LANJUTAN SIFAT MUTTAQIN :
Memaafkan Kesalahan Orang Lain :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa.” (Al Baqarah:237).

Firman-Nya lagi :
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS Asy Syura:40)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan, bahwa barang siapa memiliki sifat pemaaf dan baik, maka pahalanya ditanggung oleh Allah. Demikian juga, Allah memberi motivasi kepada mereka, bahwa mereka akan diampuni manakala mereka mengerjakan perbuatan itu.

Sebagaimana firman-Nya:
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”(An Nuur: 22)

Allah berfirman dalam mensifati orang taqwa:
“...dan orang-orang yag menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(Ali Imran: 134)

Muhammad Rasyid Ridla berkata:
“Ar Raqhib berkata: al ghaizh ( اَلْغَيْظُ) adalah asyaddul ghadlab (sangat marah), yaitu rasa panas yang dirasakan manusia sebagai akibat luapan (naiknya tekanan) darah dari jantungnya. Dan di dalam Ruhul Ma’ani disebutkan bahwa, al ghaizh adalah gejolak perangai (kemarahan) ketika melihat hal yang mereka ingkari. Beda antara ghaizh dengan ghadlabadalah, bahwa ghadlab diikuti oleh kemauan untuk segera membalas, tidak seperti al ghaizh seperti diterangkan di atas.

Az Zamakhsyari berkata:
“Kazmul ghaizh (كَظْمُ الْغَيْظِ ) adalah menahan diri dan tidak menampakkan kesan marah, serta sabar. Di riwayatkan dari Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa khadim marah kepadanya, lalu berkatalah Aisyah: Allah memuji ketaqwaan seseorang yang mampu meninggalkan amarahnya (Wal ‘Aafiina ‘anin Naas), memaafkan (kesalahan) orang, maksudnya mencabut kesalahan orang yang berlaku salah (dosa) kepadanya dan urung membalas sekalipun dia mampu melakukannya. Pengendalian nafsu (pengendalian diri) seperti ini merupakan martabat yang mulia, dan hanya sedikit orang yang dapat mencapai martabat ini. Martabat pemaaf lebih tinggi dari martabat pengendali amarah. Sebab, mungkin saja seseorang bisa mengendalikan amarahnya, namun disertai dengan dengki dan dendam.

Martabat yang lebih tinggi dari martabat pengendalian amarah dan martabat pemaaf adalah martabat muhsinin, sebagaimana firman Allah:”Dan Allah menyukai muhsinin(yaitu orang-orang yang berbuat baik).

Ihsan termasuk sifat yang disandang muttaqin. Allah tidak menggandengkan sifat ihsan dengan sifat lainnya untuk membedakannya dari yang lain, karena Allah menyukainya. Dan diriwayatkan, bahwa seorang majikan dari kalangan salaf, tiba-tiba terkena amarah budaknya, lalu dia (majikan dari kalangan salaf) berusaha untuk membalasnya, namun berkatalah si budak : wal kazhiminal ghaiza, lalu majikan pun menjawab : aku kendalikan amarahku. Si budak berkata lagi : wal ‘aafiina ‘anin Naas, lalu dia jawab : aku maafkan kamu. Si budak berkata lagi : wallahu yuhibbul muhsinin, dia jawab : pergilah, kamu bebas (merdeka) karena ridha Allah. Inilah sebuah kisah yang menerangkan tentang ketinggian martabat seorang majikan dari kalangan salaf, dimana ia naik setingkat demi setingkat dari ketiga tingkatan pengendalian amarah.” (Tafsir Al Manar, IV:134-135, secara ringkas)

Mengagungkan Syiar – Syiar Allah :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (Al Hajj:32)

Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata :
“Tentang firman Allah (wamay yu’azhzhim sya’a’irallah), Asysya’a’ir jamak dari kata sya’irah yaitu segala sesuatu yang mengandung pertanda sehingga bisa dikenali, misalnya seperti: syi’ar satu kaum di dalam peperangan, maksudnya adalah ‘tanda pengenal’ sehingga mereka mudah dikenali. Makna lain adalah Isy’arul badanah yaitu tusukan (goresan) pada tubuh unta bagian kanan, sampai mengalirkan darah, lalu menjadi semacam tanda (pengenal). Inilah yang dinamakan sya’irah (tanda), yang maknanya: diberi tanda. Maka, istilah: syiar-syiar Islam, maksudnya adalah tanda-tanda (yang dikenali) dalam Islam, misalnya yang berkaitan dengan manasik-manasik (ritual-ritual ibadah). Suatu kaum berkata, yang dimaksud di sini, adalah penggemukan unta, dan menaruh perhatian secara berlebihan terhadapnya, hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid dan Jama’ah. Dalam hal ini, terdapat isyarat halus, bahwa asal pembelian unta itu, disyaratkan dengan perbuatan (menggores badan sebelah kanan), sehingga tidak lagi menunjukkan keikhlasan. Namun, jika ia menggemukkan unta itu tanpa dibebani persyaratan, bahkan semata-mata dalam rangka mengagungkan syari’at Allah, maka inilah yang merupakan bentuk ketaqwaan hati, Allahu a’lam.”

Penyebutan kata taqwa dan hatisecara bersambung dalam kata taqwal qulubmenunjukkan hakikat ketaqwaan yang erat kaitannya dengan hati, dan adanya di dalam hati. Oleh karena itu,

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits shohihnya bersabda:
“Taqwa itu adanya di sini, sambil menunjuk ke arah dadanya,” (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, V:4448; Muslim, XVI: 120-121; Tirmidzi, VIII: 115 dan Imam Ahmad, II: 277)

Orang bertaqwa itu mengagungkan perintah Allah, sehingga mendorong mereka untuk melakukan ketaatan kepada-Nya. Begitu pula terhadap larangan Allah, sehingga mencegahnya dari maksiat kepada-Nya. Dan sebaliknya, orang bertaqwa tidak akan menghinakan perintah-perintah Allah, dan terhadap larangan-larangan Allah yang dapat menjerumuskannya, ia akan tinggalkan. Kita memohon kepada Allah untuk keselamatan kita.

Anas radliyallahu ‘anhu berkata:
“Sungguh, kalian akan melakukan amalan-amalan yang menurut penglihatanmu, lebih halus dari rambut, sedangkan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami menganggapnya sebagai perbuatan yang mencelakakan.”(H.R. Bukhari, XI: 329)

Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya, seorang mu’min melihat dosanya, seperti dia berada di lereng dan takut gunung itu runtuh menimpanya. Sedangkan orang durhaka, melihat dosanya seperti seekor lalat yag hinggap di hidungnya, lalu dia berkata: (tentang mengusir lalat) beginilah, lalu lalatpun terbang. (maksudnya menyepelekan dosa, pent.). (H.R. Bukhari, XI: 102; Tirmidzi,IX: 308, Sifat Kiamat)

Al ‘Aini berkata:
“Yang menjadikan orang mu’min itu (berlaku) demikian, karena hati seorang mu’min merupakan penerang. Jika ia melihat pada dirinya ada sesuatu yang bertentangan (dengan kehendak iman), maka ia memandang perkara itu besar. Dan hikmah mengumpamakan dosa dengan gunung, yaitu bahwa benda-benda selain gunung yang dapat membinasakan, terkadang bisa di hindari (manusia selamat daripadanya). Namun, lain halnya dengan gunung, jika runtuh menimpa seseorang, ia tidak akan selamat daripadanya.” (Dinukilkan dari Catatan Tambahan Jami’ul Ushul, XI: 508)

Tetap Menegakkan Keadilan :
Allah Ta’ala berfirman:
“Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Ma’idah: 8)

Zamakhsyari berkata:
“Janganlah karena kebencianmu kepada kaum musyrikin, membuatmu meninggalkan prinsip keadilan, sehingga kamu melampaui batas dalam memenangkan (perkaramu) dari mereka dan melampiaskan kedengkianmu dengan melakukan perbuatan yang tidak dihalalkan bagimu, berupa hukuman balasan, fitnah, membunuh anak-anak dan wanita, ataupun ingkar janji.

