Hukum Membaca Al-Fatihah di Dalam Shalat
            Perkara hukum membaca Al-Fatihah di dalam shalat berjama’ah terbagi dalam tiga pendapat:
·         Pertama, wajib membacanya bagi Imam maupun makmum dan juga bagi yang shalat munfarid (sendiri). Berdasarkan keumuman hadits yang berbunyi:
“Tidak (shah) shalat seseorang bagi yang tidak membaca Al-Fatihah.”
“Barangsiapa shalat tidak membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka tidaklah sempurna shalatnya.”
Inilah yang diyakini oleh Asy-Syafi’i rahimahullah.
·         Kedua, Tidak wajib atas makmum membaca Al-Fatihah dan juga tidak wajib untuk yang lainnya, baik dalam shalat jahriyah (bacaan keras/nyaring) maupun shalat sirriyyah (bacaan lirih/tak diperdengarkan). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibnu Hanbal di dalam Musnadnya dari Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata:
            “Barangsiapa mempunyai Imam (shalat makmum berjamaah), maka bacaan Imam adalah bacaan baginya juga.”
                                                                                  
Akan tetapi hadits ini sanadnya dlaif dan diriwayatkan Malik dari Wahab Ibnu Kaisan dari Jabir melalui perkataannya. Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalan yang tidak sah sedikitpun sumbernya.
·         Ketiga, Wajib membaca Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat sirriyah dan tidak wajib dalam shalat jahriyah. Seperti dikuatkan dalam hadits shahih Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
            “Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk diikuti (oleh makmum), maka jika ia bertakbir, makmum pun ikut bertakbir dan jika ia membaca (Al-Fatihah dan surat), maka makmum hendaklah berdiam (tidak membacanya).”
Pendapat ini juga merupakan qaul qadim Imam Syafi’i rahimahullah[1] dan inilah yang haq (benar) sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
                        “Jika dibacakan Al-Qur'an, maka hendaklah kalian mendengarkan-nya dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.”

            Mendengar dan diam adalah perintah Allah Ta’ala, sehingga kita dirahmati. Jika kita mendengar dan diam, maka hati menjadi kosong dan siap untuk memahami. Apabila kita paham maknanya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan rahmat kepada kita sebagai balasan amalan dan pemahaman kita. Adapun jika Imam membaca secara jahr dan kita juga membaca bersamanya, maka kita tidak dapat sekaligus memahami apa yang kita baca dan dengarkan. Jika kita tidak berhasil memahami dan juga tidak berhasil mengamalkannya, tentu kita tidak memperoleh rahmat-Nya.[2]

Pokok-Pokok Kandungan Al-Fatihah
            Telah disebutkan di atas, bahwa surat Al-Fatihah adalah induk dari Al-Qur'an keseluruhannya, karena di dalam surat Al-Fatihah ini terdapat intisari dari isi Al-Qur'an.
            Al-Qur'an diturunkan diwaktu ummat manusia di seluruh penjuru alam ini sangat membutuhkan tuntunan dan hidayah yang akan membawa mereka kepada ketentraman jiwa dalam segala segi hidup dan kehidupan.
            Jiwa manusia tidak puas dan tidak menginginkan keadaan yang berlaku dalam masyarakat. Di mana saja waktu itu dunia telah dipenuhi dengan keadaan-keadaan yang tidak wajar. Itikad dan kepercayaan yang bukan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemuka agama, raja-raja, pemimpin, dan syaikh-syaikh kabilah yang memiliki kekuasaan tidak terikat sedikitpun. Akhlak dan budi pekerti serta tindakan-tindakan yang sangat bertentangan dengan perikemanusiaan. Seakan-akan orang telah lupa pada ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul sebelum Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
            Maka, kedatangan Al-Qur'an adalah untuk memenuhi tuntutan jiwa yang hendak lepas  dari belenggu kepercayaan-kepercayaan, hukum dan peraturan-peraturan, adat istiadat atau tradisi-tradisi, serta dongeng-dongeng yang tidak selaras lagi dengan akal dan pikiran yang selalu berkembang dan menuju pada kesempurnaan.
            Untuk memenuhi tuntutan jiwa ini, Al-Qur'anul Karim datang dengan membawa aqaid (keimanan), hukum-hukum dan peraturan, janji-janji dan ancaman (peringatan), serta kisah-kisah tentang ummat-ummat terdahulu yang dapat dijadikan pelajaran dan i’tibar agar manusia hidup aman dan tenteram, berbahagia dunia dan akhirat.
            Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa isi Al-Qur'an itu sebagai berikut:
1.    Keimanan (aqa’id)
2.    Ibadat
3.    Hukum-hukum dan peraturan-peraturan
4.    Janji dan ancaman
5.    Kisah-kisah atau cerita-cerita.

