AS SABIL ILA LUZUMIL JAMA`AH (3)
Pasal Kedua
BERTAHKIM KEPADA KITABULLAH
DAN SUNNAH RASUL-NYA Shallallahu `Alaihi wasallam
Ketika kita mengatakan bahwa Kitab dan sunnah itu merupakan sandaran pokok bagi kebenaran, sebagai sumber murni bagi din Al Islam, yang di dalamnya terdapat manhaj yang sempurna bagi kehidupan manusia, juga keduanya merupakan mizan (alat ukur) yang shohih yang dapat menimbang-nimbang prekataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan siapa saja, tentu perhatian kita tertuju kepada keduanya di samping memang didukung oleh dalil-dalil untuk mengikuti keduanya, berpegang teguh kepada keduanya, serta kembali kepada keduanya manakala terjadi selisisih pendapat dan ikhtilaf di antara kita.
Tidak akan lahir sesuatupun dari kaum muslimin, baik kemuliaan maupun kemenangan, kesuksesan di dunia maupun keselamatan di akherat kecuali dengan mempraktek kan perintah-perintah Allah SWT dan menta’atiNya, juga menta’ati rasul-Nya saw, serta menjauhkan diri dari larangan Allah dan Rasul-Nya saw.
1. Dalil-dalil dari Al Qur’an:
Dalam Al Qur’an telah disebutkan sejumlah ayat tentang perintah manta’ati Allah dan rasul-Nya saw. Dan hal itu kadangkala dengan ushlub targhib (pemberian motivasi)
Seperti firman Allah Ta’ala:
“Dan ta’atilah Allah dan Rasul agar kamu mendapat rahmat” (QS. Ali Imran: 32).
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul, maka mereka bersama-sama orang yang mendapat kenikmatan Allah atas mereka, dari kalangan para Nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang sholih, dan mereka itulah teman-teman sebaik-baiknya”. (An-Nisa’: 69).
Dan kadang-kadang dengan ushlub tarhiib (ancaman bagi yang berpaling; berita menakutkan), seperti firman-Nya:
“Katakanlah: Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (Ali-Imran: 32).
“Dan ta’atilah kamu kepada Allah dan ta’atilah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (Al- Maidah: 92).
Sebagaimana halnya, telah terdapat sejumlah ayat yang memuji kaum mu’minin yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya saw, yang diiringi dengan berita gembira bagi mereka, (yaitu) dengan kesuksesan dan kemenangan serta kebahagiaan. Antara lain firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar berhukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (An- Nur: 51).
Dan Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya yang mu’min untuk bertahkim kepada Kitabullah dan sunnah (Rasul-Nya) ketika berselisih pendapat, maka Allah berfirman:
“Wahai orang-orang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An-Nisa’: 59).
Berkata Ibnu Katsir tentang tafsir ayat ini: Berkata Mujahid dan lebih dari satu orang dari kalangan salaf agar mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Kitab dan sunnah” (Lihat Tafsir ‘l Qur’ani ‘l ‘Azhim, 1/518).
Berkata Qurthubi dalam hal yang dimaksudkan dengan “mengembalikan-nya: kepada Allah dan rasul-Nya, yaitu mengembalikan keputusan hukumnya kepada Kitabullah atau kepada Rasul-Nya yang bersangkutan dengan problem kehidupannya, atau dengan memperhatiakn sunnahnya setelah sepeninggalnya, saw. Ini adalah perkataan Mujahid dan A’masy serta Qatadah. Perkataan ini shohih. (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, 5/261).
Dan berkata Syekh Abdurrahman As Sa’dy: “Suatu perintah untuk mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan manusia, baik menyangkut ushuluddin dan cabang-cabangnya, kepada Allah dan rasul-Nya saw, atau kepada Kitabullah dan sunnah rasul-Nya saw. Sebab di dalam kedua sumber sandaran tersebut terdapat rincian mrnyangkut seluruh masa’il yang diperselisihkan itu (ada), ada yang tegas-tegas memutuskannya dan ada pula yang secara umum, atau dalam bentuk peringatan, atau mafhum, atau makna umumnya, mengqiaskan karena ada keserupaannya, sebab Kitabullah dan sunnah rasul-Nya itu diatas keduanyalah agama itu dibangun, dan iman tidak akan tegak (lurus) kecuali dengan berpedoman kepada keduanya, oleh karenanya kembali kepada kedua sumber sandaran itu adalah syarat keimanan. (Tafsir ‘l Karim ‘l rahman Fi Tafsir Kalamil Mannaan, 2/89-90).
