AS SABIL ILA LUZUMIL JAMA`AH (6)
Pasal Kelima
MENCARI KEBENARAN, MENGIKUTI DALIL
DAN KOMITMEN DENGAN KEBENARAN ITU
Terdapat 3 bahasan
Pertama : Wajibnya Ittiba’ kepada kebenaran dan besar bahayanya untuk menolaknya, tiada mau menerimanya.
Kedua : Dalil-dalil Syar’i yang mewajibkan ittiba’ kepada al haq.
Ketiga : Sebagian Wasilah (cara) yang menentukan sampainya kepada al haq (kebenaran).
Pendahuluan:
Makna al haq: datangnya lafazh “al haq” di dalam Al Qur’an adalah sebagai lawan dari lafazh “Adl dlalal”, yang demikian ini disebutkan di dalam firman Allah:
32. Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? Yunus 32
Di ayat lain “al haq” juga merupakan lawan dari kata “bathil”. Seperti firmanNya:
62. (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (tuhan) yang haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar. Al Hajj : 62
Al Haq sebagai lawan kata dari Adl Dlolal mempunyai pengertian bahasa dan syari’at, demikan juga sebagai lawan kata dari “Al Bathil” (Lihat Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, Qurthubi, 8/336).
Kata al haq telah tertera di dalam Al Qur’ an dalam berbagai sasaran, yaitu yang kami uraikan di dalam fasal ini, al haq dalam pengertian yang bukan kebathilan.
Uraian Pokok-Pokok Bahasan
Bahasan pertama:
Wajibnya Ittiba’ kepada al Haq dan Bahaya Menolaknya
Allah Ta’ala telah menerangkan di dalam Kitab-Nya, bahwasanya tidak ada kedudukan ketiga antara haq dan batil. Allah SWT berfrman:
32. Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? Yunus 32
Berkata Imam Qurthubi: “Berkata ulama-ulama kami: Ayat tersebut memutuskan bahwasanya tidak ada kedudukan yang ketiga antara al haq dan al bathil, dalam masalah ini adalah tauhidullah Ta’ala. Ini menyangkut perkara prinsip. (Jaami’ Ahkamil Qur’an, 8/336). Al haq itu harus disertai dengan keyakinan di dalamnya, dan tidak cukup dengan sangkaan belaka. Allah berfirman:
36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. Yunus: 36
[690] Sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu yang diperoleh dengan.
Berkata Ibnu Katsir:
“Artinya bahwa persangkaan itu tidak bisa memperoleh sedikitpun dan selama-lamanya tidak akan menduduki maqam kebenaran” Tafsir Al Qur’an ‘l Azhim: 4/255).
Berkata As Sa’dy:
“Maka sesungguhnya al haq itu haruslah mangandung keyakinan, yang dapat mengambil faidah dari dalil-dalil dan bukti-bukti yang terang” (Taisir ‘l Karim ‘l Rahman fi Kalam al Mannan: 7/212).
Oleh karena itu, maka kebenaran dan petunjuk itu tidak bisa diperoleh kecuali dari dalil-dalil Kitab dan As sunnah, dan batas-batas yang ditentukan keduanya. Tidak seperti yang dikatakan oleh Ahli Kalam yang membalikkan perkara-perkara, sehingga mereka menjadikan dalil-dalil akal dan Kalam filosof dan ahli manthiq sebagai dalil yakin.
Allah berfirman:
23. Itu tidak lain hanyalah Nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. An Najm : 23
Dan Allah telah memuji orang-orang mu’min karena mereka ittiba’ kepada al haq, sebagaiman firmanNya:
19. Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, Ar Ra`du: 19
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini:
“Tidaklah sama tingkatan orang yang membenarkan apa-apa yang turun kepadamu (dari sisi-Ku) hai Muhammad, dan siapa yang buta tidak ditunjuki kepada kebaikan dan tidak memahaminya. Dan kalaupun ia memahaminya tetap saja ia tidak mau mematuhinya dan membenarkannya serta tidak mau mengikutinya” (Tafsir Al Qur’an Karim: 2/509).
