AS SABIL ILA LUZUMIL JAMA`AH (5)
Pasal Keempat
MENUNTUT ILMU SYARI’AT DAN TAFAQQUH FID DIEN

Berisikan 7 bahasan
    Bahasan pertama : Keterangan akan keutamaan ilmu dan perhatian terhadapnya.
Bahasan kedua      : Keterangan bahwa yang dimaksud dengan ilmu yang terkandung di      dalam ayat-ayat dan hadits-hadits adalah ilmu syari’at.
Bahasan ketiga      : Pembagian ilmu kepada dua bagian, yaitu yang mengandung manfaat dan yang tidak manfa’at.
Bahasan keempat : Pembagian ilmu kepada yang wajib individual dan wajib kifayah.
Bahasan kelima    : Ikhlas dalam niat menuntut ilmu.
Bahasan keenam  : Ilmu menuntut adanya amalan.
Bahasan ketujuh  : Kelebihan ilmu salaf dari ilmu khalaf. 

PENDAHULUAN
Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim. Hal ini menurut kemampuan orang yang mempelajari perkara-perkara agamanya, baik berupa ibadah-ibadah, mu’amalat, dan perilaku maupun yang lainnya. Allah berfirman: 

“Maka hendaklah kamu bertanya kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui” (An Nahl: 43).

Berkata Syekh As Sa’dy rahimahullah: “Keumuman ayat ini, padanya mengandung pujian terhadap ahli ilmu, dan jenis ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Kitabullah yang diturunkan. Maka sungguh Allah memerintahkan orang yang tidak mengetahui suatu perkara (ilmu), merujuk kepada mereka (ahli ilmu) dalam semua kasus, dan di dalamnya tersirat perlunya berlaku adil dan bersih hati atas ahli ilmu, manakala ada suatu perkara yang ditanyakan kepada mereka. Dengan demikian orang jahil bisa keluar (terlepas) dari (kebiasaan) mengekor” (Lihat Taisir ‘l Karim ‘r Rahman, 4/206).
Dari Anas bin Malik ra berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” (HR Ibnu Majah, di dalam Al Muqaddimah, 17, bab Fadlul ‘ulama, hadits no. 224. Dishohihkan oleh Al bani, lihat shohih Sunan Ibnu Majah. 1/44).
Dan dari hadits Jabir bin Abdillah, ra hadits yang panjang:
“Obat kebodohan itu  hanyalah dengan bertanya” (HR Abu Daud di dalam sunnannya, Kitab Ath thaharah, berderajat hasan menurut Al Bani, lihat shohih sunnan Abi Daud, 1/69).
Hadits itu menunjukkan bahwa menuntut ilmu di dalamnya terdapat obat untuk menyembuhkan kebodohan, dan di dalamnya terdapat perhatian besar dan anjuran keras kepada orang-orang bodoh agar bertanya kepada para ulama dan meminta fatwa kepada mereka.
Telah nyata bahwa kebodohan di kalangan kita merupakan salah satu sebab yang mendatangkan kepada tafarruq. Bahkan kebanyakan sebab-sebab lain juga berpulang kepada sebab kebodohan ini
Satu-satunya jalan adalah menuntut ilmu syari’at yang membawa manfa’at, yang membuahkan amal-amal sholih, dan pemiliknya mampu berjalan di atas jalan yang lurus.
Maka jelas, bahwa menuntut ilmu syari’at dengan demikian merupakan aktifitas yang kuat dalam berkomitmen kepada Jama’ah. Dari jalan (ilmu syari’at) inilah seorang muslim mengenali aqidah yang shohih yang wajib atasnya untuk meyakininya. Dan ia juga mengetahui bagaimana seharusnya menyembah Allah, Rabbnya, itu dan dalam rangka memperoleh keridloan-Nya. Ia (juga) mengetahui jalan yang selamat yang memang semestinya ia tempuhnya, dan peranan-peranannya yang benar yang seharusnya ia lakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Yang pada gilirannya, jadilah ia seorang individu “bibit pelaku kebaikan” di dalam masyarakat muslim, dan sekaligus sebagai batu yang bagus di dalam bangunan masyarakat itu. Masyarakat inilah yang sebenarnya dikehendaki, yang individu-individunya merajut dan membangun masyarakatnya, terus menuju tingkat kesempurnaan, terpelihara (keutuhannya) karena sebab kekuatan dan kejayaan (kemuliaan).
