Sumber :
30 خطوة عملية لتربية الأبناء على العمل لهذا الدين.  
تأليف: سالم بن ماضي مصدر هذه المادة : الكتيبات الإسلامية.
www.ktibat.com,
Penerjemah: Abu Fahmi Ahmad, Ma`had Imam Bukhari Jatinangor,

Amma ba`du:
Anak-anak (dari keluarga muslim) merupakan potensi besar (aset) bagi umat ini. Tidak hanya itu, bahkan mereka merupakan harapan masa depan, sekaligus sebagai harta pusaka dan kekuatan inti, maka menjadi wajib bagi kita untuk benar-benar mampu memanejnya – bertanggung jawab penuh – terhadap potensi dan pusaka ini, agar mereka kelak mampu berkhidmat, mencintai agama dan mengamalkannya.
Kita tidak boleh mengabaikan generasi anak-anak dan menyia-nyiakannya. Menganggap seakan-akan  mereka itu tidak membawa (memberikan sinyal) pesan apapun. Pandangan seperti ini merupakan sebuah kekeliruan fatal yang banyak dilakukan para orang tua dan pendidik. Karenanya pemikiran-pemikiran dan gagasan dalam tulisan ini, tidak lain untuk memperbaiki pemahaman dan gambaran yang keliru tersebut.
Untuk itu saya berupaya menjadikan pemikiran-pemikiran dan gagasan ini tertuang dalam bentuk langkah praktis-aplikatif sehingga mudah dipahami dan diterapkan, yang sesuai dengan karakteristik, akal dan kejiwaan mereka, yang mengarahkan kepada mereka bagaimana (kelak) dapat berkhidmat dan mencintai agama ini.
Akhirnya...
Saya memohon (ber-isti`anah) kepada Allah Jalla Jalaluhu, agar memberikan kepadaku dan kepada kita semua  sebuah ketepatan dan kebenaran serta menjauhkan kesalahan dan ketergelinciran. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Pengabul doa.
Salim Sholih Ahmad Ibn Madhi
Keshalihan Ibu dan Ayah, merupakan "bibit utama" yang harus ada di awal dan paling utama dari seluruh langkah yang diperlukan, agar anak-anak mampu berhidmat dan membela (ajaran) agamanya. Dengan kesalehan keduanya, anak-anak akan menjadi baik. Anak-anak tumbuh sesuai yang dibiasakan orang tuanya. Sebab orangtua merupakan "bi'ah" (miliu, environment, lingkungan) pertama dan utama yang sangat menentukan "celupan" (shibghah) di masa depannya.
Penyebutan ibu di dahulukan dari pada ayah karena beban terbesar dalam pendidikan anak berada di pundak ibu, mengingat keberadaaan dan kebersamaannya yang lebih lama (lebih intens) dengan anak-anak, berbeda dengan ayah yang memang sibuk mencari rezeki (sesuai amanat ilahi). Menjadi keharusan bagi orasngtua yang shalih mendidik anak-anak agar tumbuh mencintai dan mengamalkan agama ini. Generasi yang demikian haruslah tumbuh dari lahan persemaian yang baik dan subur, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair, asy Syauqi:
الأم مدرسة إذا أعددتها
 أعددت شعبا طيب الأعراق
Ibu adalah madrasah jika engkau mempersiapkannya
Dengan mempersiapkannya berarti telah menyiapkan generasi yang harum namanya

Ibulah madrasah pertama yang menelurkan ulama, dai dan mujahid-mujahid pemberani. Karenanya ibu (istri) solehah amatlah penting dalam membangun masyarakat dan melahirkan generasi yang diberkahi. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- pun mendorong dan memotivasi hal ini dengan sabdanya:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا  فاظفر بذات الدين تَرِبَتْ يَدَاك
Wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah agamanya maka engkau tidak akan menyesal.” [1]

Sungguh benar adanya...
Sungguh beruntung bagimu yang memilih istri solehah lagi berilmu, sehingga melahirkan untuk umat ini ulama.
Sungguh beruntung bagimu yang memilih istri mujahidah (pejuang), sehingga melahirkan untuk umat ini para kesatria.
Sungguh beruntung bagimu yang memilih istri pendakwah, sehingga melahirkan untuk umat ini para juru dakwah.
Sungguh beruntung bagimu yang memilih istri yang ahli ibadah, sehingga melahirkan untuk umat ini para ahli ibadah.
Sungguh beruntung bagimu ....

Mengapa demikian ? Sebab para ibu memiliki peran besar dan agung dalam membangun kepribadian anak dan dalam mendidik mereka agar (kelak mampu) mengamalkan agama ini. Demikian juga para ayah, yang memiliki peran besar yang tidak lebih kecil dari peran ibu.

