Karena sebenarnya melakukan ikhtiyar itu tidaklah bertentangan dengan iman kepada takdir, bahkan termasuk bagian kesempurnaan iman tersebut. Allah menghendaki sesuatu terjadi pada diri kita, dan menghendaki kita untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang dikehendaki untuk terjadi pada diri kita pasti akan Allah berlakukan. Sementara sesuatu yang Allah inginkan untuk kita kerjakan pasti akan diperintahkan kepada kita untuk melaksanakannya. Allah menginginkan kita untuk mengemban dahwah terhadap orang-orang kafir, meskipun Allah tahu bahwa mereka tidak akan beriman. Allah juga ingin kita memerangi mereka, meskipun Allah tahu kita akan kalah di hadapan mereka. Allah ingin kita menjadi umat yang satu, meskipun Allah tahu kita akan berselisih dan berpecah-belah. Allah ingin kita bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut terhadap sesama mukmin, meskipun Allah tahu bahwa akan terjadi permusuhan dahsyat di antara sesama mukmin sendiri, demikian seterusnya. Mencampuradukkan antara yang dikehendaki Allah terhadap kita dengan yang Allah kehendaki dari diri kita, itulah yang menjadi rancu dan menjerumuskan ke dalam hal-hal terlarang.
TIDAK
BERIKHTIYAR DENGAN ALASAN MEMPERKUAT TAWAKAL
Sebagian
kalangan Sufi enggan melakukan ikhtiyar dengan alasan bertawakkal kepada Allah
dan berserahdiri kepada takdir dan ketentuan-Nya. Apakah pendapat itu benar?
Bagaimana sebenarnya madzhab yang benar dalam hal itu?
Jawaban
Islam QA :
Al-Hamdulillah.
Ini adalah musibah yang sudah menyebar luas dan menjadi batu ujian yang besar,
dalam ukuran pribadi maupun masyarakat. Sementara umat Islam ini telah melewati
masa yang panjang dan jaman yang lama sekali. Islam sudah keluar dari persepsi semacam
itu dengan pemikiran yang cemerlang dan teori yang matang serta persepsi yang
tepat. Islam memandang harusnya berikhtiyar dan meneliti sebab akibat, baru
menentukan sikap. Masuk rumah, haruslah melalui pintu. Maka dengan ijin Allah,
mereka akan dapat melewati masa-masa krisis dan berbagai musibah, sehingga
kembalilah kejayaan Islam dan kemuliaan nenek moyang mereka. Karena demikianlah
kondisi Islam di masa-masa keemasannya.
Adapun
pada masa-masa sekarang ini, banyak sekali lumpur kejahilan, angin kekufuran
dan keterasingan Islam keras berhembus, kebid'ahan dan kesesatan tersebarluas,
maka pemahaman semacam ini sudah menjadi rancu di kalangan kaum muslimin.
Banyak di antara mereka yang memasukkan sikap "bersandarpasrah" itu
termasuk dalam keimanan terhadap qada dan qadar, sebagai alat untuk mengejar
kehidupan dunia, dengan menjauhkan diri dari sikap giat dan rajin, dari
memikirkan hal-hal yang bernilai tinggi, jalan-jalan menuju kejayaan dan
keselamatan; sehingga akhirnya mereka menempuh jalan yang terlihat mudah tapi
penuh bencana , ketimbang menempuh jalan yang sulit meski penuh kenikmatan.
Jalan
keluar menurut mereka adalah bersandar pada takdir, sadar bahwa Allah itu Maha
Mampu melakukan segala yang dikehendaki, bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti
akan terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Kehendak-Nya
itu pasti akan terjadi dan keinginan-Nya pasti akan berlangsung. Takdir dan
ketentuan-Nya, pasti akan berlaku. Kita tidaklah memiliki daya dan kemampuan,
tidak memiliki campur tangan sedikitpun. Demikianlah semua itu terjadi dengan
mudah dan wajar kita berserahdiri kepada takdir tanpa menggugatnya dengan
berikhtiyar melakukan hal-hal yang boleh dan disyariatkan. Sehingga tidak ada
lagi amar ma'ruf nahi mungkar, tidak ada lagi berjihad melawan musuh-musuh
Allah, tidak ada lagi hasrat menyebarkan ilmu dan memberantas kebodohan, tidak
ada lagi upaya memerangi pemikiran-pemikiran merusak dan prinsip-prinsip yang
sesat, dengan alasan, bahwa Allah menghendaki semua itu!
Pada
hakikatnya, ini adalah musibah besar dan kesesatan yang mendalam yang akan
menggiring umat ini menuju kehinaan keterbelakangan dan keruntuhan, menyebabkan
para musuh menguasai mereka, sehingga terjadilah musibah demi musibah.
Karena sebenarnya melakukan ikhtiyar itu tidaklah bertentangan dengan iman kepada takdir, bahkan termasuk bagian kesempurnaan iman tersebut. Allah menghendaki sesuatu terjadi pada diri kita, dan menghendaki kita untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang dikehendaki untuk terjadi pada diri kita pasti akan Allah berlakukan. Sementara sesuatu yang Allah inginkan untuk kita kerjakan pasti akan diperintahkan kepada kita untuk melaksanakannya. Allah menginginkan kita untuk mengemban dahwah terhadap orang-orang kafir, meskipun Allah tahu bahwa mereka tidak akan beriman. Allah juga ingin kita memerangi mereka, meskipun Allah tahu kita akan kalah di hadapan mereka. Allah ingin kita menjadi umat yang satu, meskipun Allah tahu kita akan berselisih dan berpecah-belah. Allah ingin kita bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut terhadap sesama mukmin, meskipun Allah tahu bahwa akan terjadi permusuhan dahsyat di antara sesama mukmin sendiri, demikian seterusnya. Mencampuradukkan antara yang dikehendaki Allah terhadap kita dengan yang Allah kehendaki dari diri kita, itulah yang menjadi rancu dan menjerumuskan ke dalam hal-hal terlarang.
Karena sebenarnya melakukan ikhtiyar itu tidaklah bertentangan dengan iman kepada takdir, bahkan termasuk bagian kesempurnaan iman tersebut. Allah menghendaki sesuatu terjadi pada diri kita, dan menghendaki kita untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang dikehendaki untuk terjadi pada diri kita pasti akan Allah berlakukan. Sementara sesuatu yang Allah inginkan untuk kita kerjakan pasti akan diperintahkan kepada kita untuk melaksanakannya. Allah menginginkan kita untuk mengemban dahwah terhadap orang-orang kafir, meskipun Allah tahu bahwa mereka tidak akan beriman. Allah juga ingin kita memerangi mereka, meskipun Allah tahu kita akan kalah di hadapan mereka. Allah ingin kita menjadi umat yang satu, meskipun Allah tahu kita akan berselisih dan berpecah-belah. Allah ingin kita bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut terhadap sesama mukmin, meskipun Allah tahu bahwa akan terjadi permusuhan dahsyat di antara sesama mukmin sendiri, demikian seterusnya. Mencampuradukkan antara yang dikehendaki Allah terhadap kita dengan yang Allah kehendaki dari diri kita, itulah yang menjadi rancu dan menjerumuskan ke dalam hal-hal terlarang.
Betul,
bahwa Allah adalah Maha Mampu melakukan apa saja yang dikehendaki, Yang
Menciptakan segala sesuatu, di tangan-Nya terhadap kekuasaan terhadap segala
hal, Yang Memiliki ikatan langit dan bumi. Akan tetapi Allah Subhanahu wa
Ta'ala menciptakan rambu-rambu di dunia ini untuk dijadikan sebagai petunjuk,
berbagai undang-undang yang dijadikan aturan, meskipun Allah sendiri mampu
menghancurkan rambu-rambu dan undang-undang tersebut, meskipun Allah juga tidak
menghancurkannya untuk setiap orang. Keimanan bahwa Allah mampu menolong kaum
mukminin melawan orang-orang kafir, tidak berarti Allah akan tetap menolong
mereka sementara mereka duduk berpangkutangan tanpa berikhtiyar. Karena
kemenangan itu mustahil tanpa adanya usaha. Sementara kemampuan Allah itu tidak
berhubungan dengan hal yang mustahil, karena itu bertentangan dengan
kebijaksanaan dan ke-maha-kuasaan Allah yang berkaitan dengan kebijaksanaan-Nya
tersebut.
Keberadaan
Allah yang Kuasa terhadap sesuatu tidaklah berarti seseorang, satu masyarakat
atau satu umatpun kuasa terhadap sesuatu tersebut. Kekuasaan Allah itu adalah
sifat yang khusus bagi Allah, sementara kekuasaan seorang hamba itu juga khusus
baginya. Mencampuradukkan antara kekuasaan Allah dan kekuasaan hamba serta
pelaksanaan hamba terhadap perintah Allah itulah yang akhirnya menggiring pada
sikap berpangkutangan, yang telah membius umat dan masyarakat islam.
Demikianlah
yang telah diteliti dan dicermati oleh salah seorang orientalis Jerman. Dalam
menceritakan sejarah kaum muslimin di masa-masa belakangan ia menuturkan:
"Tabiat dasar seorang muslim adalah berserahdiri kepada kehendak Allah,
ridha terhadap takdir dan kekuasaan Allah serta tunduk terhadap segala yang
dimiliki oleh Yang Maha Tunggal Lagi Maha Perkasa..
Ketaatan
semacam itu menimbulkan dua pengaruh berbeda. Pada masa awal Islam, sikap ini
memainkan peranan besar dalam peperangan dan merealisasikan kemenangan yang
berkesinambungan, karena dapat menimbulkan semangat pengorbanan pada diri
seorang tentara muslim.
Sementara
pada masa-masa belakangan justru menimbulkan sikap statis yang menghantui dunia
Islam, mendorong melakukan bunuh diri, menjauhkan dan mengisolir mereka dari
arus perkembangan jaman."
(Al-Ilmaniyyah
oleh Safar Al-Hawali menukil dari Belt Smit dalam bukunya Al-Islam Quwwatul
Ghad Al-Alamiyyah hal. 87.
Dari
buku Al-Iman Bil Qadha wal Qadr oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd hal.144
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------