Allah Berfirman :
 233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Makna Al-Hadlonah (Pengasuhan) adalah:  melindungi anak dan membiayainya hingga mencapai usia baligh (Dari Syaikh Abu Bakar al Jazairi dalam kitabnya ”Minhajul Muslim, hal. 364, Dar As Salam-Kairo-Mesir, Edisi Baru).
Hadlonah ini wajib diberikan kepada anak-anak yang masih kecil untuk menjaga badan mereka, akal mereka, dan agama mereka. Tentu saja kewajiban ini ada pada pundak kedua orangtuanya. Jika keduanya telah meninggal dunia, maka hadlonah terhadap anak mereka wajib dikerjakan oleh sanak kerabatnya yang paling dekat dan sanak kerabat urutan berikutnya. Jika mereka itu semuanya tak ada, maka hadlonah dilimpahkan kepada pemerintah atau satu jama`ah dari kaum muslimin (misal saja: lembaga pengasuhan anak- anak muslim yang ada disekitar kita, semacam panti-panti spsial asuhan anak – PSAA).

Hak HADLONAH bagi si kecil ketika ayah-ibunya bercerai

Bagaimana jika suami isteri beercerai, sementara masih ada hak hadlonah
bagi anak nya ? Jika terjadi perceraian atau salah satunya meninggal, maka orang yang paling berhak meng-hadlonah anak-anak ialah ibunya (jika diceraikan suaminya, dan belum menikah lagi), berdasarkan sabda Nabi Saw:

{أَنْتِ أَ حَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْـكَحِيْ}

 “Engkau (isteri) lebih berhak atas anakmu, selagi engkau belum menikah lagi”
 (HR Ahmad, Abu Daud,, dan dishahihkan oleh al Hakim).
Jika ibunya tidak ada, maka orang yang paling berhak meng-hadlonah anak kecil tersebut ialah nenek dari jalur ibu, dan jika ia pun tidak ada maka orang yang paling berhak menghadlonah anak tersebut  ialah bibi dari jalur ibunya. Karena keduanya (nenek atau bibi dari jalur ibu) posisinya seperti ibunya sendiri bagi si anak. Nabi Saw bersabda:
{ اَ لْـخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ}
“Bibi dari jalur ibu itu seperti ibu” (HR Bukhari-Muslim).
Jika bibi dari jalur ibu tidak ada, maka orang paling berhak meng-hadlonah anak kecil tsb adalah nenek dari jalur ayahnya, juka nenek dari jalur ayahnya tidak ada, maka yang paling berhak menghadlonah anak tsb saudara perempuan anak kecil tsb, jika ia pun tak ada, maka beralih kepada bibi dari jalur ayahnya, dan jika ia juga tak ada maka beralih kepada perempuan dari saudara ayah tsb. Jika semua orang di atas tidak ada, maka hadlonah kembali kepada ayahnya., lalu kakeknya, lalu saudara ayahnya, kemudian anak dari saudara ayahnya, kemudian pamannya dari jalur ayahnya, lalu keluarga yang paling dekat, dan keluarga lainnya sesuai dengan urutan kekerabatan.
Saudara kandung lebih diutamakan untuk menghadlonah anak kecil daripada saudara seayah,  dan saudara perempuan sekandung juga lebih didahulukan untuk menhadlonah nya daripada saudara perempuan seayah. (Minhajul Muslim, hal. 365).

Penjelasan Tafsinya:

{وَاْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْ لاَ دَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ}

(Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama 2 tahun penuh). Disebutnya waktu penyusuan 2 tahun ini menunjukkan bukti secara hakiki dan bukan perkiraan. Tidak seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah, yang menyebutnya 30 bulan, atau yang dikatakan Ali Zafar yang menyebutnya 3 tahun.

{لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُـتِمَّ الـرَّضَاعَة}

 (Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan susuan). Hal ini menunjukkan bahwa waktu 2 tahun itu bukan harga mati, namun bisa lebih pendek dari itu, tak ada batasan pasti, tergantung dari kemaslahatan bagi anak dan ibunya maupun pola makannya. Ayat ini secara jelas mewajibkan para ibu untuk menyusui bayinya, terlebih lagi jika wanita lain tidak dapat diterima oleh si bayi (Tafsir Fathul Qadir, I/301; Husnul Uswah, Sayyid Muhammad Shiddiq Khan , 44-45)