Dan berkata As Sa’ady:
“Bukanlah dimaksud dengan tiadanya ilmu mereka terhadap kebenaran itu karena samarnya dan ketidakjelasannya, namun hanyalah karena mereka berpaling darinya. Jika tidak, maka andaikan mereka berpaling kepadanya hanyalah sedikit sekali, untuk menerangkan kepada mereka kebenaran itu dari bathil dengan sejelas-jelasnya dan tiada kesamaran sedikitpun” (Taisir ‘l Karim ‘l Rahman: 5/222).
Dan Allah memperingatkan dengan keras kepada hamba-hamba-Nya dari natijah yang jelek untuk berpaling dari kebenaran, dan menolak untuk mengikutinya, dan bahwasanya merupakan sebab kekeliruan, kebinasaan, dan berbaliknya hati serta berolehnya tempat kembali yang buruk, kita bermohon pertolongan Allah agar Dia melindungi kita dari perkara itu.
Allah SWT berfirman:
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (Al An’am: 10).
Berkata As Sa’ady:
“Atau, Kami menghukum mereka, jika mereka tidak beriman (sebelumnya) kepada Al Qur’an untuk pertama kalinya datang kepada mereka oleh penyeru, dan tegaknya hujjah atas mereka, dengan memalingkan hati mereka, dan lepasnya mereka dengan iman, dan menolak menyetujui berjalan mengikuti jalan yang lurus.
Ini adalah keadilan Allah, dan kebijaksanaan-Nya atas hamba-hamba-Nya. sebab mereka itu adalah orang-orang yang berbuat jahat atas diri mereka sendiri, telah dibuka kepada mereka pintu-pintu namun mereka tiada mau memasukinya. Kepada mereka pun telah dijelaskan jalan (selamat), namun mereka enggan menempuh di atas jalan itu. Lalu setelah itu haram memperoleh taufiq, ini adalah sebagai nisbat bagi keadaan mereka” (Taisir ‘l Karim ‘l Rahman: 2/457).
Juga Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa termasuk dari sebab terbesar penyimpangan seseorang dalam mengikuti al haq, dan membelokkan darinya, firman Allah:
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka[1473]; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. Ash Shaff: 5
[1473] Maksudnya karena mereka berpaling dari kebenaran, Maka Allah membiarkan mereka sesat dan bertambah jauh dari kebenaran.
Berkata Ibnu Katsir:
“Atau: ketika mereka berpaling dari mengikuti al haq sementara merake mengetahuinya, maka, Allah memalingkan hati mereka dari (memperoleh) petunjuk dan Allah menyematkan pada hati mereka keragu-raguan, kebingungan dan kekacau-balauan” (Tafsir ‘l Qur’anul ‘Azhim: 4/359).
Dan Nabi saw menggolongkan orang yang menolak kebenaran dan enggan menerimanya, termasuk “Al Kibr” (kesombongan), termasuk seburuk-buruknya perbuatan.
Disebutkan di dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh jama’ah sahabat, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Amru, Jabir bin Abdillah, dan lain-lain ra: bersabda Nabi saw:
Ų§ŁŁِŲØْŲ±ُ ŲØَŲ·َŲ±ُ Ų§ŁْŲَŁّ ŁŲŗَŁ
ْŲ·ُ Ų§ŁŁَّŲ§Ų³
“Kesombongan (al kibr) itu adalah menolak kebenaran, dan menganggap kecil orang lain”. (HR. Muslim, di dalam Kitab al Iman, bab Tahrim ‘l Kibr, 1/65; HR. Abu Daud, 4092; Turmudzi,2083; Imam Ahmad, 1/385, 427; Al Hakim 4/181-182; dishohihkan oleh Syekh Al Bany, di dalam silsilah shahihnya, 4/165-167).
Di dalam riwayat lain disebutkan : wa ghamasha an naas, artinya memandang remeh orang lain. (HR Turmudzi).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah, baik “ghamatha” maupun “ghamasha” mampunyai arti yang satu, pengertiannya adalah “meremehkan orang lain” (Shohih Muslim, Syarah Nawawi, 2/90).
