Apa
Hukum Walimah Haji?
Apakah hukumnya merayakan haji setelah kembali dan
menghias rumah untuknya dan mengucapkan kepadanya “hajjan mabruran”
(semoga menjadi haji yang mabrur) dan membuat pesta khusus untuk peristiwa
tersebut? Apakah hal itu termasuk perkara bid’ah yang baru mohon disertai
dalilnya?
Jawaban:
Alhamdulillah,
Pertama: tidak ada satupun riwayat dalam sunah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengenai menghias rumah dengan pepohonan dan lampu-lampu
untuk menyambut kedatangan haji, maupun perbuatan para shahabat radhiyallahu
anhum, dan sebagian ulama kontemporer telah mengeluarkan fatwa tidak bolehnya
perbuatan ini, dan mereka menyebutkan beberapa alasan dalam pelarangannya,
diantaranya:
1- Bahwa perbuatan ini tidak pernah ada riwayatnya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat, maka termasuk perkara
bid’ah.
2- Bahwa perbuatan itu menyerupai riya’.
3- Bahwa itu termasuk perbuatan israf (membuang
harta).
Yang nampak bagi kami setelah direnungkan: bahwa
perbuatan ini boleh dilakukan, dan dalil-dalil yang disebutkan oleh para ulama
yang mulia tersebut tidak kuat untuk mengharamkan penghiasan rumah bagi
kedatangan haji, apa yang mereka katakan bisa dibantah dari beberapa sisi:
Yang pertama:
bahwa perbuatan ini termasuk adat kebiasaan, bukan termasuk ibadah, oleh
karenanya: maka tidak alasan untuk melarangnya dengan hujah tidak pernah
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat,
karena sebagaimana dimaklumi bahwa asal dari kebiasaan: adalah halal dan mubah,
dan yang melarangnya harus mendatangkan dalilnya.
Yang kedua:
bahwa kebanyakan hiasan yang dipakai hanya sedikit dan tidak memerlukan banyak
biaya, dan apa yang kami lihat mereka meletakkan beberapa bagian dari pohon
yang hijau dan memasang kayu yang biasanya adalah mereka miliki, dan kami tidak
melihat ada toko yang khusus menjual benda-benda ini, menunjukkan bahwa hal itu
tidak membebani biaya besar sehingga mereka dilarang melakukannya, benar bisa
saja dikatakan ini terjadi bagi sebagian orang kaya, tetapi hal inipun dapat
dibantah bahwa mereka mempunyai uang sehingga perbuatan mereka tidak masuk
dalam katagori israf.
Yang ketiga: bahwa
hal itu tidak mesti menunjukkan riya’, karena haji bukan termasuk ibadah yang
tersembunyi sehingga dikuatirkan riya’ ketika menampakkannya, bahkan riya’ akan
menyusup ketika seseorang menampakkan kemiskinan dan meninggalkan perhiasan,
sebagaimana bisa meyusup ketika dia menampakkan hiasan dan kegembiraan dengan
kedatangan haji, jadi tergantung niat pelaku dan perbuatan hatinya.
Maka nampak bahwa penghiasan ini termasuk dalam adat
kebiasaan, dan asalnya adalah mubah, dan yang mengharamkannya tidak memiliki
hujah kuat menghadapi pendapat yang membolehkan.
Kedua: adapun
perayaan untuk yang kembali dari haji dan membuatkan makanan untuknya: yang
nampak – juga – boleh, bahkan seandainya yang datang dari haji membuat makanan
untuk dirinya dan mengundang orang untuk menghadirinya maka itu boleh: maka
bagaimana tidak dikatakan boleh jika mereka membuatkan makanan untuknya?!