Pokok-Pokok Bahasan:
Bahasan pertama:  Keterangan akan keutamaan ilmu dan perhatian terhadapnya
a. Keterangan dari Al Qur’an
Allah telah memuji para ulama dan menyanjung mereka di dalam banyak tempat di dalam Kitab-Nya. Di antaranya adalah firman Allah sebagai berikut:
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Ali Imran: 18).
Berkata Ibnu Katsir: Ayat ini adalah kekhususan menunjukkan agungnya kedudukan ulama (Tafsir Al Qur’an ‘l Azhim, 1/353).
Berkata Imam Qurthubi: Di dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu dan terhormatnya kedudukan ulama serta kemuliaan mereka. Maka jika terdapat satu mahluk-Nya yang lebih mulia kedudukannya daripada ulama maka Allah menggandengkan nama mereka dengan nama-Nya, dan nama-nama malaikat-Nya, seperti Dia menggandengkan nama ulama. (Lihat Jaami Liahkam ‘l qur’an, 4/41).
Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah:
“Dan di dalam kandungan syahadat ilahiyyah tersebut, terdapat sanjungan terhadap ahli ilmu yang menyatakan kebenarannya dengan syahadat itu (karena ilmu) dan keadilan mereka”. (At Tafsir al Qiim, hal. 199).
Dan di antara ayat-ayat yang menunjukkan pujian terhadap ahli ilmu, adalah firman Allah:
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al Ankabut: 43).
Berkata Ibnu Katsir:
“Arti ayat ini, adalah: “Tiada seorangpun yang memahaminya dan mentadabburinya kecuali orang-orang yang rasikh (dalam) ilmunya, yang berfikir cemerlang” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/414).
Imam Qurthubi berkata:
“(Wa maa ya’qiluha) artinya: Tidaklah bisa memahaminya; (lllaa ‘l ‘aalimun) artinya: orang-orang yang berilmu tentang Allah”. (Al Jaami’ Li ahkamil Qur’an: 13/346).
Berkata As Sa’ady: “(maa ya’qiluha) artinya memahami dan mentadabburinya, dan menerapkannya atas perumpamaan baginya dan mengikatkan ke dalam hati. (illa ‘l ‘aalimun) artinya kecuali ahli ilmu al haqiqi, yang ilmunya sampai ke lubuk hatinya. Dan ini pujian bagi yang diumpamakan ayat ini, dan mendorong untuk mentadabburinya dan memahaminya. Juga pujian bagi yang memahami (memikirkannya). Inilah titel yang dimiliki oleh ahli ilmu, dan tidak layak bagi yang tidak berilmu” (Taisir ‘l Karim ‘l Rahman: 6/89).
Dan Allah SWT telah menjelaskan bahwa ulama itu adalah mereka yang benar-benar takut kepada Allah. FirmanNya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (Fathir: 28).
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata:
“Hanya ulamalah yang benar-benar takut kepada-Nya, karena mereka benar-benar ma’rifah kepada-Nya. Sebab manakala tingkat ma’rifah itu sampai kepada tingkat mengenali keagungan-Nya, ke Maha Kuasa dan ke Maha Mengetahui-Nya, Dialah yang disifati dingan sifat kesempurnaan, yang disifati pula dengan nama-nama baik (Asma’ul Husna) manakala ma’rifah kepadaNya itu telah sempurna, sedang berilmu tentang-Nya lebih mendorong ulama itu semakin takut kepada-Nya” (Tafsir Al Qur’anul Azhim: 3/553)l.
Kemudian ia menyebut beberapa perkataan salafush sholih dalam menafsirkan ayat tersebut. Di antaranya adalah perkataan Ibnu Abbas ra katanya: Orang yang ‘alim terhadap Allah yang Maha Rahman, dari hamba-hamba-Nya yang tidak mensekutukan-Nya, mengaharamkan apa yang diharamkan-Nya, memelihara washiat-Nya, dan meyakini bahwasanya Dia itu akan dijumpainya dan Dia pula yang akan menghisab amalan-amalannya. (Idem, Ibnu Katsir).
Berkata Al Qurthubi:
“Maksud ulama dalam ayat itu adalah ulama yang takut akan kekuasaan-Nya, maka siapa yang mengetahui bahwa Dia Azza wa Jalla itu Maha Kuasa, ia pun yakin akan siksaan dan hukuman-Nya bagi siapa yang maksiat kepada-Nya” (Al Jaami’ Li ahkamil Qur’an: 14/243).