{اَ لْمَوْلُوْدُ لَـهُ}

artinya ayah anak. Lafazh ini lebih diutamakan penggunaannya daripada  lafazh al-waalid. Guna menunjukkan bahwa anak itu milik ayahnya dan bukan milik ibunya, karenanya setiap anak itu dinisbatkan kepada ayah.
{ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالـمَعْرُوْفِ}
.         Artinya makanan yang mencukupi dan yang lazim dikonsumsi umumnya orang. Begitu juga pakaian.  Artinya menurut kadar kemampuan dan mudah diperolehnya. Kewajiban  ayah ini berlaku terhadap ibu (isteri) yang sedang menyusui, sebagaimana halnya ketika tidak dalam menyusui. Adapun untuk isteri yang ditalak ba’in (tak bisa rujuk kembali kecuali diselengi dengan menikah lagi isterinya), kewajiban ayah adalah menafkahi isteri yang menyusui. Imam al Qurthubi menegaskan, bahwa kewajiban ayah ini berkenaan dengan isteri yang berada dalam ikatan perkawinan, pemenuhan pangan dan sandang. Begitu pula kewajiban ayah memberi nafkah kepada anak, Allah menisbatkan kepada ibu karena makanan anak itu masuk melalui ibunya ketika menyusuinya. Sebagaimana para ulama sepakat kewajiban ayah memberi nafkah anak-anaknya yang masih kecil.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini sbb: Maksudnya, seorang ayah berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma`ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka  di negeri mereka masing-masing, dengan tidak berlebihan atau kurang dari selayaknya, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dialami oleh ayah si bayi. Sebagaimana firman Allah, QS Ath-Thaalaq: 7
(Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak  akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan)”.
Adl-Dlohhak berkata: “Jika suami menceraikan istrinya, dan ia memperoleh anak dari isterinya tersebut, lalu mantan istrinya itu menyusui anaknya itu, maka sebagai ayah ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan istrinya te
ersebut dengan cara yang ma`ruf”.

{لاَ تُكَـلَّفُ نَفْسٌ } مِنَ النَّفَقَةِ وَ الكِسْوَةِ  { إِلاَّ وُسْعَـهَا لاَ تَضَأرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَ لاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ}

(Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya).
Syaikh Shiddiq Ahmad Khan mengatakan, “Maksudnya bahwa seseorang tidak dibebani nafkah dan pakaian, melainkan menurut kemampuannya. Istri tak boleh mendapat madlarat dari pihak suami karena tidak terpenuhinya kewajiban dari suaminya atau suami merenggut anak dari tangannya tanpa sebab. Ayah juga tidak boleh mendapat madlarat karena anak, seperti tuntutan dari isteri kepadanya diluar kemampuannya, baik berupa nafkah maupun pakaian. Makna ini didasarkan pada lafazh “maf`ul”. Jika menggunakan lafazh “fa`il”, maka maknanya, ibu tidak boleh  menimbulkan madlarat terhadap ayah, karena ia mendidik anak dengan cara yang buruk atau mengurangi porsi seimbang makanan nya. Ayah juga tidak boleh mengabaikan pemeliharaan anak dan memenuhi kebutuhannya. Kadang kala anak dikaitkan dengan ayah, namun kadang juga dengan ibu. Ini hanyalah untuk menggugah perasaan dan bukan untuk memposisikan nasab. Karena nasab disandarkan kepada ayah saja. (hal. 46).
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, tentang firman Allah (Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya), yaitu si ibu memberikan anak-nya kepada ayahnya dengan maksud untuk menyusahkan ayahnya (mantan suaminya) dalam mengasuhnya. Si ibu tadi juga tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya sehingga ia menyusuinya karena dikhawatirkan kesehatannya dan kehidupannya (nyawanya) terancam jika tak di susuinya. Kemudian setelah penyusuannya, ia boleh menyerahkan bayi tsb jika ia menghendaki. Tetapi jika menyusahkan ayahnya, maka ia tak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si ayah tidak boleh merebut bayi tsb dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karenanya Allah berfirman (Dan jangan pula seorang ayah menderita kesengsaraan karena anaknya), yakni si ayah berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya. Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adl-Dlohhak, az-Zuhri, as-Suddi, ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dll.