Katanya lagi: Adapun “Bathrul haq” adalah menjadikan apa-apa yang dijadikan Allah sebagai kebenaran, berupa mentauhidkanNya, menjadi kebathilan. Dan dikatakan juga, berlaku congkak manakala manghadapi kebenaran sehingga tidak melihatnya lagi sebagai kebenaran. Dikatakan pula: bisa juga berarti menyombongkan terhadap kebenaran, sehingga tidak mau menerimanya” (Lihat An Nihayah Fi Gharibil Hadits: 1/135; Majmu’ Fatawa: 14/220-221).
Bahasan kedua: Kewajiban mengikuti dalil-dalil Syar’i
Manakala kebenaran itu ditunjuki oleh dalil-dalil nash Kitab dan sunnah, wajiblah atas setiap muslim mengikuti setiap dalil syar’i, baik ilmunya maupun penjelasannya. Berfirman Allah Ta’ala:
Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". Al Baqarah: 38
lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Thaha: 123
Ayat lain menyebutkan:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ali Imran: 31
3. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya[528]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).
[528] Maksudnya: pemimpin-pemimpin yang membawamu kepada kesesatan.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. Al Hasyr: 7
Mengikuti dalil syar’i, bisa terjadi dengan mewujudkan tiga perkara:
1. Agar jangan menentangnya sedikitpun dengan perkara yang bertentangan.
2. Agar mempertanyakan (curiga) pemahamannya sebelum mempertanyakan (mencurigai) dalil-dalil diniyah tentang perkara apapun dari sisi dalil-dalilnya.
3. Agar tidak mendapati jalan yang menentang nash, dalam hal apapun. Baik dengan batinnya maupun dengan lisannya, juga tidak pula dengan perbuatannya maupun tindakannya” (Lihat Madariju As Salikin oleh Ibnu Qayyim: 2/334-335).
Bahasan ketiga: Di antara cara yang menentukan sampainya kepada Kebenaran
Terdapat banyak cara dan sebab-sebab yang aneka macam, yang menentukan orang untuk sampai kepada kebenaran dan penjelasannya. Yang demikian itu setelah (datangnya) taufiq Allah dan hidayah-Nya. Di antara jalan-jalan dan cara-cara itu adalah:
Pertama: Bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla
Berfirman Allah SWT:
29. Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan[607]. dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar. Al Anfal : 29
[607] Artinya: petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, dapat juga diartikan disini sebagai pertolongan.
Ibnu Katsir berkata:
“Maka sesungguhnya orang yang bertaqwa dengan mengerjakan apa-apa yang diperintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, ia telah diberi petunjuk (oleh-Nya) untuk mengetahui kebenaran dari kebathilan. Maka itulah merupakan sebab baginya memperoleh pertolongan (kemenangan) dan keselamatan, serta diberinya jalan keluar (kelapangan) perkara dunia, dan memperoleh kebahagian di hari kiamat” (Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim: 2/302).
Dan Allah berfirman:
Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Ali Imran: 101
Berkata Ibnu Katsir:
“Maka i’tisham (berpegang teguh) kepada (Din) Allah dan bertawakkkal kepada-Nya itu merupakan penopang (‘umdah) di dalam (memperoleh) petunjuk, dan sebagai perangkat untuk menjauhkan dari kekeliruan/penyelewengan, wasilah menuju bimbingan (Allah), dan jalan yang tepat (untuk mendapat kebenaran) dan memperoleh yang dikehendaki” (Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim: 1/387).
Allah SWT berfirman:
28. Hai orang-orang yang beriman (kepada Para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al Hadid : 28
Berkata As Sa’dy rahimahullah:
“Tentang makna firman Allah tersebut: (wa yaj’al lakum nuuron tamsyuuna bihi) artinya: memberikan kepadamu ilmu, petunjuk dan cahaya yang dengannya kamu bisa berjalan di kegelapan kebodohan” (Taisir ‘l Karim ‘l Rahman Fi Kalam al Mannaan: (7/305).
