Imam Syafii  Tentang Menghadiahkan kirim Pahala  Bacaan Al Qur’an Kepada Orang Yang Telah Mati *

Bacaan al Qur’an yang dilakukan oleh seorang anak (kandung) untuk orangtuanya yang telah meninggal tidaklah sama bacaan orang hidup yang dibacakan untuk orang yang sudah mati yang tidak ada hubungan nasab. Begitu pula dalam hal sedekah, membayar puasa nazhar, hajji dan lainnya. Berdasarkan hadits-hadits shahih, untuk kasus yang pertama, anak kandung terhadap orang tuanya, maka semua amal shalih yang dikerjakannya maka kedua orangtuanya akan mendapat pahalanya meskipun tidak diperuntukkan (dihadiyahkan) untuk mereka. Dan sebaliknya apabila dia bukan anak kandung , maka dia tidak bisa memberikan atau menghadiahkan pahala amal shalih-nya atau ibadahnya kepada orang lain seperti bersedekah atas namanya atau menghajikannya atau mem- puasakannya (puasa nadzar menurut pendapat yang lebih kuat, raojih) dan lain-lain.
Perbuatan amal shalih seorang anak kandung yang masih hidup bagi orangtuanya (yang masih hidup maupun yang telah meninggal) bagaikan seorang muslim yang menanam sebuah pohon atau tanaman, maka apa saja yang ia makan dari buah pohon tersebut atau tanaman tersebut yang ditanam baik dengan seizing pemiliknya atau dicuri, baik oleh manusia atau hewan niscaya pemiliknya atau yang menanamnya (jika ikhlas) maka tetap akan memperoleh pahalanya. Sebagaimana sabda Nabi saw:
{مَامِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَـأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَو نِساءٌ أوْ بَهِيْمَةٌ إِلاَّ كانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ}
“Tak seorang muslim pun yang menanam satu pohon atau menanam tanaman, lalu dimakan oleh burung atau manusia atau binatang melainkan merupakan sedekah baginya” HR Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik .
Mengapa amal shalih anak kandung itu pahalanya sampai juga kepada orangtuanya ? Karena Nabi saw menjelaskan bahwa anak adalah “hasil usaha” (kasab) dari orangtuanya. Perhatikan sabda Nabi saw berikut:
{إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ ما أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَ لَدُه ُ مِنْ كَسْبِهِ}
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang ialah dari hasil usahanya dan anaknya adalah dari hasil usahanya” Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (ini lafazhnya), Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad serta lainnya dari jalan Aisyah ra. Lafazh lainnya:
{وَلَدُ الرَّجُلِ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِهِ  فَكُلُوا مِنْ أَمْوالِهِم  } 
Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda: “Anak seseorang itu dari hasil usahanya, (bahkan) dari sebaik-baik usahanya, maka bolehlah kamu (orangtua) memakan dari harta-harta mereka” Lafazh Abu Daud.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra:
{أَنَ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فقال: يارسولَ  الله إِنَّ لِيْ مَالاً وَوَلَدًا وَإِنَّ وَالِدِيْ يَـجْتَاحُ مالِيْ. فَقالَ النَّبِي : أَنْتَ وَ مَالُكَ لِوَالِدِكَ ، وَ إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَـكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ}.
Sesungguhnya ada seorang laki-laki pernah dating kepada Nabi saw dan dia berkata (mengadu kepada beliau), “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta dan anak. Dan sesungguhnya bapakku telah mengambil hartaku. Beliau bersabda, ‘Kamu dan harta kamu milik bapakmu. Dan sesungguhnya anak-anak kamu itu sebaik-baik dari usaha kamu, maka makanlah dari usaha anak- anak kamu” Hadits hasan riwayat Abu Daud (ini lafazhnya), Ibnu Majah dan Ahmad, dll.
Lalu bagaimana hubungannya dengan ayat al Qur’an yang seakan-aakan mengatakan bahwa kebaikan tidak akan diperoleh seseorang kecuali dari hasil usahanya ? QS An Najm: 39.
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى
39. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
QS An Najm: 39.
Jawabannya, tentu saja tidak bertentangan antara hadits di atas dan ayat ini, karena anak merupakan hasil usaha orangtua, maka orangtua berhak menerima dari setiap amal shalih anaknya.
Dan ini tidak akan hasil kecuali dari anak yang shalih dan amal shalih. Adapun dosa yang dilakukan anak, maka orangtua tidak akan mendapatkan dosanya, apabila mereka menghendaki anak-anaknya menjadi orang yang shalih. Kecuali jika orangtua andil dalam perbuatan dosa anak-nya. Misal saja nanti terkait dengan bab tanggung jawab orangtua mendidik anak-anaknya dengan didikan Islami yang shahihah.