Dan berkata As Sa’ady:
“Maka setiap orang yang  berilmu tentang Allah, ia lebih banyak takut kepada-Nya, memelihara dari perbuatan maksiat, mempersiapkan pertemuan dengan Zat Yang ditakutinya itu. Ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, sebab dengan ilmu seseorang terpanggil kepada khasyatillah (takut kepada Allah)” (Taisir ‘l Karim ‘r Rahman fi tafsir Kalam al Manan: 6/318).
 Maka  ilmu yang manfa’at berpengaruh kepada rasa takut dan menjadi penyebab bertambahnya ketaqwaan dan taqarrub kepada Allah. (yaitu) merupakan tujuan Allah dalam menciptakan makhlukNya.                                                         
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.. (Al Mujadalah: 11). 
Berkata Al Qurthubi:
“Artinya dalam hal memperoleh pahala di akherat, dalam memperoleh karomah (kemuliaan) di dunia. Sehingga orang mu’min diangkat derajatnya lebih tinggi dari orang yang tak beriman, dan orang yang berilmu pengetahuan di atas orang yang tak berilmu” (Al Jaami’ Li ahkamil Qur’an: 17/299).
Ayat ini memberikan petunjuk yang kuat terhadap keutamaan ilmu. Bahwa Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya saw agar selalu memohon tambahan ilmu, firman-Nya:
“Dan katakanlah: Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Thaha: 114).
Berkata Al Qurthubi:
“Andaikata ada sesuatu yang lebih mulia kedudukannya dari ilmu tentu Allah memerintahkan nabi-Nya saw untuk meminta tambahan dari sesuatu itu, sebagaimana Allah memerintahkannya untuk meminta tambahan ilmu itu” (Al Jaami’ Li ahkamil Qur’an: 4/14).
b. Penjelasan dari As Sunnah:
Dari Mu’awiyyah ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa dikehendaki Allah akan beroleh kebaikan, diberinya pemahaman (ilmu) dalam agama” (HR Bukhori di dalam Kitab al ‘ilmu, 1/25-26, 4/49, 8/149. Muslim di dalam kitab Zakat, lihat 3/95, 6/53,54. Imam Ahmad 4/92-101, Turmudzi, dan Ibnu Majah, hadits ini dishohihkan menurut Al Bani di dalam serial hadits shohihnya, 3/191-194).
Di dalam hadits ini: menetapkan kebaikan bagi orang tafaqquh (memahami dan mendalami ilmu agama. Dan hal ini tidaklah terjadi semata-mata dengan pencarian, bahkan bagi orang yang dibukakan Allah untuk memperolehnya” (Fathul Bari: 1/164).
Berkata Imam Nawawi:
“Di dalam hadits ini terdapat fadhilah ilmu, tafaqquh fid dien dan dorongan tehadapnya, oleh sebab itu (tafaqquh fid dien) sebagai pemandu ke arah taqwa kepada Allah SWT. (Shohih Muslim, syarah Nawawi: 7/128).
Dari Abu Darda’ ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang melintas jalan untuk menjuntut ilmu, Allah akan membuka jalan baginya tempat berlalu menuju syurga. dan sesungguhnya malaikat meletakkan kedua sayapnya sebagai bukti kerelaanya terhadap penuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang ‘alim itu akan dimintakan ampunan baginya oleh penduduk langit dan bumi, juga oleh ikan Yu yang berada di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan ilmu dibanding dengan seorang yang rajin beribadah (ritual) itu ibarat kelebihan bulan pada malam badar (bulan purnama) terhadap seluruh bintang. Dan sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan  sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka itu mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan itu (ilmu) berarti ia memperoleh limpahan kesempurnaan” (HR Abu Daud, 3641, Ibnu Majah 233, Turmudzi 2835, dishohihkan oleh Al Bany, Lihat shohih sunan Abu Daud 2/694, shohih Ibnu Majah 1/43, shohih Sunan Turmudzi 2/342).
Ibnu Jama’ah berkata:
 “Ketahuilah bahwasanya tidak ada tingkatan di atas tingkatan dimana malaikat dan lainnya sibuk memintakan ampunan dan do’a kepada (penuntut ilmu), dan atasnya dinaungi malaikat dengan bentangan kedua sayapnya” (Tadzkirah As Saami’ wal mutakallim fi adab ‘l ‘Aalim wal muta’allim, hal. 8).
Hadits tesebut mengandung kabar gembira dan keindahan besar bagi penuntut ilmu, dan menerangkan kemampuan yang dimiliki oleh ulama dan kedudukannya yang tinggi. Ini jelas menunjukkan keutamaan ilmu, ketinggian martabatnya dan kedudukannya yang luhur lagi terhormat.
