ASSABIL ILA LUZMIL JAMA`AH (1)
السبيل إلى لزوم الجماعة
Cara Masuk & Komitmen Kepada Jama`ah
(Bagian dari Kitab Wujub Luzumu al- Jama`ah wa Tarku at-Tafarruq)
Karya Syaikh JAMAL BIN AHMAD BIN BASYIR BADY
Rosail wa Dirosat fi Manhaj Ahlis sunnah, seri 9
Daar al Wathan Lin Nasyr, Riyadl, Cetakan I, Rabi`ul Awwal,
Th. 1412 H ; Hal. 268 - 356
Alih Bahasa : ABU FAHMI AHMAD
Ma`had Imam Bukhari Jatinangor
JALAN MENUJU LUZUMUL JAMA’AH
DAFTAR ISI
Pengantar kata
Pasal pertama :
Meluruskan i’tiqad dan kembali kepada Aqidah Salafush Sholih
Bahasan 1 : Maksud dari Salafush Sholih
Bahasan 2 : Dalil-dalil yang mewajibkan mengikuti salafush sholih dan menetapi madzhab mereka
Bahasan 3 : Perhatian dan dorongan ulama terhadap aqidah Salafush sholih
Bahasan 4 : Manhaj Ahlus sunnah wal Jama’ah di dalam Aqidah
Bahasan 5 : Ciri-ciri dan keistimewaan-keistimewaan aqidah Salafush sholih
Bahasan 6 : Ciri-ciri Ahlus sunnah wal Jama’ah dan keistimewaan mereka
Bahasan 7 : Definisi Aqidah Ahlus sunnah wal Jama’ah
Bahasan 8 : Ulama-ulama yang kembali kepada aqidah Salafush sholih
Pasal kedua : Bertahkim kepada Kitabullah dan Sunnah rasulNya saw
Bahasan 1 : Dalil-dalil dari Al Qur’an
Bahasan 2 : Dalil-dalil dari sunnah an Nabawiyyah
Bahasan 3 : Sunnah termasuk bagian dari wahyu
Bahasan 4 : Dalil-dalil dari perkataan-perkataan Salafush sholih
Pasal ketiga : Ikhlas dan penyerahan total dalam berittiba’
Bahasan I : Dalil-dalil dari Al Qur’an
Bahasan 2 : Dalil-dalil dari sunnah an Nabawiyyah
Bahasan 3 : Dalil-dalil dari perkataan-perkataan Salafush sholih
Pasal keempat : Menuntut ilmu syari’at dan tafaqquh fid dien
Bahasan 1 : Keterangan akan keutamaan ilmu dan perhatian terhadapnya
Bahasan 2 : Keterangan bahwa yang dimaksud dengan ilmu yang terkandung di dalam ayat-ayat dan hadits-hadits adalah ilmu syari’at
Bahasan 3 : Pembagian ilmu kepada dua bagian, yaitu yang mengandung manfa’at dan yang tidak bermanfa’at
Bahasan 4 : Pembagian ilmu kepada yang wajib ‘aini dan wajib kifayah
Bahasan 5 : Ikhlas dan tajarrud dalam menuntut ilmu
Bahasan 6 : Ilmu menuntut adanya amalan
Bahasan 7 : Kelebihan ilmu salaf dari ilmu khalaf
Pasal kelima : Mencari kebenaran, mengikuti dalil dan komitmen dengan kebenaran itu
Bahasan 1 : Wajibnya ittiba’ kepada kebenaran dan besar bahayanya untuk menolaknya, tiada mau menerimanya
Bahasan 2 : Dalil-dalil syar’i yang mewajibkan ittiba’ kepada kebenaran
Bahasan 3 : Sebagian cara yang menetukan sampainya kepada kebenaran
Khatimah
Pasal Petrtama
PELURUSAN AQIDAH-AQIDAH DAN KEMBALI KEPADA
AQIDAH SALAFUSH SHOLEH
Pertama : Maksud dari Salafus sholeh.
Kedua : Dalil-dalil yang mewajibkan mengikuti salafus sholih dan menetapi madzhab mereka.
Ketiga : Perhatian yang sangat dari para ulama tentang aqidah Salafus sholih.