2.3  Mabda dan Ghayah
Bismillahirrahmanirrahim sebagai Asas dan Mabda’
            Seperti telah disebutkan, bahwa Al-Fatihah juga memiliki nama Al-Asas, artinya sendi atau dasar. Sebagaimana disebutkan Sufyan bin Uyainah, hal itu karena dianggap sebagai dasar dar Al-Qur'an, sedangkan ayat Bismillahirrahmanirrahim dinyatakan sebagai dasar dari Al-Fatihah.
            Dikatakan sebagai Mabda’, karena kita disunnahkan untuk memulai setiap pekerjaan yang baik dengan membaca Basmalah dan pada hakikatnya setiap amalan itu mempunyai titik memulai sebagai pembangkit dan juga mempunyai titik yang dituju atau Ghayah.
            Mabda’ pada hakikatnya adalah apabila seorang mukmin hendak melakukan suatu pekerjaan baik didasarkan pada iman atas perintah Allah dan Rasul-Nya, serta bertujuan memperoleh ridla-Nya.
            Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
                        “Setiap perbuatan (urusan) yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut Bismillahirrahmanirrahim, maka pekerjaan (urusan) itu tidak mendatangkan keberkahan (terputus dari rahmat-Nya).”
           
            Termasuk dalam perkara makan dan minum pun disunnahkan memulainya dengan membaca Basmalah.  Sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah berkata kepada Umar bin Abu Salamah (anak tirinya) :
                        “Sebutlah Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu.”

            Melakukan perbuatan yang dimulai dengan iman dan bertujuan memperoleh ridla Allah merupakan suatu perbuatan takwa. Sebagaimana ketika Thalaq bin Hubaib ditanya seseorang: “Jika terjadi fitnah, maka padamkanlah dengan takwa. Kalau begitu apakah takwa itu?” Ia menjawab: “Anda melakukan ketaatan kepada Allah atas dasar nurun minallah dan mengharap tsawab (pahala) Allah dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah atas dasar nurun minallah dan takut hukuman Allah.”
            Setiap amalan harus mempunyai mabda’ dan ghayah, titik mulai dan tujuan. Suatu amalan tidak dikatakan ketaatan dan pendekatan sehingga menjadikan iman sebagai sandarannya, karena iman itulah yang menjadi pembangkit amalannya, bukan kebiasaan atau pun hawa nafsu. Oleh karena itu, iman sebagai mabda’ dan pahala, serta ridla Allah sebagai tujuan (ghayah).[3]
            Menyebut Bismillahirrahmanirrahim di setiap permulaan perbuatan sama dengan menyebut asma Allah dan mengingat akan kebesaran-Nya. Menyadari kebesaran Allah di setiap perbuatan akan berdampak besar secara kejiwaan bagi pelakunya dan pekerjaan yang dilakukannya. Kesadaran ini tumbuh sebagai panggilan iman yang membangkitkan seorang hamba terhadap perbuatannya atas panggilan dan perintah Allah sebagai pembuat syari’at. Mabda’ itulah yang akan mengantarkan seorang hamba mampu melakukan amalan secara itqan (tekun dan baik) dan iklas dalam memperoleh ridla dan tsawab dari Zat Yang Maha Agung. Dalam hal ini, perkataan Thalaq bin Hubaib “Di atas cahaya Allah” menunjukkan kepada sandaran amal dan sebab pembangkitnya.
            Adapun perkataannya tentang Tarju Tsawaballab (mengharap pahala Allah) adalah menunjukkan kepada pokok yang kedua--yaitu Ihtisab--yang merupakan ghayah (tujuan), sehingga untuk kepentingan inilah terjadinya amalan.

