut. Karena, manusia dikendalikan dan diarahkan oleh aqidah (ideologi) mereka.
Sesungguhnya penyimpangan di dalam perilaku, akhlak, dan mu’amalah merupakan akibat dari penyimpangan di dalam aqidah. Karena perilaku –pada ghalibnya- adalah buah dari aqidah yang diyakini oleh seseorang dan efek dari agama yang dianutnya.
Aqidah Islam memerintahkan kepada para penganutnya agar mengerjakan segala macam kebajikan dan melarangnya dari segala macam keburukan. Ia memerintahkan berbuat adil dan berjalan lurus, serta melarang berbuat zhalim dan menyimpang.
Hal inilah yang –insya Allah- akan dipaparkan dengan jelas pada pembahasan tentang karakteristik Ahli Sunnah wal Jama’ah.
19. Mendorong Para Pemeluknya untuk Bersikap Tegas dan Serius
dalam Segala Hal
Di manapun ada peluang untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan mengerjakan amal shalih, mereka selalu bergegas mendatanginya dengan harapan mendapatkan pahala. Sebaliknya, di manapun ada peluang dosa, mereka akan segera menjauhinya karena takut akan siksa. Walhasil, kondisi masyarakat menjadi stabil karena salah satu pondasi aqidah adalah iman kepada hari Kebangkitan dan balasan atas segala amal perbuatan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 132)
20. Mengantarkan kepada Pembentukan Umat yang Kuat
Umat (yang memeluk aqidah Islam) akan mengorbankan apa saja untuk memperkokoh agamanya dan memperkuat pilar-pilarnya. Mereka tidak mempedulikan apa pun yang menimpa mereka dalam rangka memperjuangkan hal itu. Dan mereka tidak akan gentar menghadapi orang-orang yang suka menteror maupun orang-orang yang suka melecehkan.
21. Membangkitkan Rasa Hormat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah di dalam Jiwa Orang Mukmin
Hal itu karena orang mukmin mengetahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah hak, benar, petunjuk dan rahmat, sehingga di dalam jiwanya terbangun rasa hormat kepada keduanya dan kesiapan untuk mengamalkannya.
22. Menyambungkan Orang Mukmin dengan Generasi Salafush Shalih
Itulah hubungan yang sangat mulia, karena kebaikan yang sepenuhnya baik adalah mengikuti dan menelusuri jejak mereka. Maka tepat sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair,
وَكُلُّ خَيْرٍ فِيْ اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ # وَكُلُّ شَرٍّ فِيْ ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ
Segala kebaikan ada di dalam mengikuti kaum Salaf
Dan segala keburukan ada di dalam pengada-adaan (bid’ah) kaum khalaf.
23. Menjamin Kehidupan yang Mulia bagi Para Pemeluknya
Di bawah naungan aqidah Islam akan tercipta keamanan dan kehidupan yang mulia. Hal itu karena ia berdiri di atas pondasi iman kepada Allah dan kewajiban untuk mengkhususkan ibadah kepada Allah semata, tanpa beribadah kepada yang lain. Tidak ada keraguan bahwa hal itu merupakan faktor penyebab terciptanya keamanan, kebaikan, dan kebahagiaan di dunia dan Akhirat. Sebab, keamanan adalah kawan seiring iman. Sehingga manakala iman tidak ada, keamanan pun tidak ada.
Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman, mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)
Jadi, orang-orang yang bertaqwa dan beriman memiliki keamanan dan petunjuk yang sempurna di masa kini (dunia) dan di masa mendatang (Akhirat). Sedangkan orang-orang yang suka berbuat syirik dan maksiat adalah orang-orang yang selalu diliputi ketakutan. Mereka adalah orang yang paling pantas mendapatkannya. Karena, mereka lah orang-orang yang setiap saat diancam dengan hukuman dan siksaan.
24. Membuat Hati Penuh Dengan Tawakkal kepada Allah
Aqidah Islam memerintahkan kepada setiap manusia agar hatinya selalu diliputi cahaya tawakkal kepada Allah.