Keempat : Manhaj Ahllu sunnah wal Jama’ah di dalam Aqidah.
Kelima : Ciri-ciri dan keistimewaaan Aqidah Salafus sholih.
Keenam : Definisi Aqidah Ahlu sunnah wal Jama’ah.
Ketujuh : Ciri-ciri Ahlus sunnah wal Jama’ah dan keistimewaan mereka.
Kedelapan : Ulama-ulama yang kembali kepada aqidah Salafus sholih.
Pendahuluan:
Aqidah merupakan “rakizah asasiyah” di dalam agama, dan ia merupakan fondasi yang kokoh, yang diatasnya dibangunlah semua cabang-cabang agama, sekaligus sebagai tiket untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Lurus dan benarnya suatu Aqidah menentukan lurus-nya semua bangunan yang berdiri di atasnya, baik berupa tuntutan-tuntutan maupun perintah-perintah.
Lurusnya aqidah merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan masyarakat muslim yang terikat dan bersatu. Dan tidak ada jalan menuju persatuan ummat Islam, termasuk kesatuan barisannya maupun kejayaannya di dunia dan di akherat, kecuali kembali secara benar kepada Islam yang murni lagi bersih dari cacat, yang terlepas total dari cela-cela syirik, bid’ah dan pengaruh hawa nafsu.
Hal ini dituntut bagi setiap muslim agar ia menjauhkan dari madzhab-madzhab dan manhaj-manhaj yang baru (hasil rekaan manusia) yang bertentangan dengan yang dipegangi oleh salafus sholih. Dan hendaknya setiap muslim benar-benar memperhatikan madzhab Salafus sholih, aqidah mereka maupun manhaj mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Jika orang-orang yang memiliki kecerdasan dan kelebihan memperhatikan seksama tentang perkara-perkara ini (maksudnya ikhtilaf Ahlu bid’ah tentang masalah- aqidah) akan jelas baginya bahwa madzhab Salafus sholih dan para Imam benar-benar teruji lurus dan ketepatannya, kebenaran dan keteraturannya. Dan bahwa ia itu sesuai dengan tuntutan akal yang sorih dan naqal yang sohih. Dan bagi siapa saja yang menyelisihi, ia akan menyertainya dengan perkataannya yang saling berlawanan, yang dusta oleh orang yang lemah akal, yang keluar dari tuntutan akal dan pendengaran (dalil wahyu), dan bertentangan dengan fitrah dan pendengaran” (Lihat Majmu’ Fatawa : 5/212-213).
Berkata Dr. Mustafa Hilmi :
“Jika kaum muslimin benar-benar ingin bangkit, maka tak ada jalan lain bagi mereka kecuali melalui “kesatuan jama’ah” mereka, dan kesatuan jama’ah tidak bisa melalui jalan lain kecuali kembali kepada Islam yang shohih, dan Islam yang shohih itu adalah yang bersandarkan kepada Kitabullah dan As Sunnah, dan inilah sasaran inti kaum Salafy”. (lihat Qowai’id al Manhaj as Salafy, hal. 13).
Dan berkata pula Dr. Solih bin Sa’ad As Sahimy, sebagai filter penting dalam segi aqidah dan ketegasannya dalam peranannya di dalam masyarakat Muslim: adalah yang harus dilakukan pertama sekali, dan sebagai central esensial yang di atasnya berdiri bangunan yang berdiri “Masyarakat Islami”, dan yang mana barisan kaum muslimin berlindung di bawah benderanya. Dari sinilah mereka mengilhami jalan persatuan mereka, dan di atas sorotan cahaya-nya mereka menyinari jalan mereka menuju puncak ketinggiaannya dan kemuliannya.
Dan dengan petunjuknya dan prinsip-prinsip nilai yang ditegakkannya mereka membuka hati mereka lebih dahulu sebelum membuka kawasan dan penjutu bumi. (Lihat Manhajus Salaf fil Aqidah wa Atsaruhu fi Wihdatil Muslimin, hal. 4).