Keutamaan Bacaan Basmalah
            Muhammad Nasib ar-Rifa’i mengatakan bahwa berdasarkan penelitian Ibnu Katsir rahimahullah, sebagaimana dinyatakan dalam kitab tafsirnya, maka menyangkut ayat Basmalah, kedudukannya di dalam Al-Qur'an, baik dalam surat Al-Fatihah maupun dalam surat-surat lain, dan juga menyangkut fadlilah (keutamaan)-nya, adalah sebagai berikut:
            Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad shahih dari Ibnu Abbas rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak mengenal batas pemilahan surat, sehingga diturunkan kepadanya (Bismillahirrahmanirrahim). Dan para ulama sepakat bahwa Basmalah ini merupakan bagian dari ayat dari surat An-Naml, namun mereka berbeda pendapat tentangnya: apakah ia termasuk ayat terpisah bebas di dalam permulaan setiap surat, apakah ia hanya ada pada Al-Fatihah dan tidak terdapat pada surat lainnya, atau bahwa ia sebagai pemisah antara surat yang satu dengan surat lainnya?  Yang palin rajih (kuat periwayatannya) adalah bahwa Basmalah merupakan pemisah antara surat-surat. Hal ini didasarkan pada pernyataan Ibnu Abbas rahimahullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Bagi mereka yang berpendapat bahwa Basmalah ini merupakan bagian ayat dari surat Al-Fatihah , maka di antara mereka ada yang men-jahar-kan Basmalah ketika shalat dan bagi yang tidak menganggap bagian dari Al-Fatihah, maka mereka men-sirr-kannya. Bagi yang memiliki pendapat tersebut, sama-sama memiliki pendukung dari jamaah sahabat, telah kuat dan tsabat menunjukkan bahwa keempat Khalifah Rasyidah, mereka men-sirr-kan Basmalah. Demikian pula thaifah (kelompok) dari salaf tabi’in dan khalaf dari mereka, serta madzhab Abu Hanifah, Ats-Tsauri, dan Ibnu Hanbal. Bagi Imam Malik, ia bahkan tidak membaca Basmalah secara jahar maupun sirr.
            Ringkasnya, telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para Imam Ahlus Sunnah, bahwa mereka bersepakat atas shahihnya riwayat yang menyatakan perlunya men-jahar Basmalah dan juga bagi yang men-sirr-kan Basmalah. Wallahu A’lam.[4]
            Dalam tafsir yang sama, Ibnu Katsir--yang dinukil kembali oleh Muhammad Nasin ar-Rifa’i--meriwayatkan beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan Basmalah, antara lain:
1.    Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi hatim rahimahullah meriwayatkan di dalam tafsirnya dengan sanadnya dari Utsman Ibnu ‘Affan:
            “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya tentang Bismillahirrahmanirrahim . Lalu ia menjawab: ‘Ia adalah nama dari nama-nama Allah, begitu dekatnya kalimat Basmalah ini dengan nama Allah yang Teragung seperti dekatnya biji mata yang hitam dengan putihnya’.”
2.    Waki’ meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud rahimahullah :
            “Barangsiapa yang ingin diselamatkan dari (siksa) Malaikat Zabaniyah yang sembilan belas itu, maka bacalah Bismillahirrahmanirrahim, maka Allah menjadikan setiap hurufnya sebagai tameng dari masing-masing mereka”
3.    Dari hadits Bisyr bin ‘Ammarah dari Adl-Dlahhak, Ibnu Abbas rahimahullah  berkata:
            “Sesungguhnya yang pertama diturunkan Jibril kepada Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, ketika Jibril berkata: ‘Hai, Muhammad, bacalah Asta’idzu bis Sami’il ‘Alimi Minasy Syaithanir-rajim, lalu bacalah Bismillahirrahmanirrahim’.”
4.     Juga diriwayatkan oleh An-nasa’i di dalam Al-Yaum wal Lailah (sehari semalam) dan dari Ibnu Mardawaih di dalam tafsirnya dari hadits Khalid al-Hidza’ dari Al-Hajimi dari Abi Malih bin Usamah bin ‘Umair dari ayahnya berkata:
            “Ketika saya mengawal Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu beliau tersandung, maka aku berkata: ‘Celaka syaithan itu!’ Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata: ‘Jangan Anda berkata demikian, sebab ia (syaithan) menjadi merasa besar (busung dada) sehingga seolah-olah ia seperti rumah, namun katakanlah Bismillahi, sehingga ia menjadi kecil bagaikan seekor lalat’. Dan inilah yang termasuk barakah Bismillah.”[5]
           
            Bahkan banyak terdapat riwayat lain dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menyatakan bahwa Basmalah menjadi kalimat yang mengawali doa, seperti doa masuk kamar mandi (MCK), ketika berwudlu’, hendak makan, dan ketika hendak menyembelih hewan--bahkan sebagian ulama mewajibkannya. Demikian juga ketika hendak melakukan hubungan badan dengan istri ataupun suami. Sebagaimana hadits dari Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas:
                        “Sekiranya seseorang dari kamu, bila ingin mendekati istrinya (melakukan jima’), lalu menyebut Bismillahi jannibnasy syaithan wa jannibisy syaithana ma razaqtana, maka syaithan tidak dapat menggangu anak (yang dilahirkannya) selama-lamanya.”

* * *





[1] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/8-9
[2] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/19

[3]  At Taqwa, Al-Ghayatul Mansyudah wad Duratul Mafqudah. Ahmad Farid. Hal. 11
[4]  Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Li Ikhtishar Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I hal. 10-11
[5]  Taisirul ‘Aliyyul Qadir. Jilid I, hal. 11


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------