Tawakkal, menurut istilah syara’ berarti menghadapkan hati kepada Allah sewaktu bekerja seraya memohon bantuan kepada-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya. Itulah esensi dan hakikat tawakkal.
Tawakkal terwujud dengan melaksanakan sebab-sebab (usaha) yang diperintahkan. Barangsiapa mengabaikannya, maka tawakkalnya tidak sah. Jadi, tawakkal tidak mengajak kepada pengangguran atau mengurangi pekerjaan.
Bahkan, tawakkal memiliki pengaruh yang besar dalam memacu semangat orang-orang besar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang semula mereka kira kemampuan mereka dan sarana-sarana pendukung yang ada tidak mampu menggapainya. Karena tawakkal merupakan suatu sarana yang paling kuat dalam menggapai apa yang diinginkan dan menolak apa yang tidak diinginkan. Bahkan, secara mutlak, tawakkal adalah sarana yang paling efektif untuk tujuan itu. Karena, bersandarnya hati kepada kekuasaan, kemurahan, dan kelembutan Allah akan mengikis habis kuman-kuman frustasi dan bibit-bibit kemalasan, lalu mengencangkan punggung harapan dengan bisa menjadi bekal bagi setiap orang untuk menerobos ombak samudera yang dalam dan menantang binatang buas yang ganas di dalam habitatnya.
Tawakkal yang paling agung adalah tawakkal kepada Allah dalam mencari hidayah (petunjuk), memurnikan tauhid, mengikuti Rasulullah r, memerangi Ahli kebatilan, dan menggapai apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, seperti iman, yakin, ilmu, dan dakwah. Ini adalah tawakkal para Rasul dan, para pengikutnya yang utama.
Tekad yang kuat dan benar yang dibarengi dengan tawakkal kepada Allah Penguasa segala sesuatu pastilah akan berakhir dengan kebenaran dan keberuntungan. Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)
Kaum manapun yang bisa menggabungkan antara mengambil sebab-sebab (ikhtiar) dengan tawakkal yang kuat kepada Allah pasti memiliki bekal yang cukup untuk hidup mulia dan bahagia.
25. Mengantarkan kepada Kejayaan dan Kemuliaan
Aqidah yang benar akan mengantarkan penganutnya kepada kejayaan dan kemuliaan, serta keberanian secara lisan maupun perbuatan. Jika seseorang merasa yakin bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Memberi Manfaat, Maha Mendatangkan bahaya, Maha Memberi dan Maha Menahan, bahwa orang yang merasa mulia dengan-Nya adalah orang yang mulia, sedangkan orang yang berlindung kepada selain Dia adalah orang yang hina, dan bahwa semua makhluk butuh kepada Allah, sedangkan mereka tidak bisa memberi manfaat ataupun mendatangkan bahaya, maka hal itu akan memberinya kekuatan dengan izin Allah. Membuatnya senantiasa berlindung kepada-Nya, tidak takut kepada selain-Nya, dan tidak berharap melainkan dari kemurahan-Nya.
Apabila seseorang menyadari bahwa apa yang ditakdirkan mengenainya tidaklah akan meleset darinya, dan apa yang meleset ditakdirkan darinya tidaklah akan mengenainya, maka jiwanya akan tenang. Hatinya akan tenteram dan berserah diri kepada Allah dalam segala hal.
Jika seseorang berserah diri kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keamanan, dan rasa takut kepada makhluk akan hilang dari hatinya. Karena ia telah meletakkan jiwanya di dalam brankas yang kuat dan menyembunyikannya di dalam sudut yang kokoh, sehingga tidak bisa dijamah oleh tangan-tangan musuh yang jahil dan usil.
