Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Jawab :
Catatan : Madzhab As-Syafi'i dan madzhab Hanbali bersepakat bahwa untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirosy dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi diantara kedua madzhab ini adalah pada sholat-sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at, apakah dengan duduk iftirosy ataukah dengan duduk tawarruk.
Pendapat Madzhab As-Syafi'i
Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa duduk pada setiap rakaat yang terakhir baik sholat yang memiliki dua tasyahhud (seperti sholat dhuhur, ashar, magrib, dan isyaa') maupun sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud (seperti sholat subuh, sholat jum'at, sholat witir satu rakaat, atau sholat-sholat sunnah 2 rakaat) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.
Dalil yang dikemukakan oleh madzhab As-Syafi'i adalah hadits Abu Humaid As-Sa'idi
”Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR Al-Bukhari no 828).
Al-Imam An-Nawawi berkata, "Imam As-Syafi'i dan para sahabat kami (dari madzhab As-Syafi'i) berkata:
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالأَصْحَابُ : فَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيْحٌ فِي اْلفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ. وَبَاقِيَ اْلأَحَادِيْثُ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمَلَهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ, فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ اْلجُلُوْسَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ, وَمَنْ رَوَى اْلاِفْتِرَاشَ أَرَادَ اْلأَوَّلَ. وَهذَا مُتَعَيِّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ لاَ سِيَمَا وَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
Hadits Abu Humaid ini juga datang dalam lafal-lafal yang lain yang semakin memperkuat madzhab As-Syafi'i. Diantara lafal-lafal tersebut adalah:
Diantaranya juga
Sisi pendalilan madzhab As-Syafi'i:
Pendapat Madzhab Hanbali
Untuk sholat yang hanya ada satu tasyahhud (seperti sholat subuh dan sholat jum'at) maka duduknya adalah duduk iftirosy.
Ibnu Qudaamah berkata, "Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud yaitu pada tasyahhud yang dedua" (al-Mughni 2/227)
Dalil Madzhab Hanbali adalah
Hadits Aisyah –radhiyallahu 'anhaa-, beliau berkata
(HR. Muslim no 498).
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى
Dalam lafal yang lain
Dalam lafal yang lain :
Sisi pendalilan madzhab Hanbali
Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafal-lafal hadits ini, dan semua lafal-lafal di atas termasuk lafal-lafal umum, seperti, "Ketika duduk", "Jika duduk", "Tatkala beliau duduk"
Catatan
Jika merenungkan dan mengamati hadits ini, ternyata hadits ini adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Abu Humadi As-Sa'idi tentang jenis sholat tertentu, yaitu sholat yang memiliki dua tasyahhud. Hal ini Nampak sangat jelas jika kita kembali melihat lafal-lafal hadits ini. Oleh karenanya lafal-lafal yang datang yang seakan-akan memberi faedah keumuman pada hakekatnya adalah penjelas tentang sholat yang memiliki dua tasyahhud tersebut, dan tidak mencakup seluruh sholat.
Sebagai pendekatan logika:
Coba para pembaca yang budiman renungkan, apakah perkataan penulis "Pada rakaat terakhir" dipahami bahwasanya maksud penulis untuk seluruh sholat secara umum, baik sholat subuh dan sholat jum'at?, ataukah dipahami dari perkataan penulis "Pada rakaat yang terakhir" maksudnya adalah rakaat yang keempat yang berkaitan dengan sholat Syaikh Abdul Muhsin yang sedang penulis ceritakan?
Tentunya yang dipahami adalah yang kedua. Dan tidaklah penulis mengatakan "Pada rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat yang ada salamnya" kecuali untuk membedakan antara tasyahhud awal dan tasyahhud akhir yang merupakan penutup sholat.
Maka demikian pula perihalnya hadits Abu Humaid As-Saa'idi.
Kedua : Dalil yang digunakan oleh madhab Hanbali keumumannya lebih kuat. Adapun hadits Aisyah keumumannya dari sisi فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ "Pada setiap dua rakaat". Disini ada lafal "كُلِّ", dan ini merupakan lafal yang kuat dalam menunjukan keumuman .
Demikian juga hadits Abdullah bin Zubair semakna dengan hadits Aisyah, hanya saja kemumumannya diambil dari lafal إِذَا "Jika" yaitu dalam lafal إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ "Nabi jika duduk di dua rakaat maka beliau duduk iftirosy". Hal ini menunjukan bahwa beliau duduk dengan iftirosy di setiap dua rakaat -secara umum baik pada sholat dua rakaat yang hanya memiliki satu tasyahhud atau pada sholat 3 atau 4 rakaat yang memiliki dua tasyahhud-.