Berikut beberapa peringatan yang patut diperhatikan:
Para orang tua hendaknya memperhatikan perkara penting yang memiliki pengaruh besar pada kepribadian anak yaitu interaksi antara orang tua. Interaksi antar kedua orang tua adalah pendidikan harian yang disaksikan langsung oleh anak-anak di depan mata mereka.
Yang Semestinya dilakukan orang tua:
Hendaknya keduanya saling menghargai, lebih lagi  jika berada di hadapan anak-anak.
Seharusnya tidak mempertontonkan perselisihan (pertikaian dan perseteruan) keduanya di hadapan anak-anak.
Mengikuti petunjuk Nabi dalam hak-hak pergaulan – mu`asyarah bil ma`ruf - serta saling komitmen dalam menjaga hak-hak dan kewajiban masingh-masing (ibu dan ayah).
* * *
Contoh Praktis Pentingnya Kesalehan Ibu Dan Ayah
Dalam Membangun Kepribadian Anak :
Ibu, saat mendengar kumandang adzan, seharusnya dan selalu berusaha menghentikan segala aktivitas dan meminta anak-anak untuk melakukan hal yang sama. Menjelaskan kepada mereka bahwa Allah -subhânahu wata'âla- akan mencintai kita jika kita menunaikan shalat tepat pada waktunya. Kemudian segera berwudlu` dan melaksanakan shalat. (memerintahkan anak-anak yang laki-laki bergegas menuju masjid memenuhi kewajiban shalat berjama`ah, sementara ibu bersama anak putrinya melaksanakan shalat di rumahnya).
Dengan demikian anak-anak akan tumbuh sejak dini gemar melaksanakan shalat tepat pada waktunya...kenapa?  sebab mereka telah belajar sejak kecil bahwa siapa yang melaksanakan shalat pada waktunya akan dicintai oleh Allah. Sikap dan kebiasaan ini sangatlah membantu dalam memudahkan anak merealisasikannya.
* * *
Kisah pentingnya peran orang tua dalam membangun kepribadian anak:
Sejarah Islam telah merekam kisah-kisah dan contoh kepribadian anak yang dipengaruhi oleh kepribadian ayah dan ibu mereka. Di antaranya :

Kepribadian Seorang Ayah
Diceritakan bahwa keberanian Abdullah Ibn az-Zubair adalah pengaruh dari keberanian ayah dan ibunya -radiallahu'anhuma- yang ditirunya.
Al-Laits meriwayatkan dari Abul Aswad dari Urwah, katanya:
"Az-Zubair memeluk Islam dalam usia 8 tahun. Suatu ketika dia pernah terprovokasi oleh syetan bahwa Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- ditangkap di dataran tinggi Mekkah. Az-Zubair yang masih kanak-kanak, berusia 12 tahun keluar rumah sambil menenteng pedang, yang membuat setiap orang yang melihatnya terheran-heran, seraya berkata:
“Anak kecil menenteng pedang?!”
Hingga akhirnya bertemu Nabi. Nabi-pun turut terheran-heran menatapnya dan bertanya:
“Ada apa denganmu wahai az-Zubair?!”
Az-Zubair mengabarkan (apa-apa yang terlintas dalam fikirannya) seraya berkata:
“Aku datang untuk memenggal siapa pun yang menangkapmu dengan pedangku ini!”[2]

Keberanian Sang Ibu
Cerita keberanian Asma binti Abu Bakar, Ibu dari Abdullah Ibnu az-Zubair -radiallahu'anhum-.
Imam adz-Dzahabi berkata:
Abu al-Muhayyah Ibn Ya’la at-Taymi Menceritakan kepada kami dari ayahnya, katanya:
“Aku masuk Mekkah setelah tiga hari terbunuhnya Ibnu az-Zubair yang terpasung. Ibunya yang sudah renta datang dan berkata kepada al-Hajjaj:
“Bukankah sekarang saatnya bagi yang terpasung untuk turun?”
“Si munafik?” Sela al-Hajjaj.
“Demi Allah, dia bukanlah orang munafik. Dia adalah anak yang senantiasa berpuasa, shalat malam dan berbakti pada orang tua.”  kilah Ibu Ibnu az-Zubair.
“Pergilah engkau wahai orang tua, engkau tengah berdusta.” Ucap al-Hajjaj.
Ibu Ibnu Zubair berkata lagi: “Tidak, demi Allah, aku tidaklah berdusta setelah Rasulullah bersabda:
في ثقيف كذاب ومبير
“Di Tsaqif akan ada pendusta dan orang yang zhalim[3]....”[4]

