AS SABIL ILA LUZUMIL JAMA`AH (2)
POKOK BAHASAN KEEMPAT
MANHAJ AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH DALAM AQIDAH
Pembicaraan perihal ini telah disinggung ketika membahas Manhaj Ahlu sunnah sal Jama’ah dalam meneliti dan mengambilan dalil, dan berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas tentang prinsip-prinsip terpenting Ahlu sunnah wal Jama’ah di dalam Aqidah, juga tentang kaidah-kaidah penting tentang manhaj mereka di dalam menetapkan Asma’ dan sifat-sifat Allah Ta’ala.
Prinsip-prinsip pokok manhaj Ahlu sunnah di dalam aqidah: Mereka mencukupkan dalam menjadikan sandarin penerimaan ilmu menyangkut aqidah (hanya) kepada Kitabullah dan Sunnah rasulillah. Mereka berhujjah dengan sunnah yang shohih di dalam aqidah, mereka tidak membeda-bedakan antara hadits mutawattir dan Aahad. Mereka paham betul tentang nash-nash mengikuti kecemerlangan perkataan-perkataan Salafush sholih, penafsiran-penafsiran mereka, dan apa-apa yang dinukil dari mereka, Taslim sepenuhnya manakala wahyu berbicara, disamping memerankan akal dalam memahami hakikatnya, dan meniadakan menceburkan diri dalam perkara-perkara ghaib tentang hal yang tak bisa dijangkau oleh akal. Meniadakan tenggelam di dalam ilmu Kalam dan Falsafat, dan memalingkan diri dari ta’wil Kalamy. Menyatukan (memadukan) beberapa nash dalam masalah (satu) yang sama.
Adapun ushul-ushul (prinsip-prinsip) umum tentang Manhaj Ahlu sunnah wal Jama’ah, dalam menetapkan Asma’ dan Sifat Allah SWT, berkaitan dengan prinsip-prinsip terdahulu sebagai berikut:
1. Tidak mensifati Allah SWT kecuali dengan apa-apa yang disifati olehNya sendiri, atau yang disifati-Nya oleh Rasulillah saw, tidak melampaui batas (isyarat) Kitabullah dan Sunnah (hadits).
2. Pantang untuk menserupakan (tasybih) sifat Allah dengan sifat mahluk-Nya, sebab yang demikian itu tidak berdasarkan yang disifati Allah untuk untuk diri-Nya sendiri maupun yang disifati oleh Rasulullah saw untuk-Nya.
3. Berbicara mengenai sebagian sifat seperti halnya berbicara tentang sebagian sifat yang lainnya.
4. Memotong upaya keinginan untuk mengetahui kaifiyyah sifat-sifat Allah SWT.
5. Pembicaraan mengenai sifat merupakan bagian (cabang) dari pembicaraan mengenai Dzat.
6. Berpegang teguh pada lafazh-lafazh syar’iyyah dalam perkara ini, baik dalam hal penolakan maupun penetapan.
POKOK BAHASAN KELIMA
KARAKTERISTIK AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH
Sebagai hasil dari Manhaj yang jelas dan tegas, juga prinsip-prinsip yang benar
yang diambil dari Kitab dan Sunnah, dan Ijmak Salafush sholih, kita dapat bahwa aqidah Ahlus sunnah wal Jama’ah itu mempunyai keistimewaan-keistimewaan dan ciri-ciri khusus, yang membedakannya dengan aqidah-aqidah Ahlu bid’ah dan firqah-firqah yang menentangnya. Adapun ciri-ciri dan keistimewaan itu yang terpenting adalah: (Lihat At Tadammuriyyah, Ibnu Taimiyyah, hal.31-34; Manhaj wa Dirasaat li ayaati AL Asma’ wash shifat, oleh syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi, hal. 23-24; dan Wasathiyyah Ahlu sunnah bainal Firaqi, Dr. Muhammad Bakarim, hal. 351-354).
1. Aqidah Salafush sholih disaring dari sumber yang murni: Kitab dan Sunnah, jauh dari keruhnya hawa nafsu dan syahwat, bebas dari pengaruh sumber asing, seperti falsafah, manthiq maupun sejenisnya.
2. Bahwa aqidah Salafush sholih mengabaikan ketentraman dan ketenangan jiwa, dan menjauhkan seorang muslim dari keragu-raguan dan kebimbangan.