Dari Abu Hurairah ra katanya: Rasululah saw bersabda:
“Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: orang yang banyak sedekah jariyah, meninggalkan anak shaleh yang mendo’akan kepadanya, atau ilmu yang manfa’at” (HR Muslim di dalam Kitab al Washiyyah nomor 1631, Abu Daud 2880, Turmudzi 1376, Imam Ahmad 2/372, Bukhori nomor 380.
Dan dalam riwayat lain Abi Qatadah ra dikatakan:
“Sebaik-baik yang ditinggalkan seseorang setelah matinya adalah tiga perkara: anak shaleh yang mendo’akan kepadanya, sedekah jariyah yang pahalanya mengalir kepadanya, dan ilmu yang dikerjakan oleh orang lain setelah sepeniggalnya” (Ibnu Majah di dalam Al Muqaddimah 241, disohihkan oleh Syekh Al Bany, lihat sohih sunan Ibnu Majah, 1/46).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah: Di dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan sahnya harta yang diwakafkan dan besarnya pahala darinya, juga menjelaskan keutamaan ilmu dan dorongan untuk memperbanyak memperolehnya, dan keinginan yang kuat untuk mendapat warisannya dengan cara belajar. Dan bahwasanya yang diharapkan dari (hadits ini) adalah memilih ilmu-ilmu yang manfa’at (Shohih Muslim, Syarah Nawawi: 11/85).
c. Penjelasan dari perkataan-perkataan salafush sholih
Dari Umar bin Khattab ra berkata:
“Hendaklah kalian mendalami ilmu sebelum anda menjadi tua” (Ta’liq Bukhari, 1/165; Ad Darimi, 1/7; Ibnu ‘Abdi Barr, 186; Al Khotib al Badhdady dalam “al faqih wal mutafaqqah”, 2/78).
Ibnu Hajar menyebutkan banyak perkataan ulama tentang makna perkataan Umar bin Khattab -qabla an tasuuduu-.
Antara lain perkataan Abi ‘Ubaid al Qasim bin Salam, rahimahullah, ketika ia berkata: “Pelajarilah olehmu ilmu mumpung kamu masih kecil sebelum kamu manjadi kuat (dewasa)” (Fathul Bari: 1/166).
Perkataan ini adalah cocok dengan terjemah Bukhari rahimahullah ketika ia mengomentari perkataan Umar bin Khattab ra: (ba’da an tasuuduu) para sahabat nabi saw telah belajar pada usia mereka telah dewasa” (Fathul Bari: 1/165).
Ibnu Hajar berkata: Komentar Bukhari tentang perkataan Umar bin Khattab -ba’da an tasuuduu- tidak lain adalah untuk menerangkan agar tidak terjadi salah paham bagi siapapun dari kalimat tersebut: bahwa usia dewasa itu menghalangi untuk bertafaqquh (menuntut ilmu agama). Yang dimaksud oleh Umar bin Khattab hanyalah menjadi salah satu sebab terhalangnya semangat ilmu” (Idem, 1/166).
Dan dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata:
“Jadilah anda seorang ‘alim atau penuntut ilmu dan janganlah anda menjadi orang yang mengekor (tanpa ilmu) di antara itu” (Jaami’ Bayan ‘ilm wa fadllihi, oleh Ibnu ‘Abdi Barr: makna “al Imma’ah” adalah tidak mampu berpikir, yaitu mengikuti cara berpikir orang lain. “ha” di sini sebagai mubalaghah” (Lihat An Nihayah fi Gharib al hadist, 1/67).
Dan dari Kamil bin Ziyad: hawa Ali bin Abi Thalib ra berkata kepadanya: Hai Kamil, sesungguhnya hati ini adalah penampung muatan, maka sebaik-baik muatan isilah hati itu dengan kabaikan-kebaikan. Dan manusia ada tiga golongan: ‘alim rabbihi, mengajarkan jalan keselamatan, rakyat jembel (yaitu yang) mengikuti setiap orang yang bersuara (mengeluarkan pendapat), tidak meneranginya dengan cahaya ilmu, dan tidak berlingdung kepada sandaran yang bisa dijadikan pegangan” (Jaami bayan ‘l ilm wa fadl-lihi, oleh Ibnu Abdi Barr: 1/29, lihat Al I’tisham, 2/358).