Bahkan diantara ayat-ayat juga terdapat penolakan untuk memilih bagi setiap mu’min dan mu’minah, jika Allah dan rasul-Nya telah memutuskan (hukum) suatu perkara, dalam hal apapun.
AllahTa’ala berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al Ahzab: 36).
Ayat ini sekalipun diturunkan berkenaan dengan Zainab binti Jahsy, ra, ketika rasulullah saw meminangnya untuk (kepentingan) sahanyanya -Zaid bin Haritsah-, lalu ia menolak kemudian menerimanya. Ini tidak lain bahwa arah pembicaraan ini ditujukan kepada setiap mu’min dan mu’minah, dan menyangkut keumuman perkara apa saja.
Ibnu Katsir berkata di dalam tarsirnya, mengomentari ayat ini: “Maka ayat in adalah umum menyangkut seluruh perkara. Dan demikian itu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan perkara, maka tak patut bagi seorangpun untuk menyelisihinya, dan tidak ada pilihan lain bagi seapapun, tidak pula ra’yu maupun perkataan”. (Lihat Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, 3/490).
Imam Qurthubi mengambil dalil dengan ayat ini, yang menyatakan bahwa ungkapan “kerjakanlah” menunjukkan wajibnya perkara, ia berkara: sebab Allah Ta’ala menolak bagi mukallaf untuk mencari pilihan lain ketika mendengar perintah Allah dan perintah rasul-Nya, dan kemudian ia mengaitkan perbuatan maksiat itu kepada kesesatan. Maka jelas bahwa perintah di sini menunjukkan wajib-nya untuk diikuti. Allahu a’lam. (Al Jaami’ Li ahmanil Qur’an 14/188).
Berkata Syekh As Sa’dy:
“Tidak patut dan tidak layak, bagi siapa saja yang disifati dengan iman, kecuali besegera dalam memperoleh ridlo Allah dan rasul-Nya, dan menghindarkan diri dari kemkurkaan Allah dan rasul-Nya, serta melaksanakan perintah-perintah kedua-nya, dan menjauhkan larangan-larangan kedua-nya, (Taisir ‘l Karim ‘l Rahman Fi Tafsiril Kalam al Manaan, 6/222-223).
Dan Allah SWT melarang hamba-hambaNya yang beriman agar mendahulukan keputusan Allah dan rasul-Nya, seprti firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al Hujurat: 1).
Ibnu Katsir menyebutkan dari kalangan salafush sholih, beberapa pernyataan dalam menafsirkan firman Allah: “Janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya”; antara lain perkataan Ibnu Abbas ra: “Janganlah kamu mengatakan (mengeluarkan pendapat dan pernyataaan) yang bertentangan dengan Kitabullah dan sunnah rasul-Nya”.
Dari Adl Dlahak berkata: Janganlah mewajibkan (memutuskan) perkara diluar (keputusan) Allah dan rasul-Nya, berkenaan dengan syari’at din kamu. Kemudian berkata Sofyan Ats Tsauri: “Janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya” ini dalam hal perkataan maupun perbuatan.
Berkata Syekh As Sa’ady dalam menerangkan apa yang diistinbathkan dari ayat yang mulia: Hal ini meliputi adab terhadap Allah SWT dan rasul-Nya, mengagungkan dan menghormatinya serta memuliakannya. (Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, 4/205).
Maka Alah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman, berkenaan dengan apa yang menjadi tuntutan iman kepada Allah dan Rasul-Nya saw, dalam semua perkara mereka, dan agar mereka jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya saw. Maka mereka tidak pantas mengatakan sesuatu sampai Allah dan rasul-Nya mengatakan, dan tidak patut bagi mereka memerintahkan sesuatu perkara sehingga Allah dan rasul-Nya memerintah.
Maka hal ini sebenarnya, merupakan hakikat adab yang wajib, bagaimana semestinya seorang mu’min itu ber-adab terhadap Allah dan rasul-Nya, yaitu: suatu predikat (titel) kebahagiaan seorang hamba dan kemenangannya, dan yang disusul dengan kebahagiaan lain yang bersifat abadi dan kenikmatan yang kekal abadi pula. (Taisir ‘l Karim Ar Rahman, 7/126).