3. Bahwa aqidah Salafush sholih menjadikan pendirian seorang muslim sebagai pendirian (sikap) yang mengagungkan Kitabullah dan Sunnah, sebab ia mengetahui bahwa semua yang ada di dalamnya adalah haq dan benar. Dalam posisi demikianlah ia memperoleh keselamatan besar dan keistimewaan yang agung.
4. Bahwa aqidah Salafush sholih mengikat muslim dengan pendahulunya yang shalih.
5. Bahwa aqidah Salafush sholih mewujudkan bagi kaum muslimin suatu sifat yang diridloi Allah Ta’ala atas mereka, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa’: 65).
6. Bahwa aqidah Salafush sholih mampu mempersatukan barisan kaum muslimin, dan mempersatukan kalimat mereka, sebab aqidah itu menerima seruan firman Allah SWT:
“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …” (Ali Imran: 103).
7. Bahwa aqidah Salafush sholih, di dalamnya mengandung keselamatan bagi yang memegang teguh dengan-nya, dan memasukkannya ke dalam golongan yang oleh Nabi saw diberikan berita gembira, yaitu dengan kemenangan dan pembelaan di dunia, dan kesalamatan serta kesuksesan di akhirat.
8. Bahwa berpegang teguh kepada aqidah tersebut, merupakan penyebab terbesar dalam menetapi secara kokoh terhadap agama-nya.
9. Bahwa aqidah Salafus sholih merupakan penyebab besar dalam mendekatkan diri kepada Allah, dan memperoleh keuntungan karena keridloan-Nya.
10. Bahwa aqidah Salafush sholih memiliki pengaruh besar dalam prilaku dan akhlak bagi orang yang berpegang teguh kepadanya. Dan berikutnya akan merupakan faktor terbesar dalam menegakkan istiqamah terhadap agama Allah.
Pokok Bahasan keenam:
CIRI DAN KEISTIMEWAAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH
1. Keteguhan mereka dalam menetapi kebenaran, dan menolak yang sebaliknya sebagaimana yang menjadi kebiasaan Ahlu Ahwa, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“ Secara garis besar; maka Ahlul Hadits dan sunnah dalam hal memegang ketetapan dan komitmennya jauh lebih besar daripada mereka dari Ahli Kalam dan Falsafah” (Majmu’ Fatawa: 4/51).
Hal ini desebabkan oleh hasil keyakinannya tentang apa-apa yang mereka ikuti adalah kebenaran dan petunjuk, berkata Ibnu Taimiyyah:
“Maksudnya adalah bahwa pada diri orang-orang awam kaum mu’min dan para ulama mereka, mereka itu benar-benar ma’rifat terhadap (aqidah) Ahlu sunnah wal Jama’ah, meyakininya dan merasakan ketentramannya, suatu keputusan kebenaran dan perkataan yang kokoh … (Majmu’ Fatawa: 4/49).
2. Kesepakatan mereka atas perkara-perkara aqidah, dan meniadakan perbedaan paham sekalipun berbeda-beda zaman maupun tempat. Al Ashbahani mensifati orang yang teguh memegang sunnah, ia berkata:
“ Diantara yang menunjukkan bahwa Ahlu sunnah itu sebagai Ahlul haq adalah, jika anda teliti kitab-kitab mereka yang dibukukan sejak dari perintis mereka hingga generasi terakhir mereka, baik yang lama maupun yang baru, sekalipun mereka berbeda-beda negeri dan zaman mereka, saling berjauhan rumah mereka, masing-masing menempati wilayahnya yang berbada-beda, anda jumpai mereka dalam hal menjelaskan aqidah mengikuti cara (jalan) yang satu, mereka berjalan di atas satu jalan lurus, mereka satu perkataan dalam aqidah ini, kutipan mereka satu, anda pun tidak melihat mereka berselisih paham, dan tidak bertafarruq dalam suatu perkara sekalipun sedikit, bahkan jika anda himpun seluruh yang meluncur dari lisan mereka dan yang mereka nukil dari pendahulu mereka pasti anda akan jumpai seakan-akan datang dari satu hati, dan meluncur dari lisan yang satu. Apakah terhadap kebenaran yang jelas ini masih perlu dalil yang mesti saya terangkan ?”. (Lihat Al Hujjah fi bayaan ‘l Muhajjah li qawaamis sunnah, oleh Ashbahani, tulis tangan lembaran ke 164)
3. Keyakinan mereka yang teguh bahwa thariqah kaum salaf adalah paling selamat, paling ilmiyyah dan paling bijaksana. Tidak seperti yang didakwakan oleh Ahli Kalam bahwa thariqah salaf itu paling selamat, namun jalan merekalah yang paling ilmiyyah dan bijaksana.