Peringatan 1:
Sisi pendalilan yang digunakan oleh madzhab Hanabilah dari hadits Aisyah ini bukan dengan mafhuum al-'adad (mafhuum bilangan) sebagaimana persangkaan sebagian orang.
(lihat : http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html)
Oleh karenanya madzhab Hanbali yang berdalil dengan hadits ini sama sekali tidak pernah menyebutkan tentang mafhuumul 'adad, karena memang mafhuumul 'adad lemah menurut para ulama ahli ushul.
Maksud dari mafhuum al-'adad:
Mafhuum al-'adad adalah salah satu jenis dari jenis-jenis mafhuum al-mukhoolafah (yaitu kebalikan dari suatu manthuuq/teks kalimat). Sebagai ceontoh misalnya hadits Nabi :"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan pahamkan agama baginya". Ini adalah manthuuq hadits, adapun mafhuum al-mukhoolafah dari hadits ini (yaitu makna kebalikannya) adalah ; Barang siapa yang tidak Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah tidak akan memahamkan agama baginya.
Contoh lain sabda Nabi :"Jika air telah mencapai dua kullah maka tidak akan ternajisi". Mafhuum al-mukhoolafahnya adalah : Jika air kurang dari dua kullah maka ternajisi"
Adapun mafhhum al-'adad yang merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah definisinya adalah :تعليق الحكم بعدد مخصوص Pengkaitan suatu hukum dengan bilangan tertentu (Ma'aalim ushuul al-fiqh hal 461)
Maka jika Aisyah berkata : “Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).”
Maka mafhuumul 'adad dari hadits ini yaitu : "Jika Rasulullah tidak duduk pada dua rakaat maka beliau tidak duduk iftirosy". Karena mafhuumul 'adad merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah. Dan tidak ada seorangpun yang berdalil dengan hadits Aisyah ini –sepanjang penelitian penulis yang terbatas ini- dengan mafhuumul 'adad.
Peringatan 2:
Sebagian orang mengkhususkan keumuman hadits Aisyah diatas dengan hadits Rifa'ah yaitu sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam
(HR. Abu Dawud dari Rifa’ah bin Rafi’, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Aslu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).
Pengkhususan ini kuranglah tepat, karena tiga hal :
- Kedua hadits ini adalah dua hadits yang berbeda
- Penyebutan sebagian anggota dari keumuman tidaklah mengkhususkan keumuman tersebut. Kaedah ini telah dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin dengan panjang lebar.
- Pendalilan seperti ini (pengkhususan dengan hadits Rifa'ah) merupakan pendalilan dengan mafhuum al-mukhoolafah, sejenis dengan mafhuumul 'adad
- Justru dzohir dari hadits Rifa'ah yaitu Nabi sedang berbicara tentang sholat yang ada dua tasyahhudnya, karena Nabi mensifati tasyahhud awal dengan di tengah sholat, berarti di akhir sholat adalah tasyahhud akhir. Dan ini semakna dengan hadits Abu Humaid, dan keluar dari medan khilaf, karena khilaf yang sedang kita bahas antara madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali adalah pada sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud.
Ketiga : Dalil yang dikemukakan oleh Madzhab Hanbali bukan hanya hadits Aisyah, ada hadits yang lainnya yang lebih umum lagi yaitu hadits Wail bin Hujr.
Dalam lafal yang lain
Dalam lafal yang lain :
Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy. (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)
Penulis katakan bahwasanya hadits Wail bin Hujr lebih umum karena menjelaskan bahwasanya Nabi setiap duduk dalam sholat beliau duduk iftirosy. Mencakup segala bentuk duduk, apakah duduk diantara dua sujud, ataukah duduk istirohah, ataukah duduk tatkala sholat dua rakaat, ataukah duduk tatkala sholat satu rakaat.
Adapun sholat yang memiliki hanya satu tasyahhud –baik sholat dua rakaat atau satu rakaat- maka tidak dikhususkan oleh hadits Abu Humaid, jadi kita kembalikan kepada asal keumuman hadits Wail bin Hujr bahwasanya Nabi jika duduk dalam sholat beliau duduk dengan duduk iftirosy. Inilah yang dipahami oleh Syaikh Al-Utsaimin dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah.
Syaikh Al-'Utsaimin pernah ditanya ما كيفية الجلسة للتشهد في صلاة الوتر؟ "Bagaiamanakah cara duduk tasyahhud pada sholat witir?"
