31 Jul 2013
Di antara maksud lailatul qadar adalah waktu penetapan atau pencatatan takdir tahunan. Adapun keyakinan seorang muslim terhadap takdir, ia harus meyakini bahwa Allah mengetahui takdir hingga masa akan datang, Dia mencatat takdir tersebut, yang Dia tetapkan pasti terjadi, serta Dia pun menciptakan perbuatan hamba.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disebut lailatul qadar karena di malam tersebut dicatat untuk para malaikat catatan takdir, rezeki dan ajal yang terjadi pada tahun tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (maksudnya: takdir dalam setahun, -pen).” (QS. Ad Dukhon: 4).
Begitu pula firman Allah Ta’ala,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. ” (QS. Al Qadr: 4). Yang dimaksud ayat ini adalah diperlihatkan pada malaikat kejadian-kejadian dalam setahun, lalu mereka diperintahkan melakukan segala yang menjadi tugas mereka. Namun takdir ini sudah didahului dengan ilmu dan ketetapan Allah lebih dulu. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 57.
Mengenai surat Ad Dukhon ayat 4 di atas, Qotadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah pada malam lailatul qadar ditetapkan takdir tahunan.”  (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 13: 132)
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa dicatat dalam induk kitab pada malam lailatul qadar segala yang terjadi selama setahun berupa kebaikan, kejelekan, rezeki dan ajal, bahkan sampai kejadian ia berhaji. Disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir, 7: 338.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada malam lailatul qadar ditetapkan di Lauhul Mahfuzh mengenai takdir dalam setahun yaitu terdapat ketetapan ajal dan rezeki, begitu pula berbagai kejadian yang akan terjadi dalam setahun. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhohak, dan ulama salaf lainnya.” Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim dalam penjelasan ayat di atas.
Syaikh As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman berkata, “Ada salah satu pencatatan kitab yang terdapat pada malam lailatul qadar. Kitab tersebut dicatat namun masih bersesuaian dengan takdir yang dulu sudah ada, di mana Allah sudah menetapkan berbagai takdir makhluk, mulai dari ajal, rezeki, perbuatan serta keadaan mereka. Dalam penulisan tersebut, Allah menyerahkan kepada para malaikat. Takdir tersebut dicatat pada hamba ketika ia masih berada dalam perut ibunya. Kemudian setelah ia lahir ke dunia, Allah mewakilkan kepada malaikat pencatat untuk mencatat setiap amalan hamba. Di malam lailatul qadar tersebut, Allah menetapkan takdir dalam setahun. Semua takdir ini adalah tanda sempurnanya ilmu, hikmah dan ketelitian Allah terhadap makhluk-Nya.”
Semoga dengan semakin merenungkan tulisan di atas, kita pun semakin merenungkan malam kemuliaan lailatul qadar dan semakin beriman pula pada takdir ilahi.
Disusun di malam 23 Ramadhan 1434 H @ Pondok Mertua Indah, Panggang, Gunungkidul
Artikel Muslim.Or.Id

30 Jul 2013
Sebagian kaum muslimin ada yang tidak mau i’tikaf di masjid, mereka beralasan bahwa i’tikaf itu hanya pada tiga masjid saja yaitu masjid Al-Haram di Mekah, masjid Nabawi di Madinah dan masjid Al-Aqsa di Palestina. Kita menghormati pendapat mereka dan jangan sampai menjadi sumber perpecahan. Akan tetapi -wallahu a’lam- pendapat terkuat adalah boleh i’tikaf di selain tiga masjid tersebut. Adapun tiga masjid yang dimaksud pada hadits, menunjukkan bahwa lebih sempurna i’tikaf di tiga masjid tersebut. Walaupun hadits tersebut masih diperselisihkan ulama keshahihannya. Hadits tersebut adalah,
لاَاعْتِكَافَ إِلاَّ فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ
Tidak ada i’tikaf selain di tiga masjid” (Riwayat Sa’id bin Manshur dalam kitab As Sunnah dan Ath Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar)
Hadits ini diperselisihkan oleh ulama keshahihannya. Seandainya shahih maka tidak menghalangi untuk i’tikaf di masjid yang lain atau hadits ini tidak membatasi i’tikaf hanya di tiga masjid saja. Penyebutan tiga masjid tersebut menunjukkan lebih sempurna i’tikaf di masjid tersebut. Sebagaimana juga hadits berikut,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ
Tidak ada shalat (yang sempurna) dengan hadirnya makanan” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Daud)
Maka bukan maksudnya tidak sah shalat jika makanan sudah siap, akan tetapi lebih baik dan sempurna shalat jika kita sudah makan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “I’tikaf boleh di semua masjid, seandainya shahih hadits ini: ‘“Tidak ada i’tikaf selain di tiga masjid’ maka maksudnya adalah i’tikaf lebih sempurna dan lebih afdhal. Tidak diragukan lagi bahwa i’tikaf di tiga masjid ini lebih afdhal daripada yang lain sebagaimana shalat di tiga masjid ini lebih afdhal dari masjid lain” (Majmu’ fatawa wa Rasa’il 20/161, Asy Syamilah)
Al-Kasani rahimahullah, ulama besar madzhab Hanafi, berkata,
فأفضل الاعتكاف أن يكون في المسجد الحرام ، ثم في مسجد المدينة ، ثم في المسجد الأقصى ، ثم في المساجد العظام التي كثر أهلها
“I’tikaf yang paling afdhal di masjid Al-Haram, kemudian masjid Madinah kemudian Masjid Al-Aqsha kemudian di masjid (selain mereka) yang banyak jamaahnya” (Badhai’us Shanai’, 2/113).
Syaikh Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah berkata, “boleh beri’tikaf selain pada tiga masjid. Karena hadits yang menjelaskan tentang i’tikaf pada tiga masjid tidak menafikan I’tikaf selain dari ketiganya. Namun hadits tersebut menunjukkan keutamaan I’tikaf di tiga masjid tersebut, maksudnya adalah tidak ada I’tikaf yang sempurna” (dari audio di http://goo.gl/FTTrhs)
Mayoritas ulama berpendapat boleh i’tikaf di masjid mana saja
Para ulama berdalil dengan keumuman ayat,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam masjid” (QS. Al-Baqarah: 187).
Dalam Musykilul Atsar dijelaskan,
فعم المساجد كلها بذلك و كان المسلمون عليه في مساجد بلدانهم
“(I’tikaf) mencakup semua masjid dan semua masjid kaum muslimin di negeri mereka” (Musykilul Atsar, 4/20)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
يصح الاعتكاف في أي مسجد
“Boleh i’tikaf di masjid mana saja” (Fathul Baari, 4/272)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Boleh i’tikaf di selain tiga masjid kecuali ia mempersyaratkan pada masjid yang ditegakkan shalat berjamaah (jika dipersyaratkan harus di masjid itu, pent). Jika dimasjid itu tidak ditegakkan shalat jamaah maka tidak sah i’tikafnya. Jika ia bernadzar i’tikaf di tiga masjid maka ia harus menunaikan nadzar tersebut” (Majmu’ Fatawa bin Baz 14/444-445, Asy Syamilah).


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------