AS SABIL ILA LUZUMIL JAMA`AH (4)
Pasal Ketiga
IKHLAS DAN TEGAR DALAM MENGIKUTI SUNNAH
Terdiri dari 3 Bahasan
Pertama : Dalil-dalil dari Al Qur’an
Kedua : Dalil-dalil dari sunnah an nabawiyyah
Ketiga : Dalil-dalil dari perkataan-perkataan Salafush sholih
Ikhlas dalam beragama karena Allah semata, dan semata-mata mengikuti nabi-Nya saw, merupakan dua rukun yang asasi, dua rukun besar bagi agama Islam.
Keduanya merupakan hakikat yang terkandung dalam kalimat Syahadatain: Kesaksian bahwa tidak ada ilah kecuali Allah, dan bahwa muhammad itu rasulullah. Keduanya merupakan syarat diterimanya amal seseorang.
Maka Islam seseorang tidak bisa terwujud dan tidak diterima, baik perkataannya maupun perbuatannya, kecuali jika kedua rukun tadi tegak terlaksana, dan menjalankan kewajiban dan tuntutannya.
Berkata Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy, rahimahullah: Keduanya itu merupakan dua bentuk ketauhidan. Seorang hamba tidak selamat dari adzab Allah kecuali dengan keduanya: Tauhid al Mursal, dan tauhid mutabbi’atur rasul -mentauhidkan Zat Yang mengutus rasul, dan mentauhidkan dalam mengikuti rasul- (Lihat Syarah Thahawiyyah, hal. 200).
Berkata pula Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Secara global, maka keduanya mengandung makna yang prinsip lagi agung; yang pertama: Agar kita tidak mengabdi-Nya kecuali dengan apa-apa yang disyari’atkan. Kita tidak beribadah dengan cara ibadahnya ahli bid’ah. Keduanya merupakan prinsip dalam mewujudkan makna Syahadah “Tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah”. (Majmu Fatawa: 1/333-334, 11/586).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“Maka tidaklah seseorang hamba itu menjadi orang yang mampu melaksanakan kalimat “Iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mulah kami mengabdi), kecuali dengan mewujudkan kedua prinsip pokok ini: Pertama: Mengikuti rasulullah saw. Kedua: Ikhlas terhadap Al Ma’bud (yang diabdi = Allah). (Lihat Madaariju as salikin, 1/83; tafsir Al Qayyim, hal. 73, ditahqiq oleh Muhammad Al Faqy. Dalam buku ini Ibnu Qayyim menyebutkan 4 golongan manusia ditinjau menurut sikapnya terhadap kedua prinsip pokok tersebut: Golongan yang ikhlas dan mengikuti; Golongan yang tidak ikhlas dan tidak pula mengikuti; Ikhlas dalam perbuatannya namun tidak mengikuti (rasul, as sunnah) seperti orang-orang bodoh; dan amalannya mengikuti (sunnah) namun ditujukan untuk selain Allah (tidak ikhlas). (Lihat hal. 73-75).
Dan kita tidak jumpai kebanyakan dalil seperti yang kita jumpai pada bab (persoalan) ini, wajar jika banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang persoalan dalam berbagai ragam seginya, begitu pula para salaf yang sangat besar perhatiannya terhadap perkara ini. Untuk itulah kita dapati bahwa umunya pembicaraan mereka berkisar sekitar persoalan ini:
Pokok-Pokok Bahasan
Bahasan Pertama: Dalil-dalil dari Al Qur’an.
Allah berfirman:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahakan dirinya kepada Allah, sedang di pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.” (An Nisa’: 125).
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir berkata:
(Wa man ahsanu diinan min man aslama wajhahu lillah) adalah ikhlas dalam beramal untuk Rabb-Nya semata, maka iapun beramal atas dasar keimanan dan pertimbangan (ikhtisaban). (Wa huwa muhsinun) artinya dalam beramalnya itu ia mengikuti syari’at Allah baginya, dan yang karenanya Allah mengutus seorang rasul-Nya (yaitu) berupa petunjuk dan din al-haq. Keduanya merupakan syarat syahnya amal seseorang, artinya amal itu akan diterima jika ikhlas karena allah dan benar (mengikuti sunnah rasul-Nya), mengikuti syari’ah. Maka secara lahiriyah ia memang mengikuti sunnah, dan secara bathiniyah ia pun ikhlas karena Allah semata. Maka jika seseorang beramal, namun tidak terpenuhinya salah satu pernyaratan tersebut, rusaklah nilai amal-nya.
Dan Allah berfirman pula:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku “Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah yang satu”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-Nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seseorangpun (melakukan riya’) dalam beribadat kepada Rabb-Nya”. (Al Kahfi: 110).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini: (Fal ya’mal ‘amalan sholihan), adalah beramal sesuai dengan syari’at Allah, (Wa laa yusyrik bi’ibadati rabbihi Ahadan), maksudnya agar dalam beramal itu ditujukan hanya karena Allah semata, tak mensyarikatkan-Nya dengan sesuatu apapun. Keduanya merupakan syarat diterimanya amal seseorang, yaitu agar beramal karana Allah semata, dan benar sesuai dengan ketentuan syari’at rasulillah saw. (Tafsir al Qur’anil ‘Adzim, Ibnu Katsir, 3/108).
Berkata Syekh As Sa’dy tentang makna firman Allah: (Fal ya’mal ‘amalan sholihan), adalah mensesuaikan dengan syari’at Allah, baik perkata yang wajib maupun yang mustahab. (Taisir Karim ‘r Rahman fi tafsir Kalam al-Mannan, 5/87).