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam membantah perkara yang dibuat-buat itu:
“Mereka itu berdusta terhadap “thariqah salaf”, dan sesat dalam membenarkan thariqah kaum khalaf, maka mereka pun memadukan antara kebodohannya terhadap thariqah salaf karena mendustakan mereka, dan kebodohan serta kesesatannya dalam membenarkan thariqah khalaf”. (Lihat Majmu’ Fatawa: 5/9).
Beliau juga berkata:
“Kemudian mereka, para Ahli Kalam yang menentang salaf jika mereka meneliti (menyatakan) kebenaran mereka, tidak didapati pada mereka hakikat ilmu tentang Allah dan ma’rifat yang murni, mereka tidak memutuskannya berdasarkan sumber dan atsar, bagaimana mungkin mereka yang lain tak lain merupakan mahjubun, mafdluuluun, manquushuun, masbuquun, dan muatahawwikun -terhijab, serba kekurangan, pengekor, dan kacau balau- itu lebih mengetahui tentang Asma dan sifat Allah, lebih bijaksana dalam hal perkara Dzat-Nya,; dan ayat-ayatNya daripada para pendahulu ummat ini, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka secara baik sebagai pewaris para nabi dan para Khalifah Rasulillah, panji-panji petunjuk dan pelita-pelita yang menyinari kegelapan, yang menegakkan Kitab dan dengannya mereka tegak, melalui merekalah Kitab dibacakan dan dengan kitab itu mereka berbicara. Allah Ta’ala telah memberikan kehebatan kepada mereka, baik dalam hal ilmu maupun hikmah, seperti dengan bekal itu pula para nabi dan para pengikut Nabi -penuh ilmu dan hikmah- apalagi terhadap ummat-ummat yang tak didatangkan Kitab atas mereka … ?
Berdiam dirinya salafush sholih dari jidal dan pembicaraan serius menyangkut banyak permasalan yang banyak terjadi di kalangan generasi meta’akhirin, bukanlah karena kebodohan dan keterbatasan (akal pikir) mereka, namun hanyalah karena mereka itu mengetahui mana-mana saja yang bermanfa’at sehingga harus digelutinya, dan mana saja yang tidak manfa’at sehingga sepatutnya untuk berpaling darinya.
Berkata Ibnu Rajab:
“Maka barangsiapa yang mengetahui kemampuan salaf ia mengetahui bahwa diam-nya mereka hingga tidak terperangkap ke dalam percekcokan dan banyak berdebat serta beselisih dan menambah-nambah keterangan sesuai kadar yang dibutuhkan, hal ini bukanlah karena mereka tak cakap akan permasalahan ini dan juga bukan karena kebodohan mereka, ataupun sempitnya akal pikir mereka. Namun semata-mata karena kewara’an dan rasa takutnya terhadap Allah Ta’ala, dan menghindarkan diri dari kesibukan-kesibukan melakukan hal yang tidak manfa’at menuju hal-hal yang membawa manfa’at” (Bayan Ilmu ‘l salaf ‘alaa ‘ilmil Khalaf, Ibnu Rajab yang ditahqiq oleh Muhammad bin Nashir Al 'Ajamy, hal. 58, Kuwait, hal 36-38).
4. Bahwa mereka itu adalah orang-orang yang paling mengetahui hal ihwal Nabi saw, perkataan-perkataannya maupun perbuatan-perbuatannya. Oleh karena itu mereka termasuk orang yang paling cinta akan sunnah, dan berupaya keras untuk mengikutinya, serta yang paling banyak muwalah bagi Ahlu sunnah. Berkata Ibnu Taimiyah:
“Maka sesungguhnya, manakala (kita yakin) bahwa Rasulullah itu orang yang paling sempurna akhlaknya, yang paling mengetahui hakikat dan yang paling lurus perkataan maupun perbuatannya, patutlah kiranya menjadikan orang yang paling mengetahui persis orang yang paling mengetahui prilaku Nabi-nya dan meneladani-nya, sebagai orang-orang yang memiliki keutamaan akhlak” (Majmu’ Fatawa: 4/140-141; 4/26).