Ingatlah firman Allah:
“Berlaku adillah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Al Ma’idah: 8)
Allah melarang mereka meninggalkan keadilan karena kebencian, lalu diperintahkan secara lebih tegas untuk berlaku adil, sebagai penguat dan penekanan khusus; selanjutnya Allah memperingatkan mereka dengan sasaran dari berbuat adil itu sendiri, yaitu firman-Nya: “Karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.”

Di dalam perintah tersebut, terdapat peringatan besar tentang wajibnya berlaku adil, sekalipun terhadap orang-orang kafir yang jelas-jelas memusuhi Allah. Kini, tidak diragukan lagi tentang wajibnya berlaku adil terhadap orang-orang mu’min, karena mereka itu adalah wali-wali Allah dan kekasih-kekasih Allah.” (Tafsir Al Kasysyaf, I:612-613, secara ringkas)

Dinyatakan dalam hadits Bukhari Muslim, bahwa Nu’man bin Basyir berkata: “Pada suatu hari bapakku memberiku sesuatu sebagai pemberian, lalu ibuku berkata: Jangan, aku tidak rela sebelum pemberianmu itu disaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian bapakku mendatangi Rasulullah untuk meminta persaksian atas pemberian itu, lalu Rasulullah bersabda: Apakah kamu juga memberikan pemberian seperti ini kepada setiap anakmu? Dia berkata: Tidak. Lalu Rasulullah bersabda: Bertaqwalah engkau kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu. Sungguh, aku tak mau menjadi saksi terhadap kezhaliman. Lalu bapakku kembali, kemudian diambilnya lagi pemberian itu.”( H.R. Bukhari, V:211, Pemberian, V:258, Kesaksian; Muslim, XI:67, Pemberian)
Mengikuti Manhaj Para Nabi, Rasulullah dan Para Sahabat :
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”(At Taubah: 119)

Sebagian ahli tafsir, diantaranya Ibnu Katsir dan Al Qasimi menafsirkan: ayat ini  memerintahkan manusia berbuat kebenaran. Sebagian ulama lagi, misalnya Asy Syaukani mengartikannya sebagai perintah untuk beriltizam (mengikuti) jalan orang-orang yang benar (keimanannya). Dinukil dari Sa’id bin Jubair dan Adl Dlahak, “Kunu ma’ash shadiqin” adalah Abu Bakar dan Umar. Al Qurthubi dan Ibnu Jabir menyebutkan dua pendapat tersebut, sedangkan Ibnu Jarir menguatkan makna yang kedua, antara lain dia berkata: yang benar dari ta’wil ayat tersebut adalah ta’wil yang telah kami sebutkan dari Nafi’ dan Adl Dlahak. Semua itu sudah termaktub dalam ayat “wa kunu ma’ash shadiqin”,yaitu bacaan yang tak boleh seorang pun menyalahinya. Ibnu Jarir berkata lagi: Adalah Ibnu Mas’ud, telah menyebut, dan membacanya dengan “wa kunu ma’ash shadiqin”, yang dita’wilkan bahwa hal itu merupakan larangan Allah untuk berdusta. Dalam hal ini ta’wil terhadap bacaannya menunjukkan ta’wil shahih, namun bunyi bacaan aslinya bertentangan dengan bunyi ta’wil. (Jami’ul Bayan, dalam tafsir Al Qur’an, XI:46, Darul Ma’rifah, Beirut)

Al Qurthubi berkata:
“Perintah untuk bersama-sama dengan ahlus shidqin (ahli kebenaran) merupakan kebaikan. Kisah ketiga golongan (munafiq) menunjukkan bahwa sifat shidq (benar) itu memberi manfaat bagi mereka, karena melepaskan dari kedudukan orang-orang munafiq (yang berkata dusta).

Ada beberapa pendapat tentang maksud orang-orang mu’min dan shidiqin. Ada yang mengatakan, itu adalah khitbah bagi orang yang beriman dari ahli kitab. Adapula yang berkata, (kunu ma’ashshadiqin) maknanya: bergabung dengan orang-orang yang keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan dengan orang-orang munafiq, atau bermakna jadilah kamu pengikut madzhab shadiqin dan jalan yang mereka tempuh. Juga dikatakan: mereka itu golongan Muhajirin, berdasarkan pernyataan Abu Bakar pada hari Saqifah:
“Sesungguhnya Allah menamakan kita orang-orang shadiq, lalu dia membaca ayat: (Lil fuqara’il muhajirin), Al Hasyr: 8, kemudian Allah menamakan kalian: golongan yang benar (shadiqun).