Dan telah diriwayatkan dengan shahih dalam sunah Nabi
bahwa shahabat merayakan kedatangan musafir, baik itu safar dari haji, umrah,
berdagang atau yang lainnya.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ : لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم مَكَّةَ – أي : في فتحها - اسْتَقْبَلَتْهُ أُغَيْلِمَةُ بَنِي عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ ، فَحَمَلَ وَاحِداً بَيْنَ يَدَيْهِ وَآخَرَ خَلْفَهُ .رواه البخاري ( 1704 ) في كتاب العمرة , وبوَّب عليه : باب
استقبال الحاج القادمين ، والثلاثة على الدابة .
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: (Tatkala
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memasuki Makkah – yakni saat Fathu Makkah –
anak-anak Bani Abdul Muththalib menyambutnya, dan beliau menggendong satu
didepannya dan satu lagi dibelakangnya) HR Al-Bukhari (1704) dalam Kitabul
Umrah, dan beliau mengkhususkan dalam bab: Bab menyambut jamaah haji yang
datang, dan memboncengkan tiga orang diatas kendaraan.
وقَالَ
ابْنُ الزُّبَيْرِ لِابْنِ جَعْفَرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ : أَتَذْكُرُ إِذْ تَلَقَّيْنَا رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَأَنْتَ وَابْنُ عَبَّاسٍ ؟
قَالَ : نَعَمْ ، فَحَمَلَنَا وَتَرَكَكَ . رواه البخاري ( 2916
Ibnu Zubair berkata kepada Ibnu Ja’far radhiyallahu
anhum: (apakah kamu ingat ketika kita menyambut Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saya, kamu dan Ibnu Abbas? Dia menjawab: ya, beliau
menggendongku dan meninggalkanmu). HR Al-Bukhari (2916).
وعن عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا .
قَالَ : فَتُلُقِّيَ
بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ . قَالَ : فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ
وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ . رواه مسلم 2428
Dan dari Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam datang dari safar disambut oleh kami. Dia berkata:
beliau disambut olehku dan Hasan atau Husain. Dia berkata: lalu beliau
menggendong salah satu dari kami didepan dan yang lain dibelakang sampai
memasuki Madinah. HR Muslim (2428).
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
Disunahkan An-Naqi’ah, yaitu makanan
yang dibuat untuk menyambut kedatangan musafir, dan ditujukan kepada makanan
yang dibuat oleh musafir yang datang, atau yang dibuat orang lain untuknya,…..
termasuk yang dijadikan dalil dalam hal itu: hadits Jabir radhiyallahu anhu:
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sampai di Madinah dari
safar beliau menyembelih unta atau sapi” HR Al-Bukhari. (Al-Majmu’: 4/400).
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya:
Ada phenomena yang tersebar di pedesaan khususnya setelah
kembalinya para haji dari Makkah. Syeikh:
Tahun ini?
Penanya:
kira-kira setiap tahun, mereka membuat walimah yang dinamakan “sembelihan untuk
para haji” atau “kegembiraan untuk para haji” atau “keselamatan para haji”, dan
terkadang dagingnya dari kurban, atau daging dari sembelihan baru, dan diiringi
semacam hal yang mubadzir, maka apa pendapat anda dari sisi syar’ie, dan dari
sisi social?
Syeikh menjawab:
Ini tidak mengapa, tidak mengapa memuliakan para haji
ketika mereka kembali, karena ini tidak menunjukkan perayaan bagi mereka, dan
mendorong mereka untuk melaksanakan haji, tetapi hal mubadzir yang kamu
isyaratkan dan israf itu yang dilarang, karena israf dilarang, baik itu dalam
kesempatan seperti ini atau yang lainnya, sebagaimana firman Allah Ta’alaa
(surat Al-An’am:141) dan (surat Al-Isra: 27), tetapi jika walimah sesuai dengan
jumlah hadirin atau lebih sedikit: maka ini tidak mengapa dari sisi syar’ie,
dan dari sisi sosial, dan ini barangkali terjadi di desa-desa, adapun di perkoataan
maka hal itu telah punah, dan kami lihat kebanyakan orang pulang dari haji dan
tidak diadakan walimah untuk mereka, tapi di desa kecil barangkali ini ada, dan
tidak mengapa, penduduk pedesaan memiliki sifat mulia, dan setiap orang tidak
ingin mengacuhkan orang lain.