2. Dalil-dalil dari sunnah nabawiyyah:
Dari Ibnu Abbas ra, berkata: Rasulullah saw berkhotbah pada hari hajji wada’. Lalu beliau bersabda: “Wahai manusia, sungguh aku telah tinggalkan untukmu semua, sesuatu yang jika kamu teguh memegangnya, maka kamu sekali-kali tak akan sesat selama-lamanya, (yaitu) Kitabullah dan sunnahku” (HR Malik: Kitabul Jami’ bab An Nahyu ‘anil Qaul bil qadar (no. 11619), Hakim 1/93, Baihaqy 10/114, Ibnu Hazm di dalam Al Ahkam, 6/809, Ar Rafi’I di dalam At Tadwiin, 4/178).
Dari Al ‘Irbadl bin Saariyyah, ra, berkata: Rasulullah saw berdiri di hadapan kami, suatu hari beliau menyampaikan nasehat dan contoh-contoh kebaikan kepada kami, dengan nasehat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata; maka dikatakan kepada beliau: Wahai rasulullah, Berilah nasrhat-nasehat kepada kami suatu nasehat yang anda tinggalkan. Lalu beliau menyampaikan janji kepada kami, kemudian beliau berkata: “Hendaknya kalian tetap bertaqwa kepada Allah, mendengar dan menta’ati, sekalipun kepada seorang hamba sahaya dari suku Habasyah (sebagai pimpinanmu), dan kalian akan melihat timbulnya ikhtilaf yang keterlaluan sepeninggalku kelak. Maka dari itu tetaplah kalian memegang sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah dan gigitlah sekuat-kuatnya. Dan berhati-hatilah terhadap hal-hal yang mengada-ada (perkara baru yang sama sekali tak ada sebelumnya, perintah maupun larangan). Sebab setiap bid’ah (hal-hal baru yang diada-adakan) itu sesat” (HR Abu Daud, 4607; Turmudzi, 2828; Ibnu Majah, 4443; Ad Darimi 1/44-45; Ibnu Nashr di dalam As sunnah hal. 21, Shahih Ibnu Hibban, 1/4; Imam Ahmad 1/126; dan Al Hakim 1/95-97).
Di dalam hadits tesebut, Nabi saw memberitakan tentang terjadi ikhtilaf dan akibat-akibatnya yang menimpa umat ini, lalu ia mewasiatkan kepada para sahabatnya, ra, dan khithob tersebut dimaksudkan mencakup umat seluruhnya agar berpegang teguh kepada sunnah-nya, dan sunnah khulafa’ur rasyidin, ketika terjadi ikhtilaf.
Maka jelas, iltizam terhadap sunnah adalah hal yang mesti diikuti manakala terjadi bid’ah. Untuk itu kami berpendapat berdasarkan fiqh Maliki (Imam Malik ra). Bahwa ia menyebutkan hadits keharusan ‘itisham kepada Kitab dan sunnah dalam bab An Nahyu ‘an ‘l qaul bil qadar. Dan dari Jabir bin Abdullah ra, berkata: Adalah rasulullah saw, ketika berkhotbah, maka merah-lah kedua matanya, tinggi suaranya, semangatnya tinggi menggelora, bak seorang panglima yang memberi komando kepada tentaranya. Antara lain beliau bersabda: “Waspadalah kalian, pagi maupun petang, diutusnya aku dan hari kiamat seperti ini -lalu beliau memperlihatkan telunjuk dan jari tengahnya (maksudnya begitu dekatnya)- sesungguhnya sebaik-baik pengajaran ialah Kitabullah, dan sebaik-baik pemimpin ialah kepemimpinan Muhammad saw. Dan sejahat-jahat perbuatan adalah yang diada-adakan (yang tidak ada contoh sebelumnya sama sekali); sedangkan setiap yang diada-adakan itu adalah sesat. Agamaku lebih utama bagi setiap orang mu’min daripada dirinya sendiri. Karena itu bila seorang mu’min mati meninggalkan harta, maka harta itu untuk keluarganya. Tetapi jika dia meninggalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka hal itu adalah tanggung jawabku” (HR Muslim, Kitab Al-Jum’ah, bab Takhfif ash sholah wal Khuthbah, 3/11, An Nasa’i 1/234, ahmad 3/319, Al Baihaqy 3/214).