Keberanian Sang Anak :
Cerita keberanian Abdullah Ibn Zubair:
Ishaq Ibn Abu Ishaq berkata:
Aku hadir pada peristiwa terbunuhnya Ibnu az-Zubair, dimana para tentara masuk mengepungnya dari setiap pintu masjid. Ketika sekelompok pasukan masuk dari suatu pintu, Abdullah Ibn az-Zubair menghalau dan mengeluarkan mereka. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba jatuh plafon masjid dan menimpanya sehingga membuatnya tersungkur. Dia melantunkan bait syair:
أَسْمَاءُ يَا أَسْمَاءُ لاَ تَبْكِينِي - لَمْ يَبْقَ إلاَّ حَسْبِي وَدِينِي - وَصَارِمٌ لاَثَتْ بِهِ يَمِينِي([5])
 Asma, wahai Asma[6] janganlah menangisiku
Tidak akan tertinggal selain kemuliaan dan agamaku
serta pedang yang tergenggam di tangan kananku[7]

Rasa Takut Sang Ayah:
Kisah rasa takut sang ayah, Fudhail Ibn Iyadh -rahimahullah- dan kekhawatirannya kepada Allah.
Muhammad Ibn Nâhiah berkata:
عن محمد بن ناحية قال:
صلَّيتُ خلف الفضيل فقرأ «الحاقة» في الصبح، فلمَّا بلغ إلى قوله {خُذُوهُ فَغُلُّوهُ}  غلبة البكاء..([8]).
"Aku shalat subuh bermakmum di belakang al-Fudhail. Dia membaca surat al-Hâqqah. Ketika sampai pada bacaan:
“(Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” (QS. Al-Hâqoh:30)
Al-Fudhail tidak kuasa membendung tangisnya.[9]

Ishaq Ibn Ibrahim at-Thabari berkata:
“Aku tidak mengetahui seseorang yang lebih takut terhadap dirinya dan lebih perhatian kepada manusia dari pada al-Fudhail. Bacaan al-Qur'annya sangat menyentuh (qalbu), merindu, perlahan, dan syahdu, seolah ia sedang beraudiensi dengan seseorang. Jika bertemu pada ayat yang menyebutkan tentang surga, ia pun mengulang-ulanginya.[10]

Rasa Takut Anak Kepada Allah:
Kisah rasa takut dan khawatir seorang anak (Ali putra al-Fudhail Ibn 'Iyâdh)
Abu Bakar Ibn 'Iyâsy berkata:
"Aku shalat magrib di belakang Al-Fudhail Ibnu 'Iyadh, sementara putranya, Ali berada di sampingku. Al-Fudhail membaca:
عن أبي بكر بن عياش قال:
صلَّيت خلف فضيل بن عياض المغرب وابنه علي إلى جانبي فقرأ: {أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ * حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ * كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ * ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ * كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ * لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ * ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ * ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ}فلما قال: {لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ} سقط على علي وجهه مغشيًّا عليه، وبقى فضيل عند الآية ([11]).
 “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan sungguh kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” QS at Takatsur.
Ketika sampai pada ayat:  “Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,”
Ali jatuh pingsan, sedangkan al-Fudhail terus melanjutkan bacaannya.[12]
وقال أبو سليمان الداراني: كان علي بن الفضيل لا يستطيع أن يقرأ {الْقَارِعَةُ} ولا تُقرأ عليه([13]).
Abu Sulaiman ad-Dârani berkata:
"Ali Ibn Fudhail tidak sanggup membaca surat al-Qori'ah atau dibacakan kepadanya."[14]

ANAK DAN KEDUA ORANG TUA
Habib Ibn Zaid Terpengaruh Oleh Kedua Orang Tuanya

Tentang Pengorbanan Ibu:
عن أنس قال:  خطب أبو طلحة أم سليم فقالت: إنه لا ينبغي أن أتزوَّج مشركًا!.. أما تعلم يا أبا طلحة أن آلهتكم ينحتها عبد آل فلان، وأنكم لو أشعلتم فيها نارًا لاحترقت؟ قال: فانصرف وفي قلبه ذلك، ثم أتاها وقال: الذي عرضت علي قد قبلتُ، فما كان لها مهرًا إلا الإسلام([15]).
Anas berkata:
"Abu Tolhah melamar Umu Sulaim. Umu Sulaim berkata kepada Abu Tolhah:
"Tidak patut bagiku menikahi lelaki musyrik. Tidakkah kamu tahu wahai Abu Tolhah bahwa tuhan-tuhanmu dibuat oleh Abdu Alu Fulan. Jika engkau bakar tuhan-tuhan itu niscaya akan terbakar."
Abu Tolhah pun berlalu, sedangkan dalam hatinya terngiang-ngiang apa yang dikatakan Umu Sulaim. Tak lama kemudian – setelah merenungkan apa yang dikatakan ummu Sulaim - dia datang lagi kepada Umu Sulaim seraya berkata:
"Apa yang telah engkau sampaikan (syaratkan) kepadaku aku terima. Maharmu adalah dengan memeluk Islam, dan tak ada mahar lainnya darimu untukku.