Perhatikanlah kaidah ilmiyah yang terdapat dalam nash-nash di atas:

“Bahwa seseorang tidak akan mendapat pahala atau ganjaran
 kecuali atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan anak adalah masuk ke dalam usaha orangtua bahkan sebaik-baik usaha mereka”. Oleh karena itu anak masuk ke dalam keumuman ayat di atas, an Najm: 39. Selain itu bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain (An Najm: 38).

Inilah Dua Kaidah Besar Dalam Islam:


Dalam hal ini menjadi jelas, bahwa kedudukan as sunnah adalah sebagai penafsir bagi al Qur’an. Simak kembali firman Allah dalam QS an nahl: 44.
Ada dua hal yang penting dalam kaidah di atas:
1.    Bahwa al Qur’an selamanya tidak akan bertentangan dengan ayat al Qur’an yang lain, karena bisa saling menafsirkan satu dengan lainnya.
2.    Bahwa al-Hadits selamanya tidak akan bertentangan dengan al Qur’an  dengan syarat hadits tersebut shahih dan belum di mansukh (dihapus hukumnya).
3.    Hadits dengan hadits selamanya tidak akan bertentangan dengan syarat hadits-hadits tersebut shahih dan belum di mansukh hukumnya.
4.    Dalil-dalil naqli (al Kitab dan as Sunnah) dan dalil-dalil aqli (akal) selamanya tidak akan bertentangan dengan syarat shahih (lurus & sehat) akalnya dan tegas bukan akal yang sakit dan goncang (seperti filosof, pluralis dan Islam libral dan sejenisnya).
Ibnu Katsir rahimahullah memegaskan dalam kitab Tafsirnya, ketika menafsirkan ayat 39 surat an Najm di atas:
“Yaitu, seperti halnya seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian pula seseorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dan dari ayat-ayat yang mulia ini Al Imam Syafii rahimahullah dan para `Ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hokum:

Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang-orang yang telah mati, karena bacaan itu bukan dari amal mereka dan usaha mereka. Oleh karena itu Nabi saw tidak pernah menyunatkan umatnya (untuk menghadiahkan pahala bacaan al Qur’an kepada orang-orang yang telah mati), dan tidak juga menggemarkannya , dan tidak pula memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan Nash (dalil tegas dan terang) dan tidak pula dengan isyarat. Dan tidak dinukil dari seorangpun dari kalangan Shahabat yang Allah meridloi mereka (bahwa mereka ada kegiatan mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Jika memang perbuatan itu sebagai amal kebaikan dalam ibadah tentu para Shahabat telah mendahului kita mengerjakannya dengan baik. Jika perkaranya masuk ibadah, tentu acuannya harus kepada dalil-dalil Nash saja, tidak boleh dipalingkan kepada akal, ra`yu maupun analogi-analogi apalagi perasaan dan intuisi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Dan tidak menjadi kebiasaan Salaf, apabila mereka shalat sunat atau puasa sunat atau haji sunat atau mereka membaca Qur’an, lalu mereka hadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum Muslimin. Maka menjadi tidak patutlah kita berpaling dari perjalanan Salaf. Mereka lebih utama dan lebih sempurna (dalam paham dan komitmen agamanya).