Kedua : Ikhlas dan tajarrud (berbuat semata-mata untuk mencari kebenaran)
Jangan cukup berhenti sampai perkara-perkata ilmiyyah dan manhajiyyah di dalam menuntut ilmu itu, jangan puas sampai di situ saja, namun usahakan sampai kepada perkara kejiwaan yang berkaitan dengan rentang usaha optimal seorang muslim untuk memperoleh keselamatan dirinya, dan mendidik dirinya kepada keikhlasan serta menjauhkan diri dari segala yang merusak firtahnya, dan juga dari hal-hal yang mempengaruhi kelurusan maksudnya, baik berupa kebodohan, menurutkan hawa nafsu, dan kezhaliman serta yang sejenisnya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Pangkal fitrah yang Allah menciptakan menusia di atas fitrah itu, adalah jika selamat dari kerusakan, manakala ia melihat kebenaran ia mengikutinya dan menyukainya. Al Haq itu ada dua macam: Haqqun maujudun, dan Haqqun maqsuudun. Tentang haqq maujudun, maka wajib (seorang muslim) mengetahuinya dan membenarkannya tentang pemberitaannya, lawan dari yang demikian adalah al jahl dan al kidzb (kebodohan dan dusta). Adapun haqqun maqsuudun, adalah memberi manfa’at bagi manusia, maka wajib (atasnya) untuk berkehendak atasnya dan beramal dengannya, lawan dari yang demikian itu adalah menghendaki kebatilan dan mengikutinya.
Telah dimaklumi bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan pada diri-diri manusia untuk menyukai kebodohan, menyukai kebenaran (kejujuran) dan tidak menyukai kedustaan, menyukai yang bermanfa’at dan membenci yang membawa madlarat. Maka manakala masuk ke jiwa manusia itu unsur yang berlawanan dengan itu semua, maka menjadi bertentanganlah, baik itu berupa menurutkan hawa hafsu, kesombongan, hasad (dengki), maupun yang sejenisnya” (Lihat Majmu’ Fatawa: 15/240-241).
Pembahasan ini berkaitan dengan pensucian jiwa, maka setiap usaha seorang mu’min untuk mensucikan jiwanya, mendidiknya untuk menta’ati Allah, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan keji dan kotor, lahir maupun batin, ini akan berdampak besar dalam (sikap) untuk menerima kebenaran dan menyambutnya.
Ketiga: Melindungkan diri kepada Allah dan (benar-benar) membutuhkanNya (dalam segala hal):
Manakala seorang mu’min itu telah membenarkan Rabbnya, melindung diri kepada-Nya, dan menampakkan “kemiskinan dirinya” (membutuhkan) kepada-Nya, itu semua menjadi sebab dalam memperoleh taufiq dari Allah SWT, juga hidayah-Nya menuju ke jalan yang lurus.
Allah berfirman:
60. Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina". Al Mukmin: 60
[1326] Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.
186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. Al Baqarah: 186
Dari Nu’man bin Basyir, berkata: Raasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya do’a itu adalah ibadah” (HR Abu Daud, 1479; Turmudzi, 3612, Ibnu Majah, 3828; dan dishahihkan menurut Al Bany di dalam shahih sunan Abu Daud 1/277; Sunan Turmudzi, 3/138).
Lalu dia membaca ayat: (wa qaala Rabbukum ud’uunii astajib lakum).
Dan di antara do’a-do’a yang ma’tsur (datang) dari Nabi saw di dalam bab ini, adalah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya dari Abi Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf berkara: saya bertanya kepada Aisyah ra, ummul mu’minin:
“Dengan cara apakah Nabi saw membuka shalat malamnya ? Aisyah menjawab: Beliau, ketika shalat malam, membuka shalatnya dengan do’a: (Fiihi yakhtalifuuna ihdii limakhtulifa fiihi min al haq bi idznika innaka tahdii man tasyaa ila shirathin mustaqiim).
Keempat: Mengkaji dan memahami (tadabbur) Kitab dan As sunnah:
Al Qur’anul Karim dan As sunnah an Nabawiyyah, keduanya merupakan sandaran dalam mencari kebenaran, petunjuk dan cahaya. Dan dengan keduanya seseorang dapat mengetahui yang hak dari yang batil, dan petunjuk dari yang sesat.