Dengan demikian, mereka itu jelas merupakan orang-orang yang paling berhak dan paling mulia dijadikan sebagai kelompok yang tertolong (Thoifah al Manshurah), Firqah an Najiyyah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Dengan inilah manjadi jelas bahwa manusia yang berhak menjadi Firqah an Najiyyah adalah Ahlul Hadits dan sunnah, yang mana mereka itu tidak memiliki seorang ikutan yang diikutinya secara fanatis, kecuali Rasulullah saw, dan mereka itu adalah manusia yang paling mengetahui perkataan-perkataannya dan paerbuatan-perbuatannya, merekalah yang paling besar perhatiannya dalam membedakan mana hadits yang shohih dan mana yang cela, Imam-imam fuqoha’ dalam hal sunnah, orang yang paling mengetahui makna-maknanya, dan mangikutinya: baik dalam hal membenarkan, perbuatan, kecintaan, dan muwalah,bagi orang yang muwalah kepada sunnah, dan mu’adah (benci dan memusuhi) kepada orang yang benci dan memusuhi sunnah (Majmu’ Fatawa: 3/347; lihat 3/159; 4/97).
5. Diantara kekhususan mereka dan keistimewaan mereka, adalah upaya gigih mereka dalam menyebarkan aqidah yang shohih, din yang lurus yang dengannya diutuslah Rasulullah saw oleh Allah, mengajarkan manusia, membimbing mereka dan menasihati mereka, disamping melakukan bantahan kepada orang-orang yang menyalahi sunnah dan juga kepada ahli bid’ah. Di depan telah saya sebutkan tentang kesungguhan mereka di dalam pembahasan perhatian ulama terhadap aqidah salafush sholih.
6. Sikap tengah-tengah mereka, antara firqah-firqah dan kelompok-kelompok. Berkata Ibnu Taimiyyah: “Ahlu sunnah fil Islam, seperti Ahlul Islam di tengah-tengah agama-agama lain” (Majmu’ Fatawa: 7/284; 12/455).
Kemudian ia menjelaskan sikap menengah tersebut dalam bagian lain, dimana ia berkata: Pemahaman yang adil (tengah-tengah) dalam perkara Sifat-sifat Allah SWT, antara pemahaman Ahlu Ta’thil kalangan Jahmiyyyag dan Ahlu Tantsil Al Musyabbihah.
Mereka juga berlaku tengah-tengah dalam perkara “Ancaman Allah” antara paham Murji’ah dan Wa’idiyyah, dari Qadariyyah dan golongan (sesat) lainnya. Dalam pertakara Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah, antara paham Qadariyyah dan Jabariyyah. Dan dalam perkara Amaa’ ul Iman (nama-nama iman) dan Dien, antara Hururiyyah dan Mu’tazilah, dan antara Murji’ah dan Jahmiyyah. Dan dalam perkara yang menyangkkut “para sahabat rasulillah saw”, antara Rafidloh dan Khawarij (Lihat Majmu’ Fatawa: 3/141. Dan perhatikan syarah Thahawiyyah halaman 518-528); Wasathiyyah Ahlu sunnah bainal Firaq, ilah Dr. Muhammad Bakarim, hal. 333-399).
7. Komitmen (iltizam) mereka dengan nama-nama dan julukan-julukan syar’iyyah. (Lihat Mauqif Ibnu Taimiyyah min ‘l Asya’iroh, Dr. Abdurahman Mahmud, 1/68).
8. Keseriusan mereka dalam memegang Jama’ah dan persatuan serta seruan mereka atanya, menganjurkan manusia agar menetapi Jama’ah, dan membuang jauh-jauh ikhtilaf dan firqah, dan memperingatkan dengan jelas dari (terjerumus) kepada ikhtilaf dan firqah. Hal ini dapat diperhatikan tentang bagaimana mereka cintanya terhadap penamaan-penamaan mereka yang populer, yaitu “Ahlu sunnah wal Jama’ah”. Dan hal ini sebagaimana bukti-bukti adanya prinsip-prinsip ilmiyyah dan penelitian mereka, terujud pula dalam kehidupan mereka, yang benar-benar mereka laksanakan dan terjadi dalam bentuk amalan-amalan mereka (lihat contoh-contoh ini dalam Majmu’ Fatawa: 3/227).
Pokok Bahasan Ketujuh:
TA`RIF GLOBAL AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH
(Ringkasan Pokok Aqidah Ahlu sunnah wal Jama`ah; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah; di dalam Al Aqidah al Wasithiyyah, Lihat Majmu’ Fatawa: 3/129-159)
1. Beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, bangkit setelah mati, dan Iman kepada Qadar yang baik maupun buruk.
