NASIHAT RASULULLAH SAW DAN PARA `ULAMA
TENTANG PENTINGNYA ILMU DAN KEUTAMAANNYA
KITA MENGAHARAP FADLILAH DI MAJLIS ILMU INI:
v  SEBAGAI JALAN MENUJU SURGA,
v  PARA MALAIKAT MEMOHONKAN AMPUNAN UNTUK KITA, SERTA MENAUNGI KITA DENGAN SAYAP-SAYAP MEREKA SEBAGAI BUKTI RIDLA MALAIKAT PADA PENUNTUT ILMU
v  BAHKAN IKAN-IKAN DAN BINATANG-BINATANG LAUT BERKENAN MEMOHONKAN AMPUNAN BAGI PENUNTUT ILMU. (al Hadits)

KEPADA SIAPA KEUTAMAAN INI DIBERIKAN ?
Bagi Mereka yang sungguh-sungguh gigih ingin mencari kebenaran & pemahaman yang shahih dan ikhlas karena Allah
Ya Allah, bimbinglah kami agar kami memiliki  “Pemahaman yang benar dan niat yang baik", dalam penuntut ilmu ; sebab kami ingin mensyukuri kedua nikmat paling agung yang Engkau karuniakan ini kepada hamba"

Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata, "Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).

Para `ulama ahlussunnah telah menyimpulkan dari Atsar baik dari Al Qur'an maupun al Hadits ash shahihah, bahwa seseorang tidak akan memperoleh ilmu (kejelasan dan pemahamannya) kecuali telah dipenuhinya 6 syarat:
MODAL KECERDASAN – KEGIGIHAN – KESUNGUHAN – MODAL HARTA (BIAYA) – DAN WAKTU YANG PANJANG.
الذكاء – الحرص – الإجتهاد – الْمال – صحبةُ الأستاذ – وطول الزمن

Mereka yang Tunduk & Ta`zhim Pada Sunnah Rasul-Nya:
Berkata Sahal bin Abdullah rahimahullah :
كُلُّ فِعْلٍ يَفْعَلُهُ العَبْدُ بِغَيْرِ اقْتِدَاءٍ – طَاعَة كَانَ أَوْ مَعْصِيَة – فَهُوَ عِيْشُ النَّفْس. وَكلّ فعل يفعله العبد بِالاِقْتِدَاء : فَهُوَ عَذَابٌ عَلَى النَّفْسِ.
 setiap pekerjaan yang dilakukan seorang hamba TANPA MENGACU PADA TUNTUNAN (Rasulullah saw) – baik dalam ketaatan maupunn kemaksiatan – maka (ketahuilah) dia itu sedang menghidupkan nafsunya (berbuat menurutkan nafsu). Dan setiap perbuatan hamba yang dilakukan dengan TUNTUNAN, maka ketahuilah dia itu sedang MENYIKSA (MEMENJARAKAN) Nafsunya.
Dan berkata Ahmad bin Abil Hawari rahimahullah :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً بِلاَ اتِّبَاع السُّنَّة ،  فَبَاطِلُ عَمَلُهُ.
 Siapa saja melakukan satu perbuatan TANPA MENGIKUTI SUNNAH, maka BATIL-LAH amal perbuatannya (sia-sia belaka)
Berkata Syaikh Muhammad bin Al Fadl al Bamuji,:
ذهاب الإسلام من أربعة : لا يَعْمَلُوْنَ بِمَا يَعْلَمُوْنَ ، وَيَعْمَلُوْنَ بِمَا لا يَعْلَمُوْنَ ، ولا يَتَعَلَّمُوْنَ مَا يَعْمَلُوْنَ ، وَيَمْنَعُوْنَ النَّاسَ مِنَ التَّعَلُّمِ وَالتَّعْلِيْمِ.
HILANGNYA ISLAM melalui empat perkara : (1)   Kaum Muslimin tidak mengerjakan apa-apa yang telah mereka ketahui, (2) Mengerjakan banyak hal dengan tanpa dasar ilmu , (3) Kaum Muslimin tidak membekali ilmu terhadap apa-apa yang mereka kerjakan, (4) dan mereka yang menghalangi manusia dari proses belajar dan mengajar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
وَمَنْ فَارَقَ الدَّلِيْلَ ضَلَّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ. وَلاَ دَلِيْل إِلَى الله وَالْجَنَّةِ سِوَى الْكِتَاب وَالسُّنَّةِ . وَكُلُّ طَرِيْقٍ لَمْ يُصْحِبُهَا دَلِيْل القرآن والسُّنَّة فَهيَ مِنْ طُرُقِ الْجَحِيْمِ وَالشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
والعلم : ماقامه الدليل. والنافع منه : ما جاء به الرسول. (مدارج السالكين 2: 466-469).
Siapa yang memisahkan dalil (dari perbuatannya) maka sesatlah dia dari jalan lurus. Dan tidak ada dalil menuju Allah dan Surga selain Kitab dan as Sunnah. Dan setiap jalan yang tidak didukung dalil al Qur’an dan as Sunnah, maka dia itu jalan Neraka dan Syaithan yang terkutuk. (Madarijus salikin,2: 466-469, diringkas)
إِنَّ العَبْدَ لَوْ عَرَفَ كُلَّ شَيْءٍ وَلَمْ يَعْرِف رَبَّهُ (ربوبيته ، وأسماء وصفاته ، وألوهيته، وأمره و نهيه) فَكَأَ نَّهُ لاَ يَعْرِفُ شَيْئًا.
Dan ibnul Qayyim rahimahullah berkata: sesungguhnya seorang hamba yang mengenali banyak hal (tentang dunia ini: kultur dan peradabannya), namun dia tidak mengenal Allah (rububiyahNya, Asma-shifatNya, uluhiyahNya, perintahNya dan laranganNya), maka sama saja dia itu tidak mengetahui apa-apa”. Dan inilah maksud dari ayat 5-7 dari surat ar Rum.