Allah Ta’ala berfirman:
9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, Al Isra’ : 9
dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. An Nahl: 89
3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). An Najm: 3-4
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Ayat ini merupakan pembeda yang tegas antara al haq dan al bathil. Dan bahwa Allah telah menerangkan yang demikian melalui kitabNya dan nabiNya. Maka bagi orang yang mengikuti benar-benar kitab-Nya, akan nampak jelas-jelas furqannya, dan sebaliknya bagi orang yang jauh dari mengikuti Kitabullah dan sunnah rasul-Nya saw, ia akan jauh dari “furqan” itu, dan ia menserupakan yang haq itu dengan yang bathil” (Majmu’ Fatawa: 13/76), dan terdapat di dalam mukaddimah risalahnya yang berjudul “Al Furqan baina ‘l haq wa ‘l bathil”.
Maka atas diri seorang muslim hendaknya memperbanyak meneliti dan mengkaji Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya saw, mentadabburinya apa yang datang dari kedua sumber tersebut, mempelajari secara benar, disertai dengan muthala’ah (menela’ah) kitab-kitab Salafush shaleh. Sebab yang demikian ini merupakan sebab terbesar untuk mendapat taufiq (petunjuk) dari Allah.
Berkata Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah:
“Maka jika seorang hamba itu merasakan butuh kepada Allah dan berdo’a kepada-Nya, dan membiasakan terus menerus meneliti/mengkaji Kalamullah dan Kalam rasul-Nya saw, serta Kalam sahabat dan tabi’in serta para Imam kaum muslimin, baginya dibukakan jalan al hudaa” (Majmu’ Fatawa: 5/118).
Kelima: Ittiba’ jalan para pendahulu generasi pertama jama’ah kaum muslimin:
Para pendahulu pertama dari salaf ummat ini, mereka adalah sebaik-baik generasi. Mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi as. Kebenaran perkataan mereka lebih banyak daripada perkataan generasi setelah mereka, sedang kesalahan mereka jauh lebih sedikit daripada kesalahan generasi setelah mereka. Oleh karena itu mencurahkan perhatian kepada perkataan-perkataan dan hal ihwal mereka harus lebih banyak, dan akan banyak memberi manfa’at dan faidah bagi kaum muslimin, daripada (perhatian kita) kepada perkataan dan perbuatan generasi setelah mereka (Lihat Majmu’ Fatawa: 13/23-27).
Selanjutnya Ibnu Taimiyyah berkata:
“Maka dari itu, meneladani mereka (menjadi mereka sebagai pemandu dalam beragama) adalah lebih baik daripada kepada generasi setelah mereka. Dan ma’rifah kepada ijmak mereka dan perselisihan pendapat selain mereka. Yang demikian ini disebabkan karena ijmak (kesepatan) mereka tidak akan terjadi kecuali (bernilai) ma’shum (bebas dari kesalahan), dan jika mereka bertanazu’ (selisih pendapat) tidak sampai keluar dari al haq” (Majmu’ Fatawa: 13/24).
Termasuk meneladani mereka itu adalah mengikuti manhaj mereka di dalam penelitian dan pengambilan dalil (lihat pasal ketujuh bab II pembahasan ini).
Kebenaran itu telah jelas bagi setiap orang yang benar-benar memperhatikannya, sebab al haq itu ablaj (benar-benar jelas dan terang), sedangkan kebatilan itu lajlaj (kekaburan dan kegaduhan).
Dari Abu Darda’ ra berkata: Rasulullahsaw bersabda:
“ Demi Allah, telah aku tinggalkan untukmu benar-benar sesuatu yang terang benderang (putih bersinar), malamnya bagaikan siangnya, sama saja terang dan jelas” (HR Ibnu Majah dan Abi ‘Ashim di dalam As sunnah; dan shahih menurut Al Bany, lihat Shahih sunan Ibnu Majah, 1/6).