{ وَ عَلَى الْـوَارِثُ مِثْلُ ذلِكَ}

 (Dan warispun berkewajiban demikian) . Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan: Ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan madlarat kepada kerabatnya. Seperti dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya`bi dan adl-Dlohhak, Ada juga yang mengatakan kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada ayah bayi itu. Yaitu memberikan nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak  mencelakakannya. Demikian menurut jumhur `ulama. Ibnu Jarir ath Thabari secara panjang lebar membahas dalam kitab Tafsirnya. Hal ini dijadikan dalil oleh pengikut madzhab Hanafi fan Hanbali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain. Yang demikian ini juga diriwayatkan oleh Umar bin Khtottob Ra dan jumhur `ulama salaf.
{فَإِنْ أَرَادَ فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا}  (في ذلك الفصال)  وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ (إلى الأمهات) مَا آتَيْتُمْ
(Apabila keduanya ingin menyapih – sebelum 2 tahun, haruslah – dengan kerelaan keduanya dan musyawarah).  Artinya, jika anak hendak disapih berdasarkan kesepakatan dua orang tua, jika masanya belum genap 2 tahun, mereka berdua memusyawarahkan nya dan (lebih baik lagi) meminta pertimbangan kepada ahli ilmu, hingga mereka memberitahukan  bahwa penyapihan sebelum 2 tahun itu tak membahaya kan anak. Kesepakatan itu diambil karena melihat adanyan kebaikan dalam hal itu bagi si bayi, tentu tidak ada dosa bagi keduanya. Namun tindakan penyapihan ini menjadi  cacat jika keputusan diambil secara sepihak tanpa musyawarah dan pertimbangan matang. Allah mengingatkan kepada kedua orang tua agar selalu memperhatikan pemeliharaan anak- anak mereka serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan juga anak anaknya.
Perhatikan firman Allah dalam QS Ath-Thalaq: 6  (Jika mereka menyusui – anak anak -  mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya).
Seruan ini ditujukan kepada ayah dan ibu. Tidak mengapa mengupah wanita lain (yang bukan ibu kandungnya) dengan cara yang baik dan penuh kasih sayang.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ketika ia menafsirkan firman Allah (Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan), ia mengatakan, “Kebanyakan para Imam berpendapat bahwasanya tidak menjadi mahram status bayi yang menyusu ibu lain kecuali yang kurang dari 2 tahun. Jadi apabila ada bayi yang berusia lebih dari 2 tahun masih menyusu kepada wanita lain (bukan ibu kandungnya), maka yang demikian itu tidak menjadi mahram bagi anak dan ibu susunya itu. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw:
 لا َ يُحَـرِّمُ  مِنَ الرَّضَاعِ , إِلاَّ مَاكَانَ فِيْ الْحَوْ لَيْنِ
“Tidaklah menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan
kurang dari 2 tahun” )HR Daruquthni)
 وَ مَا كَانَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ
“Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apapun”
(HR Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, darim Ibnu Abbas)

Makna di atas akan menjadi sempurna jika kita kaitkan dengan QS Luqman: 14 (menyapihnya dalam 2 tahun, Bersyukurlah kepada Ku). Dan QS Al-Ahqaf: 15 (Mengandungnya dan menyapihnya adalah 30 bulan)
Berdasarkan hadits Muslim dan Ibnu Majah yang menyatakan, bahwa semula ayat menyebut kan 10 kali penyusuan menjadikan keduanya haram nikah, lalu di nasakh menjadi  5 X   penyusuan. Sehingga 5 kali penyusuan itulah yang dihukumi haram menikah antara kedua nya (yang menyusui dan yang disusui, berikut terhadap saudara-saudara senasab dari ke-2 pihak)
Penyusuan (Radla`ah) tidak menjadikan orang yang menyusui dan yang disususui haram menikah, kecuali penyusuan yang dilakukan sebelum berakhirnya penyusuan selama 2 tahun. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah Ra yang menceritakan bahwa  Nabi Saw pernah bersabda:
 لاَ يُحَـرِّمُ  مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلاَّ مَافَتَقَ الأَمْعَاءَ فِيْ الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“Tidak haram (menikah) karena penyusuan melainkan apa yang (seorang bayi) merasa cukup dengannya dan dilakukan sebelum disapih dari menyusui” (HR Tirmidzi)
Dalam hadits Aisyah Ra disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda: “Satu atau  dua hisapan itu tidak mengharamkan (pernikahan)” (HR Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi, juga Ibnu Majah).