Dai ia berkata tentang makna ayat (Wa laa yusyrik bi’ibadati Rabbihi ahadan). Adalah tidak riya’ (pamrih kepada siapapun) dengan amalnya itu, bahkan seharusnya ia beramal benar-benar ihklas karena Allah semata. Maka hal ini terkumpul antara ikhlas dan mutabi’ah, yaitu untuk memperoleh apa yang diharapkan dan dituntut. Dan adapun orang yang menyalahi syarat ini maka ia itu rugi baik di dunianya maupun di akheratnya, dan sirnalah harapan untuk taqarrub kepada-Nya dan memperoleh ridlo-Nya. (Idem, 5/88).
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Maha suci Allah Yang di tanganNyalah segala kerajaan, dan Dia maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Al Mulk: 1-2).
“(Liyabluwakum ayyukkum ahsanu ‘amalan) artinya sebaik-baik amalan, seperti yang dikatakan Muhammad bin ‘Ajlan, ia tidak mengatakan banyaknya amalan” (Lihat Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, 4/396).
Apa yang disebutkan As Sa’dy tersebut di dalam menafsirkan ayat itu adalah seperti yang dikatakan oleh Fudloil bin ‘Iyadl. (Ibnu Mas’ud bin Bisyr, lihat biografinya di dalam Siir A’laamat an Nabla’. Oleh Adz Dzahaby, 8/421; Syadzarat Adz Dzahab. 1/361). Ketika ia ditanya: wahai Aba ‘Ali, apa yang dimaksudkan dengan amalan itu harus ikhlas dan benar ? Ia menjawab: Sesungguhnya amalan itu jika dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka amalan itu tidak diterima. jika dilakukannya secara benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga benar-benar amalan itu dilakukannya dengan ikhlas karena Allah semata dan benar mengikuti sunnah” (Majmu’ Fatawa: 1/333).
Tersebut juga dalam ayat-ayat lain yang banyak tentang pentingnya berlaku ikhlas karena Allah, ikhlashuddin, mentauhidkanNya, dan mencegah dari mensyarikatkan dengan sesuatu apapun atas-Nya.
Diantara ayat tersebut adalah:
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadah-ibadahku, hidupku, matiku, hanyalah untuk Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Dan dengan itulah aku diperintah dan aku adalah oarang yang pertama berserah diri (muslim)” (Al An’am: 162-163).
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya” (Al Mu’min: 14).
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya” (Az Zumar: 2).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Al Bayyinah: 5).
“Sesungguhnya orang yangmempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya syurga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun” (Al Ma’idah: 72).
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun” (An Nisa’: 36).
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah termasuk orang-orang yang merugi” (Az Zumar: 65).
Maka, ikhlaslah beragama karena Allah SWT, ikhlas beribadah seluruhnya, baik secara lahiriyah maupun batiniyah, hanya kepada Allah Rabbul ‘Alamin semata, adalah merupakan hakikat ‘ubudiyyah, yang untuk kepentingan itulah Allah Ta’ala menciptakan mahluk-Nya, dan mengutus para rasul-Nya, dan dengannya pula Dia menurunkan Kitab-kitab, dan (juga) dengan (hakikat ‘ubudiyyah) inilah Dia membedakan antara orang-orang mu’min dan orang-orang kafir.
Ini adalah tauhid uluhiyyah, yang (dari sinilah) da’wah Rasulullah saw dibuka (dimulai), yaitu prinsip ketauhidan yang dituntut dari setiap makhluk, dan kewajiban pertama atas mereka dan sekaligus kewajiban akhir mereka. Dan tauhid tidaklah terujud kecuali dengan memurnikan dan membersihkan (keta’atan kepadaNya) dari daki-daki syirik, bid’ah, dan maksiat” (Fathul Majid, syarah Kitab tauhid, Syekh Abdurrahman Ali Syaikh, hal. 51).
Maka wajib atas setiap muslim, agar memurnikan din-nya kepada Allah semata. Yang demikian itu ia harus mengabdi hanya kepada-Nya semata, dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya. Syirik itu dapat memusnahkan amal, dan menyebabkan murka Allah, menghalangi seseorang untuk masuk syurga. Syirik merupakan dosa kemaksiatan yang terbesar kepada Allah SWT.
Jika kita mengetahui bahwa tauhid merupakan meng-Esakan Allah Ta’ala dengan seluruh macam ibadah, maka syirik adalah lawan dari itu semua; atau memalingkan suatu jenis ibadah kepada selain Allah Ta’ala (Lihat Ma’arijul Qabul, syarah Sullamul Wushul, oleh Hafizh al Hakamy, 13/340).
Syirik itu ada tiga macam:
Syirik besar, syirik kecil dan syirik khofy (tersembunyi). Syirik besar adalah syirik yang terampuni kecuali dengan taubat sebenar-benarnya. Syirik kecil dihukumkan sebagai hukum pelaku maksiat, sekalipun tingkatan (dosanya) lebih besar dari (sekedar) dosa-dosa besar. Adapun syirik tersembunyi bisa ditebus (dikifarat) dengan do’a berikut ini:
“Allahuma, aku berlindung kepada-Mu agar tidak berlaku syirik terhadap-Mu dengan sesuatu apapun, dan aku mengetahui serta memohon ampun kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak ketahui”. (HR Ahmad, di dalam Musnadnya, 3/127,129; 4/162,304).
Sedangkan syirik besar itu ada empat macam: Syirik dalam berdo’a, syirik niyat-irodat- dan tujuan; syirik dalam keta’atan, dan syirik dalam mahabbah” (Majmu’ah Tauhid, halaman 5).
Dan syirik kecil itu seperti perkataan seseorang: Masya Allah wa syi’ta, andaikan Allah dan kamu tidak begini dan begitu..; dan berlaku riya’ (Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh, hal. 64).