Lalu dia membaca ayat (Walladzinat tabawwa’ud dara wal iman), Al Hasyr: 9. Dia katakan, mereka itu adalah orang-orang yang lahir dan batinnya sama.”
Ibnul ‘Arabi berkata: Perkataan ini merupakan hakikat dan tujuan akhir, sebab sifat ini dapat menyingkirkan sifat nifaq dalam aqidah dan hal-hal yang bertentangan dengan amal.
Pemilik sifat ini dinamai “Ash Shiddiq,” seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan orang-orang lain yang sederajat dan sezaman dengan mereka. Adapun tentang Abu Bakar Ash Shiddiq, maka tafsirnya itu merupakan sebutan yang umum, sebab seluruh sifat ada padanya.”( Al Jami’ li Ahkamil Qur’an,IV: 3128, ringkasan)

Maka tak diragukan lagi, bahwa yang termasuk sifat orang yang bertaqwa, yaitu berjalan mengikuti manhaj shahabat radliyallahu ‘anhum, sebab mereka itu tergolong manusia yang sangat mulia karena memiliki sifat shidiq.Dan Allah memerintahkan kepada kita, agar kita menjadi seperti pemilik sifat tersebut dan bersamanya. Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kesaksian tentang kemuliaan mereka. Oleh karena itu, siapapun tidak boleh mencela mereka sedikitpun atau menuduh mereka dengan sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya berlepas diri tentangnya. Maka dari itu, para sahabat itu seluruhnya lurus dan benar (‘udul), pada diri mereka tampak tanda-tanda keshiddiqandan keimanan, yang membuat orang berakal dapat memastikan ‘udulnya mereka itu.Bagi orang bertaqwa, tentu dia harus muwalahterhadap mereka, membela mereka dan berhujjah dengan ijma’ mereka (Ijma’ shahabat). Semestinya, orang bertaqwa memahami Al Kitab dan As Sunnah menurut manhaj dan jalan mereka, serta membenci orang yang membenci dan menjelekkan mereka.

Menghindari Syubhat dan Ghuluw (Berlebih – lebihan) :
Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu berkata:
“Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat taqwa, sehingga dia meninggalkan apa-apa yang membuat hatinya ragu dan bimbang.” (H.R. Bukhari, I:45; Tirmidzi, IX: 278; Ibnu Majah, no. 4215; Hakim, 4319)

Al Hafizh berkata: Yang dimaksud dengan taqwa adalah membentengi diri (jiwa) dari syirik dan amalan-amalan buruk, dan senantiasa memacu diri, untuk berbuat kebaikan-kebaikan. Perkataan “Haaka” maksudnya adalah keraguan. Hal ini menunjukkan, bahwa sebagian orang mu’min dapat mencapai kedalaman iman dan hakikatnya, namun sebagian yang lain tidak dapat mencapainya. Ibnu Abid Dunya mentakhrij di dalam kitab At Taqwa, bahwa Abu Darda’ berkata: “Kesempatan taqwa adalah bertaqwa kepada Allah dengan makna sebenarnya, sehingga dia meninggalkan apa-apa yang dilihatnya halal, karena takut menjadi haram. “ (Fathul Bari, I:48, secara ringkas)

Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu berkata :
“Tinggalkan olehmu apa-apa yang meragukanmu, menuju kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.” (HR An Nasa’i, VII:230; menurut Al Albani hadits ini mauquf dan sanadnya shahih. Dalam riwayat lain, marfu’ dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dikeluarkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim, dan shahih menurut Tirmidzi)