2. Termasuk iman kepada Allah, adalah: Iman terhadap apa-apa yang Allah sifati untuk diriNya pada KitabNya, dan yang disifatiNya oleh Rasulillah saw, tanpa Tahrif (merubah lafazh-lafazh Asmaa’ dan sifat atau merubah maknanya), tidak men-Ta’thil (merampas dan menolak sifat-sifat Allah), tidak Takyif (membagaimanakan bentuk sifat-sifat secara visual), dan juga tidak men-Tamtsil (menserupakan Allah dengan makhlukNya).
3. Sunnah itu menafsirkan Al Qur’an dan menjelaskannya, menunjuk kepadanya dan mengambil i’tibar darinya, dan apa-apa yang Rasulullah sifatkan Allah SWT dengan-nya, dari hadits-hadits shohih yang diambil Ahli ma’rifah dengan penerimaan penuh, yang wajib diimani.
4. Termasuk iman kepada kitab-kitabNya adalah: mengimani bahwa Al Qur’an itu Kalamullah yang diturunkan dan bukannya makhluk, dari sisiNya bermula dan kepadaNya kembali, dan bahwa Allah iatu berbicara secara hakikat.
5. Termasuk dalam iman kepada Allah, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, adalah mengimani bahwa orangporang mu’min dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan mata (penglihatan) mereka sendiri benar-benar langsung, sebaimana mereka melihat matahari di awan yang cerah, dan bagaikan melihat bulan pada malam lailatul badar (bulan purnama).
6. Termasuk Iman kepada hari akhir, adalah: mengimani seluruh apa yang diberitakan oleh Nabi saw, tentang segala kejadian setelah mati, diantaranya: fitnah kubur, azab kubur, kenikmatannya, hari mahsyar, timbangan amal, dibeberkannya buku catatan amal, perhitungan amal, telaga, jembatan dan syafa’at.
7. Ahlu sunnah mengimani Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk. Ada dua tingkatan, setiap tingkatan mencakup dua hal:
Tingkatan pertama: Mengimani bahwa Allah SWT mengetahui apa-apa yang diperbuat mahlukNya, dengan ilmu-Nya yang Qadiim, yang Azali sifatNya, dan mengetahui seluruh keadaan mereka (makhluk), siapa-siapa saja yang menta’atiNya dan yang maksiat kepadaNya, juga tentang rezeki dan ajal mereka. Kemudian ketentuan-ketentuan takdir itu dituliskan di dalam Lauhul Mahfuzh.
Tingkatan kedua: Mengimani bahwa berkehendak menjadikan sesuatu dan berkehendak untuk tidak menjadikan sesuatu, dan bahwasanya Dia itu pencipta segala sesuatu. Hamba-hamba dapat melakukan sesuatu itu memang benar, dan Allah yang menciptakan perbuatan mereka.bagi hamba-hamba itu ada qudrat (kemampuan) atas perbuatan mereka, dan mereka memiliki irodah. Namun Allah-lah pencipta mereka dan Dia pula yang menciptakan qudrat dan irodat mereka itu.
8. Ahlu sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Iman itu sendiri dari perkataan dan perbuatan, dan ia itu bisa bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan maksiat. Namun mereka itu tidak mengkafirkan Ahli Kiblat oleh sebab kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa besar yang diperbuatnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Khawarij. Bahkan menurut Ahlu sunnah bahwa ukhuwwah imaniyyah tetap kuat sekalipun disertai maksiat, mereka juga tidak menanggalkan nama Iman seluruhnya bagi orang yang dalam waktu lama malakukan kefasikan, dan mereka tidak berpendirian menganggap kekal di neraka bagi pelaku kabair dan kemaksiatan tadi, seperti halnya yang dikatakan oleh Mu’tazilah. Dan mereka (Ahlu sunnah) berkata: dia itu (pelaku maksiat, kabair atau fasik) adalah seorang mu’min yang berkurang imannya, atau mu’min karena keimanannya dan fasik karena kabairnya. Namun dia itu tidak boleh diberikan nama tersendiri (terpisah), kafir saja atau iman saja.
9. Diantara ushul (prinsip) Ahlu sunnah wal Jama’ah: adalah keselamatan hati mereka dan lisan mereka (dari mencela atau mencaci) para shahabat rasulillah saw, dan menerima apa-apa yang datang dari Kitab, sunnah dan ijmak, oleh sebab kemuliaan dan tingginya tingkatan mereka.
Mereka juga mencintai Ahli Bait Rasulillah saw, loyal kepada mereka, mereka memelihara wasiyyat-wasiyyat rasulullah saw yang menyangkut Ahli Bait, mereka loyalitas kepada isteri-isteri rasulillah saw, ummahatul mu’minin, mereka juga mengimani bahwa mereka (isteri-isteri rasulillah saw) juga isteri-isterinya di syurga.