Banyak ayat yang menunjukkan keharusan kita untuk menta’ati Nabi saw, untuk meneladaninya, mengikuti (sunnah)nya, dan tidak menolak perintah-perintahnya.
Antara lain adalah firman Allah:
“Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku pasti Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang” (Ali Imran: 31).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
“Ayat ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengakui cintanya kepada Allah namun tidak berada di atas jalan (thariqah) Muhammadiyyah, maka sebenarnya ia itu dusta terhadap perkara yang diklaimnya, sehingga ia benar-benar mengikuti syari’at Muhammad dan din an nabawi dalam seluruh perkataannya dan perbuatannya. (Tafsir Al Qur’anul azhim, Ibnu Katsir: 1/386).
Berkata Ibnu Taimiyyah: Telah berkata sebagian Salaf, “Satu kaum menda’wakan -pada masa Nabi saw- bahwa mereka itu mencintai Allah, lalu turunlah ayat ini: (Ali Imran: 31). Maka jelas, bahwa Allah menerangkan: Mahabbah kepada Allah harus diikuti dengan ittiba’ kepada rasulullah saw; sedang ittiba’ kepada kepada rasulullah akan mendatangkan mahabbatullah kepada hamba. Mahabbah inilah yang Allah timpakan kepada orang (kaum) yang mengaku bermahabbah kepada Allah, perkara inilah yang banyak dilakukan oleh manusia, menda’wakan dirinya mahabbah kepada Allah. (Majmu’ Fatawa: 10/81).
Mahabbah itu haruslah terlepas dari unsur zhann (sangkaan) terhadap hawa nafsu, sebab jika mahabbah itu tidak dibarengi dengan khasy-yah (takut akan azab-Nya) akan menyeret pelakunya kepada kebinasaan, sebagaimana yang diperoleh oleh sebagian Ahli Tasawwuf.
Untuk itulah, diantara orang Salaf mengatakan:
“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan semata-mata cinta maka ia termasuk zindiq. Dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa takut semata maka itu Haruri (Khawarij), dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ (mengharap pahalaNya) semata maka ia itu termasuk pengikut Murji’ah. Dan siapa yang meyembah Allah dengan disertai cinta, raja’ dan khauf, maka ia itu sebagai mu’min muwahhid (mu’min yang mentauhidkan Allah)” (Majmu’ Fatawa: 10/81).
Dan berkata syekh As Sa’dy di dalam menafsirkan ayat tadi: “Ayat tersebut adalah “mizan”, yang menentukan siapa sebenarnya orang yang mencintai Allah itu, dan siapa yang mengaku-ngaku saja. Maka tanda bagi seorang hamba yang bermahabbah kepada Allah, dan ittiba’ Muhammad saw, adalah orang yang menjadikan dia sebagai ikutan, dan seluruh apa dia serukan kepadanya, suatu jalan menuju kepada mahabbah kepada-Nya dan ridlo dari-Nya” (Taisir ‘l Karim ‘l rahman Fi tafsir al mannan: 1/374).
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan seluruhnya” (An Nisa’: 65).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
“Allah bersumpah kepada diriNya sendiri, bahwa tidaklah beriman seseorang sehingga dia itu berhakim kepada rasulullah saw, dalam seluruh perkara. Maka apapun yang diputuskannya adalah benar, yang wajib dipatuhinya, lahir maupun batin” (Tafsir Al Qur’an ‘l Azhim: 1/520).
Berkata Syekh As Sa’dy rahimahullah:
“Allah Ta’ala telah bersumpah kepada diri-Nya sendiri, bahwa mereka itu (kaum) tidak beriman, sehingga mereka mematuhi putusan hukum atau bertahkim kepada rasul-Nya saw terhadap perkara yang mereka perselisihkan; atau: Dalam setiap sesuatu yang mendatangkan perselisihan. Berbeda halnya dengan perkara-perkara ijmak, yang hal ini tidak terjadi kecuali dengan bersandarkan kekpada Kitab dan sunnah. Kemudian tidaklah cukup dalam bertahkim ini, sehingga menolak rasa keberatan dan kesempitan dari hati mereka. Dan tidak pula cukup dalam bertahkim ini, sehingga mereka menyerah total kepada keputusannya dengan lapang dada, serta jiwa yang tenang dan kepatuhan, baik secara lahir maupun batin” (Taisir ‘l Karim, 2/93).
Bertahkim itu kedudukannya menyangkut maqam Islam, menolak keberatan dan kesempitan berada dalam maqam Iman, sedangkan taslim (penyerahan total) berada dalam maqam Ihsan. Maka bagi siapa yang menyempurnakan tingkatan-tingkatan ini, mkaa ia itu telah sempurna-lah tinggkatan dien pada seluruh aspek-nya” (Taisir ‘l Karim ‘l Rahman Fi Tafsir kalam al Mannan, 2/93).
Allah Ta’ala berfirman:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri” (Al Ahzab: 6).
Berkata Ibnu Qoyyim rahimahullah:
“Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa siapa yang tidak menjadikan Rasul itu lebih utama dari dirinya, maka ia itu bukan termasuk orang-orang mu’min. keutamaan ini mencakup perkara-perkara berikut ini:
¨ Agar menjadikan Nabi saw itu lebih dicintai dari dirinya sendiri, sebab keutamaan itu pokok pangkalnya adalah cinta. Umumnya, bahwa seorang hamba itu lebih mencintai dirinya dari lainnya, karenanya wajib bagi seorang hamba agar menjadikan rasul itu lebih utama dari dirinya, dan ia harus mencintainya lebih dari cintanya kepada dirinya. Maka dengan demikian, padanya akan deperoleh apa yang dinamakan Iman. Dan hendaknya keutamaan tersebut diikuti dengan kesempurnaan kepatuhan, keta’atan, ridlo, dan taslim, juga seluruh kelaziman mahabbah, termasuk ridlo terhadap hukumnya, taslim kepada perintahnya dan mengutamakannya dari yang lainnya.