Ibnu Hajar di dalam menjunjung perkataannya terhadap hadits tersebut: Telah meluas dari dekade akhir generasi “tiga generasi yang dimuliakan atas mereka” dalam hal mengadakan perkara-perkara yang mengingkari Imam-imam tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka, mereka tidak puas dengan itu, sampai-sampai mencampurkan persoalan-persoalan keagamaan dengan perkataan-perkataan mencampurkan persoalan-persoalan keagamaan dengan perkataan Yunani, dan mereka menjadikan filsafat sebagai prinsip (pokok pembicaraan) dalam hal membantah orang yang menyelisihinya, mengembalikannya kepada fikrah Yunani, menentang atsar-atsar dengan ta’wil-ta’wil, walaupun hal itu tidak disukai (oleh agama). Lalu mereka tidak cukup sampai di sini, sampai mereka itu mengklaim bahwa kalam yang mereka himpun dan tulis itu sebagai “ilmu-ilmu yang mulia”, dan bahwa orang yang tidak mau berbuat dengan dasar apa-apa yang mereka ishtilahkan, maka orang itu termasuk orang awam lagi jahil. Maka dari itu, berbahagialah orang yang berpegang teguh pada ketetapan yang dipegangi oleh salafush sholih dan menjauhkan diri dari perkara yang diada-adakan generasi khalaf” (Fathul Bari, 13/253).
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Penuhilah seruanku tentang apa-apa yang aku tinggalkan untukmu. Maka sesungguhnya kehancuran (ummat) sebelummu itu hanyalah karena banyaknya persoalan-persoalan mereka dan pertikaian pendapat sesama mereka yang dilontarkan kepada nabi-nabi mereka. Lalu jika aku melarang sesuatu atasmu maka tinggalkanlah. Dan jika aku memerintahkanmu tentang sesuatu maka kerjakanlah semampumu” (HR Bukhori 4/422, Muslim 4/102, Ahmad 2/247, 258, 313 dst, An Nasa’i 2/2, Daruquthni, 281; dishohihkan oleh Al Bani, 2/530).
Ibnu Hajar berkata dalam mensyarah hadits ini: Maka seyogyanya bagi setiap muslim dituntut agar menggali apa-apa yang datang dari sisi Allah dan rasul-Nya, kemudian besungguh-sungguh dalam memahami perkara itu dan mensikapi apa yang dimaksudkan dengan perkara itu. Lalu kerjakanlah dengan dalil yang dipahaminya itu, sebab telah menjadi tuntutan ilmiyyah bahwa diikuti dengan mengerjakannya menurut kebenarannya dan keyakinan akan benarnya, sekalipun dalam mengamalkan hal-hal tersebut memerlukan upaya maksimal dalam menegakkannya, baik dalam hal melakukannya, maupun dalam meninggalkannya (yang dilarangnya)” (Fathul Bari, 3/263).
Ini adalah pendirian yang benar yang wajib atas setiap muslim menyelaraskannya dengan Kitabullah dan sunnah nabi-Nya saw, mempelajari dan memahami, lalu membenarkan (hatinya), mengamalkan dan mempraktekkannya.
Maka dengan jejak yang ditempuh dan manhaj inilah seningga para sahabat ra, para pendahulu ummat ini, mereka memperoleh derajat “yang diridloi Allah”. Dan Rabb mereka memberikan balasan kepada merka berupa taufik dan pembelaan serta kemenangan, juga kemuliaan dan keperkasaan di dunia, serta jannah penuh kenikmatan sebagai tempat kembali di akhirat kelak.
Dari Miqdam bin Ma’di Yakrab, ra berkata:
Telah bersabda rasulullah saw: “Sesungguhnya aku telah diberi Al Qur’an dan yang sepertinya ikut bersamanya. Sungguh hampir-hampir ada seorang yang merasa kenyang di atas dipan-nya (satu sifat yang ditujukan kepada orang yang malas-malas menuntut ilmu, betah di rumah kerana sudah merasa segala cukup dengan hidup mewah, begitu kata al Khathabi, Lihat Ma’alim as sunan, 7/8). Waspadalah kamu dengan al Qur’an, maka apa-apa yang anda temukan di dalamnya berupa menghalalan maka halalkan-lah olehmu, dan apa yang anda temukan berupa yang haram maka haramkanlah pula olehmu. Dan sesungguhnya apa-apa yang diharamkan oleh rasulullah saw, adalah seperti yang Allah haramkan. (HR Abu Daud 4/200, Turmudzi 5/38, Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya 4/130, Ibnu Majah di dalam “Al Mukadimah” 1/6, Ad Darimy di dalam “Al Mukaddimah”, 1/144, Al Hakim 1/108-109, Ibnu Baththah di dalam kitabnya “Al Ibanah ‘an syar’iyyah al Firqah an Najiyyah, 1/229-232, Al Lalika’i di dalam kitabnya “Syarah ushul I’tiqad Ahlu sunnah wal Jama’ah, 1/82).
