Al-Ghurabaa (orang-orang asing) Dan Nasionalisme
Masyarakat Semenanjung Arab terdiri
dari banyak qabilah (suku). Ikatan ke-qabilahan sangat kuat membentuk
kepribadian orang Arab. Seorang yang berasal dari qabilah tertentu tidak mudah
melepaskan diri dari pengaruh dan dominasi nilai-nilai ke-qabilah-an
kelompoknya. Realitas ini pada masa modern tidak terlampau kental dibandingkan
pada masa lalu, terutama di masa hidupnya Nabi Muhammad saw lima belas abad
yang lalu. Di masa kehidupan Rasulullah saw terdapat banyak sekali jumlah
qabilah di jazirah Arab. Diantaranya banu Ghathafan, banu Asad, banu Kalb, banu
Syaiban, banu Sulaim, banu Bakr, banu Khuza’ah, banu Tamiim, banu Aslam, banu
Mustholiq dll.
Kental dan dominannya nilai-nilai
ke-qobilahan di masa Rasulullah saw dahulu kala barangkali dapat disejajarkan
dengan nilai-nilai kebangsaan yang dewasa ini tumbuh dan berkembang di setiap nation-state
yang ada di dunia. Seiring masuknya dunia ke dalam era globalisasi maka
fanatisme ke-qobilahan atau kesukuan menjadi sulit bertahan. Kemudian diganti
dengan fanatisme pada skala yang lebih luas yaitu ke-bangsa-an atau Nasionalisme.
Sehingga kita menyaksikan bagaimana masing-masing bangsa berusaha memperjuangkan
keunggulan bangsanya di tengah pertarungan global antar-bangsa. Sedemikian
hebatnya faham dan ideologi Nasionalisme berkembang dewasa ini, sampai-sampai
muncul ungkapan Right or Wrong is My Country. Suatu ungkapan yang
berarti saya akan bela negara saya, baik ketika benar maupun ketika salah.
Pokoknya saya akan bela mati-matian negara dan bangsa saya, bagaimanapun
keadaannya. Apakah ajaran seperti ini dibenarkan oleh Islam? Apakah ini
merupakan ajaran yang mendatangkan keridhaan Allah SWT?
Kalau kita perhatikan pada zaman
Nabi saw hidup dahulu kala, maka kita temukan fanatisme ke-qobilahan atau
kesukuan demikian dominan dan menggejala. Pada masa itu setiap orang Arab
sangat bangga dan rela mati demi membela qobilahnya. Lalu datanglah Nabi Muhammad
saw membawa seruan untuk meninggikan Kalimat Allah. Suatu kalimat yang
dijunjung tinggi oleh setiap orang beriman. Kalimat tersebut ialah Laa ilaha
illa Allah (tiada ilah selain daripada Allah). Dengan Tauhid diharapkan
setiap orang yang menyambutnya akan memuliakan kalimat Allah dan merendahkan
serta meninggalkan seruan orang-orang kafir.
وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا
السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
”...dan Allah menjadikan seruan
orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi.
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah 40)
Seruan orang-orang kafir adalah
membanggakan segala hal yang bersifat duniawi-material dan bersifat primordial.
Salah satunya ialah mengutamakan kesamaan qobilah atau suku daripada ikatan
hubungan dengan Pencipta Alam Raya, yaitu Allah SWT. Hubungan dengan Allah
ialah seperti ikatan iman dan taqwa. Oleh karenanya Allah mencela bentuk
persahabatan duniawi-material sebagai ikatan yang hanya memberikan keakraban
sebatas hidup di dunia. Sedangkan di akhirat kelak nanti persahabatan seperti
itu akan berubah menjadi bentuk permusuhan. Adapun mereka yang menjalin
persahabatan di dunia berlandaskan taqwa, maka ikatan kasih-sayangnya akan
berlaku di dunia hingga ke akhirat.
الأخِلاءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ
”Teman-teman akrab pada hari itu
(hari berbangkit) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali
orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf 67)
Demikian pula Allah menyuruh kita
menjalin hubungan silaturrahim dengan berharap terpeliharanya hubungan
silaturrahim itu melalui cara memanggil Nama Allah di dalam doa-doa kita. Allah
sangat senang bila kita menjadikan-Nya sebagai sebab ikatan di antara kita satu
sama lain.