{ لاَ تُحَـرِّمُ الْـمَصَّة ُ وَ لاَ الْـمَصَّتَانِ}

Tentang perlunya saksi, terdapat riwayat dari Imam Bukhari, Abu Dawud dan At Tirmidzi, yang menyatakan bahwa Satu saksi seorang diri adalah sah. Namun Ibnu Abbas menambahkan perlunya pengambilan sumpah atas saksi seorang diri tadi, begitu pula Imam Ahmad dan Ishak. Madzhab Hanafi berpendapat harus 2 orang saksi laki-laki, atau 1 laki-laki dan 2 orang wanita, dan katanya tidak diterima kesaksian dari pihak wanita saja.  Ia mendasarkan pada QS 2: 282.  Dan menurut Imam Malik, bahwa kesaksian 2 orang wanita dapat diterima dengan syarat telah tersebarnya ucapan keduanya tsb sebelum memberikan kesaksian.

Kesimpulan:
1.     Ibu yang telah diceraikan mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu. Ini merupakan kewajiban Allah yang tak boleh terkalahkan oleh suasana sedihnya dan hancurnya bangunan rumah tangga, agar tidak merugikan si kecil.
2.     Allah mewajibkan penyusuan  ini kepada sang ibu selama 2 tahun penuh. Pada masa ini merupakan masa ideal bagi sang bayi baik ditinjau dari aspek  kesehatan maupun kejiwaannya. “yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”
3.     Ayah (meskipun telah menceraikan istrinya) berkewajiban untuk memberi nafkah dan pakaian bagi si ibu secara patut dan baik. Keduanya sama-sama memiliki beban dan tanggung jawab terhadap si kecil yang masih menyusu ini. Si Ibu merawatnya dengan menyusui dan memeliharanya, dan si syah harus memberi makanan dan pakaian kepada si ibu agar dia dapat memelihara anaknya. Masing-masing wajib menunaikan amanatnya sesuai dengan kamampuannya. “Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”
4.     Jangan sampai salah seorang dari kedua orang tua ini menjadikan si anak untuk memadlaratkan yang satunya. “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya”
5.     Haram bagi si ayah untuk mengeksploitasi kasih sayang ibu terhadap anaknya, untuk bertindak sewenang-wenang terhadapnya, atau agar si ibu menyusui anaknya dengan tidak diberinya imbalan. Jangan pula si ibu mengeksploitasi kasih sayang ayah terhadap anaknya, lantas dia mengajukan tuntutan-tuntutan yang memberatkannya.
6.     Apabila si syah meninggal dunia, dalam kondisi istri yang dicerai dan masih harus menyusui si kecil, maka kewajiban-kewajibannya pindah kepada ahli warisnya. “Waris pun berkewajiban demikian”.  Ahli waris diberi beban untuk memberi sandang pangan kepada si ibu yang menyusui itu secara ma`ruf dan baik, sebagai ujud solidaritas keluarga yang diantaranya terujud dalam bentuk pewarisan. Dan, pada sisi lain dalam bentuk menanggung beban orang yang diwarisi hartanya. Dengan demikian, kematian ayah tidak lah menjadi terabaikan nasib si kecil (anaknya). Maka haknya dan hak ibunya dalam semua keadaannya tetap terjamin.
7.     Ayah dan ibu dari anak yang menyusu tadi, atau si ibu dan ahli waris, apabila menghendaki  untuk menyapih si anak sebelum genap 2 tahun – karena mereka melihat  penyapihan merupakan cara terbaik dan yang paling maslahat bagi si anak – maka tak ada dosa bagi keduanya. “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 2 tahun) dengan kerelaan  keduanya dan permusyawaratan, maka tak ada dosa atas keduanya”
8.     Apabila si ayah ingin mendatangkan seseorang untuk menyusui anaknya , jika memang disanalah ada maslahat bagi si anak untuk disusukan kepada wanita (yang baik akhlaknya), maka boleh saja ia lakukan dengan syarat ia harus memberinya upah  dan hendaklah ia memperlakukannya dengan baik.  “Jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut”.  Yang demikian ini akan dapat menjamin bahwa wanita itu akan berlaku jujur terhadap anak susuannya, serta akan memelihara dan mengasuhnya dengan baik.
9.     Pada akhirnya, semua urusan ini dihubungkan dengan ikatan Ilahi, yaitu dengan taqwa. Karena perasaan yang dalam dan penuh kasih sayang tidak akan terealisasikan kecuali dengan adanya unsur taqwa tersebut. “Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
10.   Tentang hubungan anak susuan dengan wanita yang menyusuinya bisa dihukumi “mahram” (tidak boleh dinikahkan selama-lamanya), apabila penyusuan itu minimal 5 penyusuan. Karena satu atau dua hisapan tidaklah membuat keduanya menjadi haram dinikahkan. Dan hal ini berlaku, jika penyusuan itu sebelum mencapai 2 tahun. Dengan demikian, penyusuan anak yang sudah di atas 2 tahun penuh, atau telah disapih (karena satu hal, padahal belum 2 tahun penuh) maka tidaklah menjadi haram untuk dinikahkan.
11.   Kesaksian wanita seorang diri di dalam hal penyusuan  dapat diterima dan sah menurut Thawus, az-Zuhri, Ibnu Abi Dzi`bi, Al-Auza`i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad. Berdasarkan hadits Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi.  Wallahu a`lam ….
Sumber: Tafsir Ibnu Katsir, Husnul Uswah-Shiddiq Ahmad Khan, Fiqh Nisa’-Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Tafsir Fathul Qadir, Tafsir Taisir al Karim ar Rahman-Syaikh As Sa`adi, Minhajul Muslim-Syaikh Abubakar Al Jazairi, dan Tafsir Fi Zhilal al Qur’an, khususnya ayat 233 surat 2.

