Bagian
02 :
GERAKAN
MEMBANGUN JATINANGOR BEBAS DARI GAYA HIDUP AYAM KAMPUS
Hujjah dan Dalil-Dalil Syar`iyyah
: Menciptakan Kawasan Berkah dan Kehidupan Harmonis antar warga
-----------------------------------------------
PERTAMA: PERINTAH TOLONG MENOLONG DALAM KEBAJIKAN DAN KETAQWAAN
Islam
datang dengan membawa perintah untuk saling tolong menolong di atas kebajikan
dan ketaqwaan, dan melarang untuk saling menolong dalam dosa dan permusuhan
sebagimana firman Nya
¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$#
….dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.
(QS
Al Maidah: 2)
Catatan
para `ulama :
Melalui ayat ini Allah swt. menyuruh
umat manusia untuk saling membantu, tolong menolong dalam mengerjakan
kabaikan/kebajikan dan ketaqwaan. Sebaliknya Allah melarang kita untuk saling
menolong dalam melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran.
Sebagai makhluk sosial, manusia tak
bisa hidup sendirian. Meski segalanya ia miliki: harta benda yang berlimpah
sehingga setiap apa yang ia mau dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi jika
ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan kesepian pula.
Kebahagiaan pun mungkin tak pernah ia rasakan. Tolong menolong itu meliputi
antara lain :
Pertama,
Ta’awun yang syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan merupakan
kalimat yang luas cakupannya, yang mencakup kebajikan seluruhnya, yang akan
membawa akibat kepada kebaikan masyarakat muslim dan keselamatan dari keburukan
serta sadarnya individu akan peran tanggung jawab yang diemban di atas bahunya.
Karena ta’awun di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi dari
kepribadiannya dan merupakan pondasi di dalam membina perabadan umat.
Al-Hafizh
Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim
(II/7) menafsirkan ayat tadi (Al-Ma’idah : 2, pent) :
“Alloh
Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di
dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran
yang
mana
hal ini merupakan at-Taqwa. Alloh melarang mereka dari saling bahu membahu di
dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”
Kedua,
Ta’awun yang syar’iy merupakan konsekuensi harusnya memberikan wala’
(loyalitas) kepada kaum muslimin. Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar” (QS At-Taubah : 71).
Barangsiapa
yang meninggalkan nasehat kepada saudaranya dan menelantarkannya, maka pada
hakikatnya ia adalah seorang penipu dan bukan pembela mereka. Karena merupakan
konsekuensi dari loyalitas adalah menasehati dan menolong mereka di dalam
kebajikan dan ketakwaan.
Ketiga,
Ta’awun (saling tolong menolong) diantara kaum muslimin
merupakan kekuatan dan pelindung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
telah menyerupakan ta’awun kaum muslimin, persatuan dan
berpegangteguhnya mereka (pada agama Alloh) dengan bangunan yang dibangun
dengan batu bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya.
Demikianlah kaum muslimin, semakin bertambah kokoh dengan saling tolong
menolong di antara mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam :
“Seorang
mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan
bagian lainnya.”
Keempat,
Tawaashi (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan kesabaran
merupakan sebab kesuksesan dari kerugian. Saling berwasiat di dalam kebenaran
dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun syar’iy di dalam
kebajikan dan ketakwaan. Dengan kedua hal ini, akan terpelihara agama ini, dan
keduanya termasuk amar ma’ruf nahi munkar serta keduanya merupakan sebab
terperolehnya kebaikan bagi negeri dan penduduknya. Alloh Ta’ala
berfirman
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran”. (QS
Al-Ashr)
Kelima,
Diantara bentuk manifestasi ta’awun syar’iy di
dalam kebajikan dan ketakwaan adalah : menghilangkan kesusahan kaum muslimin,
menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong mereka dari orang yang
berbuat aniaya, mengajari orang yang bodoh dari mereka, mengingatkan orang yang
lalai diantara mereka, mengarahkan orang yang tersesat di kalangan mereka,
menghibur atas duka cita mereka, membantu atas musibah yang yang menimpa
mereka, menyokong jihad dan dakwah mereka, menyertai mereka di dalam sholat
jum’at, sholat jama’ah dan ied (perayaan) mereka, mengunjungi orang yang
sakit, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin
dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.