Beliau menjawab, "Seseorang tatkala sholat witir duduk iftirosy, karena asal dalam duduk dalam sholat adalah iftirosy. Kecuali jika ada dalil yang menunjukan yang lain. Oleh karenanya kami katakan : ia duduk iftirosy tatkala sholat witir, dan ia tidak duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, maka duduk tawarruk dilakukan tatkala tasyahhud akhir karena adanya perbedaan antara tasyahhud akhir dan tasyahhud awal. Demikianlah sunnah. Wallahu A'lam" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784)
Syaikh Al-Albani berkata,
Dialog
Jika pengkritik berkata, "Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?,
Ibnu Hajar telah menjelaskan bahwasanya meskipun hadits ini belum jelas tentang bagaimana cara Ibnu Umar melipat kaki kirinya, apakah dengan duduk iftirosy atauhkah dengan tawaruuk. Akan tetapi dalam riwayat yang lain dalam Muwatto' Imam Malik dijelaskan bahwasanya maksud cara melipatan kaki kiri tersebut adalah dengan duduk tawarruk (lihat Fathul Baari 2/306)
Adapun riwayat tersebut adalah sebagai berikut :
Dari Yahya bin Sa’id bahwasanya
Lantas kenapa kalian tidak mengamalkan keumuman hadits Ibnu Umar ini sehingga kalian duduk tawaruuk pada setiap tasyahhud dalam sholat, termasuk pada sholat yang tasyahhudnya hanya satu?" (lihat http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html
Jawab:
Apakah hadits Ibnu Umar ini bersifat umum?
Jawabannya sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwasanya ada dua riwayat yang lain yang menjelaskan akan hal ini. Satu riwayat dalam kitab Al-Muwatto menjelaskan bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits di atas adalah cara duduk tatkala tasyahhud terakhir. Beliau berkata
Adapun riwayat yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar adalah sbb:
Dari Imam Malik, dari Abdullah bin Diinaar bahwasanya ia mendengar Ibnu Umar, dan ada seseorang yang sholat di sisinya. Tatkala orang tersebut duduk di raka'at yang keempat maka diapun duduk bersila dan melipat kedua kakinya. Tatkala Ibnu Umar selesai sholat maka diapun menegur orang tersebut. Maka orang itupun berkata, "Engkau juga melakukan hal itu". Maka Ibnu Umar berkata, "Aku sedang sakit" (Al-Muwattho' 1/88 no 199)
Selain itu Ibnu Hajar juga menjelaskan ternyata ada riwayat yang lain dari Ibnu Umar yang maknanya sebaliknya, yaitu Nabi selalu duduk iftirosy. Beliau berkata
Dari penjelasan Ibnu Hajar diatas jelaslah kurang tepatnya orang yang berkata "Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin ‘Umar secara umum,dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat"
Catatan sangat penting:
Cara inilah yang sedang penulis tempuh. Karena hadits Abu Humaid As-Saa'idi menjelaskan tentang sebuah sholat tertentu yaitu yang memiliki dua tasyahhud dan beliau tidak sedang berbicara tentang semua jenis sholat, maka kita bawakan keumuman lafal yang disebutkan oleh Abu Humaid adalah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, sehingga duduk tawarruk dalam hadits Abu Humaid hanyalah berlaku pada tasyahhud kedua. Dan inilah yang dilakukan oleh mayoritas ulama sunnah abad ini, seperti Syaikh Al-Albani dan Syaikh Bin Baaz.
Kemudian bukankah lafal hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yaitu
"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu " (HR Al-Bukhari no 793).
Tanpa ada penjelasan tentang bagaimana cara duduknya, apakah dengan iftirosy ataukah dengan tawarruk?. Apakah hanya dengan berpegang dengan lafal Bukhari ini lantas kita katakana bahwa bebas bagi seseorang untuk dalam sholat apakah tasyahhud awal atau tasyahhud akhir dengan duduk tawarruk atau iftirosy, karena lafal Bukhari tersebut yang tidak jelas?
Jawabannya tidak. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengkritik, ternyata ia membawa lafal Bukhari ini, yang mana lafal tersebut masih umum untuk dikhususkan dengan lafal yang terdapat di Muwathho' yang menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud Ibnu Umar adalah duduk tawaruuk.
Maka demikian pula yang penulis lakukan, dengan membawa seluruh lafal-lafal hadits Abu Humaid yang bersifat umum kepada lafal yang menunjukan bahwa maksud Abu Humaid adalah untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud.
Kesimpulan
Bagaiamanapun ini adalah permasalahan khilafiyah ijtihadiah yang kita harus toleransi terhadap orang yang menyelisihi kita. Dan bagaimanapun penulis berusaha untuk memaparkan permasalahan ini toh penulis tidak mampu untuk memenuhi hak pembahasan permasalahan ini dengan sempurna.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------