POKOK BAHASAN PERTAMA:
PENGERTIAN SALAF ASH-SHALIH
Makna Salaf menurut bahasa :
Berkata Ibnu Raris : As Sin wal Laam wal Faa’ adalah pokok yang menunjukkan kepada yang mendahului dan telah lewat. Dari sinilah maka salaf adalah orang-orang yang telah lalu, dan golongan Salaf adalah mereka yang mendahului (waktunya) dari kita” (Mu’jam maqayyis Al Lughoh, istilah salaf, 3/95).
Makna salaf menurut istilah:
“Terjadi perbedaaan di antara para pembahas tentang istilah ini, banyak orang (pakar agama) yang mendefinisikan salaf menurut istilah ini, namun yang terpenting adalah empat :
1. Sebagian ulama berpendapat dengan membatasi madzab salaf dengan masa tertentu yang tak dapat diperkirakan panjang masanya itu, lalu mereka mengakui bahwa fikrah Islami telah mengalami evolusi setelah itu menurut kwalitas orang (ulama) nya.
2. Sebagian lain berpendapat bahwa salaf adalah orang-orang yang berpegangan kepada nash-nash semata, dan mereka itu tidak mena’wilkan sesuatu pun menurut akal mereka. Dan kemudian berikutnya, mereka itu pasrah total kepada nash-nash tanpa memahami selama ada dalil yang menunjukkannnya, dan mereka menyerahkan sepenuhnya maknanya itu kepada Allah Ta’ala, dan bahwa mereka itu sibuk bekerja dengan sesuatu yang mereka anggap paling manfa’at dari berbagai macam peribadatan dan pendekatan diri kepada Allah.
3. Sekelompok ulama yang menyatakan bahwa apa saja yang dilahirkan dari studi-studi akal pikir di dalam ilmu kalam, lahir dari madzhab salaf itu sendiri, bukan karena sebab pengaruh extern.
4. Sebagian lagi menyatakan pendapatnya bahwa madzhab salaf meliputi berbagai aspek dan aliran. Dan aliran-aliran itu sekalipun jelas dalam manhaj, namun bahwa ia itu padanya dijumpai bahwa ia berdiri dan lahir di atas tangan ulama-ulama Islam.
Penganut pendapat ini telah keliru dalam membatasi maksud dari salaf. Ini bisa terjadi mereka melihatnya kepada masalah yang dibangun di atas prinsip manhajiyyah yang tidak benar, dan mereka tidak berbicara dari kacamata syar’i yang jelas.
Dan untuk agar kita sampai kepada pemahaman yang benar tentang batasan pengertian istilah salaf, maka haruslah kita mengungkap berbagai perkara penting dalam masalah ini, yaitu:
Perkara pertama :
Mengetahui batasan yang bersifat zaman dalam menerangkan mulainya lahir madzhab salaf, yang di dalamnya terdapat perkataaan-perkataaan yang dapat menerangkan, ada empat perkataan.( Lihat Wasathiyyah Ahlu sunnah bainal firaqi, Dr, Muhammad Bakarim, hal. 92-94).
Maka diantara ulama-ulama ada yang membatasi salaf itu kepada sahabat ra saja. Ada pula sebagian ulama yang membatasi pada sahabat dan tabi’in. ada juga yang mengatakan : mereka (salaf) itu adalah para shahabat, tabi’in dan tabi’it Tabi’in. adapula yang megatakan bahwa kaum salaf itu adalah generasi ummat yang hidup sebelum 500 tahun.
Pernyataan yang benar dan masyhur yang diikuti oleh jumhur ulama Ahlus sunnah adalah pernyataaan yang ketiga, yang mengartikan salaf itu dikaitkan dengan zaman, tiga generasi yang dianggap baik yang mana Rasululloh saw membenarkan dengan sebutan “generasi pilihan (terbaik)”.
Perkara kedua :
Bahwa pembatasan pada zaman tidaklah cukup dalam menentukan batasan “salaf” sebab dia memperhatikan bahwa kebanyakan dari firqoh dan bid’ah-bid’ah muncul pada masa fitrah tersebut.