Berkata Al Khathobi rahimahullah:
“Rasulullah saw mewaspadai orang yang menyelelidiki sunnah-sunnah yang disunnahkan rasulullah saw, dari hal-hal yang tidak ditunjuki oleh Al Qur’an, terhadap apa-apa yang dipahami oleh Khawarij dan Rafidloh; sebab mereka itu menggantungkan (pahamnya) dengan dzahir-dzahir ayat Al Qur’an, dan meninggalkan sunnah-sunnah yang bertindak sebagai penjelas Kitabullah, lalu mereka pun membuat hal-hal yang baru (yang tak ada contoh-nya sama sekali sebelumnya) dan sesatlah mereka” (Ma’alim As Sunnan, 7/8, Daar al-Ma-rifah Beirut).
Berkata Ibnu Baththah rahimahullah, hadits tersebut sebagai peringatan keras bagi kaum muslimin dari bahaya orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi saw: Dan agar orang-orang mu’min itu mengetahui, tentu bagi yang mempunyai akal dan ilmu, bahwa tedapat satu kaum yang menginginkan pembatalan syari’ah dan mempelajari atsar-atsar ilmu dan sunnah, maka mereka itu menghinakan orang yang sedikit ilmunya, lemah hatinya, dikarenakan mereka menyeru kepada Kitabullah dan berbuat dengannya, mereka itu menjauhkan diri dari Kitabullah, darinya mereka mempelajarinya dan lalu menselisihinya. Hal ini terjadi karena mereka jika mendengarkan sunnah yang diriwayatkan dari rasulillah saw, mereka meriwayatkannya dari tokoh-tokoh lainnya, dan yang dikutip oleh ahlul ‘Adalah dan amanah, dan dari orang yang pantas untuk dijadikan qudwah dan amanat, dan yang telah dinyatakan shohih oleh Imam-imam kaum muslimin, atau diputuskan hukumnya oleh para fuqaha mereka, semuanya itu mereka simpangkan, berpaling dari sunnah tersebut dan dengan menselisihinya, lalu mereka pun membatahnya. Berkatalah orang yang meriwayatkan sunnah dari mereka: Adakah anda temukan hal ini di dalam kitabullah ? Dan apakah hal ini diturunkan dalam Al Qur’an? Coba datangkanlah kepadaku satu ayat dari Kitabullah sehingga aku benar-benar mempercayai dan membenarkan perkara ini. (Al Ibanah ‘an Syari’ah al Firqah an Najiyyah, 1/223).
Maka Allah menghukumi mereka sebagai orang yang berniat jelek, suara hati yang buruk, dan mereka itu menginginkan keruntuhan agama Islam ini dan membatalkan syari’ah. Perhatikan firman Allah:
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci” (As Shaf: 8).
Berkata imam Syafi’i rahimahullah: Aku tidak mendengar seorangpun, tentang seorang yang menisbatkannya atau menisbatkannya atau menisbatkan dirinya kepada suatu ilmu, yang menselisihi atas Allah yang mewajibkan untuk ber-ittiba’ kepada perintah rasulillah saw, menyerah total kepada hukum-hukumnya, dikarenakan bahwa Allah tidak menjadikan seorangpun setelah dia kecuali untuk mengikutinya, dan bahwasanya tidak ada suatu sunnah rasul-Nya saw, satu sikap bahwa tidak ada yang menyalahi tentang wajibnya menerima berita dari rasulillah saw, kecuali firqah yang insya Allah akan saya tunjukkan sifat-sifat perkataannya. (Jama’ul ‘Ilm, oleh Imam Syafi’i, hal. 7-9, ditahqiq oleh Ustadz Muhammad Ahmad ‘Abdul ‘Aziz).
Di dalam hadits terdahulu telah ditetapkan perlunya berlindung kepada sunnah, dan bahwa hal itu wajib ittiba’ bagi setiap muslim. Dan di dalamnya terdapat bantahan yang tegas terhadap orang-orang yang mengingkari patutnya mengikuti sunnah pada masa lalu seperti Rafidloh (Imam Suyuthi telah membantah mereka di dalam kitabnya “Miftahul Jannah Fil Ihtijaj as sunnah), dan Mu’tazilah (Imam Syafi’i telah membantah di dalam kitabnya “Jama’ul ‘ilm”), dan firqah lainnya, juga pada masa sekarang seperti “Qur’aniyyun” (pengikut aliran qur’any, hanya mau mengakui dalil qur’an), Musytasyriqun (oreantalis), dan seperti murid-murid mereka seperti: Abi Royah (penulis kitab “Adlwaa’ ‘ala ‘l sunnah ‘l Muhammadiyyah), dan Rosyad Khalifah (yang telah dibantah oleh Abdul Aziz bin Baz di dalam majalah “Al Buhuts ‘l Islamiyyah, no. 9 tahun 1404 H, lihat halaman 39-45; dan oleh Husain Naji Muhammad Muhyiddin di dalam kitabnya “ Bayan anna fariyyah ‘l I’jaz ‘l ‘adadi li ‘l qur’an khud’ah Baha’iyyah” , Kairo 1405 H), dan lain-lainnya.