Keenam
: Syaikh Abdurrahman as Sa`adi rahimahullah menafsirkan
ayat di atas bahwa al-Birr (kebajikan) itu adalah nama yang menghimpun untuk
setiap apa-apa yang Allah cintai dan ridloi, berupa amal-amal zhahir dan
bathin, baik men ynagkut hak-hak Allah maupun hak-hak sesame manusia. Adapun
makna “at taqwa” di dalam ayat ini adalah nama yang menghimpun untuk setiap
perbuatan meninggalkan apa-apa yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, berupa
amal zhahir maupun bathin. (Tafsir Taisirul Kari mar Rahman fi Kalamil Mannan,
2/238).
Ketujuh
: oleh karena itu dikatakan oleh para `ulama, bahwa
perintah “al Birr” (kebajikan) itu meliputi perkara wajib dan yang sunnah,
sedangkan makna “at taqwa” adalah untuk memelihara kewajiban (agar terlaksana).
Dengan demikian Allah telah memerintahkan kepada kita untuk berbuat saling
menolong dalam (di atas) kebajikan dan mengaitkannya dengan ketaqwaan; sebab
dalam taqwa terkandung (menggapai) RIDLO ALLAH, dan dalam perintah “al birr”
(kebajikan) terkandung (memperoleh) RIDLO MANUSIA. Dan barang siapa yang
menghimpun kedua macam RIDLO tersebut, yaitu antara Ridlo Allah dan Ridlo
manusia, maka telah smepurnalah kebahagiaannya dan kenikmatannya. (Tafsir al
Jami`ul Ahkamil Qur’an, 6/47)
KEDUA ; PERINTAH UNTUK MENJAGA
HAK-HAK SESAMA MUSLIM
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ”حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ: إذَا
لَقِيْتــَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاك فَأَجِبْهُ،
وَإِذَا اسْتَنْصَحَك فَانْصَحْهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ
فَسَمِّتْهُ، وَ إِذاَ مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذاَ ماَتَ فاتـْبَعْهُ”.
Abu
Hurairah Ra berkata, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Hak seorang muslim terhadap sesama
muslim itu ada enam, yaitu:(1) jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah
salam, (2) jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya,
(3) jika ia meminta nasihat kepadamu
maka berilah ia nasihat, (4) jika ia
bersin dan mengucapkan: ‘Alhamdulillah’ maka do’akanlah ia dengan Yarhamukallah
(artinya = mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepadamu), (5) jika ia sakit
maka jenguklah dan (6) jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya”.(HR.
Muslim, no. 2162).
KETIGA: PERINTAH
MENJAGA HAK-HAK TETANGGA
Allah
berpesan dalam Alquran,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Beribadahlah
kepada Allah dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan berbuat
baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga atau kerabat dekat,
tetangga atau kerabat jauh, rekan di perjalanan, Ibnu Sabil, dan kepada budak yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang yang sombong dan membanggakan apa yang dia miliki.” (QS. An-Nisa: 36).
Setelah
menjelaskan banyak hal tentang ayat ini, Iman al-Qurthubi mengatakan,
“Oleh
karena itu, bersikap baik kepada tetangga adalah satu hal yang diperintahkan
dan ditekankan, baik dia muslim maupun kafir, dan itulah pendapat yang benar.”
(Tafsir
al-Qurthubi, 5:184)
Rasulullah
Saw bersabda dalam beberapa haditsnya berikut :
1.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak
akan masuk surga,
orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari 6016
dan Muslim 46).
Berikan
jaminan bahwa tetangga Anda merasa nyaman dengan keberadaan Anda sebagai
tetangganya. Hati-hati, jangan sampai menjadi tukang gosip tetangga, sehingga
membuat tetangga Anda selalu tidak nyaman ketika bertindak di hadapan Anda,
karena takut digosipin.