Oleh karena itu maka adanya seseorang yang hidup di zaman itu tidaklah cukup untuk menentukan bahwasanya ia itu mengikuti madzhab salaf, selama ia tidak mensepakati Kitabullah dan Sunnah, baik dalam perkataannya maupun perbuatannya, mengikuti dan bukan melakukan bid’ah. (Idem, hal. 95-96; lihat juga Mauqif Ibnu Taimiyyah minal ‘Asya’iroh, oleh Dr. Abdurrahman Mahmud, 1/27).
Oleh karena itu kita perhatikan bahwa kebanyakan ulama menguatkan istilah tesebut ketika mempergunakannya, maka ia berkata: salafush sholih, sekalipun mungkin saja istilah itu hanya dipakai oleh ulama, berkata Dr, Abul Yazid Al ‘Ajamy: “Dan dengan istilah inilah lafazh salaf ketika berdiri sendiri wajib ditashrifkan bukan kepada zaman yang mendahuluinya semata, bahkan kepada shahabat Rasululloh saw, orang-orang yang mengikuti mereka, dan yang sesudah mereka, dengan syarat harus iltizam (komit) terhadap manhaj mereka” (Makalahnya berjudul : Ihtimam Ulama’l muslimin bi ‘aqidah ‘l salaf).
Perkara ketiga :
Bahwasanya setelah munculnya firqah-firqah dan berbagai iftiraq, menjadilah sebutan “salaf” diterapkan pada orang yang memelihara keselamatan aqidah dan manhaj Islami sejalan dengan pemahaman generasi pertama yang mulia. (Lihat Mauqif Ibnu Taimiyyah min ‘Asya’irah, Dr. Abdurrahman Mahmud, 1/28).
Dan sebagian ulama mengistilahkan lafazh itu sebagai sinonim untuk penamaan lain dari istilah Ahlus sunnah wal Jama’ah. Ahlul Hadits, Ahlul Atsar jama’atul Muslimin, Firqotun Najiyyah, dan Thaifah al Manshurah; (Lihat buku “Qawa’idul Manhaj al Salafy, Dr. Mustafa Hilmi, hal. 23-31).
POKOK BAHASA KEDUA
I. Dalil dari kitabullah Al-Qur’anul karim :
Allah berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatanyagn telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”(An Nisa’ : 115).
Firman-Nya lagi:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridlo kepada mereka dan mereka pun ridlo kepada Allah” (At- Taubah:100).
Maka jelas Allah telah mengancam bagi orang yang mengikuti selain jalan mereka (salafus sholih) dengan azab yang pedih, dan Ia berjanji memberikan syurga kepada orang yang mengikuti mereka.
II. Dalil dari Sunnah;
Dari Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
خير الناس قرني , ثم الذين يلونهم , ثم الذين يلونهم , ثم يجيء قوم تسبق شهادة أحدهم يمينه , ويمينه شهادته (متفق عليه)
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya yang mengikuti mereka, dan lalu generasi berikutnya lagi yang mengikuti mereka, kemudian datang satu kaum yang kesaksian salah seorang mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya. (HR. Mutafaq ‘alaihi, dikeluarkan oleh Bukhori 5/199, 7/6, dan 11/460: Muslim 7/184-185).
Jelaslah Rasulullah saw sendiri membenarkan mereka, dengan panggilan sebagai generasi pilihan, terbaik dan mempunyai kelebihan dan keutamaan.
Dalam hadits ‘Irbaadl bin Sariyah , berkata Nabi saw:
فإنه من يعش بعدي فسيري اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي , فتمسكوا بها وعضّوا عليها بالنواجذ , وإياكم ومحدثات الأمور فإن كلّ محدثة بدعة وكلّ بدعة ضلالة (أحمد , أبو داود , الترمذي , والدارمي, والبغوي , والحاكم , وصححه الشيخ الألباني )
“Maka sesungguhnya orang setelahku, maka akan menjalani hidup penuh dengan ikhitilaf, oleh karenanya berpeganglah kamu dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Maka berpegangteguhlah kamu dengannya dan gigitlah kuat-kuat, waspadalah kamu dari perkara-perkara baru yang dibuat-buat, sebab setiap perkara yang baru (tak ada contohnya) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Ahmad, 4/126-127, Abu Daud, Turmudzi, Ad Darimi, Al Hakim, dan Al Baghowi di dalam “Syarah sunnah” 1/205, dishohihkan oleh Adz Dzahabi, dan dishohihkan pula oleh Al Bani).