Ahlu sunnah berpaling dari jalan yang ditempuh Rafidloh, yang mana mereka itu membenci dan mencaci maki para shahabat rasulillah saw, dan juga berpaling dari jalan untung-untungan, yang menyakiti Ahli Bait dengan perkataan maupun amalan. Ahlu sunnah juga menolak adanya perselisihan di antara shahabat, dan mereka menganggap bahwa para shahabat itu adalah manusia-manusia terbaik setelah para nabi, dan bahwa mereka itu merupakan generasi pilihan dari umat ini.
10. Thariqah (jalan) Ahlu sunnah wal Jama’ah: Mengikuti atsar rasulillah saw, lahir maupun bathin, dan megikuti jalan para pendahulu pertama dari golongan Muhajirin dan Anshar, juga mengutamakan Kalamullah atas kalam selain-Nya dari semua kalangan manusia, mereka juga mendahulukan petunjuk Muhammad saw atas petunjuk setiap manusia manapun, dengan demikian, mereka itu disebut dengan Ahlu sunnah wal Jama’ah.
11. Di antara Ushul Alu sunnah wal Jama’ah, adalah: Membenarkan adanya karomah bagi wali-wali Allah, apa-apa yang diberlakukan oleh Allah Ta’ala (yaitu) berupa kejadian-kejadian di luar kebiasan.
12. Kitab dan sunnah serta ijmak merupakan “Tiga Landasan” yang mana Ahlu sunnah wal Jama’ah bersandar kepadanya, baik dalam ilmu maupun diniyyah. Mereka itu meimbang seluruh apa yang terjadi pada manusia dengan ketiga landasan tersebut, baik perkataan-perkataan, maupun perbuatan-perbuatan, lahir maupun bathin, yang berkatian dengan urusan agama.
13. Mereka (Ahlu sunnah wal Jama’ah) senantiasa menganjurkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar, sesuai dengan yang digariskan oleh syari’ah.
14. Mereka tetap mengakui (benarnya) melakukan hajji dan jihad, melakukan shalat jama’ah (makmum) dan hari-hari raya, bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik dari kalangan “biri” (baik-baik) maupun fujur (durhaka), dan senantiasa memelihara shalat jama’ah.
15. Memelihara agama melalui nasehat bagi ummat.
16. Memerintahkan berlaku sabar ketika mendapatkan ujian-ujian, dan bersyukur ketika dalam kelapangan (rezeki), dan berlaku ridlo manakala tidak memperoleh apa yang dituntunnya (dalam kesempitan).
17. Menyeru kepada akhlak yang mulia dan amalan-amalan kebajikan, dan mencegah dari yang sebaliknya.
Pokok bahasan kedelapan: Penutup
PENTINGNYA KEMBALI KEPADA AQIDAH SALAFUSH SHALIH
Maka bagi orang yang membahas perihal perjalanan firqah-firqah Islam, serta meniti rambu-rambunya dan tokoh-tokohnya, ia akan menemukan sebagian kejadian-kejadian yang serupa di kalangan mereka, baik yang menyangkut topiknya maupun cakupannya. Tidak lain (yaitu) kembalinya sejumlah tokoh-tokoh (imam-imam) ilmu kalam dan manthiq kepada paham salafush sholih, baik aqidahnya maupun manhajnya. Dan hal itu terjadi manakala mereka mengalami jalan buntu dalam meniti jalan yang dilaluinya. Dan kebingungan serta kekacauan benar-benar terjadi pada diri mereka, yang disebabkan oleh manjauhnya mereka itu dari manhaj yang lurus. Lalu mereka kembali ke jalan haq melalui jerih payah dan ‘azamnya yang kuat, mereka menyadari adanya kekeliruan jalan yang mereka tempuh, dan memperingatkan ummat agar tidak terjerumus ke dalam jurang dimana mereka itu terjerembab.