مَنْ كَانَ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلّى الله عليه وسلم  فَإِنَّهُمْ أَ بَرُّ هَذِهِ الأُ مَّةِ  قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقُهَا عِلْمًا ، وَ أَقَلُّهَا تَكَلُّفًا ، وَ أَقْوَمُهُمْ هَدْيًا وَ أَحْسَنُهُمْ حَالاً ، قَوْمٌ إِخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، فَأَعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ ، وَاتَّبِعُوا آثَارَهُمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى المُسْتَقِيْمِ
"BARANGSIAPA HENDAK MENJADIKAN TELADAN, MAKA TELADANILAH PARA SHAHABAT RASULULLAH SAW. SEBAB MEREKA ITU ORANG-ORANG YANG PALING BAIK HATINYA, ALING DALAM ILMUNYA, PALING SEDIKIT TAKALLUFNYA (TAK SUKA NEKO-NEKO, MEMBEBANI DIRI), PALING LURUS PETUNJUKNYA, DAN PALING BAIK KEADAANNYA. MEREKA ADALAH GOLONGAN YANG DIPILIH OLEH ALLAH UNTUK MENEMANI NABINYA DAN MENEGAKKAN DIEN-NYA. KARENA ITU HENDAKLAH KALIAN MENGAMBIL KEUTAMAAN JASA-JASA MEREKA DAN IKUTILAH JEJEKA MEREKA, SEBAB MEREKA ITU SENANTIASA BERADA DI ATAS JALAN (ALLAH) YANG LURUS" ;  HR AHMAD DARI IBNU MAS`UD  RA. JUGA DISEBUTKAN OLEH IBNUL QAYYIM AL JAUZIYAH DALAM "I`LAMUL MUWAQQI` IN"
Hal ini dikuatkan oleh QS at Taubah: 100 dan 117, al Fath: 29, al Hasyr: 8-10
(الأَنْصَارُ لاَ يُحِبُّهُمْ إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَلاَ يُبْغِضُهُمْ إِلاَّ مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ الله ُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللهُ) رواه البخاري: 3783 ومسلم: 75
"Tidaklah mencintai kaum Anshar kecuali seorang mukmin, dan tidaklah membenci mereka kecuali seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka niscaya Allah mencintainya, dan barangsiapa membenci mereka niscaya Allah membencinya" HR Bukhari (3783)-Muslim (75).
(لاَ يُبْغُضُ الأنْصارَ رجُلٌ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الآخِرِ) رواه مسلم : 76-77
"Orang-orang beriman kepada Allah dan hari akhir tidaklah membenci kaum Anshar"
HR Muslim (76-77)
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَابَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
"Janganlah kalian mencela shahabatku, karena seungguhnya meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka. Tidak juga separuhnya" HR Bukhari-Muslim dari Abi Sa`id al Hudri Ra.
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَابأَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
"Janganlah kalian mencela shahabatku, janganlah kalian mencela shahabatku, Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sekalipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung uhud, pastilah tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, bahkan tak juga separuhnya" HR Muslim dari Abu HUrairah Ra.
سورة التوبة
117. Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,
10. dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, Padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS AL HADID: 10
10. dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." QS AL HASYR: 10