Sunnah Termasuk Bagian Dari Wahyu:
Ungkapan yang menyatakan bahwa As sunnah nabawiyyah itu merupakan bagian dari wahyu, adalah firman Allah SWT:
“Dan tiadalah yang dia ucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (An Najm: 3-4).
Dan firman Allah:
“Dan Kami turunkan kepadamu Adz Dzikra, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mareka. Dan supaya mereka memikirkan” (An Nahl: 44).
Dari Hisyam bin ‘Athiyyah (dialah yang memerangi pimpinan-nya Abu Bakar Ad Dimasqy, dia seorang tsiqah dan seorang hamba dari Rabi’ah), ia berkata: Adalah Jibril AS mendatangi Nabi saw, dengan membawa As Sunnah seperti ia menurunkan Al Qur’an kepadanya, ia sendiri yang mengajarkannya seperti ia mengajarkan Al Qur’an kepadanya” (HR Ad Darimi, hal.593; Al Maruzy di dalam As sunnah, 28 dan 116, dan Al Lalikai di dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlu sunnah wal Jama’ah, 1/83, hadits 99).
Dan berkata Ibnu Hazm rahimahullah: Kami telah menerangkan bahwa Al Qur’an adalah sumber bagi orang yang meruju’ kepadanya dalam hal-hal syari’at, kami mengamati di dalamnya, maka kami menemukan keharusan menta’ati apa-apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, dan kami temukan pula Allah SWT berfirman dalam mensifati rasul-Nya saw:
“Dan tiadalah yang dia ucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Sehingga benarlah bagi kami yang demikian itu bahwa wahyu itu terbagi menjadi dua bagian (dua wahyu yang datang dari Allah kepada rasul-Nya saw):
Pertama: Wahyu yang dibacakan dan dihimpun dalam bentuk mushhaf, sebagai nizham yang mena’jubkan, yaitu Al Qur’an.
Kedua : Wahyu yang diriwayatkan dan manqul. Tidak ditulis, bukan nizham yang mana’jubkan dan tidak pula dibacakan, namun bisa dibaca.
Yang dimaksud adalah berita yang datang dari Rasulullah saw, yang menjelaskan maksud (ayat) yang datang dari Allah SWT. (Lihat Al Ihkam fi ushulil Ahkam, hal. 87).
Maka jelas, Al Qur’anul Karim dan sunnah nabawiyyah datang dari sumber yang satu, hal ini termasuk janji Yang Maha Jujur yang selalu akan memeliharanya, dimana Allah sendiri telah berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Al Hijr: 9).
Bukti-bukti kongkrit adanya pemeliharaan itu adalah apa yang kita lihat dan kata usahakan untuk memperolehnya berupa kesungguhan dalam menentukan mana yang benar dan mana yang palsu dari As sunnah, dimana mereka berupaya keras dalam memeliharanya, mempertahankannya dan menseleksinya, memisahkan yang shahih dari yang sakit, serta menghimpunnya dalam bentuk ilmu-ilmu yang ditekuninya.
Di antara dampak-dampak adanya upaya-upaya pelestarian dan pemilahan-pemilahan guna terpeliharanya “wahyu” adalah apa-apa yang terpampang memenuhi perpustakaan-perpustakaanIslam sepanjang masa, terdiri dari buku-buku (tulisan-tulisan) bernilai tinggi tentang as sunnah, ilmu-ilmunya dan syarah-syarahnya. (Lihat Mukaddimah muhaqqaq kitab “An Nakt ‘ala Kitab Ibnu sh sholah”, tahqiq Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, hal. 8-9).
Dalil dari perkataan-perkataan Salafush sholih:
Dari Muhammad bin Sirin, berkata: Mereka (Ahlus sunnah) tidak menselisihi Ibnu Mas’ud dalam lima perkara:
§ Bahwa sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah.
§ Sebaik-baik sunnah adalah sunnah Muhammad saw.
§ Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan.
