Bolehkah berkurban atas nama mayit?
Para ulama berselisih pendapat
mengenai kesahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab
Syafi’i, qurbannya tidak salah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Imam Nawawi rahimahullah
berkata dalam Al Minhaj,
وَلَا
تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ
يُوصِ بِهَا
“Tidak sah qurban untuk orang
lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak
memberi wasiat untuk qurban tersebut.”
Kita dapat membagi berqurban untuk
mayit menjadi tiga rincian sebagai berikut:
Pertama: Berqurban untuk mayit hanya sebagai ikutan. Misalnya
seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup
atau yang telah meninggal dunia. Dasar dari bolehnya hal ini adalah karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban untuk dirinya dan
keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia.
Bahkan jika seseorang berqurban
untuk dirinya, seluruh keluarganya baik yang masih hidup maupun yang telah
mati, bisa termasuk dalam niatan qurbannya. Dalilnya,
كَانَ
الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى
بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Pada masa Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai
qurban bagi dirinya dan keluarganya.”[1]
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari
berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh
diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa
atau lebih.”[2]
Kedua: Berqurban untuk mayit atas dasar wasiatnya (sebelum meninggal
dunia). Hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ
بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ
إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka barangsiapa yang mengubah
wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi
orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 181).
Ketiga: Berqurban dengan niatan khusus untuk mayit, bukan
sebagai ikutan, maka seperti ini tidak ada sunnahnya (tidak ada contoh dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak pernah berqurban untuk salah satu orang yang telah
meninggal dunia dengan niatan khusus. Beliau tidak pernah berqurban atas nama
pamannya, Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-, padahal ia termasuk kerabat
terdekat beliau. Tidak diketahui pula kalau beliau berqurban atas nama
anak-anak beliau yang telah meninggal dunia, yaitu tiga anak perempuan beliau
yang telah menikah dan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tidak diketahui
pula beliau pernah berqurban atas nama istri tercinta beliau, Khodijah -radhiyallahu
‘anha-. Begitu pula, tidak diketahui dari para sahabat ada yang pernah
berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia di antara mereka.[3]
Syaikh Muhammad bin Rosyid bin
‘Abdillah Al Ghofiliy dalam buku kecil beliau yang menjelaskan tentang
kesalahan-kesalahan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Di antaranya beliau
menerangkan mengenai kesalahan yang dilakukan oleh orang yang berqurban. Beliau
berkata,
7 – Di antara kekeliruan yang
dilakukan oleh orang yang berqurban adalah bersengaja menjadikan (niat) qurban
untuk mayit (orang yang telah tiada). Ini jelas keliru karena asalnya qurban
diperintahkan bagi orang yang hidup (artinya yang memiliki qurban tadi adalah
orang yang hidup, pen). Namun dalam masalah pahala boleh saja berserikat dengan
orang yang telah tiada (mayit). Yang terakhir ini tidaklah masalah. Adapun
menjadikan niat qurban tadi untuk si mayit seluruhnya, ini jelas tidak ada
dalil yang mendukungnya.
Dalam penjelasan di halaman
selanjutnya beliau hafizhohullah menjelaskan,
Jika yang berdo’a dengan do’a, “Ya
Allah jadikanlah pahala qurban ini seluruhnya untuk kedua orang tuaku yang
telah tiada”, ini sama sekali tidak ada dalil yang mendukungnya, ini
termasuk perkara (amalan) yang mengada-ada. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ
أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam
urusan (agama) kami yang tidak ada dasarnya, maka amalannya tertolak”
(Muttafaqun ‘alaih)[4]
Semoga sajian singkat ini bermanfaat
bagi pengunjung Muslim.Or.Id sekalian.
Wallahu waliyyut taufiq, hanya Allah yang memberi petunjuk (taufik).
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id , 12 Sep 2013 03:30
[1]
HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142.
[2]
Nailul Author, Asy Syaukani, 8: 125, Mawqi’ Al Islam.
[3]
Dikembangkan dari keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal.
12-13.
[4] Diambil dari buku
Syaikh Muhammad bin Rosyid bin ‘Abdillah Al Ghofiliy yang berjudul “Min Akhtoi
fil ‘Usyri’, terbitan Darul Masir, cetakan pertama, Dzulhijjah, 1417 H, hal.
20-21.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------