(Perjumpaan Terbuka (154/ pertanyaan no: 12).
Jama’ah haji yang pulang dari tanah suci biasanya
mengadakan acara jamuan makan (walimah) atau sejenisnya
ketika mereka tiba di tanah air. Bagaimana hukum mengadakan acara ini ?
Fatwa 1
Pertanyaan:
يا شيخنا … بارك الله فيكم.. و يوجد عندنا
في الأزمنة المتأخرة عقد الوليمة بمناسبة السفر للحج فهل يمكن أن نعدها من العادات
المباحة؟
Ya Syaikh, di zaman ini banyak orang yang mengadakan
walimah ketika kembali dari safar dalam rangka ibadah haji. Apakah acara ini
termasuk kebiasaan yang dibolehkan?
Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah menjawab:
إذا
أصبح هذا شأنا مستمرا قد يؤاخذ تاركه:فهذا لا يجوز..أما إذا فعل تارة وتارة دون
مثالا ذلك النكير لمن ترك:فأرجو أن لا بأس
Jika acara ini diadakan terus-menerus, atau kadang dicela
orang yang tidak mengadakannya, maka ini tidak diperbolehkan. Namun bila
diadakan kadang-kadang saja dan orang yang tidak melakukannya tidak tercela,
maka mudah-mudahan tidak mengapa.
Fatwa 2
Pertanyaan:
جرت
العادة عندنا أنّ الحاجَّ إذا أراد الذهاب إلى الحجِّ صنع طعامًا ودعا الأقارب
والأحباب والجيران إليه، ويفعل الشيء نفسه عند عودته، وتسمّى هذه الدعوة عندنا
بقولهم: «عشاء الحاجّ»، فنرجو منكم بيانَ حكم صنع هذا الطعام، وبارك الله فيكم
Sudah menjadi kebiasaan, jika seorang ingin pergi haji ia
mengadakan acara makan-makan yang mengundang kerabat, teman, serta tetangga. Ia
juga mengadakan acara yang sama ketika pulang dari haji. Acara ini oleh
masyarakat kami biasa disebut ‘asyaa-ul hajj. Kami
mohon penjelasan dari anda tentang hukum mengadakan acara ini.
Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:
الحمدُ
لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله
وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:
Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat
serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi
alam semesta, juga kepada keluarganya, sahabatnya serta saudaranya seiman
hingga hari kiamat. Amma ba’du.
فالطعامُ
المعدُّ عند قدومِ المسافر يقال له «النقيعة»، وهو مُشتقٌّ من النَّقْعِ -وهو
الغبار- لأنّ المسافر يأتي وعليه غبارُ السفر، وقد صحَّ عن النبيِّ صَلَّى الله
عليه وآله وسَلَّم: «أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ
بَقَرَةً»(١)، والحديثُ يدلّ على مشروعية الدعوة عند القدوم من السفر(٢، وقد بوّب
له البخاري: «باب الطعام عند القدوم، وكان ابنُ عمرَ رضي الله عنهما يُفطِر لمن
يغشاه»(٣)، أي: يغشونه للسلام عليه والتهنئة بالقدوم، قال ابن بطال في الحديث
السابق: «فيه إطعام الإمام والرئيس أصحابَه عند القدوم من السفر، وهو مستحبٌّ عند
السلف، ويسمَّى النقيعة، ونقل عن المهلب أن ابن عمر رضي الله عنهما كان إذا قدم من
سفر أطعم من يأتيه ويفطر معهم، ويترك قضاء رمضان لأنه كان لا يصوم في السفر فإذا
انتهى الطعام ابتدأ قضاء رمضان».