Pokok bahasan kedua:
Makna Ilmu Disini Adalah Ilmu Syari`at, Berdasarkan Ayat-ayat Maupun Hadits
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah, di dalam awal syarahnya terhadap kitab al ‘ilmu dari shohih Bukhari:
“Yang dimaksud dengan ilmu syari’ adalah yang memberi manfa’at kepada me’rifah yang diwajibkan atas setiap mukallaf, dari urusan agamanya di dalam ibadah-ibadahnya dan mu’amalah-mu’amalahnya, (juga) ilmu mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya, dan kewajiban yang mesti ditegakkannya berupa perintah-perintah-Nya, serta mensucikan-Nya dari segala sifat ketidaksempurnaan dari kekurangan-kekurangan. (Fathul Bari: 1/141).
Ibnu Abdil Barr memperkuat dalam satu bab khusus di dalam kitabnya “Jaami’ bayan ‘ilm wa fadl-lihi”, yang ia beri nama dengan “Bab ma’rifah ushulul ‘ilmi wa haqiqatuhu”, dan yang pasti berurusan kepadanya, yaitu fiqh dan ilmu” (Jaami’ bayan ‘ilm: 2/230.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya seorang hamba itu jika mengetahui segala sesuatu, namun tidak mengenali Rabbnya, maka seakan-akan ia itu tidak mengerti sesuatu apapun” (Ighotsah al Luhfan, 2/23-26).
Di antara hadits yang berbicara tentang hal ini, adalah hadits Abdullah bin Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Ilmu itu ada tiga macam: Maka apa yang ada di belakang itu semua adalah keutamaan: Ayaatun muhkamah, atau sunnah yang ditegakkan, atau kewajiban yang harus ditegakkan dengan adil”. Nabi saw membatasi ilmu’ilmu itu yang merupakan kelompok-kelompok ilmu syari’at.
Dan di antara hadits adalah yang disampaikan oleh Ibnu ‘Abdi Barr di dalam bab yang disebutkan tadi, adalah Zaid bin Tsabit ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah memberi pahala seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku lalu menyampaikannya.
Berkata Ibnu ‘Abdi Barr:
Rasulullah memberikan nama ‘ilmu dalam haditsnya, adalah ditujukan bagi orang yang mentadabburinya dan memahaminya” (Jaami’ bayan ‘ilm wa fadlluhu, 2/27).
Pokok bahasan ketiga:
ILMU BERMANFAAT DAN ILMU TAK BERMANFAAT
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Ilmu itu yang di atasnya tegak suatu dalil, dan ilmu yang manfa’at adalah yang datang dari sisi rasulullah saw” (Majmu’ Fatawa: 13/136).
Di dalam kesempatan lain, dia juga mengatakan;
“Ilmu yang terpuji, adalah ilmu yang di atasnya didukung oleh dalil Kitab dan sunnah, (yaitu) ilmu yang diwarisinya dari para Nabi. (Majmu’ Fatawa: 11/396-397).
Katanya lagi:
“Kebaikan, kebahagiaan, kesempurnaan dan kebajikan, secara garis besar terbagi menjadi dua jenis: Ilmu yang manfa’at dan amalan shaleh. Dan Allah telah mengutus Muhammad saw karena keutamaan yang demikian, yaitu petunjuk dan din yang haq” (Majmu’ Fatawa: 19/169-170).
Telah disebutkan di dalam Al Qur’an, satu petunjuk adanya ilmu yang tidak bermanfa’at. FirmanNya:
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka..” (An Najm: 29-30).
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan akhirat) adalah lalai” (Ar Ruum: 7).
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Alah yang selalu mereka perolok-olokkan itu. (Al Mu’min: 83).
Dan Rasulullah berdo’a kepada Rabbnya, agar menganugrahkan kepadanya ilmu yang bermanfa’at. Dan beliau saw berlindung  kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfa’at.
Dari Abi Hurairah ra berkata: Rasulullah saw berdo’a:
“Ya Allah berikanlah manfa’at kepadaku dengan ilmu yang aku ketahui, dan berilah aku ilmu yang memberi manfa’at kepadaku, dan tambahilah aku ilmu” (HR Turmudzi, 3599, hadits hasan. Ibnu Majah, 251; dishohihkan oleh Syekh Al Bany, Lihat shahih sunan Ibnu Majah, 1/47).
Dari Abi Hurairah pula, bahwa Rasulullah berdo’a:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak memberi manfa’at, dan dari do’a yang tiada Engkau dengar, dari hati yang tidak pernah takut (kepadaMu), dan dari diri yang tidak pernah kenyang” (HR Imam Ahmad, 2/340, 365, 451; Abu Daud, 1548;  Nasa’i 8/263, 284; Ibnu Majah, 3837; Al Hakim, 1/104, 534; dishohihkan menurut Adz Dzahabi, dan Al Baihaqy di dalam asma was sifat, halaman 44, disohihkan oleh Syekh Al Bany, lihat shahih Ibnu Majah, 1/47).