Dan di dalam atsar yang diriwayatkan oleh Yazid bin ‘Umairah, dari Mu’adz bin Jabal ra, berkata:
“Carilah olehmu kebenaran, jika kamu mendengarnya maka sesungguhnya di atas kebenaran itu ada cahaya” (HR Abu Daud di dalam sunnannya, bab Luzum as sunnah, 5/17, hadits 4611).
Keenam: Teman yang baik-baik:
Teman yang baik sangat berpengaruh dalam ta’arruf terhadap kebenaran dan dalam mengikutinya. Berfirman Allah SWT:
71. Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang[488], sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam Keadaan bingung, Dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang Lurus (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam, Al An`am: 71
[488] Maksudnya: syirik.
Ibnu Katsir berkata:
“Ini adalah pemisalan Allah bagi tuhan-tuhan dan bagi orang-orang yang menyerukan kepadanya dan para penyeru yang menyerukan kepada petunjuk Allah SWT seperti orang yang tersesat dari jalan yang ditempuhnya, ketika seorang penyeru menyeru kepadanya: Hai Fulan, segeralah menuju jalan (ini). Maka jika ia mengikuti penyeru yang pertama, ia akan terpisah dengannya, sehingga ia menemui kebinasaan. Dan jika ia memenuhi panggilan orang yang menyerunya kepada petunjuk (yang haq) maka ia mendapat petunjuk kepada jalan (yang benar)” (Tafsir Al Qur’anul Karim: 3/145).
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda;
“ Seorang itu berada pada Dien teman dekatnya, maka dari itu lihatlah olehmu siapa yang menjadi teman orang tersebut” (HR Abu Daud, 2/293; Turmudzi, 2/278; Imam Ahmad, 2/303-304; Al Hakim, 4/171; dishohihkan oleh Al Bany, lihat silsilah ash shohihah, 2/633, hadits 927).
Dari Abdullah bin Syaudzab rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya di antara nikmat-nikmat Allah yang dianugrahkan kepada pemuda, adalah jika ia berjalan ditemani dengan seorang teman yang memegang teguh As sunnah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah, di dalam “ Al Ibanah ‘an syari’ah ‘l Firqah ‘l Najiyah, 1/205; Al lalalika’i di dalam “Syarah ushul i’tiqad Ahlus sunnah wal Jama’ah, 1/60, hadits 31).
Dari ‘Amr bin Qais Al Malaa’i berkata:
“Jika kamu melihat seorang pemuda yang awal pertumbuhannya bersama Ahlu sunnah wa Jama’ah maka taruhlah harapan (untuk berteman) dengannya, dan jika kamu melihatnya bersama-sama Ahlu bid’ah maka putus harapanlah darinya, sesungguhnya pemuda itu ditentukan oleh pertumbuhan awalnya” (Al Ibanah, 1/205).
Itulah cara-cara (wasilah) yang harus ditempuh, yang Allah memberi kemudahan bagiku untuk mensikapi (mensepakati) cara tersebut, dan yang sekaligus merupakan penyebab terbesar yang menentukan sampainya kepada al haq, insya Allah.
Allahuma, Ya Allah, perlihatkanlah kepadaku al haq itu sebagai al haq dan berilah aku anugrah untuk bisa mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepadaku kebathilan itu sebagai kebathilan dan berilah aku anugrah untuk bisa menjauhkannya.
KHATIMAH
Aku memuji Allah ‘Azza wa Jalla, dan aku bersyukur kepada-Nya atas taufiq dan hidayah yang dia berikan kepadaku, sehingga aku bisa menyusun dan membukukan pambahasan ini. Juga aku bersyukur kepada-Nya atas pertolongan-Nya kepadaku sehingga aku dapat menyempurnakan tulisan ini seperti bentuk ini.
Aku tutup pembahasanku ini dengan membentangkan konklusi-konklusi terpenting yang dapat aku sampaikan, yang ringkasnya seperti berikut ini:
Pertama: Kewajiban bagi kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah rasul-Nya saw, juga berpegang teguh kepada agama-Nya yang Ia syari’atkan, dan ikatan janji-Nya yang diamanatkan kepada kita di dalam Kitab-Nya, yaitu berupa kesatuan, persatuan di dalam mensikapi kebenaran. Dan tidak mungkin terwujud kesatuan dan kesatuan serta kesepakatan kecuali dengan (cara) kembali kepada kedua rujukan (sumber syari’at) tersebut.