Dengan demikian, ia terbebas dari perbudakan sesama makhluk. Ia tidak menggantungkan hatinya kepada makhluk manapun dalam upaya mendatangkan keuntungan dan menolak bahaya, melainkan hanya Allah sajalah yang menjadi pelindung dan penolong baginya. Ia meminta pertolongan dan bantuan kepada-Nya, sehingga ia mendapatkan kecukupan dari Tuhan dan kemudahan dalam segala urusan yang tidak didapatkan oleh orang yang tidak memiliki aqidah ini. Ia juga mendapatkan kekuatan hati yang tidak bisa digapai oleh orang yang tidak mencapai derajatnya.
26. Tidak Bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan yang Benar
Aqidah Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang benar. Melainkan mendukung, menganjurkan, dan menyerukannya kepada manusia. Karena ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah -adalah semua ilmu pengetahuan yang menngantarkan kepada tujuan-tujuan luhur dan membuahkan buah-buah yang bermanfaat, baik dalam konteks dunia maupun Akhirat. Jadi segala sesuatu yang bisa menyucikan perbuatan, meningkatkan akhlak (moralitas), dan menunjukkan kepada jalan yang benar- adalah ilmu yang bermanfaat.
Syariat Islam yang sempurna dan universal telah memerintahkan untuk mempelajari semua ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Tauhid dan Ushuluddin, Ilmu Fiqih dan Hukum, Ilmu-Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Ilmu Perang, Ilmu Perindustrian, Ilmu Kedokteran, dan ilmu-ilmu lainnya yang berguna bagi individu maupun masyarakat.
Jadi, ilmu apa saja yang bermanfaat –baik dalam bidang agama maupun dunia- diperintahkan, dianjurkan, dan didorong oleh syariat (Islam) untuk dipelajari. Sehingga di dalamnya tergabung ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Bahkan syariat (Islam) menjadikan ilmu dunia yang bermanfaat sebagai bagian dari ilmu agama.
Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi kontradiksi antara fakta-fakta ilmiah yang benar dengan teks-teks syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang benar dan terang.
Apabila realitas menunjukkan sesuatu yang secara lahiriah terjadi kontradiksi, maka boleh jadi realitas itu hanyalah klaim yang tidak memiliki fakta, atau nash yang dimaksud tidak secara eksplisit menunjukkan kontradiksi. Karena, nash yang eksplisit (sharih) dan fakta ilmiah adalah dua hal yang sama-sama qath’iy (pasti), sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua hal yang sama-sama qath’iy.
Begitulah adanya. Dalam hal ini sebagian orang dari kalangan Ahli ghuluw (orang-orang ekstrem) dan Ahli materi (kaum materialis) telah keliru. Orang-orang ekstrem membatasi diri dengan sebagian ilmu agama hingga sedemikian rupa.
Sedangkan kaum materialis membatasi diri dengan sebagian ilmu alam dan menolak ilmu-ilmu lainnya. Akibatnya, mereka menjadi atheis dan kafir. Akal mereka kacau-balau. Akhlak mereka rusak. Hasil ilmu pengetahuan mereka menjadi produk yang kering, tidak bisa memberikan nutrisi kepada akhlak, dan tidak bisa menyucikan akal maupun ruh. Walhasil, bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, dan keburukannya lebih banyak ketimbang kebaikannya. Karena ia tidak dibangun di atas pondasi agama yang benar dan tidak memiliki keterkaitan dengannya.
27. Mengakomodasi Kepentingan Ruh, Hati, dan Tubuh
Tidak ada aspek yang lebih diunggulkan atas aspek lainnya, dan tidak ada kepentingan merampas kepentingan lainnya. Segala sesuatunya berjalan dengan sangat cermat, harmonis, dan seimbang. Kendati Islam memberikan perhatian yang besar kepada aspek penyucian jiwa dan peningkatannya ke derajat keberuntungan, namun ia tidak mengabaikan hak-hak indera (tubuh). Islam memberikan perhiasan dan kenikmatan kepada tubuh secara adil.