Acara makan-makan ketika datangnya orang yang safar
disebut An Naqi’ah. Istilah An
Naqi’ah dari kata dasar An Naq’u yang artinya
debu. Karena orang yang safar biasanya terkena debu diperjalanan. Terdapat
hadits shahih dari Nabi Shallalahu’alaihi Wasallam:
أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ
جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam datang ke Madinah, beliau menyembelih unta atau sapi betina”
(HR. Bukhari no.2923 bab Ath Tha’am Indal Qudum)
Hadits ini juga menunjukkan bahwa mengundang orang untuk
mendatangi An Naqi’ah itu disyariatkan (Lihat Aunul Ma’bud,
10/211). Imam Al Bukhari membuat judul Bab “Bab jamuan ketika ada musafir yang
datang, Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma biasa menjamu makan orang yang datang
kepadanya” (Fathul Baari, 6/194).
Maksudnya, orang-orang yang mendatangi Ibnu Umar untuk memberi salam dan
menyambut kedatangannya. Ibnu Bathal menjelaskan hadits di atas: “Hadits ini dalil disyariatkannya seorang imam
atau pemimpin memberi jamuan makan bagi kaumnya ketika datang dari safar.
Hukumnya mustahab menurut para salaf. Acara ini
disebut An Naqi’ah. Dinukil riwayat dari Muhallab
bahwa Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma jika beliau datang
dari safar, ia menjamu makan orang yang mendatanginya lalu makan bersama
mereka. Walaupun beliau memiliki hutang puasa Ramadhan karena baru saja safar, beliau tidak mulai membayar
hutang puasa tersebut hingga jamuan makan selesai”.
هذا،
ومذهبُ جمهورِ الصحابة والتابعين وجوبُ الإجابة إلى سائرِ الولائم، وهي على ما
ذكره القاضي عياض والنووي ثمان(٤) منها: «النقيعة»، مع اختلافهم هل الطعام يصنعه
المسافرُ أم يصنعه غيرُه له؟ ومن النصِّ السابقِ والأثرِ يظهر ترجيحُ القولِ
الأَوَّل.
Demikianlah hukumnya. Lalu, madzhab jumhur sahabat dan tabi’in
berpendapat wajibnya memenuhi undangan untuk semua jenis jamuan makan. Al Qadhi
‘Iyadh dan An Nawawi menyebutkan ada 8 jamuan yang wajib didatangi, salah
satunya An Naqi’ah (Lihat Syarah Muslim, 9/171;Tuhfatul
Maudud, 127; Nailul Authar, 6/238).
Namun memang para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang membuat
hidangannya, apakah si musafir ataukah orang yang menyambut dia? Namun
berdasarkan nash hadits di atas dan berdasarkan
atsar,
nampaknya pendapat yang rajih adalah pendapat
pertama.
أمَّا
إعدادُ الطعام قبل السفر فلا يُعلم دخوله تحت تَعداد الولائم المشروعة؛ لأنها
وليمة ارتبطت بالحجّ وأضيفت إليه، و«كُلُّ مَا أُضِيفَ إِلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ
يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ يُصَحِّحُهُ».
Adapun mengenai jamuan makan sebelum berangkat haji, aku
tidak mengetahui bahwa ini adalah jamuan yang disyariatkan. Karena hal ini
dikait-kaitkan dengan haji dan kaidah mengatakan “segala
sesuatu yang dikaitkan dengan sebuah hukum syar’i, butuh dalil untuk
membenarkannya“.
Pertanyaan:
ظاهرة
تنتشر في القرى خاصة بعد عودة الحجاج من مكة يعملون ولائم يسمونها ” ذبيحة للحجاج
” أو ” فرحة بالحجاج ” أو ” سلامة الحجاج ” ، وقد تكون هذه اللحوم من لحوم الأضاحي
، أو لحوم ذبائح جديدة ، ويصاحبها نوع من التبذير ، فما رأي فضيلتكم من الناحية
الشرعية ، ومن الناحية الاجتماعية
Suatu hal yang sedang marak dilakukan oleh orang-orang,
khususnya orang desa, ketika mereka kembali dari ibadah haji di Mekkah, mereka mengadakan jamuan makan yang
dinamakan Dzabihah Lil Hujjaj atau Farhah
Bil Hujjaj atau Salamatul Hujjaj.