¨ Agar menjadikan Rasulullah itu sebagai pemberi keputusan hukum atas dirinya, dan bukannya kepada keputusan hukum yang berasal dari dirinya sendiri. Bertahkim kepada keputusan Nabi saw berkedudukan lebih tinggi daripada hukum tuan pada hambanya, hukum orang tua kepada anak-anaknya. Maka sungguh ajaib, bagaimana seorang hamba itu bisa memperoleh keutamaan ini, sementara ia itu memalingkan jauh-jauh dari apa-apa yang datang dari rasulullah saw, dari kedudukan Tahkim, lalu ia rela berhukum kepada selainnya, dan merasa lebih tentram berhukum kepada orang lain daripada ketentramannya (dalam bertahkim) kepada rasulullah saw. Dan ia menda’wakan bahwa petunjuk itu tidak dipeoleh dari “sumbernya”, namun bisa diperoleh dari dalil-dalil akal.dan bahwa yang datang darinya (berupa keputusan itu) tidaklah memberikan keyakinan, dan entah apalagi yang ia katakan, yang meliputi (sikap) menentang dan berpaling darinya dan dari apa-apa yang datang dari sisinya” (Risalah At Tabukiyyah, hal. 30-31, tahqiq oleh Thariq As Sa’ud).
Dan Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah” (Al Ahzab: 21).
Ibnu Katsir berkata:
“Ayat ini merupakan prinsip besar dalam hal mengikuti teladan rasulullah saw, baik dalam perkataan-perkataannya maupun perbuatan-perbuatannya, juga terhadap hal ihwal kehidupannya”. (Tafsir ‘l Qur’anul Azhim, 3/474).
Dan berkata Syekh As Sa’dy:
“Para ahli ushul mengambil dalil dengan ayat ini, dalam berhujjah untuk meneladani perbuatan-perbuatan rasulullah saw. Dan bahwa yang prinsip adalah agar ummatnya menjadikan teladan baginya dalam hal hukum-hukumnya, kecuali terdapat dalil syar’i yang menyatakan kekhususannya”. (Taisir ‘l Karim ‘l Rahman, 6/208-209).
Perlu kiranya disebutkan beberapa upaya sirius dalam masalah suri tauladan kepada rasulullah saw, yang terpenting antara lain:
Kesatu: Para ulama membagi perbuatan-perbuatan Nabi saw kepada beberapa jenis: Af’al jibiliyyah, af’al al Jariyah yang selaras dengan adat kebiasaan, af’al yang bersifat khusus baginya, dan af’al ta’abuddiyah. (Lihat Af’al ‘l rasul saw wa dalalatiha ‘alal Ahkam, Dr. Muhammad Al ‘Arusi, hal. 145-148, Dar Al Mujtama’, Jeddah, 1404 H).
Dan para ulama sepakat atas wajibnya menaladani Nabi saw dalam hal af’al ta’abuddiyah. (Idem, hal. 145-180).
Kedua: Haruslah mensepakati dalam amalan yang dilakukan Nabi saw dalam maksud ittiba’. Meliputi bentuk perbuatan dan menselaraskan tujuan. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ittiba’ seperti ini adalah prinsip, sebab mengikuti sunnah haruslah sampai kepada tingkat perbuatan” (Majmu’ Fatawa: 1/281).
Sebab mengikuti itu, hendaklah mengerjakan seperti apa yang dikerjakan oleh Nabi saw. Dan adapun melakukan perbuatan mengikuti Nabi saw tetapi tidak selaras dengan maksud yang diinginkannya, maka bukanlah termasuk ittiba’, namun lebih tepat untuk disebut bid’ah.
Oleh karena itu perlu diperhatikan sungguh-sungguh tentang apa yang diperbuat Nabi saw, yang dihukumi sebagai ittifaq tetapi tidak memaksudkannya” (Majmu’ Fatawa: 1/280-283).
Ketiga: Apa-apa yang ditinggalkan Nabi saw, yang termasuk jenis ibadah, dimana ia tidak mengerjakannya, namun pernah ia kerjakan sebelumnya, maka mengerjakannya adalah termasuk bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Meninggalkan perbuatan yang rutin adalah sunnah, sebagaimana halnya melakukan hal yang rutin juga sunnah, berbeda halnya dengan perkara yang menginggalkannya karena tidak ada ketentuannya, atau hilangnya syarat, atau adanya pencegahan, yang kemudian terdapat ketentuan dan syarat-syarat serta hilangnya larangan yang ketika itu mengerjakannya ditunjukkan oleh dalil syari’at, seperti menghimpun Al Qur’an di dalam mushaf, mengumpulkan manusia di dalam shalat tarawih untuk mengikuti satu Imam (maksudnya berjama’ah shalat tarawih). Sampai perkataan beliau: Adapun jika meninggalkannya itu termasuk perbuatan salah satu jenis ibadah, sekalipun setelahnya disyari’atkan mengerjakannya atau ada izin melakukannya dan diperbuatnya oleh Khulafa’ setelah beliau (Nabi saw) dan para sahabat. Maka wajib secara qath’i bahwa mengerjakannya adalah bid’ah dan sesat, dilarang untuk mengqiyas dalam melaksanakannya, dan jika dibolehkan qiyas itu pun menyangkut masalah pertama” (Majmu’ Fatawa: 26/172; Lihat juga Iqtidlo ‘l shirothal mustaqim: 2/590-597).