Orang Mati Dapat Memperoleh Manfaat Dari Apa yang Tak ada campur tangan darinya semasa hidupnya, dan bukan dari usahanya:
(Tahdzib Syarah ath-Thahawiyah, 2 , hal. 36-39):
Beliau mengutip dalil-dalil dari al Qur’an seperti QS al-Hasyr: 10 “Dan orang-orang yang datang kemudian setelah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo`a: Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan sauadara-saudara kamu yang telah beriman lebih dahulu dari kami..”
Dalil dari as Sunnah:
Sampainya do`a. Seperti sehubungan shalat jenazah dan doa disaat pemakaman mayat. Dalam sunan Abu Daud, dari hadits Utsman bin `Affan ra berkata:
كانَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم إِذا فَـرَغَ مِنْ دفْنِ المَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فقال:
{ اِسْتَغْفِرُوا لأ َخِيْكُمْ واسْئَلُوا لهُ التَّـثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْئَلَ}
“Dahulu, apabila Nabi saw usai mengebumikan mayat beliau kemudian berdiri di samping kuburan dan berkata: “mohonkanlah ampunan untuk saudaramu, dan mintakanlah baginya keteguhan. Sesungguhnya ia kini sedang ditanya”. Juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, al-Hakim, shahih menurut nya dan disepakati oleh adz Dzahabi. Imam Nawawi dalam al_majmu, 5: 292 mengatakan serajat sanadnya baik.
Ada pula do`a ketika menziarahi pemakaman kaum muslim, dalam shahih Muslim dari Buraidah al-Hasib, ia berkata: Dahulu Rasulullah saw  mengajarkan mereka bila keluar berkunjung ke pekuburan untuk mengucapkan:
{السَّلاَمُ عًَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيارِ مِنَ المُؤْمنين والمسلمين ، وَ إِنَّا إِنْ شاءَ الله ُ بِكُمْ لا حِقُوْنَ نَسْأَلُ الله ُ لَنا زلَـكُمُ الْعافِيَةَ}
“Selamat atas kamu wahai penghuni negeri (peralihan), dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Sesungguh nya kami pasti akan menyusul kalian. Kami memohon keselamatan bagi kami dan bagi kalian semua” .
Dalam hadits lain, terdapat ijmak kaum muslimin tentang disyariatkannya doa untuk orang yang mati (dalam shalat jenazah). Juga tentang “pelunasan hutang”  bukan dari harta warisnya, tetapi dari orang lain, dari shahabat Abu Qatadah.
“Diamana Abu Qatadah menjamin 2 dinar dari hutang si mayit. Seusai ia membayarkannya, Nabi saw bersabda: “Sekarang, engkau telah mendinginkan kulitnya” HR Ahmad dari Jabir bin Abdullah dan juga dari al-Hakim (shahih menurutnya) dan disepakati oleh adz Dzahabi.
Dalam hadits Jabir ra yang mengatakan bahwa aku pernah shalat `Idul Adlha bersama Nabi saw. Seusai shalat beliau datang membawa seekor kambing qibas dan menyembelihnya. Lalu beliau bersabda: “Bismillah, Wallahu Akbar. Ya Allah, ini untukku dan untuk umatku yang belum sempat berkurban” HR Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Al Hakim, beliau menyatakan sanadnya shahih dan disepakati oleh adz Dzahabi. Syaikh al Albani berkomentar, ‘Hadits ini seperti yang mereka berdua katakana, lihat Irwa’ul Ghalil, IV: 350.

Khusus Amal Shalih Anak Kandung Yang Masih Hidup, Pahalanya Akan sampai pada Orang tuanya yang telah meninggal, diperuntukkan ataupun tidak:

 

Shadaqah Untuk atas nama Ibunya:

عن عائشة رضي الله عنها : {أنّ رجلا قال للنّبي صلى الله عليه وسلم : إِنّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نقسُها وَ أَ ظُـنُّها لَوْ تَكَلَّمتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَها أَجْـرٌ إِن تَصدَّقْتُ عنها (ولِيَ أَجْـرٌ) ؟ قال: نَعمْ  (تَصَدَّقْ عَنْها)}
Dari Aisyah ra bahwasanya ada seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi saw, “Sesungguhnya ibu-ku wafat secara mendadak dan aku kira jika sekiranya dia sempat berbicara niscaya dia akan bersedekah, maka apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bersedekah untuknya (dan aku pun akan memperoleh pahala ?) Nabi menjawab, “Ya, (bersedekahlah untuknya), yakni atas namanya” HR Bukhari, no. 1388 dan 2760, dan Muslim 3/81, 82 dan 5/ 73, Abu Daud, Nasai, Malik, Ahmad dan Ibnu Majah. Lafazh ini dari Bukhari. (  ) pertama dari riwayat Ibnu Majah, dan (  ) kedua riwayat dari Imam Bukhari, no. 2760. Catatan: Tentu sedekah yang dimaksud bukanlah seperti yang terjadi di kita dalam acara bid`ah, seperti melalui tahlilan dan upacara selamatan kematian.