Catatan Penting Tambahan:
Tentang Nafaqah:
Artinya adalah setiap kewajiban yang harus dipenuhi oleh seseorang terhadap orang lain yang di bawah tanggungannya, berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Siapa dan kepada siapa Nafakah itu menjadi wajib ?
Pertama:
Suami terhadap isterinya, baik ketika masih terikat secara hakiki maupun ketika isteri dicerai dengan Talak  raj`i (talak I dan II atau talak yang boleh kembali lagi) sebelum selesai masa iddahnya. Dasarnya hadits Nabi saw, riwayat At Tirmidzi, shahih.
Kedua :
Suami kepada Isteri yang  ditalak secara ba`in pada hari-hari iddahnya manakala ia dalam keadaan hamil. (Iddah hamil adalah sampai ia melahirkan bayinya), QS Ath Thalaq: 6.
Ketiga:
Anak laki kepada kedua orang tuanya, dasarnya QS al Baqarah: 83. juga beberapa riwayat dari sabda Nabi Saw. Antara lain dalam Shahih Bukhari 2/8, Shahih Muslim, dalam Bakti dan Menjalin tali rahim, 2, 1, Abu Dawud dan an Nasai dalam bab Thaharah.
Keempat:
Ayah kepada anak-anaknya yang belum dewasa. Dasarnya surat An Nisa’: 5
Kelima :
Tuan (majikan) kepada para pekerjanya (pembatunya).
Pemilik binatang kepada para binatang peliharaannya.

Kapan Terputusnya Kewajiban Nafakah itu ?

1.  Suami terhadap isteri yang melakukan nusyuz, atau jika tak mau diajak berhubungan tanpa alasan syar’iyah.
2.  Isteri yang ditalak raj`i setelah habis masa iddahnya
3.  isteri yang ditalak dalam keadaan hamil setelah kelahirannya. Namun jika ia mau menyusuinya sampai penyapihannya, ia berhak memperoleh upah dari mantan suami karena penyusuannya itu. Ath Thalak: 6.
4.  Kedua orang tua yang berkecukupan, tentu gugur bagi anak laki menafakahi mereka. Atau karena kefaqiran anak laki sehingga tak sanggup menafkahi orangtuanya.
5.  Ayah terhadap anak-anak laki ketika telah mencapai baligh, atau anak wanita setelah ia dinikahkan. Kecuali jika anak laki yang baligh tadi gila atau belum mandiri (masih studi dll-nya). Wallahu a`lam. (Sumber Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar al Jazairi, Dar As Salam, Kairo Mesir, hal. 363-366, Edisi Baru)