HATI-HATI TERHADAP FASAD ILMU DAN FASAD QASHAD
1.    Seluruh penyakit hati itu bersumber dari dua sebab: Fasad (rusaknya) Ilmu dan Fasad Tujuan. Fasadnya ilmu berbuah kesesatan (adl-dlool), dan fasadnya tujuan berbuahkan kemurkaan (al-ghodlob). Dan “Ihdinash-shirothal mustaqim, memohon petunjuk kepada jalan lurus” merupakan OBAT dari kedua penyakit tersebut. (Madarijus Salikin, I/52).
2.    Iyyaka na`budu wa Iyyaka nasta`in, yang dipahami secara ilmu dan diwujudkan dalam amal perbuatan, akan mewujud sebagai obat fasadnya hati dan tujuan.
3.    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa “Iyyaka na`budu” dapat menolak sifat riya’. Dan “Iyyaka nasta`in” dapat menolak sombong dan `ujub.
4.    Shirathal mustaqim adalah mengenali kebenaran dan beramal dengan nya. (Tafsir Taisir al Karim ar Rahman, Syaikh As Sa`di, 1/38).
5.    Dengan Kebodohan dan menurutkan hawa nafsu, maka sirnalah sisi kebaikan manusia. Yang ada tinggallah penyimpangan dan kesesatan dalam kehidupan dunia dan sengsara di akhiratnya. (Majmu` Fatawa, 15/242, 25/281)
6.    Ketahuilah, bahwa pokok pangkal penyebab syirik dan kufur adalah berkata tentang Allah (dan ajarannya) tanpa ilmu. (Madarijus Salikin, 1/373)