Salah satu buktinya adalah Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah memerintahkan kepada mereka untuk menyembah-Nya, mengerjakan amal shalih yang diridhai-Nya, mengkonsumsi makanan yang baik, dan mengeksplorasi apa-apa yang disediakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya di dalam kehidupan ini. Kemudian Allah mendorong orang-orang yang melaksanakan agama yang benar dan aqidah yang sahih menuju keluhuran, ketinggian, dan kemajuan yang benar.
Barangsiapa mengetahui sebagian dari karakter agama yang agung ini, maka ia akan mengetahui betapa besar karunia Allah kepada seluruh makhluk. Dan barangsiapa membuang hal itu ke balik punggungnya, maka ia akan terjerumus ke dalam kebatilan, kesesatan, kekecewaan, kerugian, dan belenggu. Karena, aqidah-aqidah lain yang bertentangan dengan aqidah Islam –mulai dari kalangan Ahli khurafat dan kaum paganis hingga kepada kalangan atheis dan materialis- semuanya menjadikan para penganutnya seperti layaknya binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Manakala agama yang benar meninggalkan hati, maka akhlak yang indah akan turut meninggalkannya, dan tempatnya akan diisi oleh akhlak yang nista. Akibatnya, mereka terjerembab ke dalam jurang yang paling rendah, dan konsentrasi terbesar mereka adalah menikmati kebahagiaan hidup yang sesaat.
28. Mengakui Peran Akal dan Membatasi Bidang Garapnya
Aqidah Islam menghormati akal yang sehat, menghargai perannya, mengangkat kedudukannya, tidak mengekangnya, dan tidak mengingkari aktifitasnya.
Islam tidak merestui bilamana seorang muslim memadamkan cahaya akalnya dan memilih taqlid buta dalam masalah aqidah (dan lainnya)
Islam justru meminta agar setiap muslim mengamati kerajaan langit dan bumi, merenungkan dirinya sendiri dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di sekitarnya. Tujuannya, supaya ia mengetahui rahasia-rahasia alam semesta dan fakta-fakta kehidupan. Melalui media itu pula ia bisa sampai pada banyak masalah aqidah yang berada di dalam batas-batas kemampuannya.
Bahkan Islam menyampaikan kabar buruk kepada orang-orang yang telah menggunakan akal mereka dan memilih mengikuti apa yang dilakukan oleh leluhur mereka tanpa pemikiran, perenungan, dan pengetahuan.
Kendati Islam memiliki pandangan seperti ini terhadap akal, akan tetapi Islam juga membatasi bidang garap akal. Hal itu dilakukan dalam rangka menjaga potensi akal agar tidak tercerai-berai atau berantakan di balik perkara-perkara ghaib yang tidak mungkin diketahui dan ditemukan hakikatnya oleh akal. Seperti masalah dzat Tuhan, ruh, Surga, Neraka dan sebagainya. Karena akal memiliki bidang garap sendiri yang memungkinkannya bekerja di sana. Jika ia mencoba melangkah keluar dari bidang ini, maka ia akan tersesat dan bergentayangan di dalam kebingungan yang tidak bisa dikendalikannya. Ruang lingkup akal adalah segala sesuatu yang tampak dan konkrit. Sedangkan perkara-perkara ghaib yang abstrak bukanlah bidang yang bisa dimasuki oleh akal. Akal juga tidak boleh keluar dari apa yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’i.
29. Mengakui Perasaan Manusiawi dan Mengarahkannya ke Arah yang Benar
Perasaan adalah sesuatu yang bersifat naluri (insting), dan setiap manusia normal pasti memilikinya. Sedangkan aqidah Islam bukanlah aqidah yang dingin dan beku, melainkan aqidah yang hidup. Ia mengakui perasaan manusiawi dan menghargainya dengan sebaik-baiknya. Tetapi, pada saat yang sama, ia tidak melepaskan kendali penuh kepadanya, melainkan meluruskannya, mengangkat derajatnya, dan mengarahkannya ke arah yang benar. Sehingga menjadikannya sebagai sarana kebaikan dan pembangunan, bukan menjadi gancu penghancuran dan perusakan.