§ Sepandai-pandainya akal-kecerdasan adalah ketaqwaan.
§ Sepandir-pandirnya kebodohan adalah kedurhakaan.
(HR. Al Lalika’I, dlam Syarah ushul I’tiqad Ahlu sunnah, hadits no.850; Ibnu Wadloh di dalam “Al Bida’ wan nahyi ‘anha, hal. 24; Al Baihaqy di dalam “Asma’ wash shifat, hal.241).
Dari Utsman bin Hadlir Al Azdy, berkata: Saya berkata kepada Ibnu Abbas: Berilah aku nasehat, dia berkata: Hendaklah kamu istiqomah, mengikuti atsar, dan waspadalah kamu dari perbuatan bid’ah” (HR Ad Darimi, 1/53; Ibnu Wadloh di dalam “Al Bida’ wan Nahyi ‘anhaa, hal. 25; Ibnu Baththah, di dalam “Al Ibanah ‘an syari’atil firqah an Najiyyah”, 1/337-339, hadits 200-206).
Dari Malik bin Anas ra berkata: Umar bin Abdul Aziz berkata: Rasulullah saw mensunnahkan, para pemimpin ummat sesudahnya juga mempunyai sunnah-sunnah yang dipeganginya sebagai pembenaran terhadap Kitabullah, penyempurnaan terhadap keta’atannya kepada Allah, kekuatan yang berdiri di atas dienullah. Siapa yang memperoleh petunjuk sunnah maka ia ditunjuki, dan siapa yang mencari pembelaan dengan sunnah ia pun akan tertolong (menang), dan siapa yang menselisihinya dengan mengikuti jalan selain orang-orang mu’min, Allah akan memalingkan orang yang berpaling dari-Nya, dan Dia akan melemparkannya ke dalam jahannam sebagai tempat kembali yang paling buruk” (Al Ajry di dalam “Asy syari’ah”, hal. 48; Al Lalika’i di dalam Syarah ushul I’tiqad ahlu sunnahwal jama’ah, hadits 34; Ibnu Baththah di dalam Al Ibanah ‘an syari’ath ‘l firqah an Najiyyah, 1/352-353, hadits 230-231).
Dari az Zuhry berkata: Ulama-ulama kita pada masa lalu pernah mengatakan:
“Berpegang teguh kepada as sunnah, maka selamatlah”
(HR Ad Darimi, 1/45; Al Ajry di dalam “Asy syari’ah” halaman 313, Al Lalika’i di dalam “Syarah ushul i’tiqad Ahlu sunnah, hadits 136-137; Inbu Mubarak di dalam Az Zuhud, 1/281; Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah 3/369; Ibnu Baththah di dalam Al Ibanah ‘an Syari’ah al firqah an Najiyyah, 1/319-320, hadits 159-160).
Dan demikianlah halnya kita melihat berbagai dalil yang menunjukkan prinsip yang agung ini, sehingga tidaklah seseorang muslim itu istiqamah dalam agamanya kecuali jika ia itu berpegang teguh kepada prinsip tersebut, dan menjadikannya sebagai manhaj dimana ia mesti berjalan di atasnya, dan terus berketetapan di atas prinsip itu hingga ia berpisah dari dunia fana ini.
Berkata Syekh Ibnu Taimiyyah:
“Bukti-bukti adanya prinsip-prinsip agung ini adalah seluruhnya dari kitab dan sunnah, banyak sekali, dan kemudian Ahli ilmu menerjemahkannya di dalam kitab-kitab “Kitab Al ‘Itisham bil kitab was sunnah”, seperti halnya Imam Bukhari dan Al Baghawy, juga yang lainnya melakukan hal itu. Maka barang siapa yang berpegang teguh kepada kitab dan sunnah, ia itu adalah dari golongan wali-wali Allah yang taqwa, Hizib-Nya yang sukses, dan tentara-Nya yang menang” (Majmu’ Fatawa: 11623).
Prinsip ini adalah bagian dari prinsip-prinsip lainnya yang telah disepakati oleh salaf ummat ini, maka ini merupakan kenikmatan terbesar dari sekian banyak kenikmatan Allah atas mereka.
