Sutrah Bagi Makmum Masbuq


Sutroh Bagi Makmum Masbuq
Ustadz Kholid Syamhudi,
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesehatan dan kelapangan kepada Ustadz sekeluarga. Selanjutnya, ana ada pertanyaan mengenai sutroh bagi masbuq.
  1. Apakah seorang masbuq masih diwajibkan menghadap sutroh untuk sisa rakaat sholatnya ?
  2. Seandainya jawaban atas pertanyaan no 1 adalah wajib, mohon diulas mengenai poin-poin berikut ya Ustadz:
    1. Terkadang seorang masbuq menjadikan punggung jamaah yang sedang berdzikir yang telah selesai menunaikan sholatnya sebagai sutroh. Secara umum, apakah menjadikan punggung orang lain sebagi sutroh diperbolehkan ?
    2. Dan bagaimana seandainya orang yang dijadikan sutroh ini bangkit berdiri dan berpindah dari tempatnya semula, apakah si masbuq juga perlu mencari sutroh lagi ?
    3. Dan bagaimana teknis mencari sutroh kalau jumlah masbuq nya lumayan banyak (misalkan lebih dari 10 orang) ? Sementara jumlah tiang masjid tidak banyak, juga untuk melangkah menuju dinding cukup jauh.
  3. Ada sebagian orang yang belum paham mengenai sutroh, dan selepas sholat berjamaah orang ini sholat sunnah rawatib tanpa sutroh. Apakah dibenarkan si Fulan yang berjarak lebih dari 3 hasta, misalkan saja berjarak 6 hasta di depan orang yang sedang sholat sunnah rawatib tersebut, berjalan di depannya ? Ataukah dia harus tetap menunggunya atau mencari jalan lain walaupun dia berjarak lumayan jauh semisal 6 hasta ?

Jazakallaah khairan wa barakallaahu fiikum,
Abu Zahroh
Wa’alaikumussalam.
Telah maklum bahwa orang yang melakukan shalat berkewajiban mendekat ke sutrah. Dan dilarang melakukan shalat tanpa menghadap sutroh. Yang dimaksudkan dengan sutroh pada shalat yaitu benda yang ada di hadapan orang yang shalat, minimal setinggi sehasta, untuk menutupinya dari apa-apa yang lewat di depannya. Sutroh ini dapat berupa tembok, tiang, atau lainnya. Nabi -sholallahu alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تُصَلّ ِ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ
Artinya: “Janganlah engkau melakukan shalat kecuali menghadap sutroh.” (HR. Ibnu Khuzaimah; dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Shifat Shalat Nabi)
Nabi -sholallahu alaihi wasallam- juga bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ
Artinya: “Jika seseorang dari kamu melakukan shalat menghadap sutroh, maka hendaklah dia mendekat kepadanya, jangan sampai syaithaan membatalkan shalatnya.” (HR. Abu Dawud, no. 695; An-Nasai, no. 748; dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
Adapun ukuran kedekatan tempat berdiri orang shalat dengan sutroh adalah kira-kira tiga hasta, sebagaimana diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, hadits no. 506. Maka orang yang melakukan shalat itu harus mendekat ke sutroh, jika dia tidak melakukan berarti dia bermaksiat kepada Rasulullah -sholallahu alaihi wasallam- .
Sutrohnya makmum adalah sutrohnya imam, karena sutrah di dalam shalat jama’ah merupakan tanggungan imam. Sehingga jika diperlukan seseorang boleh lewat di depan makmum, dan makmum tidak wajib menolaknya. Dalil hal ini adalah hadits sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata: “Aku datang mengendarai keledai betina, waktu itu aku hampir baligh, ketika Rasulullah n melakukan shalat dengan orang banyak di Mina tanpa menghadap tembok. Lalu aku melewati depan sebagian shaf, lalu aku turun dan melepaskan keledai itu merumput. Dan aku masuk ke dalam shaf, tidak ada seorangpun yang mengingkariku”. (HR. Bukhari, no. 493; Muslim, no. 504)
Adapun jika ada makmum masbuq, maka setelah imam mengucapkan salam, imam tidak lagi menjadi sutrahnya, karena imam telah keluar dari shalatnya dan dia telah keluar sebagai makmum. Dengan demikian ia masih diwajibkan mencari sutroh, walaupun berupa orang yang duduk didepannya. Apabila kemudian orang yang didepannya pergi maka ia boleh bergeser sedikit kearah sutroh lainnya atau tembok yang dekat dengannya. Sebagaimana disampaikan Az-Zarqani yang meriwayatkan bahwa imam Malik Rahimahullah berkata, “Orang yang meneruskan shalat setelah salamnya imam, tidak mengapa bergeser ke tiang yang dekat darinya, baik di depannya, kanannya, kirinya, atau belakangnya dengan mundur sedikit, untuk bersutrah dengannya, jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri dan menolak orang yang lewat semampunya”. (Syarh Zarqani ‘ala Mukhtashar Khalil, 1/208; dinukil dari Ahkamus Sutrah, hlm. 26, karya Syaikh Muhammad bin Rizq bin Tharhuuni)
Apabila jumlahnya banyak maka berusahalah memiliki sutroh dengan tanpa melakukan banyak gerakan yang dapat menghilangkan kekhusyu’an.
Permasalahan orang yang melewati orang yang sholat tanpa sutroh, maka bila melewati jauh dari hadapan orang yang sholat maka diperbolehkan. Syeikh bin Baaz menyatakan,” Kapan jauh orang yang lewat didepan orang sholat apabila tidak memasang sutrah didepannya, maka ia selamat dari dosa. Hal ini karena ia telah menjauhinya sejarak yang telah dianggap jauh menurut adat kebiasaan. Jika demikian ini tidak dinamakan melewati depan orang yang sholat. Hukumnya sama dengan orang yang lewan setelah sutroh.” (komentar beliau dalam kitab Fathu al-baari 1/582)
Para ulama berbeda pendapat tentang ukuran minimal diperbolehkannya seorang melewati depan orang sholat tanpa sutroh. Mayoritas ulama menyatakan sejauh 3 hasta atau setelah ukuran tempat sujudnya.
Wallahu a’lam.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------