Berkata Ibnu Katsir: “Adapun Ahlus sunnah wal Jama’ah, maka mereka itu berkata dalam setiap perbuatan dan perkataan yang tidak tetap dari para shahabat ra, adalah bid’ah, sebab jika hal itu kebaikan tentu mereka lebih dulu mengerjakannya daripada kita” (Tafsir ‘l Qur’anul ‘Azhim, 4/156).
Prinsip ini pernah juga diungkapkan oleh Imam Malik dengan perkataanya: “Maka selama perkara itu bukan merupakan perbuatan agama ketika itu, maka pada hari ini juga tidak menjadi perkara agama” (Lihat al I’tisham, 4/9).
Keempat: Bahwa mengikuti sunnah tidak akan terlakasana kecuali jika amalan itu sesuai dengan syari’at, dalam enam perkara: sebab, jenis, kemampuan, kaifiyah, zaman, dan tempatnya” (Lihat Al I’tisham: 1/39, dan Al Ibda’ oleh Ibnu Utsaimin, hal. 20-22).
Kelima : Bahwa kesulitan itu bukanlah tujuan dari taklif, sebab syari’ah Islam datang untuk menyingkirkan kesulitan dan kesusahan dari manusia, untuk itu tidak patut bagi seorang muslim yang mempunyai maksud mempersulit dalam beramal, sebab bertentangan dengan maksud syar’i (pembuat hukum). Namun seharusnya ia itu berupaya keras dan mendekatkan kepada perbuatan itu agar bisa dilaksanakannya, seperti yang diperintahkan oleh Nabi saw:
“Berusahalah sekuat-kuatnya dan capailah amalan-amalan, dan ketahuilah bahwa dengan semata amalanmu tidaklah bisa menyelamatkan dirimu masuk syurga, dan (ketahuilah) bahwa amalan-amalan yang paling dicintai adalah langgeng (niat karena Allah) walaupun sedikit”
(HR Bukhari, Kitab ar Riqaaq, lihat Fathul Bari, 11/294).
Hadits lain menyebutkan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Islam itu mudah, dan ringan. Barangsiapa yang memperberatnya, maka ia akan dikalahkan oleh agama (malas ibadah dan beramal). Oleh karena itu kerjakanlah menurut mestinya dan mendekati semestinya, dan bergembiralah dan mohon pertolongan kepada Allah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam” (HR Bukhari, Kitab al Iman, Lihat Fathul Bari, 1/93).
Hadits-hadits tersebut menunjukkan adanya berbagai faidah, antara lain:
1. Perintah rasulullah saw agar sungguh-sungguh dalam beribadah dan ijtihad di dalam melaksanakannya, namun disertai dengan kemampuan yang tidak memberatkan dan tidak disertai dengan kesulitan yang dapat membuang kemalasan, kejenuhan dan kebosanan.
2. Pentingnya dawam (terus menerus) dalam beramal, dan meniadakan terputus-putus, oleh karena itu maka amalan yang terus menerus (langgeng) walau sedikit lebih baik daripada amalan yang banyak tetapi terputus-putus.
3. Bahwa amalan yang paling disukai Allah adalah dilakukannya menurut semestinya, mendekati semestinya, ekonomis (tidak menambah dan mengurangi) dan dibikin mudah.
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Perbuatan yang disyari’atkan dan diperintahkan, yang dicintai Allah dan rasul-Nya saw, adalah ekonomis dalam beribadah” (Lihat Majmu’ Fatawa: 5/272).
Dan Ibnu Rajab berkata: “Barang siapa melangkah dalam rangka ta’at kepada Allah mengikuti cara semestinya dan mendekati semestinya maka bergembiralah, sebab ia sampai kepada kesungguhan dan ketekunan dalam amalan-amalan” (Lihat Majmu’ Fatawa: 25/281).
Katanya lagi: “Bukanlah termasuk keutamaan-keutamaan itu dikarenakan oleh amalan-amalan badaniyyah, namun yang penting adalah sikap ikhlasnya kepada Allah dan kesesuaiannya dalam mengikuti sunnah” (Idem, hal. 281).
Imam Syathibi berkata:
“Prinsip lain: yaitu bahwa mempersulit bukan maksud yang dikandung syari’at bagi mukallaf, dilihat dari besarnya pahala, dan bendaknya ia menujukan (memaksudkan) amalan yang besar pahalanya itu karena besarnya kesulitan amalan itu sendiri” (Lihat Al Muwafaqaat, 2/128, juga Al I’tisham, 1/288-323).
Dan di antara ayat-ayat yang menunjukkan wajibnya ittiba’ kepada rasulullah saw, adalah firman Allah:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (An Nur: 63).
Berkata Ibnu Katsir: (‘an amrihi) artinya dari perintah rasulillah saw, yaitu berupa jalan dan manhaj yang ditempuhnya, thariqahnya, sunnah dan syari’ahnya. Maka bendaknya semua perkataan dan perbuatan manusia ditimbang-timbang berdasarkan perkataan dan perbuatan rasulillah saw, maka selama amalan dan perbuatan itu selaras dengan sunnahnya diterimalah amalan itu. Dan yang menyelisihinya maka amalan itu tertolak, baik yang dikatakannya maupun yang dilakukannya” (Tafsir Al Qur’an ‘l ‘Azhim: 3/307).