Berkata Syekh Ibnu Taimiyyah:
“Merupakan kenikmatan Allah yang paling besar yang dikaruniakan kepada mereka, adalah berpegangteguhnya mereka kepada kitab dan as sunnah. Hal ini merupakan prinsip yang telah disepakati di antara para sahabat, para pengikut mereka yang mengikutinya dengan baik-baik. Tak seorang pun dari mereka yang menyalahi/mentang Al Qur’an, baik dengan ra’yunya maupun dengan perasaan hatinya, sebab mereka itu benar-benar telah menetapinya dengan bukti-bukti yang qath’i dan ayat-ayat yang jelas, bahwa rasulullah saw datang (diutus) dengan membawa petunjuk dan din yang haq, dan bahwa Al Qur’an itu memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (Majmu’ Fatawa: 13/28; Lihat juga 16/471-172).
Al Lalika’i mengungkapkan tentang hakikat ini di dalam awal tulisannya, dalam kitab “Ushul as sunnah”, dengan berkata:
“Amma ba’du, wajib atas setiap orang untuk mengetahui/ma’rifah kepada i’tiqad ad dien, dan apa-apa yang Allah bebankan sebagai kewajiban atas hamba-hambaNya dalam memahami tauhidNya dan sifat-sifatNya, dan membenarkan rasul-rasulNya dengan dalil-dalil dan keyakinan, dan berusaha sampai kepada jalan yang ditempuhnya, mengambil dalil-dalil di atas prinsip ini dengan hujjah-hujjah dan bukti-bukti kebenaran. Dan sebaik-baik perkataan, sejelas-jelasnya dan terang-terangnya hujjah dan ma’qul adalah Kitabullah al haqqul mubin. Lalu perkataan rasulullah saw, para sahabatnya yang pilihan lagi bertaqwa. Kemudian barulah apa-apa yang telah menjadi ijma’ para salafush sholih, dan lalu berpegang teguh kepada kumpulan ijmak mereka serra berdiri teguh di atasnya hingga hari kiamat. Dari sini, lalu menjauhkan diri dari bid’ah dan mendengarkan ocehannya berupa hal-hal yang mereka ada-adakan dan menyesatkan itu.
Wasiat-wasiat ini adalah warisan yang mesti kita ikuti, dan merupakan peninggalan yang mesti dipelihara, sebagai jalan-jalan kebenaran yang seharusnya kita tempuh, sekaligus sebagai dalil-dalil yang masyhur, hujjah-hujjah yang akurat yang tertolong yang dikerjakan oleh para shahabat dan tabi’in, juga generasi setelah mereka, baik dari kalangan khusus maupun manusia pada umumnya dari kalangan kaum muslimin. Mereka memegangnya dengan teguh sebagai hujjah dalam perkara yang berhubungan antara mereka dengan Allah. Lalu orang yang meneladani (berqudwah) kepada mereka dari kalangan Imam-imam yang mendapat petunjuk, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dari kalangan orang-orang yang mengikuti mereka, dan ijtihad di jalan yang ditempuh orang-orang yang bertaqwa, mereka semuanya itu sebagai orang-orang muhsinun (baik-baik dalam beragama).
Maka bagi siapa yang menjadikan hujjah-hujjahnya yang seperti demikian dan terus menerus menetapi hujjah-hujjah sesuai dengan manhaj syari’ah, ialah yang paling bagus di dalam mengikuti agamanya. Dan juga termasuk orang yang berpegang teguh pada tali yang kuat yang tidak bisa lepas (Lihat kitab “Shaunul Manthiq wal kalam ‘an fannil manthiq wal Kalam, oleh Imam Suyuthi, hal. 101-102).
Maka wajib atas setiap muslim agar terus berupaya keras untuk berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunah rasul-Nya saw, serta memegang apa-apa yang telah menjadi ijmak salafush sholih. Dan juga agar menjadikan hal itu sebagai mizan (alat ukur) yang bisa menimbang-nimbang tentang apa yang diperselisihkan manusia setelah abad-abad yang dimuliakan (generasi-generasi salaf), baik dari perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, keyakinan-keyakinan maupun yang lainnya.
Bertahkim kepada Kitab dan sunnah merupakan syarat dalam mewujudkan pemahaman yang benar menurut syari’ah tentang “Al Jama’ah”, dengan pengertian-pengertiannya yang khusus dan umum, yang mana keduanya telah saya sebutkan (jelaskan) sebelumnya.
Maka dari itu, berhukum kepada Kitab dan sunnah adalah wajib bagi setiap muslim, sebagaimana halnya wajib pula bagi setiap pemerintah muslim, yang mendapat kepercayaan Allah untuk mengurusi kepentingan ummat Islam, yang demikian ini hendaknya di dalam menyelesaikan segala persoalan ummat haruslah menurut syari’at Allah, baik menyangkut perkara yang kecil maupun yang besar.

0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------