Makna pernyataan tersebut adalah, bahwa mereka meninggalkan setiap perkara yang meragukan di dalam kehalalannya. Sebab, halal yang murni tidak akan mendatangkan keraguan di hati seorang mukmin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, yang haram pun telah jelas, di antara keduanya terdapat perkara yang syubhat (hukumnya meragukan) yang justru tidak banyak diketahui oleh orang. Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah memelihara agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, maka dia akan terjerumus pula ke dalam yang haram.” (HR Bukhari, I:126, Iman, Muslim, XI:27, Pengairan dan Pertanian; Abu Dawud, 2313, bab Jual Beli, Tirmidzi, V:198-199, Jual Beli; Ibnu Majah, no 3984, bab Fitnah; Ad Darimi, II:245; Ahmad, IV:269)

Maka, orang bertaqwa harus sangat hati-hati terhadap barang syubhat dan apa yang membuat mereka bimbang, yang kehalalannya tidak jelas. Dan juga, sangat berhati-hati dari barang yang jelas haram. Barangsiapa berani menerjang yang syubhat, (pada umumnya) berani pula menerjang yang haram.

Terdapat riwayat dalam Bukhari – Muslim :
“Barangsiapa dapat meninggalkan perkara yang membuatnya ragu (takut berdosa), tentu dia dapat meninggalkan perkara yang sudah jelas dosanya. Maknanya, siapa yang dapat menghindari dosa karena perkaranya meragukan (syubhat) baginya, maka dia akan lebih mudah lagi meninggalkan perkara yang sudah jelas dosanya.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Disinilah perkara yang harus dicermati, bahwa sikap hati-hati terhadap syubhat, hanya layak dimiliki oleh seorang yang istiqamah dalam berbagai kondisi dan melandasi amalan-amalannya dengan ketaqwaan dan kewara’an. Adapun orang yang telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, lalu dia ingin berhati-hati terhadap perkara yag syubhat, niscaya dia tidak mampu menghindari syubhat, bahkan mungkin ia akan mengingkari kehati-hatiannya itu. Sebagaimana perkataan Ibnu Umar: Sebagian penduduk Irak bertanya kepada saya tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh Husain, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Keduanya (Hasan dan Husain) adalah “wangi-wangian”ku dari (kehidupan) dunia.” (H.R. Bukhari VII: 95, Keutamaan sahabat; Tirmidzi, XIII: 193, bab Biografi Para Shahabat, berkata Ibnul Atsir: (Ar Raihan dan Ar Raihanah) adalah rezki dan istirahat, itulah mengapa anak sering dinamakan raihan dan raihanah)
Ada yang bertanya kepada Bisyir bin Al Harits tentang seseorang yang mempunyai istri, dan ibunya memerintahkan kepadanya agar menceraikan istrinya itu. Lalu Bisyir bin Al Harits berkata: Jika ia sudah berbuat baik kepada ibunya dalam segala hal, dan tidak ada yang tertinggal kecuali berbuat menceraikan istrinya itu, maka lakukanlah. Dan apabila menceraikan istrinya itu termasuk berbuat baik kepada ibunya, namun setelah menceraikan itu dia mendatangi ibunya dan memukulnya, maka janganlah ia menceraikan istrinya.

Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang membeli sayuran dengan syarat disertai semacam tali untuk mengikat sayuran tersebut (maksudnya, tali itu termasuk dibeli, dan tidak akan dikembalikan, ed). Lalu Imam Ahmad berkata: “Persoalan apa ini ?” Dikatakan: Sesungguhnya Ibrahim bin Abi Nu’aim melakukan hal demikian. Kemudian Imam Ahmad berkata: Jika Ibrahim bin Abi Nu’aim yang melakukan hal demikian, maka boleh saja dikerjakan.Namun dalam hal ini, saya tidak menganjurkan kepada orang yang tidak menyerupai keadaan Ibrahim bin Abi Nu’aim, untuk melakukan hal serupa.Adapun bagi orang yang teliti dan wara’ (hati-hati dalam bertindak), keadaan mereka serupa dengan kasus ini. Dan Imam Ahmad melakukan kehati-hatian seperti itu. Pernah ketika dia menyuruh orang untuk membeli samin (mentega), lalu dibawanya samin tersebut disertai dengan kertas (bungkus), lalu Imam Ahmad memerintahkan untuk mengembalikan kertas tersebut kepada penjualnya.” (diringkas dari Jami’ul ‘Ulum wal Hakim, 103-104) 




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------