SARANA MEMPEROLEH ILMU
1.Memohon kepada Allah melalui Doa agar Dia memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kita. QS Thaha: 114.
اللّهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَاعَلَّمْتَنِيْ , وَعَلِّمْنِيْ مَايَنْفَعُنِيْ وَزِدْنِيْ عِلْمًا
“Ya Allah, berikan kemanfaatan atas ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku, berikanlah aku ilmu yang memberikan manfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu” (HR Timridzi, 5/578, Lihat Shahih Ibnu Majah, 1/47)
اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَيَنْفَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لاَيُسْمَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَيَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَتَشْبَعُ
“Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari doa yang tidak didengar, dari hati yang tidak khusyu` dan dari jiwa   yang tidak pernah kenyang” (HR Ahmad, II/340, Ibnu Majah, 3837, Abu Daud, 1548, An Nasai, VIII/263, Al-Hakim, I/104, shahih)
2. Ijtihad (bersungguh-sungguh, gigih berusaha) dalam mencari ilmu, disertai kecintaan dan penuh harap, hanya mencari ridlo-Nya.: Ada 6 modal untuk memperoleh ilmu: CERDAS, GIGIH (RAKUS), IJTIHAD (sungguh-sungguh), BIAYA, BERAGUL DENGAN USTADZ, dan THULUL ZAMAN.
3.Menjauhi semua bentuk kemaksiatan dengan selalu mengencangkan buhul taqwa kepada Allah Swt, QS Al-Baqarah: 282. Al-Anfal: 29. Ibnu Katsir menafsir kan kedua ayat ini dengan: “Bagi orang yang bertaqwa kepada Allah, pasti Dia akan menganugerahi nya ilmu yang dapat membedakan antara haq dan bathil.  Oleh karena itu, dosa dapat melupakan / menghilangkan ilmu (Ibnu Mas’ud Ra, riwayat Ibnu Abdil Barr, Jami` Bayanul `Ilmi, I/196), Imam Syafii menganjurkan kepada seseorang yang mengadukan perihal buruknya hafalan, agar ia meninggalkan maksiat” (Jawabul Kafi, Ibnul Qayyim, hal. 104), Imam Malik pernah wasiat semisal kepada Imam Syafii (Jawabul Kafi, 104).
4.Membuang jauh-jauh sikap sombong dan malu dalam menuntut ilmu. Wanita Anshor yang terkenal memiliki sifat malu ternyata tak menghalangi mereka dalam belajar dan mendalami ilmu. (HR Bukhari, Fathul Baari, Kitabul Ilmi, I/228 dari Aisyah Ra). Imam Mujahid berkata, “Orang pemalu dan sombong tak akan pernah dapat ilmu”
5. Ikhlas semata karena Allah dalam mencari ilmu. Peringatan Nabi saw bagi yang menuntut ilmu hanya untuk kepentingan duniawi, maka ia tak akan mencium baunya surga di akhirat. (HR Abu Daud dan Ibnu Majah, I/48). Jadi ilmu itu harus disertai dengan amal, ikhlas dan Mutaba`ah (mengikuti Rasulullah Saw). Jika Anda mau periksa “Muqawwamat ad Da`iyah an Najih, Syaikh Sa`id bin Salim Wahf Al-Qohthani, Maktabah al Malik Fahd al Wathaniyah, Saudi, cet. I, Th. 1415 H hal. 25-28”.







MAFAHIM AN TUSHAHHAH
TENTANG ISTILAH : SALAF DAN MANHAJNYA

Minimal setiap hari kita membaca ayat : "Tunjukilah kami jalan yang lurus, QS Al Fatihah:6). Dalam shalat wajib lima waktu :
Pertanyaan :  BAGAIMANA JALAN YANG LURUS ITU ?
Allah sendiri memberikan jawaban : "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka… lalu juga dijelaskan dalam surat lain (QS 4: 69:
“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”
Mengamalkan Ilmu Adalah Bagian dari Shirathal Mustaqim
Setiap kali shalat kita senantiasa memohon petunjuk kepada Allah agar diberi hidayah menuju dan meniti jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Apakah yang dimaksud shirathal mustaqim ?
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)
Kemudian Allah memperjelas hakikat shirathal mustaqim ini di dalam ayat berikutnya, “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al Fatihah)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Shirathalladziina an’amta ‘alaihim adalah jalan para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang shalih. “Bukan” jalan “orang-orang yang dimurkai” yaitu orang-orang yang telah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya, seperti halnya orang Yahudi dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka. Bukan pula jalan “orang-orang yang sesat” yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti halnya orang Nasrani dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)
Oleh sebab itulah kita dituntunkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah; baik hidayah ilmu (hidayatul irsyad) maupun hidayah amal (hidayatu taufiq) minimal 17 kali sehari semalam.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seandainya bukan karena betapa besar kebutuhan hamba untuk meminta hidayah sepanjang siang dan malam tentulah Allah tidak akan menuntunnya untuk melakukan hal itu.
Karena sesungguhnya seorang hamba senantiasa membutuhkan bimbingan Allah ta’ala pada setiap saat dan keadaan. Yaitu supaya dia memperoleh ketegaran di atas hidayah, mengokohkan diri di dalamnya, mendapatkan pencerahan, hidayah semakin bertambah dan terus menerus menyertai dirinya.
Karena seorang hamba tidak bisa menguasai barang sedikitpun manfaat maupun mudharat bagi dirinya sendiri, kecuali sebatas yang diinginkan Allah. Sehingga Allah ta’ala pun membimbingnya agar meminta petunjuk pada setiap waktu, yang dengan sebab itu Allah akan membentangkan pertolongan, ketegaran dan taufik kepadanya.
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala untuk selalu meminta petunjuk, karena Allah menjamin akan mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya. Terlebih lagi apabila orang yang meminta sedang berada dalam keadaan terjepit dan sangat merasa butuh kepada Allah, di waktu siang maupun malam… (Tafsir Ibnu Katsir, I/37-38)
Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan TUDUHAN ASAL BUNYI (ASBUN) kepada sesama saudara seiman.
Padahal Allah ta`ala telah mengajarkan kepada kita untuk TABAYYUN terhadap khabar angin,  Allah ta’ala berfirman yang artinya,
 “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6)
Ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan salafiyah.
Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini.
Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.

KATA SALAF SECARA BAHASA (ETIMOLOGI)
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan.
Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).”
(Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30).
Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah :
yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56).
Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda,
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7).
 Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah.

ISTILAH SALAF DI KALANGAN `ULAMA
Telah masyhur di kalangan `ulama Aqidah, apabila mereka menyebut  kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
1.        Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2.        Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
3.        Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan,
“Adapun secara terminologi kata salaf berarti :
sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).
وَصْفٌ لاَ زِِمٌ يَخْتَصُّ عِنْدَ الاطْلاَقِ بِالصحابة رضي الله عنهم ، ويُشَارِكُهُمْ فِيْهِ غَيْرُهُمْ تبعا واتباعا.
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan,
“Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah,
(السلف الصالح هو الصّدْرُ الأوَلُ الراسخون في العلم ، المهتدون بهدي النبي صلى الله عليه وسلم، الحافظون لِسُنَّتِهِ ، إِخْتَارهُمُ الله تعالى لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وانْتَخَبَهُمْ لإقامة دِيْنِهِ ، ورضيهم أَئِمَّةُ  ، وجاهدوا في سبيل الله حق جهاده ، وأفرغوا في نصح الأمة ونفعها ، وبذلوا في مرضاة الله أَنْفُسَهُمْ)
Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم يَجِيْءُ قومٌ تسبقُ شهادةُ أحدِهم يميْنَهُ ويميْنُهُ شهادتَه)  
“Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian zaman beikutnyaq, zaman beikutnya lagi. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah dan sumpahnya mendahului persaksian" (maksudnya bersaksi dan bersumpah sebelum diminta,pent) ,
(HR. Bukhari -3651- dan Muslim-2533- , dari Abdullah ibnu Mas`ud Ra)
(النجوم أَمَنَةٌ للسماء فَإِذَا ذهبَتِ النجوم أتى السماء ماتُوْعَدُ ، وأنَا أمنة لأصْحابِي فإذا ذهبْتُ أتى أصحابي ما يوعدون  وأصحابي أمنة لأُمَّتِيْ  فإذا ذهب أصحابي أتى أمتي مايوعدون)
"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi shahabatku, jika aku telah pergi maka akan datang apa yang telah dianjikan atas shahabatku. Dan shahabatku adalah pengaman bagi ummatku, jika shahabatku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas ummatku" HR Muslim (2531)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini
Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf
Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah PEMBATASAN YANG KELIRU. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan
Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih.
Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf.
Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian.
Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33)
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya.
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.”
Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat Limadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan,
(اصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّة ، وقِفْ حَيْثُ وقفَ القَوْمُ ، وقُلْ بِما قَالُوا وَكَفَّ عمّا كُفُّوْا عَنْهُ ، واسلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصالح ، فإنه يسعك ما وسعهم)
“Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning.
Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf.
Padahal maksudnya,
وأما (السلفية) فهي نسبة إلى (السلف) وهو انتياب محمود إلى منهج سديد
وليس ابتداع مذهب جديد
“salafiyah itu adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).




Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
(ولا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه ، بل يجب قبولُ ذلك بالاتفاق لأن مذهب السلف لا يكون إلا حقا)
“Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33).
Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.”  (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ’salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun -1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu.
Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.

KONGKLUSI :
Pertama : Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab.
Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).
Kedua : Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliau rahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).

Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi saw. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi.
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman,
“Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488).
Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.” (Muslim no. 77).
Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga membencinya.” (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh khairul quruun (sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).” (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena jasa mereka ini. Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------