Terkadang makanannya adalah daging sembelihan biasa, terkadang daging
sembelihan model baru. Dan biasanya dalam acara ini banyak pemborosan.
Bagaimana pandangan anda wahai Syaikh, baik dari segi syar’i maupun dari segi
sosial?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:
هذا
لا بأس به ، لا بأس بإكرام الحجاج عند قدومهم ؛ لأن هذا يدل على الاحتفاء بهم ،
ويشجعهم أيضاً على الحج ، لكن التبذير الذي أشرت إليه والإسراف هو الذي ينهى عنه ؛
لأن الإسراف منهي عنه ، سواء بهذه المناسبة ، أو غيرها ، قال الله تبارك وتعالى : وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ ) الأنعام/141 ، وقال تعالى : (
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ.. الإسراء/27 ، لكن إذا كانت وليمة مناسبة ، على قدر
الحاضرين ، أو تزيد قليلاً : فهذا لا بأس به من الناحية الشرعية ،
Tidak mengapa mengadakannya. Boleh melakukannya dalam
rangka memuliakan para jama’ah haji ketika mereka datang, karena acara ini
merupakan bentuk penyambutan bagi mereka. Selain itu dapat memacu orang untuk
berhaji. Namun pemborosan, sebagaimana yang engkau ceritakan, inilah yang
terlarang. Karena pemborosan itu dilarang agama, baik dalam acara seperti ini
maupun dalam acara lain. Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ
“Jangan kalian berlebih-lebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS.
Al An’am:141)
Allah Ta’ala juga berfirman:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ
“Sesungguhnya para pemboros itu
saudaranya para setan” (QS. Al Isra: 27)
Bila jamuan makan ini hanya mengundang orang secukupnya
atau lebih banyak sedikit, maka ini tidak mengapa (bukan pemborosan, pent.)
dari segi syari’at.
ومن
الناحية الاجتماعية ، وهذا لعله يكون في القرى ، أما في المدن فهو مفقود ، ونرى
كثيراً من الناس يأتون من الحج ولا يقام لهم ولائم ، لكن في القرى الصغيرة هذه قد
توجد ، ولا بأس به ، وأهل القرى عندهم كرم ، ولا يحب أحدهم أن يُقَصِّر على الآخر
Adapun dari segi sosial, sepertinya acara ini hanya ada
di pedesaan saja, di perkotaan nampaknya sudah tidak ada lagi. Saya sudah
sering melihat banyak orang datang dari haji namun mereka tidak mengadakan apa-apa. Namun di daerah
pedesaan kecil memang terkadang masih kita jumpai, dan ini boleh-boleh saja.
Orang pun desa memiliki keutamaan, dan tidak boleh meremehkan satu dengan yang
lain.
Menilik Efektivitas Tasyakuran Haji (Walimah Safar)
Beberapa hari lagi umat Islam di Indonesia akan menjumpai
fenomena tasyakuran keberangkatan haji. Tradisi 'setengah ritual' yang biasanya
dilakukan oleh mayoritas Muslim tradisionalis di masyarakat kita ini merupakan
salah satu ciri khas Islam Nusantara. Sementara tasyakuran kepulangan haji di
masyarakat Arab dikenal dengan 'Asyaa-ul Hajj (Dinner Hajj).
Tasyakuran haji yang juga disebut dengan term 'walimatul safar' itu sebenarnya
tidak dikenal dalam diskursus yurispendensi Islam (Fiqh). Acara yang telah
menjadi al-Urf (adat) ini ialah produk analogi dari ritual "al-Naqi'ah".
Yaitu sebuah acara jamuan makan bersama yang dilakukan oleh seseorang yang
pulang dari bepergian.
Sementara dasar al-Naqi`ah dapat dilihat dalam HR Bukhari: 2923.