2.
Wasiat Jibril untuk memperhatikan tetangga
Dari
A’isyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan,
مَا
زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril
selalu berpesan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku
mengira, tetangga akan ditetapkan menjadi ahli warisnya.” (HR. Bukhari 6014 dan
Muslim 2624).
Pesan
yang sangat penting, diberikan oleh Malaikat (Jibril ‘alaihis salam) terbaik
kepada manusia terbaik (Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).
3.
Mengganggu tetangga halal untuk dilaknat
Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
Ada
seorang yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
kezaliman yang dilakukan tetangganya. Setiap kali orang ini mengadu, selalu
dinasehatkan oleh beliau untuk bersabar. Ini dilakukan sampai tiga kali. Sampai
pengaduan yang keempat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan solusi,
اطْرَحْ
مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ
“Letakkan
semua isi rumahmu di pinggir jalan.” … Orang inipun melakukannya.
Setiap
ada orang yang melewati orang ini, mereka bertanya: “Apa yang terjadi denganmu.
(sampai kamu keluarkan isi rumahmu).” Dia menjawab: “Tetanggaku menggangguku.”
Mendengar jawaban ini, setiap orang yang lewat pun mengucapkan: “Semoga Allah
melaknatnya!” sampai akhirnya tetangga
pengganggu
itu datang, dia mengiba: “Masukkan kembali barangmu. Demi Allah, saya tidak
akan mengganggumu selamanya.” (HR. Ibnu Hibban 520, Syuaib al-Arnauth
menyatakan: Sanadnya kuat).
4.
Menumbuhkan semangat berbagi dengan tetangga
Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah),
mewasiatkan kepadaku,
إِذَا
طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ
جِيرَانِكَ، فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوفٍ
“Apabila
kamu memasak, perbanyaklah kuahnya. Kemudian perhatian penghuni rumah
tetanggamu, dan berikan sebagian masakan itu kepada mereka dengan baik.” (HR.
Muslim)
5.
Tidak mengganggu tetangga bagian dari iman
Dari
Abu Hurairah, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ
“Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu
saudaranya.” (HR. Bukhari 5185 dan Muslim 47).
6.
Tidak ada istilah sedikit dalam mengganggu tetangga
Dari
Abdah bin Abi Lubabah rahimahullah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَا
قَلِيلَ مِن أَذَى الجَار
“Tidak
ada istilah sedikit dalam mengganggu tetangga.” (HR. Ibn Abi Syaibah dengan
sanad shahih namun mursal. Dan dalam riwayat thabrani secara mausul dari Umu
Salamah. Syaikh Ali al-Halabi mengatakan, “Hadis ini Hasan”).
7.
Tetangga yang baik akan menjadi lambang kebahagiaan atau kesengsaraan
Dari
Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَرْبَعٌ
مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ،
وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ:
الْجَارُ السُّوءُ، وَالْمَرْأَةُ السوء، والمسكن الضيق، والمركب السوء
“Empat
hal yang menjadi sumber kebahagiaa: Istri solihah, tempat tinggal yang luas,
tetangga yang baik, dan tunggangan yang nyaman. Empat hal sumber kesengsaraan:
tetangga yang buruk, istri yang durhaka, tempat tinggal yang sempit, dan
kendaraan yang tidak nyaman.” (HR. Ibn Hibban 4032 dan sanadnya dinilai sahih
oleh Syuaib al-Arnauth).
8.
Menyakiti tetangga lebih besar dosanya
Dari
Miqdad bin Aswad radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرَةِ نِسْوَةٍ،
أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ
لَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِنْ عَشْرَةِ
أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ جَارِهِ
“Seseorang
yang berzina dengan 10 wanita, dosanya lebih ringan dibandingkan dia berzina
dengan satu orang istri tetangganya… seseorang yang mencuri 10 rumah, dosanya
lebih besar dibandingkan dia mencuri satu rumah tetangganya.” (HR. Ahmad 23854
dan dinyatakan Syuaib Al-Arnauth, sanadnya bagus).
