Tiga Bashirah Manusia
(oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, Miftah Daar as Sa`adah)
Oleh Ibnul Qayyim dalam kirabnya “Miftah Daar as Sa`adah, Kunci Kebahagiaan, Penerj.Abdul Hayyi al Katanai dkk, penerbit Akbar Media Eka Sarana Jakarta, Cetk. Ke-1, Juli 2004

Bashirah manusia dalam cahaya yang cemerlang ini terbagi ke dalam tiga bagian.

Pertama: orang yang tidak memiliki bashirah iman sama sekali. Dia hanya melihat kegelapan, guntur, dan kilat. Dia meletakkan dua jarinya di telinganya karena takut kepada suara petir, dan meletakkan tangan di matanya karena takut melihat kilat, khawatir akan membutakan mata. Pandangannya tidak menjangkau apa yang ada di balik itu semua, seperti rahmat dan sebab-sebab kehidupan yang abadi. Orang seperti kelompok pertama ini adalah orang yang menutup mata terhadap agama. Dia tidak menerima agama Allah SWT yang diturunkan untuk hamba-hamba-Nya meskipun dia telah menyaksikan semua ayat-Nya. Itu karena ia termasuk orang yang telah diputuskan agar sengsara dan celaka. Faedah peringatan (indzaar) bagi orang seperti ini adalah mendirikan hujah atas dirinya, agar dia disiksa dengan dosanya sendiri, bukan semata-mata dengan pengetahuan Allah SWT bahwa dia memang harus menerima siksa.

Kedua: para pemilik bashirah yang lemah, yang pandangan mereka kepada cahaya ini seperti pandangan kelelawar ke bola matahari. