CARA ANAK BERBAKTI KEPADA ORANGTUA
KETIKA IA TELAH BERKELUARGA (BERSUAMI ATAU BERISTRI)
الفقير إلى الله : أبو فهمي أحمد

Pengantar : Pesan-Pesan Al Qur’an dan As Sunnah

Al Qur’an menegaskan akan begitu agungnya kedudukan “berbakti kepada orangtua” bagi setiap muslim, bahkan perintah tersebut Allah rangkaiakan dengan perintah “Beribadah kepada Allah” dalam satu kalimat, dengan menggunakan kata sambung (wawu), meunjukkan kesetaraan kedudukan dalam tingkat perintah, dengan arti tidak bisa dipisah-pisahkan antara keduanya.

Seorang muslim yang ta`at kepada Allah, ilman wa `amalan, namun tidak berbakti kepada kedua orangtuanya, bahkan berbuat durhaka terhadap keduanya tau salah satunya, baik ketika mereka masih hidup ataupun setelah wafatnya, maka ia tidak termasuk orang yang “Ta`at kepada Allah”, sebab ia telah memisahkan antara perintah ibadah kepada Allah dan perintah berbakti kepada orangtua.
Perhatikan beberapa ayat berikut :
واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا  
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapakmu (berbuat ihsan, adalah bentuk dari birrul walidain)… QS An NIsa’ : 36
وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا الله وبالوالدين إحسانا
“Dan Rabbmu telah memerintahkanmu hendaklah kamu jangan beribadah kecuali kepada-Nya, dan berbuat baik kepada kedua orangtua….”QS Al Isra’: 23.


Mendidik anak agar berbakti kepada kedua orangtuanya merupakan perkara yang sangat penting. Keindahan serta kedamaian sebuah “USRAH MUSLIMAH” (rumah tangga muslim), hanya dapat terwujud melalui keharmonisan hubungan orangtua dengan anak-anak mereka, dan tunduk kepada wasita-wasita al Qur’an dan as Sunnah Rasul-Nya shallallahu `alaihi wasallam.
بَرُّوا آبائكم تَبِرُّكُمْ أبناءُكم وعِفُّوا تَعِفُّ نِساؤُكُم
“Berbaktilah kamu kepada orangtuamu pastilah anak-anak akan berbakti pula kepadamu. Dan tahanlah untuk berbuat dosa  terhadap wanita-wanita lain, pastilah wanita-wanitamu akan selamat dari perbuatan dosa orang lain” HR Thabarani dengan sanad hasan, dari Abu Hurairah RA.
Apa maksudnya ? sebagai orangtua (utamanya Ayah) apabila tangan dan mata-nya jahil (suka berbuat tak sepantasnya terhadap wanita lain, perbuatan yang dikategorikan dosa untuk dilakukan, dari mulai usil mulut, jahil tangan, sampai kepada mempermainkannya dan bahkan mengarah kepada perbuatan fakhsya’ – zina – atau bahkan melakukannya ; maka ia jangan heran apabila anak putrinya atau saudara pwanitanya diganggu pula oleh laki-laki jahat, seperti yang ia lakukan pada wsanita lain. Na’udzu billah minasy syaithanirrajim.

Allah berfirman dalam surat Luqman : 14
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu-bapaknya. Ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah yang sangat …”
KETIKA ANAK TELAH BERKELUARGA (BERISTRI ATAU BERSUAMI)

Yang harus dicamkan benar-benar bagi setiap anak muslim adalah, bahwa dalam syariat Islam tidak  ada istilah “BIRRUZ ZAUJ” (Berbakti kepada suami), namun yang ada “Ta`at Kepada Suami bagi isteri shalihah”. Disini ada perbedaan antara “Berbakti” dan “Berbuat Ta`at”.
Seorang wanita ta`at kepada seorang laki-laki, ketika ia telah berstatus sebagai suami-isteri yang sah. Dan perintah keta`atan kepada suami ini TIDAK MEMUTUS perintah “BIRUUL WALIDAIN”. Sebab Birrul walidain berjalan terus hingga orangtua telah wafat sekalipun.

Bahkan bagi anak putri untuk menikah dengan seorang laki-laki yang se “kufu”, itu harus mendapat persetujuan wali (Ayah kandung atau wakil dari jajaran setelahnya). Bahkan wanita (gadis atau janda) untuk menikah harus ada wali yang adil (ayah atau wakilnya dari jajaran urutan berikutnya), hanya dalam menentukan joodoh, ada perbedaan, dimana kalau janda maka ia dapat menentukan pilihannya, namun ketika nikah harus ada wali-nya. Dia (wanita, gadis atau janda) tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.
Untuk wanita gadis, dimintai persetujuannya ketika ada lelaki yang melamar kepadanya.
Dan orangtua, ayah, tidak boleh memaksan putrinya untuk dinikahkan kepada laki-laki yang tidak disukainya, apalagi pendekata si ayah lebih ke pertimbangan dunia.
Terkadang walau laki-laki yang hendak melamar putrinya itu, baik agamanya dan akhlaknya, mungkin ada kekurangan di sisi lainnya – dalam ketampanan atau semangat kerja dan dakwahnya atau komitmen keislamannya – lalu sang putri menolaknya, disertai dengan calon yang ia inginkan dan ia sukai, dengan agama dan akhlak baik disertai dengan kelebihan lainnya, maka penolak putrid terhadap lelaki tadi (insya’ Allah) tidak akan mendatangkan “Fitnah dan Fasad yang Besar” sebagaimana sabda Nabi Saw. Sebab ia punya pilihan yang lebih baik dari itu.

Bagaimana tentang “IZIN SUAMI” bagi isteri yang harus ditaatinya ?
Ada dua hal penting bagi suami dalam menggunakan hak-haknya (seperti memberi dan menolak izin kepada isterinya):
1.   Memberi dan menolak memberi izin kepada isteri harus sejalan dengan perintah syari`at lainnya. Apabila bertabrakan dengan “Birrul Walidain”, padahal ayah atau ibunya sakit keras bahkan mungkin berita wafatnya, pada saat itu sang suami jauh di luar kota dan dengan alasan tanpa muhrim tidak boleh ziarah sendirian ke orangtua, lalu suami tak memberikan izin kpd isteri, lalu isteripun menaatinya atau memaksa (bismillah dan nistighfar) untuk tetap ta`ziyah, tentu dengan muhrim yang lain selain suami, bisa dengan anak-anaknya atau saudara kandungnya. Maka untuk menyelamatkan sikap isteri dan suami itu sendiri, adalah bahwa suami harus merelakan dengan disertai doa dan memaafkan. Atau karena ada kaidah lain, bahwa “Daf’ul Mafasid Awla min Jalbil Mashalih” (Menolak kefasadatan lebih diutamakan dari mendapatkan mashalahat). Mafsadat yang paling ditakutkan anak adalah “Kemurkaan orangtua terhadap anak yang membuat murka Allah padanya”, apalagi disertai umpatan dan doa kecelakaan atau fitnah dari orangtua (salah satunya), ingat kisah “JURAIJ” yang sedang melakukan shalat sunnah di mushallanya, dipanggil sampai 3 x oleh ibunya, tidak juga memenuhinya, sementara ia mendengar panggilan itu. Karena kemarahannya, lalu ibu “melaknat” (insya Allah atas dasar kejahilannya terhadap hokum atau tidak tabayyun terlebih dahulu) si Juraij (ia pun belum paham hokum bahwa panggilan ibu itu wajib dan shalat sunnah itu hukumnya di bawah wajib, maka ia harus mendahulukan panggilan ibu). Namun ternyata Allah tetap sesuai dengan masyi`ah-Nya, memberikan ujian dan fitnah besar bagi si Juraij…..   Jadi yang paling bagus, adalah suami dan isteri itu berlaku lentur dan bilhikmah, selama tidak menyelisihi perintah syariat. Dan suami harus ingat, bahwa “Ketaatan itu hanya ada pada yang ma`ruf saja” dan tidak berlaku pada perintah yang munkar. Ma`ruf adalah segala sesuatu yang dianggap ma`ruf oleh agama, dan munkar juga. Begitu pula hasan dan qabih adalah segala yang dianggap baik atau buruk oleh agama…. Bukan oleh pertimbangan akal atau emosi atau intuisi atau nafsu syahwat, atau suka tidak suka, atau egois semata. Wallahu a`lam.
2.   Baik suami maupun isteri, sama-sama wajib “Birrul Walidaian”, di saat yang sama isteri wajib taat kepada suami (dalam yang ma`ruf). Bagaimana kedua nya bisa berjalan seiring dan saling mengokohkan. Disnilah perlunya “Ta`awun” dan berlaku “bil-hikmah” (bertutur kata dan berbuat secara benar dan menempat segala sesuatu – kebenaran itu – pada tempatnya, secara proporsional : waktunya, kebutuhannya, dan kemampuannya). Kapan harus berkata keras/tegas, kapan harus berkata lembut, dan kapan harus jidal …. Semuanya harus dilakukan dengan “ahsan”. QS an Nahl: 125.

“Ridla Allah tergantung dari ridlo kedua orangtua, dan murka Allah tergantung dari murka Allah”  HR Tirmidzi, ibnu Hiban, dan Hakim)

Ibnu Umar RA menerangkan bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW berkata, “Ya Rasulullah, sungguh aku telah melakukan dosa besar, apakah aku bisa bertaubat ? Rasulullah menjawab, “Apakah kamu masih punya ibu ? Jawabnya, Tidak. Nabi bertanya lagi, apakah kamu masih punya bibi ? (dari pihak ibu) Dia menjawab: masih. Nabi berkata, “Kalau begitu, berbaktilah kamu kepadanya” HR Tirmidzi dan Hakim, dan ia menshahihkannya.

MEWASPADAI FITNAH DAN BENCANA BESAR

Rasulullah Saw berwasiat kepada setiap suami agar mendahulukan baktinya kepada orangtua daripada kepada isterinya, ……..
“… Jika ummatku telah melakukan 15 perkara menjadi kebiasaan, maka akan ditimpakan bencana kepada nya ….. (apabila) seorang suami menaati isterinya, namun mendurhakai ibunya dan berbuat baik kepada temannya namun berlaku kasar terhadap ayahnya….. HR Tirmidzi.

Dalam hadits lain, bahkan Umar bin KHaththab Ra memerintahkan kepada Ibnu Umar (anaknya) untuk menceraikan isterinya, karena (mungkin) ada perlakukan isterinya yang menodai syariat. Dan Nabi Saw menguatkan sikap Umar bin Khaththab Ra. (Shahih Targhiib wa Tarhiib).

Nabi Saw mengingatkan kepada kita semua, baik suami maupun isteri dan siapa saja bagi muslim, bahwa orang yang paling punya hak terbesar bagi seorang isteri adalah “suami”. Dan orang yang paling punya hak terbesar bagi setiap laki-laki adalah “Ibunya”.  Inilah segitiga keharmonisan: suami yang berbakti kepada orangtua, akan menjadi teladan bagi isterinya dan isteri akan menaatinya, dan anak-anaknya juga berbakti kepadanya. Begitu pula isteri yang memberikan hak-hak suaminya dengan sempurna, maka ia akan mendapatkan hak-haknya baik dari suami maupun anak-anaknya.
Namun baik suami maupun isteri semua ketika berstatus sebagai anak,
maka keduanya wajib tetap berbakti kepada keduanya.
Alhasil, antara perintah “Ta`at kepada suami” dan “Suami memenuhi hak Isteri”, dan “Berbabkti kepada orangtua”, tidak dapat dipisah-pisahkan, bahkan harus berjalan secara seiring dan saling menyempurnakan.

MEWASPADAI KEDURHAKAAN KEPADA ORANGTUA

Kebanyakan, bagi keluarga muslim yang baik, dimana orangtua memberikan hak-hak pendidikan dengan baik –sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliknya, baik keilmuan maupun financial atau status socialnya –

Lalu “Qadarullah”, anak-anaknya dilindungi oleh Nya dari perbuatan-perbuatan amoral atau pergaulan yang salah lagi menyesatkan, dan sejak usia balita hingga dewasa, selalu berada dalam lingkungan pendidikan Islam yang shahih, bahkan mungkin usai tamat SD langsung masuk ke Pesantren-Pesantren, mungkin lalu Kuliyah …….. pokoknya yang dikerjakan anak adalah dari sekolah ke sekolah,  menunggu kiriman uang dari orangtua, mengeluh jika ada kesulitan di sekolah / di pondok, … terkadang tidak mau tahu pokoknya yang diminta dan yang diinginkan harus dipenuhi oleh orangtuanya …..terkadang frela berdusta kepada orangtua untuk agar yang diinginkan dipenuhi.

Lau Qadarullah, masa pernikahan pun datang …….
MEREKA BELUM SEMPAT MEMBALAS BUDI BAIK ORANGTUA, BAHKAN MEREKA BELUM SEMPAT BERBAKTI KEPADA ORANGTUA SECARA INTENS DAN  SEBAGAIMANA SEMESTINYA… BUKAN SOAL BALAS BUDI FINASIAL. BAGI ORANGTUA ITU TIDAK PENTING, NAMUN LEBIH KEPADA “BIRRUL WALIDAIN” HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANGTUA.

Yang kita takutkan adalah “KESALAH PAHAMAN” anak dalam hal membedakan antara perintah “Birrul walidain” dan “Ta`at Suami” atau “Melindungi Isteri dan anak-anaknya”. Yang selama ini mereka kenal secara textbook.
Sehingga yang terjadi saling menodai dan saling mengurangi, yang mengarah kepada rusaknya hubungan segitiga, “antara suami-isteri, orangtua, dan mertua”.

Padahal hubungan harmonis ketiganya justru yang akan mendatangkan “Tambahan Umur” dan “Kelapangan Rezqi” (Banyak hadits Nabi saw tentang hal ini).

Anak yang telah menikah, bagi orangtua, tidak masalah mau memilih tinggal dimana saja, mau mandiri, atau mau pisah dari orangtua, itu sah-sah saja. Selama yang menjadi motivasi atau niyat adalah bukan untuk menghindari “Birrul Walidain” atau menghindari pekerjaan tambahan dari orangtua padahal ini bagian dari birrul walidain, atau (walau kelihatannya baik dan indah) agar mandiri dalam mendidik dan mengarahkan anak-anak, menghindari intervensi dari orangtua (nenek dan kakeknya). Itu alasan yang dapat diterima apabila kakek dan nenek dari anak-anaknya tidak memahami islam dan pendidikan Islam, apalagi ahlu ma`shi atau musyrik,……  Ketahuilah otangtua yang bijak dan baik, selama mampu tidak akan mengganggu keuangan anak-anaknya, sekalipun orangtua SAH meminta dan bahkan mengambil harta anak-anak lakinya yang berkecukupan … berdasarkan sabda Nabi Saw, tetapi tidak ada orangtua yang “Celamitan” dan ingin merepotkan anak-anaknya ,… hal ini berbeda dengan sikap anak, yang sering mem beratkan orangtuanya padahal seharusnya sudah mandiri, punya kerjaan-anak dan isteri. Sudah saatnya member contoh kepaqda anak-anaknya bagaimana mewujudkan “birrul walidain” itu.

Ketika menghadapi perbedaan dalam hal Cara memperlakukan didikan anak-anak, maka selama bukan menyangkut persoalan “PRINSIP” yang boleh dan tidak boleh dilakukan, maka harus saling memahami (alasannya) , disertai dengan “Bahasa dan Kata-Kata atau Sikap” yang santun  dan tidak menggurui orangtua (yang kurang ilmunya atau salah dalam hal yang bukan prinsip, padahal kebaikan orangtua jauh lebih banyak ketimbang kesalahannya tadi).

Berkata keras (yang bukan munkar dan bukan hal prinsip) kepada anak, bisa disikapi berbeda-beda satu dengan lainnya, tergantung kebiasaan dan pemahamannya. Namun kalau itu bukan prinsip (boleh dan tidak boleh), maka kita tidak boleh saling “mengingkari”. Masing-masing akan mengambil faedah dari caranya dan resiko-rdesikonya … La inkar fil ijthad.

Ingtat, ketika Nabi memilih melayani tamu-tamu pembesar Quraisy daripada melayani Ibnu Ummi Maktum, maka Allah menurunkan ayat “`Abasa wa Tawalla”. Namun hal itu menunjukkan kemakshuman Nabi, apabila ada kesalahan (tidak principal) maka Allah langsunhg tegur lewat ayat.
Dalam istilah agama, perbuatan / sikap Nabi di atas, sebagai “KHILAFUL AWLA” (menyelisihi yang utama), jadi bukan kesalahan apalagi principal.
Sama halnya keputusan nyang diambil ketika menghadapi tawanan Badar, ternyata yang harapkan tidak seperti keputusan tsb. Ini bukan kesalahan principal, namun hanya sekedar menyelisihi yang seharusnya (yang lebih baik).

Itulah para ulama pendidikan juga berbeda dalam mensikapi hukuman fisik bagi anak-anak didik, sebagian membolehkan dengan syarat-syarat, namun ada yang sama sekali tidak membolehkan. Baik yang menyangkut hukuman secara Kejiwaan, seperti mengejek, menghina, memberi julukan-julukan buruk, sindiran-sindiran menyakitkan, mengisolasi, dsj) maupun “fisik” seperti menampar, memukul, menjotos, menjewer, dsj.

Yang harus dilihat secara menyeluruh, adalah hasil didikan keluarga, ketika membandingkan dengan keluarga lain. Jika ada keluarga hanya memiliki 2 anak, namun begitu susah mereka mendidiknya dan mengarahkannya, sehingga tak cukup berhasil membawa perubahan kepribadian ke arah yang lebih baik …
Lalu ada keluarga muslim yang serba terbatas dari kesempurnaan, mungkin dari ilmu dan financial, dikaruniai anak banyak (missal lebih dari 7 anak), namun dengan Mujahadah seorang Ibu dan tanggung jawabnya yang luar biasa, dengan memanfaatkan karunia kesehatan dan kebugaran fisik dari Allah, sehingga mampu mengorbankan seluruh jiwa dan raganya, waktu dan pikirannya untuk mendidik dan mengembangkan kepribadian anak-anaknya…. Bahkan tidak banyak mengeluh, padahal penghasilan suaminya tidak mencukupi.

Tetapi untuk menjaga kewibawaan rumah tangga dan dari aib meminta-minta atau dari belas kasihan orang lain, Justru ternyata dapat menghantarkan anak-anak nya lebih baik kepribadiannya, pemahaman Islamnya, ilmunya, dan selamat dari aib-aib social dalam pergaulan.
Dalam kisah, bagaimana Zainab RA isteri Ibnu Mas`ud RA, yang begitu rela dan sabar menjaga wibawa rumah tangga, dan suaminya yang qadarullah punya kekurangan dalam hal fisik dan ma`isyah, maka Zainab tampil dengan kemampuan finasial nya untuk menafkahi suami dan keluarga…

Perkara inilah yang harus menjadi pelajaran dan Ibrah bagi setiap anak yang dilahirkan oleh Ibu – Bapak semacam ini. Kini giliran kalian, sebagai anak yang telah Allah berikan karunia lebih dari orangtuanya dan dari orang lain umumnya… mendapatkan suami yang lebih mapan dan pendidikan yang cukup… atau stsatus social yang baik …… atau kalian yang mendapatkan isteri yang shalihah yang menajaga `iffahnya, berpendidikan dan berstatus social baik… dan keluarga baik-baik, yang memahami Islam dan memelihara nilai-nilainya.

KINI SAATNYA, KALIAN DITUNTUT BANYAK BERSYUKUR, BANYAK BEKERJA SEDIKIT BICARA APALAGI MENGOMENTARI ORANGTUANYA …. …..
BUKTIKAN BAHWA KALIAN HARUS BISA LEBIH BAIK DAN LEBIH BERHASIL
DALAM MENDIDIK ANAK DAN MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH WA RAHMAH DARI ORANG TUA KALIAN, SEBAB KALIAN LEBIH SIAP DAN LEBIH BERKEMAMPUAN DILIHAT DARI BEBERAPA SEGI.

WAHAI PUTRA PUTRI KAUM MUSLIMIN: KINI SAATNYA KALIAN
MENSYUKURI NI`MAT ALLAH, SEBAGAIMANA KEDUA ORANGTUA KALIAN TELAH MENDIDIK KALIAN

1.   Saatnya kalian mensyukuri akan jerih payah orangtua kalian, yang telah mendidik dan menghantarkan ke arah lebih baik, status social, keshalihan, ilmu dan status ekonomi, suami atau isteri yang shalih / shalihah.
2.   Buktikan seharusnya dengan bekal yang lebih dan cukup yang telah Allah berikan kepada kalian, kalian akan lebih baik dan berhasil dalam mendidik anak dan menghantarkan menjadi pembela-pembela Islam yang istiqomah. Bukan saatnya, kalian mengomentari kelemahan orangtua, kekurangan orangtua, atau sikap orangtua (yang menurut kalian kurang pas) yang bukan principal…..  Allah berfirman, “..Berbuatlah, sebab Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasulullah dan orang-orang mukmin ..” at Taubah: 105.  Saatnya kalian banyak bekerja, sedikit bicara, dan tahan untuk banyak kritik dan komentar pada orangtua ……  apalagi dengan kata-kata kasar, menyakitkan dan bisa saja membuat orang tua murka dan melaknat sikap kalian. Tak ada yang salah orangtua seperti ijni, apalagi sebagai Ibu. In gat kasus Juraij …
3.   ini saatnya senangkan hati orangtua kalian, suguhi-lah mereka berdua pemandangan-pemandangan indah rumah tangga kalian,  keharmonisan keluarga kalian, tawa canda putri-putri kalian….. “Wa amma bini`mati rabbika fa haddits”.. Kalian memilih tinggal dimana saja, berjauhan atau berdekatan dengan orangtua, bukanlah suatu masalah, selama kalian mampu menjaga “hubungan tali rahim” dengan orangtua. Suami harus memenuhi hak-jhak isteri dan isteripun memenuhi hak-hak suami, maka pasti akan harmonis.
4.   Takutlah kalian pada Allah, jangan sampai kalian durhaka kepada orangtua, berbaktilah kepada mereka, yang masih hidup maupun nyang telah wafat, dengan amal-amal kebajikanmu, ilmu n afi`mu, do`amu dan amalan-amalan jariyahmu. Ingat bahwa “IBU” adalah orang yang paling punya hak terbesar bagi anak laki. Dan “SUAMI” paling punya hak terbesar bagi ietrinya. Namun Isteri dan suami harus selalu berbakti kepada orangtua, berbuat baik dengan mertua. Buatlah kesimbangan antara “Taat pada suami bagi isteri”, “pemenuhan hak-hak isteri dari suami”, dan “Bairrul walidain” bagi suami dan isteri dan semua anak muslim.
5.   Sikap kasar kalian, baik dengan omongan maupun perbuatan terhadap orang tua, sadar atau tidak sadar, yang dapat mendatangkan murka orangtua, terlkebih lagi kalian,  maka Allah akan murka kepada kalian..
6.   Banyaklah kalian istighfar, memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah, atas kelancangan sikap dan tuutur kata kalian kepada orangtua, sengaja atau tidak sengaja ……    Simaklah Firman Allah, QS an Naml : 19 , Al Ahqaf: 15 dan Al Furqan: 74.
7.   Kalian dengan keadaannya seperti sekarang ini, shalih dan shalihah, berpendidikan dan berilmu, bermanhaj yang benar, itu tidak terlepas dari peran dan jeris payah serta pengorbanan dan pengabdian kedua orangtua kalian ….. maka renungkanlah dan bersyukurlah kepada Allah.

إن أولا دكم من أطيب كسبكم فكلوا من كسب أولادكم
Sesungguhnya anak-anak kalian merupakan hasil usaha terbaik kalian, maka makanlah dari hasil anak-anak kalian
إن أولا دكم من كسبكم ، وهبه اله لكم يهب لمن يشاء إناثا ويهب لمن يشاء الذكور
Sesungguhnya anak-anak kalian merupakan hasil usaha kalian, Allah telah memberinya kepada kalian bagi yang Dia kehendaki anak wanita, dan anak laki.

اللهم سدّد خطانا ، والهمنا الصواب، وارزقنا العمل بمراضيك ، إنك كريم منان وآخر دعوانا
 أن الحمد لله رب العالمين


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------