Imam-imam tersebut yang paling terkenal adalah Al Imam Abul Hasan Al Asy’ari, semoga Allah merahmatinya, yang telah kembali dari pemahamannya semula (mu’tazilah) kepada salaf. Terutama dalam perkara Asma’ wa Shifat, dan dia (juga) memproklamirkan pelepasan dirinya dari thariqah (jalan) pertama yang dilaluinya (mu’tazilah), dan menyatakan bahwa jalan yang benar dan lurus adalah jalan yang ditempuh oleh salafush sholih dan imam-imam hadits. Setelah kembalinya ke salaf, dia menulis sejumlah kitab-kitab, yang terpenting adalah “Al Ibanah ‘an Ushulid diyanah”, dan di dalam kitab ini tertuang tentang sikap dan aqidahnya secara global dan rinci. Hal ini juga terjadi pada diri Imam-imam lainnya. Diantara mereka adalah: Al Hafizh Ibnu ‘Asakir di dalam kitabnya “Tabyiin kidzbi ‘l Muftara Fiimaa nasaba ilaa ‘l Imam Abil Hasan Al Asy’ari”, halaman 157-162; dan juga diilhami oleh kehadiran itab “”Al Ibanah”, dan banyak nash-nash yang dikutip darinya. Juga dari kalangan tokoh/imam ilmu kalam, yang sacara sadar kembali kepada salafush sholih, seperti Ar Razi, Al Juwaini, (wafat 438 H), Syahrastany (wafat 549 H), dan Al Ghazali (wafat 505 H).
Dan di dalam kembalinya imam-imam tersebut terdapat ibrah bagi siapa saja yang ingin mengambil ibrahnya, da di dalamnya terdapat pernyataan bahwa aqidah salafush sholih adalah haq yang wajib dijadikan tempat kembali, sebab ia itu adalah satu-satunya jalan yang wajib atas setiap muslim untuk berjalan di atasnya, dan bahwa jalan-jalan selainnya adalah terputus bagi pelakunya.
Namun kebanyakan kalangan muslimin tidak mengambil sandaran dari ulama tersebut pada periode-periode akhir mereka, periode dimana mereka telah kembali dari paham dan aqidah yang semula. Sehingga kita dapati banyak kalangan kaum muslimin mengambil kitab-kitab yang dijadikan rujukan para ulama tersebut, mempercayakan kepadanya, dengan gigih memalingkannya dari pendapat-pendapat yang menyelisihinya, sekalipun dari penulis itu sendiri yang bersandarkan pada penulis-penulis sebelumnya.
Bahkan sebagian orang yang membahas dan menisbatkan kepada ilmu dari generasi muta’akhirin berusaha membuat keraguan dan menolak apa yang ada dalam kitab-kitab ulama tersebut, berupa perkara yang selaras dengan paham salafush sholih, mentahrif dan ta’wil perkataan mereka.
Diantara ujian-ujian menyangkut Aqidah dan fikrah kebanyakan kaum muslimin, adalah menjadikan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama yang telah kembali ke salaf tersebut, justru kitab-kitab yang ditulis sebelum mereka bertaubat dan kembali kepada salaf –sebagai sandaran utama kaum muslimin berikut ulama-ulamanya hingga sekarang-. (Lihat Abu Hamid Al Ghazali wat Tashawwuf, oleh Abdurahman Damasyiqiyyah, hal 426-427).
Beberapa pernyataan sebagian ulama yang kembali kepada As Sunnah dengan Pemaham an Salafush sholih:
i. Pernyataan Abu Hasan Al Asy’ary:
Di dalam kitabnya Al-Ibanah, ia menjawab seseorang yang menanyakan kepadanya: anda telah mengingkari pernyataan Mu’tazilah dan Qadariyyah, Jahmiyyah, Hururiyyah, Rafidloh, dan Murji’ah. Maka kami ingin mengetahui pernyataan anda yang dengannya anda beragama. Ia menjawab: Pernyataan kami yang kami lontarkan itulah pendirian kami, dan Dien yang kami pahami dan ikuti adalah: Berpegang teguh kepada Kitab Rabb kami dan sunnah Nabi kami saw, dan apa-apa yang diriwayatkan dari para shahabat dan tabi’in seta para Imam ahli hadits. Dengan demikian kami terpelihara dari kekeliruan prinsip, terlindung dari penyelewangan. Dan juga mensepakati apa-apa yang dinyatakan oleh Abu Abdullah Ahmad bin Hambal, semoga Allah meninggikan derajatnya dan melipatkan pahalanya. Kami sejalan dengan pernyataan-pernyataannya dan menjauh dari penentang-penentangnya. Sebab dia itu, seorang imam yang mulia, sosok figur yang sempurna, yang dengan-nya ia menjelaskan (perihal) Allah secara benar dan dengannya pula ia menolak kesesatan, ia menjelaskan manhaj dan menghinakan bid’ah yang dilakukan ahli bid’ah, dan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh golongan-golongan yang aqidahnya menyimpang, seta menjauhkan diri dari keragu-raguan orang yang ragu … (Lihat Al Ibanah ‘an ushulid Diyanah, hal 17).