Imam Al Qurthubi berkata:
“Dengan ayat ini fuqaha berhujjah dan menyatakan wajibnya perintah ini, bahwa Allah Ta’ala telah memberi peringatan keras bagi siapa yang menyalahi perintah rasul-Nya saw, dan mengancam dengan azab, dengan firmanNya: (mereka akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih). Maka ini menunjukkan haramnya menyalahi sunnah (perintah) rasulNya saw, dan wajib melaksanakan perintahnya. (Lihat Al Jaami’ li Ahkami ‘l qur’an: 12/322-323).
Pokok bahasan kedua: Dalil-dalil dari sunnah an nabawiyyah
a. Tentang perlunya ikhlas
Dari Umar bin khattab ra: berkata Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung kepada nat. dan pahala bagi setiap orang yagn amal diberikan sesuai dengan apa yang diniatkannya” (HR Bukhori, Kitab bada’ ‘l wahyu, Fathuk bari, 1/9; Muslim, Kitab al Imarah, nomor 1907).
Berkata Ibnu Rajab: “ Keduanya (niat dan amal) merupakan dua kata yang tak bisa dipisahkan (menyatu), dan merupakan dua kaidah menyeluruh yang segala sesuatu (amalan) tak bisa keluar darinya” (Jami’ul ‘uluum wal Hikam, hal. 11, Daar ala Ma’rifah Beirut).
Hadits tersebut telah menunjukkan kepada prinsip yang agung dari sekian prinsip-prinsip agama. Untuk itulah banyak kalangan ulama menyebut hadits-hadits yang di atasnya roda (amaliyah) Islam berputar” (Lihat Fathul Bari, 1/11; Jaami’ ‘l ‘l uluum wal Hikam, hal. 5-6).
Hadits ini juga merupakan mizam amalan-amalan batin, berkata Ibnu Taimiyyah: “Amalan yang diperintahkan Allah ada dua jenis: yang pertama adalah amalan lahir. Baik yang wajib maupun yang mustahab. Kedua adalah amalan batin yaitu ikhlas mengamalkan agama karena Allah semata. Maka ia berkata: Barangsiapa mengamalkan satu amalan … dst, menolak (upaya) taqarrub kepada Allah dengan sesuatu perkara yang tidak diperintahkan Allah, baik yang wajib maupun yang mustahab”. Katanya lagi: “Sesungguhnya amalan itu ditentukan niatnya, dst, ini menunjukkan amalan batin, dan bahwa taqarrub kepada Allah hanyalah terjadi dengan mengikhlaskan diri dalam setiap amalannya karena Allah semata” (Syarah hadits “Innamal a’malu bin niyyat”, tahqiq Abdullah bin Hajjaj).
Dan dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Berfirman Allah SWT: “Aku tak memerlukan sekutu-sekutu, dari segala hal yang berbau syirik, karena itu siapa yang beramal seuatu amalan, lalu ia menyekutukan-Ku dalam amalannya itu dengan selain-Ku, maka Ku-tinggalkan amalnya itu padanya dan pada sekutunya” (HR Muslim di dalam kitab Az Zuhud, bab haramnya Riya’, Lihat shohih Muslim syarah Ibnu Majah dalam kitab Az Zuhud, bab Ar Riya’ dan sum’ah, 4202).
Berkata Imam Nawawi dalam mensyarah hadits tersebut:
Maknanya, Aku tidak memerlukan keterlibatan siapapun, menjadikan sekutu bagi-Ku. Maka siapa yang beramal suatu amalan untuk-Ku dan untuk selain-Ku, Aku tidak akan menerimanya, dan bahkan Aku tinggalkan dia oleh sebab itu dan lainnya. Maksudnya adalah amalan yang disertai riya’ adalah batil, tidak ada pahala di dalamnya dan bahkan berdosa karenanya (mempersekutukan-Nya)” (Syarah Muslim, Imam Nawawi, 18/115-116).
Dan dari Mu’adz bin Jabal ra, katanya: Rasulullah bersabda: “ Wahai Mu’adz bin Jabal, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya ? ia menjawab: Allah yang lebih mengetahui, dan juga rasul-Nya saw. Nabi berkata: Mereka harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Tahukah kamu apa hak hamba atas Allah ? Mu’adz menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi saw berkata: “Allah tidak berhak mengazab mereka (jika mereka hanya mengabdi kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun)” (HR Bukhori, Kitab At Tauhid, Lihat Fathul Bari, 13/347, juga Muslim syarah Nawawi, 1/231-232).
Berkata Syekh Abdullah Al Ghaniiman di dalam syarah hadits ini: Maka hak Allah atas hamba-hamba-Nya, adalah mereka hendaknya beribadah hanya kepada-Nya, ikhlas kepada-Nya, menjalankan apa-apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan mengagungkan-Nya dengan mentauhidkan-Nya, serta menjauhkan dari segala yang Dia larang atas mereka, dan yang diharamkan atas mereka, juga mengagungkan-Nya dengan cara meninggalkan syirik terhadap-Nya. Maka jika mereka melakukan ini semua, maka mereka berhak menerima ampunan Allah dan tidak menerima azab-Nya, serta dimasukkan-Nya ke dalam syurga. Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada mereka yang demikian itu, sedangkan janji Allah itu haq dan tidak selingkuh” (Syarah Kitab Tauhid dari shohih Bukhori, 1/44-45).
i. Dalam hal ketegaran berittiba’
Dari Anas bin Malik ra, katanya: Rasulullah saw bersabda;
“Tidak beriman seseorang itu, sehingga menjadikan cintanya kepada Nabi saw melebihi cintanya kepada kedua orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh ummat manusia” (HR Bukhori, Kitab al Iman, bab Hubbur rasul saw, Fathul Bari 1/58; Muslim, syarahnya 2/15).