Aqidah ini mengendalikan perasaan cinta, benci, dan perasaan-perasaan lainnya, kemudian membuat pemilik perasaan-perasaan itu penuh pertimbangan di dalam tindakan-tindakannya, bersikap bijaksana di dalam perilaku dan interaksi sosialnya. Ia melakukan itu semua dengan bertitik tolak pada kaidah bahwa Allah melihatnya, mengamatinya, dan akan memperhitungkan apa yang pernah dilakukannya. Sehingga, ia tidak mau mencintai kecuali karena Allah, tidak mau membenci kecuali karena Allah, tidak mau memberi kecuali karena Allah, dan tidak mau menahan kecuali karena Allah. Walhasil, ia tidak akan terdorong oleh luapan rasa cinta atau letupan amarah untuk melakukan perbuatan yang tercela, perilaku yang tidak bisa diterima, atau tindakan yang melampaui batas-batas ketentuan Allah.
Tanpa aqidah ini, masyarakat akan berubah menjadi masyarakat Jahiliyah yang marak dengan kekacauan, diliputi ketakutan dan kecemasan di berbagai penjuru, dan para penghuni berubah menjadi liar dan buas. Yang ada di benak mereka hanyalah membunuh, merampas, merusak, dan menghacurkan.
Semua itu pernah menjadi simbol yang sangat menonjol dan menjadi ciri khas masyarakat Jahiliyah sebelum aqidah Islam menetap di dalam hati pemelukya.
30. Secara Umum Aqidah Islam Mampu Mengatasi Semua Problematika
Problematika perpecahan dan pertikaian, problematika politik dan ekonomi, problematika kebodohan, kesehatan, kemiskinan maupun yang lainnya.
Dengan aqidah ini Allah telah mempersatukan hati yang bercerai-berai dan kecenderungan yang bermacam-macam. Dengan aqidah ini pula Allah membuat umat Islam menjadi kaya sesudah mengalami kemelaratan. Dan dengan aqidah ini Allah mengajari mereka ilmu pengetahuan sesudah terbelenggu kebodohan, membuka mata mereka sesudah mengalami kebutaan. Kemudian Allah memberi mereka makan untuk menghindarkan mereka dari kelaparan dan menjamin keamanan mereka dari ketakutan.
Dialihbahasakan dari Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah : Mafhumuha Khashaishuha wa Khashaishu Ahliha karya Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd dan ditaqdim oleh al-Allamah Ibnu Bazz rahimahullahu
· Lihat Dakwah At-Tauhid karya Al-Harras, hal. 252-257; Rasa’il fi Al-Aqidah karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, hal. 43-44; Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah, hal. 29-34; dan Wujub Luzum Al-Jama’ah wa Tarki At-Tafarruq, DR. Jamal bin Ahmad bin Basyir Badi, hal. 286-287
· Lihat Al-Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 129-130; Al-Hurriyah fi Al-Islam, hal. 33; dan Rosa’il Al-Ishlah, Muhammad Al-Khodlir Husain, 1/58,59,70
· Lihat Ar-Riyadl An-Nadlirah, Ibnu Sa’di, hal. 8
· Tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz
· Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami’al Masyakil, Syaikh As-Sa’di, hal. 20; Ad-Dala’il Al-Qur’aniyah fi Anna Al-Ulum An-Nafi’ah Dakhilah di Ad-Diin Al-Islami, Ibnu Sa’di, hal. 6; dan Majmu’ Fatawa wa Rosa’il, Syaikh Muhammad bin Utsaimin, 3/77
· Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami’al Masyakil, Syaikh As-Sa’di, hal. 16; Ad-Durroh Al-Mukhtasharah fi Mahasin Ad-Diin Al-Islami, hal. 37-38; dan Al-Hurriyah fi Al-Islam, Syaikh Muhammad Al-Khodlir Husain, hal. 41
· Tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
· Lihat Al-Aqidah Al-Islamiyah Baina Al-Aqli wa Al-‘Athifah, DR. Ahmad Syarif, hal. 4, 74-79
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------