Menurut mazhab Syafi'i dalam 'Hasyiyah al-Qalyubi', al-Naqi'ah mustahab
(sangat dianjurkan) bagi mereka yang pulang dari menunaikan ibadah haji
--alias bukan saat keberangkatan ke tanah suci--, tujuannya agar menjadi media
sharing pengalaman dari Makkah-Madinah.
Terlepas dari pro dan kontra
mengenai hukum dan teknis pelaksanaannya, saya sepakat bahwa motivasi awal
penyelenggaraan tasyakuran keberangkatan haji itu bervariasi. Di antaranya,
untuk berbagi kebahagiaan atas nikmat-Nya, mensupport mereka yang belum
bertekad menunaikan salah satu rukun Islam itu, sebagai ritual permohonan
keselamatan bagi calon haji, media silaturrahim dan pamitan.
Namun pada realitanya, --baik diakui atau tidak-- praktik
tasyakuran haji terkadang justru melenceng dari anjuran Islam tentang arti
kesederhanaan dan makna rendah hati. Tidak sedikit yang menjadikan tasyakuran
haji sebagai ajang prestis dan mengekspresikan hedonisme. Bahkan biaya untuk
mengadakan 'party' itu ada yang menelan dana jauh lebih besar dari ONH itu sendiri.
Bukankah ini bentuk dari pemborosan dan wujud kesombongan yang jelas-jelas
dilarang Islam? Tidakkah uang sebanyak itu akan bermanfaat jika disedekahkah
kepada mereka yang lebih membutuhkan, seperti fakir miskin dan yatim piatu,
dibandingkan didistribusikan dalam bentuk konsumsi kepada orang terdekat?
Inilah salah satu contoh ironisme sebagian Muslim di lingkungan kita yang
kontraproduktif.
Di satu sisi, kita ingin mengamalkan firman "Dan terhadap nikmat Tuhanmu,
maka hendaklah kamu siarkan,” akan tetapi di sisi lain secara bersamaan, kita
juga melanggar ayat "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan," dan "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri."
Menyikapi ekses motivasi tasyakuran haji yang berlebihan ini, sudah selayaknya
kita introspeksi, sejauh mana dampak positif tasyakuran tersebut pada substansi
haji yang kita inginkan. Karena dalam realitanya, motivasi yang berlebihan
dapat menyebabkan orang tidak sensitif terhadap kondisi sekitar. Ingat, yang
terjadi di masyarakat kita belakangan ini ialah, semakin tinggi gengsi seorang
calon haji, maka semakin mewah tasyakuran yang digelar. Penceramah yang
diundang pun disesuaikan dengan ‘kelas’ tasyakuran.
Merespon fenomena tasyakuran haji, sebaiknya kita hadapi dengan bijak. Jangan
sampai kita terjebak dalam dikotomi, antara seolah-olah 'mewajibkan' dan
seakan-akan 'mengharamkan' pelaksanaan tasyakuran haji. Mereka yang seolah-olah
mewajibkan, beranggapan bahwa tasyakuran merupakan sebuah rangkaian yang tak
terpisahkan dari manasik haji. Sedangkan mereka yang seakan-akan mengharamkan,
berasumsi bahwa momentum tersebut ialah negatif.
Dengan demikian, menurut hemat saya, sudah sepantasnya kita menyikapi dikotomi
tersebut dengan cara mengambil jalan tengah, yaitu tetap menyelenggarakan
tasyakuran, namun sesederhana mungkin, seperti model tasyakuran haji di
Malaysia. Karena jika kita menolak menyelenggarakan tasyakuran sebagai media
pamitan, tidak menutup kemungkinan kita akan dicap oleh masyarakat sekeliling
sebagai orang yang bakhil dan riya'. Terakhir, semoga kita menjadi insan yang
proporsional dalam menyikapi perbedaan tasyakuran haji.
Ahmad Syukron Amin , detikNews
Ahmad Syukron Amin adalah mahasiswa Yemenia University
Sana'a-Yaman, dan tenaga musiman (temus) haji 2011. Dapat dihubungi via akun
Twitter: @syukronamin
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------