Dari Abdullah bin Hisyam ra: Kami berada bersama rasul saw, sedang dia memegang tangan Umar bin Khattab, lalu berkata padanya: “Wahai rasulullah: Apakah anda harus aku cintai lebih dari segala-galanya kecuali dari diriku sendiri ? lalu Nabi berkata: Oh tidak, Demi Dzat Yang diriku ada di tangan-Nya, sehingga kamu mencintaiku lebih dari cintamu kepada dirimu sendiri. Lalu Umar berkata kepadanya: Maka, sungguh mulai sekarang, Demi Allah, engkau labih aku cintai dari diriku sendiri. Lalu Nabi saw bersabda: sekarang (juga) wahai Umar”. (HR Bukhori, Kitab Iman wan Nudzur Bab Kaifa kaanat yamin ‘l Nabi saw, Fathul Bari, 11/523).
Berkata Imam Nawawi: “Imam Abu Salamah al Khattabi berkata: Cinta disini adalah cinta alternatif (pilihan), sebab cinta manusia akan dirinya adalah bersirat thabi’i (naluri), dan tidak sampai kepada hatinya, ia berkata: Ini maknanya Anda itu tidak membenarkan akan cinta (kepada)ku sehingga anda itu anda menfanakan dirimu dalam menta’atiku, dan lebih mengutamakan keridloanku daripada hawa nafsumu, sekalipun dalam hal ini dapat membinasakanmu" (Shahih Muslim, syarah Nawawi, 2/15).
Dalam kesempatan lain, ia menyebutkan perkataan Qadli ‘Iyadl: “Yang temasuk mencinta Nabi saw, adalah membela sunnahnya dan mempertahankan syari’atnya, dan bercita-cita menghadirkan kehidupannya (membuktikan kecintaan kepada nabinya), sehingga ia rela mendermakan hartanya, jiwanya untuk kepentingan (tegaknya sunnah)” (Shahih Muslim, syarah Nawawi, 2/16).
Berkata Syekh Sulaiman bin Ali Syaikh: Persyaratan mahabbah adalah menselaraskan terhadap (keinginan) kekasih yang dicintainya, mencintai apa yang dicintainya, dan membenci apa yang dibencinya, dan murka pada hal yang dimurkainya” (Taisir ‘l ‘Azizil Hamid, syarah kitab tauhid, hal. 472).
Ia juga berkata selanjutnya: tentang sabda Nabi saw “Tidak beriman seseorang..” artinya: baginya tak memperoleh iman (sebenarnya), dalam pengertian terlepasnya benteng perlindungan iman dan haknya masuk syurga tanpa hisab sehingga ia menjadikan cintanya kepada rasulullah saw lebih dari mencintai kelurganya, orang tuanya, anak-anaknya dan seluruh manusia, bahkan baginya iedak memperoleh iman (dan kenikmatan terebut) sehingga menjadikan cintanya kepada rasulullah lebih dari cintanya kepada dirinya juga, sebagaimana tesebut dalam hadits Umanr bin khattab, ra” (Idem, hal. 472).
Di antara yang dituntut dari bukti kecintaan kepada Nabi saw, adalah ta’zhim (mengagungkan) sunnahnya, mengikutinya, dan pantang menolaknya (mempertentangkannya) dengan akalnya maupun ra’yunya, kapanpun dan dimanapun, dalam kedudukannya yang manapun” (Lihat Majmu’ Fatawa: 17/443-445; 35/120-121, 374, 383, Syarah Thahawiyyah, hal. 74, 200, 204, dan 354.
Dan juga termasuk tuntutan “mahabbah kepada Nabi saw “adalah mencintai para shahabat dan ahli baitihi, yang diridloi Allah, semuanya, agar kita bermuwalah kepada mereka dan ridlo atas mereka, juga berdiam terhadap hal-hal yang diperselisihkan di antara mereka, dan kita harus benci kepada orang-orang yang membenci mereka.
Dan di antara hadits-hadits yang menunjukkan kepada wajibnya berittiba’ kepadanya saw, adalah hadits Abu Hurairah ra, katanya: Bahwa Rasulullah bersabda:
“Seluruh umatku (akan) masuk syurga kecuali bagi yang menampiknya. Para shahabat bertanya: Wahai rasulullah, siapa orang yang menampik masuk syurga itu ? Nabi bersabda: Siapa yang menta’atiku ia masuk syurga, dan siapa yang menentangku ialah yang menampik (masuk syurga)” (HR Bukhori, Fathul Bari, 13/249, Bab mamatuhi sunnah-sunnah rasulullah saw, Kitab I’tisham Bil kitab was sunnah).
Dari ‘Aisyah ra, katanya: Nabi waw bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami yang bukan dari Islam, maka perbuatannya itu tertolak” (HR Bukhari 2/25, 2/166, 4/437; HR Muslim 5/132; Imam Ahmad dalam Musnadnya 6/146, 180, 240, 256, 270; Abu Daud 4606, Ibnu Majah).
Dalam riwayat lain dikatakan:
“Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak menurut agama yang diperintahkan maka itu tertolak” (HR Muslim).
Berkata Ibnu Hajar: Hadits ini terhitung di antara ushul (pokok) dalam Islam dan juga sebagai salah satu kaidah di dalamnya. Ini mengandung pengertian: Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang sebelumnya sama sekali belum pernah ada (urusan agama ini), tidak ada asal usulnya, maka jangalah ia berpaling kepadanya” (Lihat Fathul Bari, 5/302). Imam Nawawi berkata, berkata ahli bahasa arab mengartikan tertolak di sini sebagai pertanda batilnya perbuatan itu dengan tanpa disadarinya, dan hadits ini merupakan kaidah besar dari kaidah-kaidah Islam, yaitu termasuk himpunan perkataannya, dan hadits ini tegas-tegas menolak setiap bid’ah maupun ikhtira’ (mengada-adalah perkataan dan perbuatan)” (Shohih Muslim, syarah Nawawi, 12/16).