Pengorbanan Seorang Ayah:
Anas berkata:
"Ketika perang Uhud kaum muslimin terdesak dan terpisah dari Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-, sementara Abu Tolhah tetap bersama Rasulullah melindungi beliau dengan tombaknya. Abu Tolhah adalah seorang yang mahir memanah dan bertubuh kekar. Dia mampu mematahkan dua atau tiga busur sekaligus. Ketika ada seorang yang lewat membawa sekumpulan anak panah ada yang mengatakan:
فيقول: انثرها لأبي طلحة .. فأشرف النبي r ينظر إلى القوم، فيقول أبو طلحة: بأبي أنت وأمي، لا تشرف يصيبك سهم من سهام القوم، نحري دون نحرك([16]).
"Berikan anak-anak panah itu kepada Abu Tolhah."
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- mengangkat kepala menoleh kearah  kaum tersebut, lalu Abu Tolhah berkata: "Demi ibu dan ayahku, janganlah mengangkat kepala sehingga terkena sasaran panah mereka. Biarlah leher-ku menjadi pelindung bagi leher-mu.[17]

Anak Yang Mati Syahid:
Ibnu Kasir menyebutkan dalam kitab al-Bidâyah wa an-Nihâyah:
قتله حبيب بن زيد، مسيلمة الكذاب، حين جعل يقول له: أتشهد أنَّ محمدًا رسول الله؟ فيقول: نعم، فيقول: أتشهد أني رسول الله؟ فيقول: لا أسمع، فجعل يُقطِّعه عضوًا عضوًا حتى مات في يديه وهو لا يزيد على ذلك([18]).
"Habib Ibn Zaid dibunuh oleh Musailamah al-Kadz-dzab[19].
Ketika Musailamah menginterogasi Habib, dia bertanya:
“Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah?" “Ya.” Jawab Habib.
“Apakah engkau bersaksi bahwa aku Rasulullah? Tanya Musailamah lagi.
Habib menjawab: “Aku tidak mendengar perkataanmu!”
(Musailamah pun marah besar) dan lalu mecincang Habib sambil mengulang-ulang pertanyaannya. Habib tidak bergoyah dalam sikapnya dan tetap menjawab seperti jawaban semula sampai akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya (sebagai syahid di sisi Allah) di tangan Musailamah.[20]

(*) Satu Langkah dari 30 Langkah Yang mesti ditempuh oleh Orangtua dalam mempersiapkan anak-anaknya konsisten dalam membela agamanya. Karya: Syaikh Salim bin madhi, penerjemah: Abu Fahmi Ahmad. www.alktibat.com.



[1] Sahih al-Bukhari no.5090, Kitab: Nikah, Bab: al-Akhiffa fi ad-Diin.
[2] Siar a’lam an-Nubala I/41-42.
[3] Sabda Rasulullah itu adalah ramalan beliau akan peritiwa yang akan terjadi setelah kematiannya. Ibu Ibnu az-Zubair merupakan salah satu sahabat Nabi dari kaum wanita. Al-Hajjaj adalah salah seorang penguasa yang lalim.
[4] Siar a’lam an-Nubala 2/294.
[5]سير أعلام النبلاء، (3/377).
[6] Asma adalah nama ibu dari Ibnu Zubair.
[7] Siar a’lam an-Nubala 3/377.
[8]سير أعلام النبلاء، (8/444).
[9] Siar a’lam an-Nubala 8/444.
[10] Siar a’lam an-Nubala8/427/428.
([11]) سير أعلام النبلاء (8/443-444).
[12] Siar a’lam an-NubalaVIII/443-444.
([13]) سير أعلام النبلاء، (8/445).
[14] Siar a’lam an-NubalaVIII/445.
([15]) سير أعلام النبلاء (2/306).
([16]) البخاري برق، (3811) والفتح، (7/506).
[17] al-Bukhari no.3811 dan Fathul bâri VII/506.
([18]) البداية والنهاية، (3/116).
[19] Seorang yang mengaku sebagai nabi setelah wafatnya Rasulullah –salallahu alaihi wasallam.
[20] Siar a’lam an-Nubala III/116.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------