Pokok bahasan keempat:
WAJIB `AIN DAN WAJIB KIFAYAH DALAM MENUNTUT ILMU
Ibnu Abdil Barr berkata: Ulama telah bersepakat bahwa menuntut ilmu itu ada yang bersifat wajib ‘ain -wajib bagi setiap individu- dan ada yang wajib kifayah, kewajiban yang apabila telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajibannya karena telah ditegakkan kewajiban tersebut. (Jaami’ bayan ‘ilm wa fadlluhu,1/10).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimaiyyah rahimahullah:
“Menuntut ilmu syar’i adalah wajib kifayah kecuali dalam hal yang memang dikhususkan (bersifat individual), seperti menuntut ilmu bagi seseorang yang menyangkut apa-apa yang diperintahkan-Nya dan dilarang-Nya. Sebab kewajiban menuntut ilmu seperti ini adalah wajib ‘ain (kewajiban individual)” (Majmu’ Fatawa: 28/80; Lihat 3/328-329; Syarah Aqidah Thahawiyyah, hal. 70).
“setiap individu hendaknya membenarkan Muhammad saw, tentang apa saja yang diberitakannya, menta’atinya apa-apa yang diperintahkan, tashdiq dan ta’at secara umum. Kemudian jika dia telah menetapkan perkara itu baik, tentu haruslah dibenarkan, secara terpisah (khusus). Dan jika perkara itu diperintahkan, tentu haruslah dita’atinya sebagai keta’atan khusus” (Sandaran yang sama, Idem).
“Diwajibkannya suatu kewajiban atas diri seorang muslim yang seharusnya diperhatikan ilmu (yang wajib itu) dan mempelajarinya, adalah Tauhidullah ‘Azza wa Jalla, yang tidak seorang hamba pun akan selamat (masuk Jannah) kecuali dengannya, dan mengetahui tata cara yang benar tentang ibadah kepadaNya SWT, dan mengetahui apa yang menentang tauhid yaitu syirik sehingga ia selamat darinya dan tidak terjerumus ke dalamnya. Untuk itu para ulama menyebut persyaratan Laa ilaaha illallah, salah satunya : Al ‘ilmu. Ini didukung oleh kekuatan dalil:
“Maka ketahuilah (olehmu) bahwasanya tidak ada Ilah kecuali Allah” (Surat Al Qital, Muhammad, 19).
Pokok bahasan kelima:
IKHLAS DAN NIAT BUILAT DALAM MENUNTUT ILMU
Bagi seorang hamba yang menuntut ilmu haruslah berniat ikhlas karena Allah semata, sebab jika tidak maka tak ada artinya semua yang ia lakukan.
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah bersabda:
“Baranngsiapa mempelajari ilmu yang diniatkan menghadap wajah Allah memperoleh keridloanNya-, dimana ia itu mempelajarinya semata-mata karena untuk memperoleh kesenangan dunia, maka ia tidak memperoleh baunya syurga pada hari kiamat” (HR Abu Daud di dalam Kitab Al ‘ilmu, Bab menuntut ilmu bukan karena Allah, 3664; Ibnu Majah di dalam Al Muqaddimah, bab Al Intifa’ bil ‘ilmi wal ‘amal bihi, 252; Shohih Al Bany, Lihat shohih sunan Abi Daud, 2/697; shohih Ibnu Majah, 1/47).
            Dan dari Ka’ab bin Malik ra, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk bahan debat di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya, dan untuk menarik perhatian orang, maka ia akan masuk neraka” (HR Turmudzi, Bab  Fii man yathlub bi’ilmihi ad dunia, 2805; Ibnu Majah bab Intifa’ bil ilmi wal ‘amal, 253; dihasankan oleh Al Bany, lihat Shahih Sunan At Turmudzi 2/337; Shohih Ibnu Majah, 1/48).
Dan juga haruslah bagi setiap penuntut ilmu itu, agar memperindahnya dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji, seperti harus tawadlu’ dan benar-benar demi kepentingan menuntut ilmu semata, dan yang sejenisnya untuk dapat mencintai ilmu yang bermanfa’at.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Jika jiwa menentang terhadap hawa nafsu, kesombongan dan hasad bisa dipertahankan, juga kejelekan lainnya: Maka hati akan lebih mencintai ilmu yang manfa’at bagi dirinya dan beramal shalih dengannya” (Majmu’ Fatawa: 18/241).