Membayar Puasa Nadzar Orangtua:
عن عائشة رضي الله هنها : أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:{ مَنْ ماتَ وَ عَلَيْهِ  صِيامٌ صامَ عَنْهُ وَلِيُّـهُ }
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mati meninggalkan puasa hendaklah walinya (maksudnya anak, berdasarkan hadits Ibnu Abbas) menggantikan puasanya” HS Bukhari, no. 1952 dan Muslim 3 / 155 dan lain-lain.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : {جاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رسولِ الله إِنّ أُ مِّي ماتَتْ وعليْها صَوْمُ نَذْرٍ أَفَـأَصُوْمُ عنها ؟ قال : أَرَأَيْتَ لَوْ كانَ علَى أُ مُّكِ دَيْنٌ فَـقَـضَيْتِيْهِ أَكانَ يُؤَدِّي ذلكِ عنها ؟ قالت : نَعَمْ . قال : فَصُوْمِي عنْ أُ مُّكِ (فدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُـقْضَى)}
Dari Ibnu Abbas ra, berkata: “ Datang seorang wanita kepada Rasulullah saw dan ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibu-ku telah wafat dan ia mempunyai puasa nadzar, apakah boleh aku berpuasa untuknya (yakni untuk membayar puasa nadzarnya ?). Nabi menjawab:  “Bagaimana menurutmu jika sekiranya ibumu mempunyai hutang lalu engkau bayar hutang tersebut, apakah hutang tersebut terlunasi darinya ?  Jawab wanita itu: Ya. Lalu Nabi bersabda: ‘Maka puasalah untuk ibu-mu, karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan”. HS riwayat Bukhari no. 1953 dan Muslim 3 / 155-156, dan lain-lain Imam ahlul hadits.
Menghajikan Orangtua yang masih hidup akan tetapi tak mampu mengadakan safar haji, baik karena usia tua atau sakit yang menahun atau lainnya.
عن عبد الله بن عباس أنّه قال: كانَ الْفَضْلُ بْنُ عباس رَدِيْفَ رسولِ الله صلى الله عليه  وسلم فَـجاءَتْ امْـرَأَةٌ مِنْ خَثْـعَمَ تَسْتَفْتِيْهِ. فجعل الفضلُ ينظرُ إليها و تنظرُ إليهِ ، فجعل رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يَصْرِفُ وجْهَه الفضل إلى شِقِّ الآخـر. قالت : يا رسولَ الله إِنّ فريضةَ الله على عباده فس الحجِّ أدْرَكَتْ أَبِيْ شَيْخًا كبيـرا لا يسْتَطِيْعُ أَنْ يَثْبُتَ على الرَّاحِلَةِ أَ فَـأَ حُجُّ عنْهُ ؟ قال : نعم (فـحُجِّي عنْهُ). وذلك في حـجة الوداع .
Dari Abdullah ibnu Abbas ra, bahwasanya dia berkata, Fadl bin Abbas pernah membonceng di belakang Rasulullah saw lalu datanglah seorang wanita dari (suku) Khats`am meminta fatwa kepada beliau. Maka Fadl pun melihat kepadanya dan wanita itu pun melihat kepada Fadl. Lalu Nabi saw memalingkan muka Fadl ke sisi lain. Berkata wanita tersebut, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji yang telah Allah fardlukan atas hamba-hambaNya telah sampai kepada bapak-ku yang telah tua usia, dan dia tidak sanggup lagi untuk tetap duduk (berlama-lama) di atas kendaraan, maka apakah boleh aku menghajikannya (menggantikan hajinya, hajji badal) ? Jawab Nabi saw, “ Ya hajikanlah untuknya (atas nama dia)”. Ibnu Abbas ra berkata, “Kejadian ini pada waktu Haji Wada’. (Hadits ini dijadikan alasan sebagian ulama ahlu sunnah yang menganggap bahwa wajah wanita bukan aurat, atau tidak wajibnya cadar, bukti bahwa Rasulullah tidak memerintahkan wanita tsb menutupi wajahnya, justru hanya memalingkan wajah Fadl bin Abbas saja, wallahu a`lam).