9.
Bersikap baik kepada tetangga, tanda muslim sejati
Dari
Abu hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,
كُنْ
وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ،
وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، تَكُنْ مُؤْمِنًا، وَأَحْسِنْ
جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ، تَكُنْ مُسْلِمًا
“Jadilah
orang yang wara’, kamu akan menjadi manusia ahli ibadah.
Jadilah orang yang qanaah, kamu akan menjadi orang yang paling rajin bersyukur.
Berikanlah yang terbaik untuk orang lain, sebagaimana kamu memberikan yang
terbaik untuk dirimu, niscaya kamu menjadi mukmin sejati. Bersikaplah yang baik
kepada tetangga, kamu akan menjadi muslim sejati…” (HR. Ibn Majah 4217 dan
dishahihkan al-Albani)
10.
Jangan tinggalkan tetangga Anda kelaparan
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَيْسَ
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
“Bukanlah
mukmin sejati, orang yang kenyang, sementara tetangga di sampingnya kelaparan.”
(HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya, dan sanadnya dinilai hasan oleh Husain Salim
Asad)
Al-Albani
mengatakan,
وفي
الحديث دليل واضح على أنه يحرم على الجار الغني أن يدع جيرانه جائعين، فيجب عليه
أن يقدم إليهم ما يدفعون به الجوع، وكذلك ما يكتسون به إن كانوا عراة، ونحو ذلك من
الضروريات
Dalam
hadis ini terdapat dalil yang tegas, bahwa haram bagi orang yang kaya untuk
membiarkan tetangganya dalam kondisi lapar. Karena itu, dia wajib memberikan makanan
kepada tetangganya yang cukup untuk mengenyangkannya. Demikian pula dia wajib
memberikan pakaian kepada tetangganya jika mereka tidak punya pakaian,
dan seterusnya, berlaku untuk semua kebutuhan pokok tetangga. (Silsilah
As-Shahihah, 1:280)
11.
Larangan meremehkan pemberian tetangga, meskipun kelihatannya kurang berarti.
Pesan
ini pernah disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya,
terutama kaum perempuan. Mungkin, karena merekalah yang umumnya memiliki sikap
seperti itu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يَا
نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ
شَاةٍ
“Wahai
para wanita muslimah, janganlah satu tetangga meremehkan pemberian tetangga
yang lainnya, meskipun hanya kikil yang tak berdaging.” (HR. Bukhari 2566 dan
Muslim 1030).
.
12.
Paling dekat pintunnya, paling berhak mendapat lebih banyak
Dari
A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah, saya memiliki dua tetangga dekat. Kemanakah saya
akan memberikan hadiah?” beliau menjawab,
إِلَى
أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Ke
rumah yang paling dekat pintunya denganmu.” (HR. Bukhari 2259)
13.
Berlindung dari tetangga yang buruk
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita memohon perlindungan
kepada Allah dari tetangga yang buruk. Ini menunjukkan betapa bahayanya
tetangga yang buruk, sampai manusia terbaik menyarankan doa ini dilantunkan. Dari Abu hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,
تَعَوَّذُوا
بِاللَّهِ، مِنْ جَارِ السَّوْءِ فِي دَارِ الْمُقَامِ، فَإِنَّ جَارَ
الْبَادِيَةِ يَتَحَوَّلُ عَنْكَ
“Mintalah
perlindungan kepada Allah dari tetangga yang buruk di tempat tinggal menetap,
karena tetangga yang tidak menetap akan berpindah dari kampungmu.” (HR. Nasa’i
5502 dan dinilai al-Albani sebagai hadis hasan shahih).
14.