Bahasan keenam: Ilmu Itu Menuntut Amalan Nyata
Amal saleh adalah buah dari ilmu yang manfa’at, ia adalah natijah yang seharusnya diperoleh dari ilmu yang manfa’at itu. Dan tidak ada kebaikan bagi ilmu yang tidak diamalkan  oleh pemiliknya, dengan menunaikan tuntutannya, dan tidak membekasi jalannya dengan petunjuk ilmu itu.
Untuk itulah, datang ancaman yang keras di dalam Kitabullah bagi orang yang menyelisihi perbuatannya dengan perkataannya.
Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan ? dosa besar di sisi Allah orang yang mengatakan apa-apa yang tidak mereka kerjakan” (Ash Shaff: 2-3).
Berkata As Sa’ady rahimahullah:
“Untuk itulah yang dituntut bagi perkara kebaikan agar orang menjadi pelopor dalam menyegerakan malakukan kebaikan itu, dan mencegah dari kejahatan, menjadikan manusia manjauhkan darinya” (Taisir ‘l Karim ‘l rahman fi Tafsir Kalam al Mannan: 7/366).
Berfirman pula Allah Ta’ala:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatilah buruknya perumpamaan kaum yang mendutsakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim” (Al Jum’ah: 5).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“ Allah mengqiyaskan orang yang disuruh memikul kitab-Nya untuk diimaninya, untuk dikajinya (tadabburinya), dan diamalkannya (isinya), mengajak kepadanya, lalu ia menyelisihi itu dan tidak mau memikulnya kecuali sebatas luar hatinya, tidak mau merenungkan isinya, namun dibacanya, dan tidak memahaminya, juga tidak mau mengikuti (seruannya), tidak mau bertahkim kepadanya, tidak pula beramal dengan yang dituntunnya, yang ia sendiri tidak mengetahui apa isinya. Maka keledai itupun hanyalah sekedar mambawa muatan di atas punggungnya. Dan perumpamaan orang tersebut adalah orang yang dipikulkan Kitabullah di atas (kepalanya) seperti keledai yang dimuati kitab-kitab di atas punggungnya. Sekalipun perumpamaan ini ditujukan kepada orang Yahudi, namun ini terjadi pada siapa saja yang dipikulkan Al Qur’an lalu ia meniggalkan amalan yang dikandung di dalamnya, dan tidak menunaikan haqnya, dan tidak memperdulikan sama sekali ini yang dikandung (maupun kewajiban) nya. (Lihat Tafsir al Qiim, hal. 493; Lihat pula A’lam ‘l Muuqi’in, 1/197).
Dan adalah para Nabi ‘alaihimussalam, orang pertama yang mengamalkan sesuatu dengan yang wahyukan kepada mereka, dan orang yang paling cepat menerapkan apa-apa yang mereka katakan dalam perbuatan mereka. Perhatikanlah misalnya Nabiyullah Syu’aib as yang berkata kepada kaumnya:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (Huud: 88).
Nabi saw telah memberitakan, bahwa perkara-perkara yang dipertanyakan (oleh) Allah kepada hamba-Nya pada hari kiamat, antara lain adalah: “ilmunya, apa yang ia amalkan dengan ilmu itu” ?
Dan dari Ibnu Mas’ud ra berkata: Rasulullah saw bersabda:
“ Kedua kaki Bani Adam tetap tegak berdiri pada hari kiamat mengadap Rabbnya sehingga ia ditanya tentang lima perkara: Tentang umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dipergunakannya, tentang hartanya dari mana diperoleh dan untuk kepentingan apa dinafkahkannya, dan berbuat apa dengan yang ia ketahui (dari ilmu yang dimilikinya) itu ? (HR Turmudzi,2/67, Abu Ya’la dalam musnadnya 2/254, dishohihkan oleh Al Bany, 3/666).
Adalah kalangan Salafus sholih senantiasa berupaya keras, untuk beramal sesuai dengan ilmu mereka. Untuk itulah banyak atsar yang disebutkan dari mereka di dalam pembahasan ini, antara lain:
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata:
“Perumpamaan ilmu yang tidak diamalkan (sesuai dengan ilmunya) seperti simpanan yang tidak diinfaqkan pada jalan Allah SWT” (Iqtidla’ ‘l ilm ‘l ‘amal, oleh Al Khatib al Baghdady, hal. 265).