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا
“Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (QS An-Nisa 1)
Sesungguhnya Al-Qur’an mengakui
eksistensi bangsa dan suku sebagai realitas nyata bentuk berkelompoknya ummat
manusia. Namun Allah tidak pernah menyuruh manusia untuk menjadikan faktor
bangsa atau suku sebagai sumber perekat apalagi kebanggaan dan kemuliaan. Allah
jelas menekankan bahwa yang sepatutnya menjadi sebab kemuliaan ialah
berlombanya seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam hal bertaqwa kepada
Allah swt.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَلِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.(QS Al-Hujurat 13)
Allah tidak menghendaki kecuali agar
orang-orang beriman menjadikan Zat-Nya sebagai pemersatu hubungan satu sama
lain. Dan hendaknya janganlah kita berfikir bahwa kekayaan dunia dapat
menyebabkan bersatunya hati di antara sesama mu’min. Artinya, marilah kita
jadikan semangat beribadah, ber-’amal sholeh, berkomitmen dan loyal kepada
ajaran Islam sebagai satu-satunya faktor yang mempersatukan kita, bukan selain
itu. Jangan hendaknya menyangka bahwa faktor kekayaan, kekuasaan, kesamaan
qobilah, suku atau bangsa dapat menjadi faktor pengikat hubungan hati sesama
orang beriman. Itu semua hanyalah bentuk pengikat yang bersifat fatamorgana dan
palsu. Kalaupun bisa terlihat menyatu, maka itu hanyalah bentuk persatuan
artifisial, sebatas keakraban selagi masih di dunia atau selagi berbagai faktor
duniawi tersebut masih ada. Namun begitu faktor-faktor duniawi tersebut sudah
meninggalkan mereka, maka segera akan terjadi konflik bahkan saling salah
menyalahkan satu sama lain. Wa na’udzubillaahi min dzaalika...!
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ
أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
”... dan (Allah) Yang mempersatukan
hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua
(kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Anfal 63)
وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَاثُمَّ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًاوَمَأْوَاكُمُ
النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
”Dan berkata Ibrahim:
"Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk
menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini
kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan
sebahagian kamu mela'nati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah
neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS Al-Ankabut 25)
Pantaslah bilamana Nabi Muhammad saw
menggambarkan bahwa da’wah Islam pada mulanya menjadi seruan yang asing di
tengah dominannya tradisi dan fanatisme ke-qabilahan. Masyarakat Arab di masa
itu memandang bahwa ajaran Islam merupakan hal yang aneh bahkan berselisih
dengan tradisi dan nilai-nilai ke-qabilahan yang berkembang. Namun setelah
ajaran Islam tumbuh-subur di jazirah Arab, berkat suksesnya da’wah Nabi saw dan
para sahabat radhiyallahu ’anhum, maka nilai-nilai Tauhid menggantikan
fanatisme ke-qabilahan.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Sesungguhnya Islam diawali dalam keadaan asing."
(HR Ahmad 3596)
Tauhid menjadi perekat sejati
keanekaragaman suku bahkan bangsa yang menerima Islam sebagai jalan hidup.
Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) dan Al-Mahabbatu fillah
(kasih-sayang karena Allah) meliputi Suhaib Ar-Rumi yang orang Romawi, Salman
Al-Farisi yang orang Persia, Bilal bin Rabah yang orang Etiopia serta Abu Bakar
Ash-Shiddiq yang merupakan orang Arab dari qabilah Quraisy asli. Begitu pula
kalimat Allah telah merajut kaum Muhajirin yang berasal dari aneka qabilah di
Mekkah dengan Kaum Anshor yang berasal dari aneka qabilah di Madinah. Pendek
kata tumbuhlah sebuah peradaban baru yang dilandasi oleh penghambaan kepada
Allah sebagai pengikat utama keaneka-ragaman masyarakat di jazirah Arab pada
masa itu.
Di dalam Islam yang ikatan kesatuan
dan persatuannya diikat dengan tali yang kokoh (al `Urwatusl wutsqaa) – kalimat
tauhid Laa ilaaha illallah -, paling tidak dalam kalimat “ukhuwwah” itu sendiri
terdapat tiga perkara penting, yaitu “al musawaah, at ta`awun, dan al ukhuwwah”.
Dengan demikian dalam Islam,
ukhuwwah imaniyah harus dipenuhinya tiga rukun di dalamnya, yaitu: tolong
menolong dalam kehidupan (at ta`awun `alal hayah), bersyarikat dalam
menyelesaikan persoalan (asy syirkah fil amri), dan saling bantu dalam
mengingat Allah (al `Ianah `ala dzikrillah).
Dan akan lebih sempurna lagi
ukhuwwah itu, agar dapat eksis dalam kehidupan komunitas sevara riil, maka seyogyanya
membutuhkan lima sayarat, yaitu : Ikatannya harus dengan iman dan taqwa, dijalani
dengan ikhlas karena Allah semata, harus
tegak berdiri dia atas prinsip tanasuh (saling menasihati), tegak di atas
prinsip komitmen dgn manhajillah (di atas al Quran dan as sunnah), dan disertai dengan komitmen untuk saling
menolong dalam kehidupan-baik pada saat lapang maupun dalam saat sempit.