Maka Nabi saw telah memberitakan ummatnya, seyogyanya mengikuti sunnahnya dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin, dan itu manakala terjadi ikhtilaf dan tafarruq.
Sebagaimana disebutkan tentang mensifati Firqoh Najiyyah di dalam hadits Iftiraq, yang mana Nabi saw bersabda: “Mengikuti apa yang kulakukan dan shahabatku”. Mak jelas bahwa orang yang mengikuti mereka menjadi golongan yang selamat (Al Firqatun Najiyah. Dan orang yang menyalahi (menentang) mereka menjadi Ahlil Wa’iid (golongan yang patut mendapat ancaman/siksaan).
III. Dalil berupa perkatan-perkaan salafush sholeh:
Dari Abdullah bin Mas’ud ra:
اتّبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم
“Ikutilah (salafus sholeh) dan janganlah melakukan bid’ah, maka cukuplah bagimu” (Dikeluarkan oleh Waki’ di dalam Az Zuhud, dan Imam Ahmad 2/110, Thabrani di dalam Al Kabir, 9/168, Ad Darimi, 211, Ibnu Wadlah, 13).
Abdullah bin Mas’ud juga berkata:
Sesungguhnya kami (hanyalah) mengikuti jejak (salaf) dan bukannya mengada-adakan yang baru. Dan kami mengikuti (mereka) dan bukannya melakukan bid’ah (menciptakan hal baru), dan sekali-kali kami tidak akan sesat selama kami berpegangn teguh kepada atsar” (Dikeluarkan Al Lalika’i di dalam “Syarah Ushul i’tiqad Ahlu sunnah wal jama’ah”, hadits 115-116).
Dalam kesempatan lain, ia juga berkata:
“Barangsiapa di antara kalian ingin meneladani, maka jadikanlah shahabat ra sebagai teladan (uswah, sebab mereka itu orang-orang yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling lurus petunjuknya, dan hidup pada kondisi terbaik. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah SWT untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan din-Nya. Maka sepatutnya kamu mengenali keutamaan mereka dan mengikuti atsar mereka, sebab mereka itu selalu berada di atas petunjuk yang lurus” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr, di dalam “Jami’ Bayan ‘l ilmi wa fadlilihi”,9702; kalimat senada juga dikeluarkan oleh Hasan al Bashri).
Dan berkata pula Al ‘Auza’i:
إصبرنفسك علي السنة , وقف حيث وقف القوم , وقل بما قالوا , وكف عما كفوا عنه ,
واسلك سبيل سلفك الصالح فإنه يسعك ماوسعهم
“Bersabarlah (dan berketetapanlah) kamu (mengikuti) sunnah, bersikaplah (dalam memeganginya) manakala kaum (salaf) itu mensikapinya, dan katakanlah dengan apa yang mereka katakan, dan hendaklah anda merasa cukup dengan apa yang mereka cukupkan, dan hendaklah kamu menempuh jalan para pendahulumu (salaf) yang sholih, maka berupayalah sebagaimana mereka berupaya” (Dikeluarkan oleh Ajry dalam “Asy Syari’ah, hal. 58; dan Al Khathib di dalam “Syarah Ashhabul Hadits, hal. 7).
Ketika Abu Hanifah ditanya oleh seseorang, tentang perkataan yang model mana yang dijadikan orang untuk menyampaikan pendapat yang paling menyimpang ? Maka ia menjawab: “pernyataan-pernyataan Ahli Filsafat”. Hendaklah kamu mengikuti Atsar dan jalan yang ditempuh salaf (pendahulu ummat yang sholih), dan hati-hatilah kamu dengan perkataan/perbuatan yang mengada-ada, sebab setiap yang diada-adakan (yang asalnya tak ada sama sekali dalam agama) adalah bid’ah”(Lihat Shaunul Mantiq wal Kalam, oleh Imam Suyuti, halaman 32).
POKOK BAHASAN KETIGA
Para ulama ketika mengkodifikasikan Aqidah Salaf hanyalah melakukannya dengan jalan meneliti dan menghimpun sanad-sanad, dan dalam hal ini mereka menyebut lafazh-lafazh mereka dengan sanad-sanad yang mu’tabarah.