Fatwa Dari `Ulama:
Pertanyaan :Tentang wanita yang memiliki bayi laki-laki dan wanita yant memiliki bayi perempuan, mereka saling tukar menyusui. Siapa di antara saudara-saudara kedua wanita itu yang halal menikah dengan anak yang kedua tadi ?
Jawab:
“Jika seorang wanita menyusui bayi sebanyak (minimal menurut jumhur `ulama, lima kali susuan) atau lebih dalam kurun waktu dua tahun (haulaian, lihat ayat 233 surat al Baqarah), maka anak yang disusui itu menjadi anak suaminya sebagai penyebab tersedianya air susu tersebut, dan semua anak-anak wanita itu baik dari suaminya (sebagai penyebab adanya air susu tsb) atau lainnya menjadi saudara-saudara si anak dan saudara-saudara suaminya menjadi paman-pamannya si anak. Ayahnya si wanita menjadi kakeknya si anak, ibunya si wanita menjadi neneknya si anak, ayahnya suami wanita (yang menjadi penyebab adanya air susu tsb) menjadi kakeknya si anak, dan ibunya si wanita (yang menjadi penyebab adanya air susu) menjadi neneknya. Dasarnya adalah QS An-Nisa’ : 23. dan Sabda Nabi Saw

“Diharamkan karena susuan apa yang diharamkan karena garis keturunan” (HR Bukhari, kitab Asy Syahadat 2645, Ibnu Majah dalam kitab Ar-Rodlo`, 1939.
Dan sabda beliau Saw pula “Tidak dianggap penyusuan kecuali dalam masa dua tahun (pertama …. Masa penyusuan yang sempurna menurut al Baqarah: 233 di atas).
Dalam riwayat Muslim, bahwa Aisyah Ra berkata, “Dulu yang ditetapkan Al Qur’an adalah sepuluh kali susuan menyebabkan haram (dinikahi), kemudian dihapus menjadi lima kali susuan. Dan ketika Nabi Saw wafat, ketetapannya masih seperti itu” (HR Timidzi dengan lafazh serupa dengan Muslim).

Penyusuan Bagaimanakah Yang menyebabkan mahrom ?
Jawab: Penyusuan yang menyebabkan mahram adalah yang memenuhi tiga syarat:
  1. air Susu itu berasal dari manusia (ASI), sebab anak-anak yang menyusu susu buatan dengan merk yang sama atau menyusu air susu binatang yang sama, tidaklah menjadi mahrom antara mereka itu. Lihat kembali QS 4 (An Nisa’) : 23
  2. Minimal 5 X (lima kali) susuan atau lebih secara terpisah. Adapun yang kurang dari lima kali makan tidaklah menjadi mahrom. Simak kembali perkataan Aisyah Ra di atas.
  3. Masih pada masa menyusu (dua tahun pertama sejak kelahirannya menurut zhahir ayat 233 surat Al Baqarah di atas. atau pada masa sebelum disapih walau belum mencapai 2 tahun karena beberapa hal yang menyebabkannya). Setelah masa itu (baik setelah 2 tahun masa menysu atau setelah disapih) maka susuan terhadap ibu susu tidaklah menjadikan mahrom.,  Nabi Saw bersabda :
{إِ نَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ}
“Penyusuan itu sah (menjadi mahrom) karena (dapat melepaskan) ras alapar si bayi” (HR Muslim dalam kitab ar-Rodlo’ 1455, dan sabda Nabi saw:
 لاَ رَ ضَاعَ  إِلاَّ مَا أَنْشَزَ الْعَظْمَ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“Tidak  dianggap penyusuan kecuali yang membentuk tulang dan itu sebelum disapih” (HR Tirmidzi dalam kitab ar Rodlo’ 1152 …. Dengan lafazh “Tidak diharamkan karena susuan kecuali yang berkembangnya lambung akibat dari tetek, dan itu sebelum disapih”. Hadits ini menurut Abu Isa berderajat hasan shahih.
(Sumber: Fatwa Terkini, jilid I, Penerbit Darul Haq Jakarta, hal.513-515).
--------------------
Disarankan Jika berkeinginan, terutama untuk ibu-ibu dan muslimah khususnya, serta keluarga muslim umumnya, membaca :
1.Buku “Wadlifatul  Mar’ah fil Mujtama’ al Insani” (Peranan wanita dalam masyakarat manusia), karya Syaikh Dr. Ali Al Qadli.
Edisi Indonesianya diterbitkan oleh Penerbit Mustaqim Jakarta, dengan judul:
“Rumah Tanggaku, Kaririku. Wahai Wanita Karir, tahukah letak kesalahanmu ?
2. Fatwa Terkini I dan II, dst  sampai 20 Jilid, karya para `ulama Besar Timur Tengah
3. Fatwa Syaikh Utsaimin tentang “Syarah Rukun Islam”. dll


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Bismillah..
Kerenwey:Kenapa tak pake catatan kaki..
padahal saya sangat suka dengan tulisan anda..
trimakasih.. dan minta maff..

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------