Sampai katanya lagi: Dan hadits ini menunjukkan perlunya penjagaan dan penggunaan hadits dalam rangka membatalkan kemungkaran dan merajalelanya pengambilan dalil secara bid’ah (HR Imam Ahmad di dalam Musnadnya, 2/158, Ibnu Abi ‘Ashim, di dalam As sunnah, 1/31, Ibnu Khuzaimah di dalam shohihnya 1/99, 3/258).
Berkata Ibnu Hajar: Yang dimaksudkan dengan As sunnah adalah thariqah (jalan) yang tidak lawan dari fardlu, dan takut dari perkara yang menyimpang darinya menuju kepada yang lainnya. Dan juga dimaksudkan bahwa orang yang meninggalkan jalanku dan mengambil jalan selain (jalan)ku, maka bukanlah termasuk ummatku” (Fathul Bari, 9/105).
Dan berkata Ibnu Taimiyyah: Maka, Muhammad saw diutus kepada setiap orang, dari golongan manusia dan jin, dalam setiap yang berkaitan dengan diennya dari perkara-perkara yang batin dan lahir dalam aqidahnya dan hak-haknya, jalan dan syari’atnya, maka tidak ada aqidah kecuali aqidahnya tidak ada hakikat kecuali hakikatnya, dan tidak ada jalan kecuali jalannya, tidak ada syari’at kecuali syari’atnya. Tidaklah seseorang bisa sampai kepada Allah dan kepada keridloanNya serta syurga-Nya, kemuliaan-Nya, dan walayah-Nya kecuali dengan itttiba’ kepada Nabi-Nya, lahir maupun batin, dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan baik yang lahir maupun yang batin, menyangkut perkataan-pekataan hati dan keyakinan-keyakinannya, hal ihwal hati dan hakikatnya, perkataan-perkataan lisan maupun perbuatan-perbuatan anggota badan" (Majmu' Fatawa: 10/430-431).
Pokok bahasan ketiga: Dalil-dalil dari pernyataan Salafus sholih
Dari Aisyah ra, bahwa Abu Bakar ra berkata: Tidaklah aku meninggalkan sesuatupun yang rasulullah saw mengerjakannya, kecuali aku mengerjakannya pula, dan sungguh aku takut jika aku meninggalkan sesuatu yang diperintahnya, aku menjadi menyimpang” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah di dalam Al Ibanah ‘an syari’ah al Firqah an Najiyyah, 1/246 hadits 77).
Dan berkata Ibnu Baththah setelah ia menyebut atsar sahabat tersebut: Ini, wahai saudaraku, Abu Bakar Ash Shidiq takut dirinya untuk menyimpang jika dia menyelisihi sesuatu perkara yang diperintahkan nabinya saw. Maka bagaimana itu bisa terjadi padahal ia hidup pada suatu masa dimana penduduknya memperolok-olok nabi mereka dan menolak perintah-perintahnya, merasa bangga dalam menselisihinya, dan memperolok-olok sunnahnya. Kita memohon kepada Allah, perlindungan dari terpelesetnya (ke dalam jurang bid’ah) dan diselamatkan dari amal yang jelek (bid’ah dan ikhtira’)” (Al Ibanah ‘an syari’ah ‘l Firqah an Najiyyah, 1246).
Dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: Iqtishad (ekonomis) dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” (HR Hakim di dalam al Mustadrak, 1/103, shohih dan disetujui oleh Adz Dzahabi, juga diriwayatkan oleh Ad Darimi di dalam As Sunnah, Thabrani di dalam Al kabir, Al Maruzi di dalam As Sunnah, dan Al Lalakai di dalam Syarah ushul i’tiqad Ahlu sunnah, 1/55 hadits 14).
Dan dari Al Auza’i rahimahullah, berkata: Adalah dikatakan: Lima perkara yang dijalani para shababat Muhammad saw dan para pengikutnya: Luzumul Jama’ah, itba’ ‘l sunnah, memakmurkan masjid, membaca al Qur’an dan jihad di jalan Allah” (Diriwayatkan oleh Al Lalalikai di dalam Syarah ushul I’tiqad Ahlu sunnah, 1/46, disebut oleh Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah, 6/142, dan Al Baghawi di dalam “syarah as sunnah” 1/209).
Dari Zuhry rahimahullah berkata: Berpegang teguh kepada As sunnah selamatlah ia. (Diriwayatkan oleh Al Lalalikai, Syarah ushul I’tiqad Ahlu sunnha, 1/56, dan Al Ajary di dalam Asy Syari’ah, hal. 313-314).
Dan dari Hasan al Bashri rahimahullah berkata:
“Tidak syah perkataan seseorang kecuali disertai dengan perbuatan, tidak syah perkataan dan perbuatan seseorang kecuali disertai dengan niat, dan perkataan, perbuatan dan niat seseorang itu tidaklah syah kecuali jika disertai dengan mengikuti As Sunnah”
Diriwayatkan oleh Al Lalalikai, di dalam syarah ushul i’tiqad Ahlu sunnah, 1/57, riwayat serupa oleh Sa’id bin Jubair, juga dari Ibnu Mas’ud dan Adz Dzahabi di dalam “Al Mizan”, 1/90, juga dari Ali bin Abi Thalib yang disebutkan Imam Suyuthi di dalam Kanzul ‘ummal, 1/217, juga dari Al Auza’i di dalam Al Hilayahnya Abu Nu’aim, 6/143-144).

0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------