Dan juga dari Abu Hurairah ra berkata:
“ Sesungguhnya kamu tidak akan menjadi seorang ‘alim sehingga kamu menjadi seorang pengajar, dan tidak akan menjadi seorang pengajar sehingga anda menjadikan amalan-amalan anda sesuai dengan ilmu anda” (Idem, hal. 167).
Dari Ali bin Abi Thalib ra berkata:
“Terpujinya ilmu karena amal, maka jika ia mengamalkan ilmu itu terpujilah ia, namun jika tidak maka sirnalah pujian itu” (idem, hal. 173).

Pokok Bahasan Ketujuh:
 Kelebihan Ilmu Salaf Daripada Ilmu Khalaf
Adalah memang benar, salafus shalih besar perhatiannya terhadap Kitab Rabb mereka dan sunnah nabi mereka saw. Mereka benar-benar memelihara kemurnian dan kesucian kedua sumber rujukan yang agung ini. Mereka tidak mencampuradukkan keduanya dengan sunber lainnya, dari berbagai aib (sumber-sumber tercela) yang mengotori kemurnian keduanya.
Perhatian terbesar mereka adalah dalam mempelajari kedua sumber tersebut dan mantadabburinya, memahami makna-maknanya, dan mengambil ketentuan-ketentuan hukum dari kedua sumber itu. Kemudian mereka menerapkan keduanya dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Oleh karena itu perkataan-perkataan mereka dalam rangka manafsirkan Kalamullah dan kalam rasulillah saw. Dan buku-buku yang mereka tulis adalah tentang ilmu-ilmu Al Qur’an serta penghidmatannya.
Dan mereka itu tak suka berdebat dan bersilat lidah, dan mereka tidak berbicara dalam hal yang mereka tidak tidak lakukan. mereka dalam menghadapi ilmu-ilmu baru sangatlah banyak mengambil pertimbangan, mereka tidak berbeda pendapat untuk menyingkirkannya, dan memeranginya, memperingatkan manusia dari ilmu ini (seperti pendirian mereka tentang ilmu Kalam dan falsafat, dan seperti pendirian mereka tentang ilmu-ilmu batin yang diada-adakan oleh para zuhud dan kaum sufi).
Oleh karana itu, barangsiapa yang menginginkan ilmu yang bermanf’at, maka ambillah dari buku-buku Salafus shaleh dan himpunan tulisan mereka.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
“ Maka ilmu yang bermanfa’at itu, dari ilmu-ilmu ini, semuanya membenarkan nash-nash kitab dan sunnah, dan memahami makna-maknanya dan memperkuatnya dengan ma’tsur-ma’tsur dari para sahabat dan tabi’in serta pengikut mereka dalam mengartikan Al Qur’an dan hadits. Juga dalam hal-hal yang diriwayatkan dari mereka dari pembicaraan-pembicaraan menyangkut halal dan haram, dan yang lain-lainnya, serta ijtihad (kerja sungguh-sungguh) mereka dalam memisahkan antara mana yang sohih dan mana yang sakit, serta dan yang kedua barulah mereka bekerja keras untuk mensikapi makna-maknanya dan pemahamannya. Dalam hal ini kiranya cukup bagi orang yang berakal, pekerjaan bagi orang yang berilmu manfa’at, terhadap pendirian ini haruslah ikhlas dalam menyampaikan maksud, yaitu hanya mengharap wajah Allah, dan meminta pertolongan kepada-Nya dan petunjuk-Nya, taufiq-Nya, pemahaman dan ilham dari-Nya, pada saat itu baginya dihasilkan buat ilmu, buah-buahnya yang khusus, yang tidak lain adalah: Takut kepada Allah, seperti yang difirmankan-Nya:
“Orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (Fathir: 28).

Dan barangsiapa yang menentang Kalam salafus shaleh dan ilmu mereka, serta tidak mau mengambil ilmu dari kitab-kitab mereka dan tulisan-tulisan mereka, hilanglah seluruh kebaikan ilmu, artinya ia mengikuti selain mereka dari kalangan generasi Khalaf setelah mereka. Maka jatuhlah ia sebagaimana mereka jatuh dalam kebatilan dan perbedaan-perbedaan pendapat” (Bayan fadllu ilmu ‘l Salaf ‘alaa ‘ilmi ‘l Khalaf, hal. 45 dan 42, Tah1i1 Muhammad bin Nashir Al ‘Ajamy, Daar Arqam kuwait 1404 H).


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------