Berkata Ibnu Taimiyyah:
“Telah kita maklumi bahwa madzhab salaf, jika ada naqal yang diketahui dari mereka maka kembalikanlah hal itu kepada atsar yang dinukil dari mereka. Dan jika diketahui melalui dalil-dalil semata, seyogyanya menjadikan setiap orang yang mengeluarkan pendapat tentang suatu pernyataan yang menurutnya benar, ia berkata: Ini perkataan salaf, sebab salaf tidak mengatakan kecuali hal yang benar. Maka inilah yang pelaku bid’ah berani mengakui setiap mereka itu: Mengikuti madzhab salaf. Maka orang yang mengatakan perkataan itu telah membuka aib dirinya sendiri, manakala ia menganut madzhab salaf tanpa mau menukil dari mereka, bahkan mendakwakan perkataanya: benar”.
Adapun ahlul hadits: Maka mereka itu hanyalah menyebut madzhab salaf dengan naqal-naqal yang mutawatir, menyebutkan ulama mereka yang menukil madzhab mereka. Dan kadang-kadang mereka meriwayatkan sendiri perkataan mereka tentang perkara ini, sebagaimana kami tempuh dalam menjawab fatwa yang diminta. Maka kami ketika hendak menerangkan madzhab salaf, kami menyebutkan dua jalan:
Pertama:Kami menyebutkan orang yang menukil madzhab salaf dari seluruh kelompok muslimin, dari kelompok fuqaha yang empat, dan dari ahlil hadits dan tashawuf, dan ahlul kalam, seperti Asy’ari dan lainnya.
Kedua : Kami menyebutkan apa yang mudah dari sebutan alfazh (lafadz) mereka, dan orang yang meriwayatkan tentang itu dari golongan ahlul ilmi dengan sanad-sanad yang mu’tabarah.
Maka jadilah madzhab salaf itu adalah madzhab yang dinukil dengan ijmak banyak kelompok dan denngan riwayat-riwayat mutawatir. Tidak menetapkannya semata-mata berdasarkan perngakuan kebenaran kami dan salah bagi yang melawan (menentang) kami, sebagaimana dilakukan oleh ahli bid’ah. (Majmu’ Fatawa: 4/151-152).
Dan kami memperhatikan bahwa pengkodifikasian aqidah salafiyyah benar-benar mengikuti penyusunan sunnah nabawiyyah, benar-benar sama. Lantas, orang yang memperhatikan sunnah dan menyusunnya, mereka itu adalah orang pertama yang sangat memperhatikan aqidah dan penyusunannya. Kebanyakan orang yang mengikuti imam-imam fiqh yang empat, mereka itu tidak menggerakkan untuk mendahului garis finis ini terhadap imam-imam mereka, dan bahwa orang yang menukil dari sebagian mereka dari perkataaan-perkataan mereka, atau Aqidah Ahlu sunnah wal Jama’ah.
Maka Imam Malik (179 H) mendokumentasikan dua bab di dalam Kitab “Al Jami’” sebagai koreksinya atas paham Qadar (pertama: Dilarang berkata dengan perkataan Qadariyyah; kedua: Jaami’ maa Jaa fi ahlil qadar), keduanya menunjukkan kepada bantahannya terhadap paham Qadariyyah.
Imam Abu Hanifah mempunyai dua kitab aqidah, keduanya: Fiqhul Akhbar dan Washiyyah, telah dinukil dari Imam Syafi’i (204 H) banyak pernyataan yang membela aqidah Ahlu sunnah wal Jama’ah, dan bantahannya terhadap ahlul bid’ah dan Ahwa’. Seperti Ahli Kalam dan sejenisnya.