ii. Pernyataan Al Juwainy:
1. Pada akhir hayatnya, ia mencela ilmu Kalam, dan menasehati kaum muslimin agar menjauhinya, yaitu ketika ia berkata: “Janganlah anda menyibukkan (menggeluti) ilmu kalam, maka andaikan anda mengetahui perkataan
2. Kitabnya yang ditulis dalam rangka menasehati saudara-saudaranya karena Allah “Fi shifaatillah”, antara lain ia berkata di dalamnya: Maka siapa yang ingin mendapat taufiq dan petunjuk dari Allah, seyogyanya dia itu mengitsbatkan (Allah -Asma’ dan sifat-Nya) tanpa tahrif (merubah lafazh maupun makna), tidak mentakyif, dan tidak ragu dalam mensikapi, maka dia itu telah memasuki perkara yang dituntut dari (memahami Asma’ dan sifatNya), insya Allah. (An Nasihah Fir Rabbi Jalla wa ‘Alaa, oleh AL Juwainy, hal. 39).
iii. Pernyataan Abu Hamid A Ghazali:
1. Pembelaannya terhadap Aqidah dan madzhab Salafus sholih, adalah terlihat ketika ia berkata: Adanya dalil yang menunjukkan bahwa madzhab salaf adalah haq: Bahwa yang berlawanan dengannya adalah bid’ah, sedangkan bid’ah itu tercela dan sesat (Lihat Iljamul ‘Awwam ‘an ‘ilmil Kalam, hal. 96).
2. Celaannya terhadap ilmu kalam, ketika ia berkata:
“Sesungguhnya shahabat ra, mereka itu orang-orang yang berhujjah melawan hujjah Yahudi dan Nashrani dalam menetapi (membenarkan) nubuwwah Muhammad saw, maka mereka itu tidak sedikitpun menambah terhadap dalil-dalil Qur’an, dan tidak pula bermain dengan qiyas-qiyas menurut akal mereka, apa yang mereka sampaikan semkua berdasarkan naqliyyah. Hal ini disebabkan karena mereka mengetahui bahwa “tenggelam dalam qiyas-qiyas aqliyyah” itu merupakan sumber fitnah dan kekacauan. Dan bagi siapa yang tidak puas dengan dalil-dalil Qur’an, ia tidak bisa ditundukkan kecuali dengan pedang dan senjata. Maka tidak ada lagi keterangan lain setelah jelas keterangan dari Allah. (Idem, 89-90).
iv. Pernyataan Fakhruddin Ar Razi:
Ia berkata kepada muridnya, Ibrahim bin Abi Bakar Al Ashahany, dalam wasiatnya, dan ini terjadi sebelum ia wafat: “ Aku benar-benar telah menekuni dalam-dalam methoda-methoda Kalamiyyah (ilmu kalam), manhaj-manhaj Falsafat, maka aku tidak bisa menghilangkan rasa haus orang yang kehausan walau setetes, dan aku beranggapan bahwa jalan yang paling dekat adalah jalan (methode) Al Qur’an, aku membaca tentang penetapan (pembenaran) Asma’ dan sifatNya:
“Dialah Ar Rahman, bersemayam di atas Arsy” (QS.Thaha: 5).
FirmanNya lagi:
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik” (QS. Fathir: 10).
Dan aku membaca ayat dalam hal penolakan Asma’ dan sifatNya:
“Tidak ada yang sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS. As Syura: 11).
Siapa yang mengadakan penelitian seperti apa yang aku teliti pasti ia dapat mengetahui seperi apa yang aku ketahui” (Lihat Siya A’lamun Nubala’, oleh Adz Dzahabi, 21/501).
Maka yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang berakal sehat adalah agar membebaskan dirinya dari menurutkan hawa nafsu dan ta’ashub (fanatis terhadap pendapat, golongan maupun ulama), dan hendaknya membebaskan kebenaran dari unsur tersebut dengan ikhlas dan tegar, dan hendaknya (pula) meneladani orang-orang (para Imam) yang bertaubat dari kekeliruan merka dan kembali kepada Al Haq, setelah lama mereka mengarungi paham aqidah yang salah.
Bagi setiap muslim, hendaknya memperkokoh hubungannya dengan Kitab Rabb-nya dan sunnah Nabi-Nya –membacanya, mentadabburi, memahami, dan mengamalkannya-, dan meperbanyak meneliti dan menekuni kitab-kitab salafush sholih, dijadikannya sebagai sandaran ilmu.

0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------