Peradaban berlandaskan ikatan Islam
dan Iman tersebut berlanjut selama belasan abad hingga dunia menyaksikan betapa
luasnya wilayah dimana berkibar bendera Tauhid sebagai perekat aneka suku dan
bangsa. Wilayah Islam membentang dari Maroko di ujung barat benua Afrika hingga
kepulauan Maluku di ujung timur Indonesia. Tanah Iman membentang dari
Semenanjung Balkan Eropa di ujung utara hingga Madagaskar Afrika di ujung
selatan. Pada masa itu bila seorang muslim mengadakan safar dari suatu wilayah
ke wilayah lainnya, maka ia tidak perlu memperlihatkan paspor maupun visa
karena seluruh wilayah merupakan bagian dari negerinya sendiri, yaitu negeri
Islam dan kaum muslimin.
Namun seiring berjalannya waktu
dekandensi nilai-nilai keimanan merebak, lalu diperburuk dengan terjadinya
penjajahan fihak kolonialis Barat ke negeri-negeri Islam sehingga terjadilah set-back.
Kaum muslimin yang berjuang membebaskan negerinya dari penjajah kafir Barat
berhasil dipersuasi oleh para penjajahnya masing-masing untuk mengedepankan
nilai-nilai kebangsaan daripada aqidah Tauhid sebagai identitas kemerdekaan
kaumnya. Para penjajah kafir Barat hanya mau hengkang dari negeri jajahannya
bila telah dipastikan bahwa negeri yang bakal ditinggalkannya telah menjadikan
faham Nasionalisme sebagai pengikat utama kaum tersebut, dan bukan Kalimat
Tauhid.
Sejarahpun berulang. Fanatisme
kelompok yang bersifat primordial muncul kembali menggantikan ikatan Tauhid.
Perbedaannya hanyalah bahwa di masa Rasulullah saw fanatisme tersebut berskala
qabilah, sedangkan pada era modern ia berskala bangsa. Faham dan ideologi
ke-qabilah-an alias sya’biyyah di masa lalu menjadi faham ke-bangsa-an
(Nasionalisme) alias qaumiyyah di masa kini. Hal ini seiring dengan
dunia memasuki era globalisasi. Skala boleh meluas, namun inti ikatannya tetap
sama. Apa yang mengikat dan membentuk perasaan kasih-sayang dan persatuan
bukanlah ikatan hubungan dengan Pencipta alam raya, Allah swt, melainkan ikatan
duniawi-material atau bersifat primordial. Sehingga dewasa ini barangsiapa
mengusung ikatan Islam dan Iman sebagai perekat masyarakat dipandang asing dan
aneh. Kalimat Tauhid dibatasi pada urusan pribadi semata. Segala upaya
menjadikan Kalimat Tauhid sebagai perekat masyarakat dipandang mengancam
persatuan dan kestabilan nasional.
Pantaslah bilamana Nabi Muhammad saw
menggambarkan bahwa da’wah Islam pada mulanya menjadi seruan yang asing di
tengah dominannya tradisi dan fanatisme ke-qabilahan. Lalu Nabi saw
memprediksikan bahwa keterasingan seperti sediakala akan terulang kembali di
akhir zaman. Persis sebagaimana yang kita alami dewasa ini. Ketika dimana-mana
ideologi Nasionalisme telah diterima bahkan diusung, maka siapa saja yang
kemudian menyuarakan agar Islam dijadikan pengikat masyarakat ia akan segera
dipandang aneh dan ketinggalan zaman. Namun Rasulullah saw menegaskan bahwa di
masa seperti ini justeru berbahagialah orang-orang asing. Siapakah mereka?
Simaklah hadits di bawah ini selengkapnya:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا
كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ وَمَنْ الْغُرَبَاءُ قَالَ
النُّزَّاعُ مِنْ الْقَبَائِلِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Sesungguhnya Islam diawali dalam keadaan asing, akan
kembali dalam keadaan asing seperti awal mulanya, maka berbahagialah bagi
orang-orang asing." Dikatakan; Siapakah orang-orang asing itu? Beliau
menjawab: "Yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari
kabilah-kabilah." (HR Ahmad 3596)
Berdasarkan sabda Nabi saw di atas
dapat kita simpulkan bahwa orang-orang asing yang berbahagia ialah mereka yang
tidak terperangkap ke dalam fanatisme ke-qabilahan di masa Rasulullah saw
dahulu kala. Padahal nilai-nilai ke-qabilahan sedemikian dominannya di masa
itu. Sedangkan dewasa ini berarti yang Nabi saw maksudkan sebagai orang-orang
asing yang berbahagia ialah mereka yang tidak terperangkap ke dalam fanatisme
ke-bangsaan ketika nilai-nilai ke-bangsa-an sedemikian dominannya di masa kini.
Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam
golongan Al-Ghurabaa. Pertemukanlah kami dengan sesama Al-Ghurabaa. Peliharalah
kami dari fitnah sya’biyyah maupun qaumiyyah di Akhir Zaman ini. Amin ya Rabbal
’aalamiin.-
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------