Menunaikan Nadzar Haji Orangtua Yang Telah Wafat

Yang Belum tertunaikan:

:{ أنّ امـرأَةً مِنْ جُـهيْنَةَ جاءتْ إِلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: إِنَّ أُمِّـي نَذَرَتْ  أَنْ تَحُـجَّ فَـلَمْ تَحُـجَّ حَتَّى ماتتْ أَ فَـأَحُـجُّ عنها ؟ قا : نعم حُـجِّي عنْها، أَرَأَيْتَ لَوْ كان عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَ كُنْتِ قاضِيَتَهُ ، اقْضُوا الله َ فا لله ُ أَحقُّ بِا لْوَفاءِ}
Dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya ada seseorang wanita dari suku Juhainah bertemu Rasulullah saw seraya berkata, “Sesungguhnya ibuku bernadzar hajji, akan tetapi sampai wafat ia belum menunaikan haji (nadzarnya), maka boleh aku menghajikannya (untuk menunaikan nadzar haji ibu ? Jawab Nabi, “Ya, hajikanlah untuknya. Bagaimana menurutmu kalau sekiranya ibumu memiliki hutang apakah engkau akan melunasinya ? Tunaikanlah hak Allah ! Karena (hak) Allah lebih berhak untuk ditunaikan. HSR Bukhari, 1852.
Menghajikan Orangtua yang telah wafat (haji fardlu, bukan nadzar):
عن عبد الله بن بريدة عن أبيه رضي الله عنه قال : بَيْنَما أَنا جالِسٌ عِنْدَ رسولِ الله صلى الله عليه وسلم إِذْ أَ تَتْهُ امْـرَأةٌ فقالت: إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلى أُمِّي بِجلرِيَةٍ وَ إِنَّها ماتتْ ؟ قال : فقال : وَجَبَ أَجْرُكِ وَ رَدَّها عَليْكِ الْمِيْراثُ. قالت : يا رسول الله إِنَّهُ كانَ عَليْها صَوْمُ شَـهْرٍ أَ فَأَصُوْمُ عنْها ؟ قال: صُوْمِي عنْها. قالت : إِنّـها لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَ فَأَحُـجُّ عنها ؟ قال: حُـجِّي عنها.
Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya (Buraidah), ia berkata: Ketika aku sedang duduk di sisi Rasulullah saw tiba-tiba datang  seorang wanita berkata, “Sesungguhnya aku pernah sedekah kepada ibuku (ketika masih hidup) seorang budak perempuan dan sekarang ibuku telah wafat. Buraidah berkata, “Jawab Nabi saw, “Wajib pahala atasmu (sedekahmu untuk ibumu) dan kembali budak peermpuan kepadamu sebagai waris. Perempuan itu bertanya lagi, “Ya Rasulullah sesungguihnya ibuku ada tanggungan puasa satu bulan, maka apakah boleh aku menggantikan puasanya ? (puasa nadzar). Jawab Nabi, “ya, puasalah untuknya. Lalu dia bertanya lagi, “Sesungguhnya ibku belum menunaikan haji fardlu sama sekali, maka aku boleh menghajikannya ? Jawab Nabi saw, “Hajikanlah. HSR Muslim, 3/ 156.
·       Sumber:
·       Menanti Buah Hati dan Hadiyah Untuk Yang dinanti, Abdul Hakim bin Amir Abdad, Daar al Qalam, hal.28-37. 
·       Ath Thariq ilal-Jannah, Tahdzib Syarah Ath-Thahawiyah-2, Pustaka At-Tibyan-Solo, hal. 35-42;  Taisirul `Aliyyil Qadir li Ikhtishar Tafsir Ibni Katsir oleh Muhamamd nasib ar Rifa`ii, jilid 4, surat an Najm: 38-39,
·       Minhajul Muslim oleh Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, dan
·       Aqidah dan Manhaj Imam Syafii, penerbit Pustaka Imam Syafii Bogor, Dan  Menuju Surga Lewat bakti Kepada Orangtua, Abu Fahmi, Wala’ Press.
·       Fatwa Terkini I-III, Darul Haq Jakarta
·       Majmu`at at Tauhid
·       Kitab Tauhid, Syaikh Shalih al Fauzan
·       Al Wajiiz fil `Aqidah Ahlis sunnah wal Jama`ah.
·       Tafsir Surat yasin, Syaikh Muhammad bin Shalih al –Utsaimin.
·       Tafsir Ibnu Katsir, Mishbahul Munir.



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------