Sengketa tetangga, sengketa pertama di akhirat
Dari
uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ
خَصْمَيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جَارَانِ
“Sengketa
pertama pada hari kiamat adalah sengketa antar tetangga.” (HR. Ahmad 17372 dan
dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth)
Al-Munawi
mengatakan,
أي أول
خصمين يقضى بينهما يوم القيامة جاران آذى أحدهما صاحبه اهتماماً بشأن حق الجوار
الذي حث الشرع على رعايته
“Maksud hadis, sengketa antara dua orang yang pertama
diputuskan pada hari kiamat adalah sengketa dua orang bertetangga. Yang satu
menyakiti lainnya. Sebagai bentuk perhatian besar tentang hak tetangga, yang
dimotivasi oleh syariat untuk diperhatikan.” (At-Taisir bi Syarh al-Jami’
ash-Shaghir, 1:791).
15.
Menyakiti tetangga merupakan sebab masuk neraka
Serajin apapun seseorang dalam beribadah, namun dia suka
menyakiti tetangga, dia terancam neraka. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa ada seseorang yang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita itu rajin shalat,
rajin sedekah, rajin puasa.
Namun dia suka menyakiti tetangga dengan lisannya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkomentar,
“Dia di neraka.”
Para sahabat bertanya lagi, “Ada wanita yang
dikenal jarang berpuasa sunah, jarang shalat
sunah, dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju. Namun dia tidak pernah
menyakiti tetangganya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Dia ahli surga.”
(HR. Ahmad 9675 dan Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Sanadnya hasan).
16.
Berusaha bersabar dengan gangguan tetangga
Dari
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ
يُحِبُّهُمُ اللهُ… وَالرَّجُلُ يَكُونُ لَهُ الْجَارُ يُؤْذِيهِ جِوَارُهُ،
فَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُ حَتَّى يُفَرِّقَ بَيْنَهُمَا مَوْتٌ أَوْ ظَعْنٌ
“Tiga orang yang Allah cintai…., orang yang memiliki
tetangga, dan tetangganya suka menyakitinya. Diapun bersabar terhadap
gangguannya sampai dipisahkan dengan kematian atau safar.” (HR. Ahmad dan
dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
17. Tetangga menjadi
saksi
Merekalah manusia yang paling banyak menyaksikan
aktivitas kita. sehingga penilaian mereka bisa mewakili kepribadian dan
perilaku kita. dari Ibn mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang yang
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana
saya bisa mengetahui, apakah saya orang baik ataukah orang jahat?” beliau
menjawab,
إِذَا
قَالَ جِيرَانُكَ: قَدْ أَحْسَنْتَ، فَقَدْ أَحْسَنْتَ، وَإِذَا قَالُوا: إِنَّكَ
قَدْ أَسَأْتَ، فَقَدْ أَسَأْتَ
“Jika tetanggamu berkomentar, kamu orang baik maka
berarti engkau orang baik. Sementara jika mereka berkomentar, engkau orang
tidak baik, berarti kamu tidak baik.” (HR. Ahmad 3808, Ibn Majah 4223 dan
dishahihkan al-Albani)
Yang dimaksud komentar tetangga di sini adalah komentar
dari tetangga yang baik, sholeh dan memperhatikan aturan syariat. (At-Taisir
Syarh Jamius Shaghir, 1:211).
KEEMPAT: AGAR SEORANG PENGUSAHA
ITU TIDAK LALAI
بسم
الله الرحمن الرحيم
Wajib
kiranya setiap pengusaha, di dalam langkah-langkah usahanya dan dalam mencari
keuntungan, seyogyanya menyimak firman Allah berikut :
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ
تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}
“laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada
hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”
(QS an-Nuur:37).
Imam asy-Syaukani berkata: “(Dalam ayat ini) Allah
menyebutkan perdagangan secara khusus karena inilah (aktivitas) yang paling
besar (potensinya) dalam melalaikan manusia dari mengingat Allah2.
Hal ini dikarenakan aktivitas usaha perdagangan
berhubungan dengan harta benda dan keuntungan duniawi, (Pen : termasuk usaha
KOS-KOSAN MAHASISWA) , yang tentu saja ini merupakan ancaman fitnah (kerusakan)
besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk
menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
«إِنَّ
لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada
fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah
harta”.
Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta
secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta
dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan
membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّمَا
أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ
عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------