Kedua : Bahwa yang dimaksud dengan mencegah dari “ikhthilaf”, tidak lain hanyalah yang dimaksudkan menyangkkut prinsip keagamaan dan i’tiqad. Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin seluruhnya agar memelihara apa-apa yang telah menjadi ijmak oleh rujukan ummat dari perkara-perkara diniyyah dan i’tiqad, ibadah dan perilaku serta berpegang teguh dengan itu semua, ijtima’ (bersepakat) kepadanya. Dan adapun yang berkenaan dengan perkara-perkara yang padanya dimungkinkan (boleh) terjadi ikhtilaf, yaitu perkara-perkara ijtihadiyyah, yang tentu banyak perkara ini, maka wajib bagi kaum muslimin agar tidak menjadikan perkara-perkara itu menjadi sebab terjadinya tahazzub dan tafarruq (bergolong-golongan dan berfirqah-firqah).
Ketiga : Bahwa Al Jama’ah yang diperintahkan bagi kaum muslimin agar komitmen kepadanya, berdasarkan dalil-dalil nash-nash maka ia itu ada dua pengertian:
1. Berpegang teguh kepada apa yang dilakukan Nabi saw dan para sahabatnya, dan berjalan di atas thariqah salafus sholeh, baik di dalam ittiba’ maupun di dalam meninggalkan bid’ah.
2. Jama’atul Muslimin yang mempunyai seorang Imam yang menyesuaikan syari’at, maka haram untuk memisahkan diri darinya, adan keluaru dari keimamannya. Jika seseorang keluar dari Jama’ah patut dijatuhi hudud berdasarkan ketentuan syari’at. Rasulullah saw tentang hal ini telah bersabda: “Kecuali kamu melihat ia itu kufur secara jelas tampak oleh mu, dan hal ini ada bukti dari Allah Ta’ala”.
Keempat: Tetap ada Thaifah dari ummat Muhammad saw, membela kebenaran, dan tertolong hingga hari kiamat, kelompok (Thaifah manshurah) itu tidak berusik (tetap tegar) menghadapi orang-orang yang menentang mereka dan mengacuhkan mereka. Thaifah inilah yang membedakan antara berbagai kelompok kaum muslimin. Kumpulnya mereka itu tidak hanya pada satu tempat, namun ia bisa dikenali dengan sikap komitmennya terhadap apa-apa yang dilakukan oleh rasulullah saw dan para sahabatnya.
Kelima: Bahwa penyebab terbesar yang menimbulkan firqah dan ikhtilaf, dan jauh dari jalan yang lurus, adalah: Berlaku bid’ah di dalam agama, kebodohan, menurutkan hawa nafsu, bertahkim kepada akal dan mendahulukannya dari nash-nash, taklid dan ta’ashub, terpedaya dengan perkataan hali Ahwa dan bid’ah yang menentang dan menyerang para Imam Ahlu sunnah dan aqidah mereka, dan menyelisihi Manhaj Ahlu sunnah wal Jama’ah di dalam meneliti dan pengambilan dalil.
Keenam: Bahwa meluruskan aqidah dan bertahkim kepada Kitabullah dan As sunnah, serta ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala, pasrah total dalam mengikuti nabi-Nya saw, tafaqquh fid dien, mencari kebenaran dan memilihnya sebagai yang terbaik, adalah merupakan sebab yang dapat mewujudkan kesatuan kaum muslimin, persatuan barisan mereka, pencurahan perhatian mereka untuk berkomitmen kepadanya.
Akhirnya, semua ini adalah sekian konklusi terpenting yang dapat saya sampaikan di dalam pembahasan ini. Aku bermohon kepada Allah agar kitab ini memberikan manfa’at bagiku dan kaum muslimin seluruhnya . Alhamdulillahi rabbil ’alamin.
Walhamdulillah Rabbil `Alamin
Al Faqir Ilallah
Abu Fahmi Ahmad

0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------