Adapun kitab-kitab yang ditulis oleh Imam-imam empat yang tak lain merupakan pembelaan terhadap Aqidah Ahlu sunnah wal Jama’ah, dalam rangka mempertahankannya, memikul berbagai ujian dan cobaan dalam menempuh jalan tersebut, maka dia-lah Imam Ahmad bin Hambal (241 H) yang mempunyai sejumlah judul kitab khusus tentang Aqidah, sampai himpunan tulisan haditsnya yang tertuang di dalam kitab “ Musnad-nya”. Dan kitab-kitab beliau yang terpenting adalah: 1.As Sunnah, 2.Al Imam, 3.Bantahan terhadap Zindiq dan Jahmiyyah, 4.Keutamaan-keutamaan shahabat.
Sebagaimana halnya beliau juga mempunyai (himpunan) perkara aqidah yang ditulis kemudian oleh murid-muridnya (seperti Kitab disertasi Dr. Abdul Ilah bin Salman Al Ahmady “Al Masail war Risalah al marwiyyah ‘anil Imam Ahmad bin Hambal”).
Kemudian datanglah periode Imam-imam hadits lain yang menyusun (membukukan) sunnah nabawiyyah, dan di dalam mukaddimah mereka, Imam Bukhori (wafat 259 H), yang mana ia secara khusus mengelompokkan di dalam hadits-hadits shohihnya satu bab sebagai bukti begitu besar perhatiannya terhadap aqidah, Kitabul Iman, Kitab Al I’tishom Bil Kitab was sunnah, dan Kitab Al Tauhid.
Sebagaimana juga ia mempunyai kitab-kitab lain, sebagai bukti pengistimewaannya dalam menerangkan aqidah shohih, dan membantah penentangnya. Kitab-kitab tersebut yang terpenting:
1. Al I’tisham bil Kitab was sunnah
2. Khuluq af’al ‘l ‘Ibad
Kemudian datang pula periode Imam Muslim ( 261 H), yang mengkhususkan bab dari beberapa bab lainnya, dalam rangka menyatakan aqidah shohih, dan membantah yang menentangnya. Diantaranya: Kitab Al Iman, Kitab Al Qadar. Demikian juga yang dilakukan oleh Imam Turmudzi (279 H).
Adapun Imam Ibnu Majah (273 H), ia membuka kitab “Sunan-nya” dengan pendahuluan yang menunjukkan bantahan terhadap orang yang menentangn sunnah dan aqidah salafus sholih.
Begitu pula Imam Abu Daud melakukan hal serupa, dimana ia menjadikan bab terakhir kitab “sunan-nya” satu bab yang dinamainya: “Kitabus sunnah”, yang didalamnya juga membantah terhadap ahli bid’ah berikut kelompok dan firqah-firqah meraka yang bermacam-macam.
Perhatian besar para ulama hadits dan sunnah terhadap aqidah Ahlu sunnah (salafus sholih), dan bantahannya terhadap yang menentangnya, menyusun dan menghimpun kumpulan-kumpulan hadits adalah merupakan pekerjaan mereka yang menonjol. Seperti Ad Darimy (255 H) di permulaan “sunan-nya”, Abdurrazaq bin Hammam Ash Shan’ani (211 H) di dalam “Mushannif-nya”, Ibnu Abi Syaibah (235 H) di dalam “mushannif-nya” juga, dimana ia mempunyai kitab tersendiri yang dinamainya “Al Iman”.
Adapun kitab-kitab khusus yang dihimpun berkenaan dengan aqidah Ahlu sunnah wal Jama’ah, dan bantahan terhadap yang menentangnya sangat banyak. Hampir-hampir tak pernah kosong di setiap masa selalu ada seorang ‘alim dari kalangan ulama yang secara tersendiri menyusun kitab tentang aqidah dan bantahan terhadap penentangnya, dimulai dari generasi yang mulia (para shahabat) hingga hari ini.
Akan aku sebutkan ulama-ulama termasyhur yang menyusun kitab tentang perkara ini himgga akhir abad keempat hijriyyah, bukan bermaksud untuk melebih-lebihkan dan membatasi. Maksud yang dikehendaki hanyalah sekedar mengambil contoh-contoh tentang bagaimana perhatian ulama-ulama terhadap aqidah Ahlu sunnah wal Jama’ah, Aqidah salafus sholih dan dalam mengkondifikasikannya.
Berikut ini saya sebutkan nama-nama ulama dan nama-nama kitab yang ditulis mereka tentang perkara ini:
1. Muhammad bin Yahya Al ‘Adny (wafat 243 H), ia menulis kitab “A Iman”.
2. Abu Bakar bin Atsram (272 H), ia mempunyai kitab As Sunnah.
3. Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (276 H), ia mempunyai kitab-kitab:
i. Al Ikhtilaf fi ‘l Lafazh war Radd ‘ala ‘l Jahmiyyah
ii. Ta’wil ‘l Musykil ‘l Qur’an
iii. Ta’wil ‘l Mukhtalif ‘l Hadits
4. ‘Utsman bin Sa’id Ad Darimy (290 H), ia memiliki dua kitab:
i. Ar Radd ‘ala ‘l Jahmiyyah (telah dicetak)
ii. Ar Radd ‘ala ‘bisyri Al Murisy (telah dicetak)
5. Ibnu Abi ‘Ashim (287 H), ia menulis kitab As Sunnah. (telah dicetak).
6. Abdullah ibnu Imam Ahmad bin Hambal (290 H), ia memiliki kitab “As-Sunnah”. (telah dicetak).
7. Muhammad bin Nashr al Maruzi (294 H), ia menulis dua kitab:
i. As sunnah (telah dicetak)
ii. Ta’zhim Qadr ash Shalah, di dalamnya terdapat masalah-masalah yang berkaitan dengan iman dan bantahan terhadap sebagian firqah-firqah yang menyimpang (telah dicetak)
8. Imam Ath Thabari (310 H), ia memiliki kitab:
i. Shorih as sunnah (telah dicetak)
ii. Tahdziib al Atsar (telah dicetak)
iii. At Tabshir Fi ushuluddin
9. Al Khilal (wafat 311 H), ia memiliki kitab “As Sunnah”.
10. Ibnu Khuzaimah (311 H), ia memiliki kitab At Tauhid wa Itsbat Shifaatir Rabb ‘Azza wa Jalla.
11. Imam Ath Thahawy (321 H), ia memiliki kitab “Al Aqidah Ath Thahawiyyah”, yang telah disyarah oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy (792 H), yang telah dicetak ulang berkali-kali.
12. Abul Hasan Al Asy’ari (324 H), ia memiliki kitab-kitab:
i. Al Ibanah ‘an Ushulid Diayanah (telah dicetak)
ii. Risalah ilaa Ahli ‘l Tsaqhar
iii. Maqaalat Al Islamiyyin (telah dicetak)
13. Abdurahman bin Abi hatim (327 H), ia memiliki dua kitab:
i. Ashlus sunnah wa I’tiqadud Dien
ii. Ar Radd ‘ala ‘l Jahmiyyah
14. Al Hasan bin Ali Al Barbahary (329 H). ia menulis kitab “As Sunnah”.
15. Abu Bakar Muhammad bin Al Husain Al Ajary (360 H). ia menulis dua buah kitab:
i. Asy Syari’ah
ii. At Tashdiq bin Nazhar ilaa ‘llah Ta’ala
16. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Ja’far bin Hayyan al Asfahani (wafat 369 H), ia memiliki kitab “Al ‘Azhamah”.
17. Al Imam Daruquthny (385 H), ia memiliki beberapa kitab:
i. Kitab Ash Shifat
ii. Ahadits an Nuzuul
iii. Fadhailu ‘l Shahabat
iv. Ar Radd ‘alaa Nufaati ‘l ru’yah
18. Imam ‘Ubaidillah bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdan bin Bathtah Al ‘Akhbary (387 H), ia memiliki beberapa kitab:
i. Al Ibanah Ash Shughraa
ii. Al Ibanah Al Kubra
19. Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Yahya bin Mundah (395 H), ia memiliki beberapa kitab:
i. Ar Raddu ‘ala ‘l Jahmiyyah
ii. Al Iman
iii. At Tauhid
iv. Ma’rifah ash shahabat
20. Ibnu Abi Zamanin (399 H), ia memiliki kitab “Ushul As Sunnah”.
21. Abul Qosim Hibatullah bin Al Hasan bin Manshur Ath Thabary Al Lalakai (418 H), ia memiliki kitab “Syarah ushul I’tiqad Ahlu sunnah wal Jama’ah”.

0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------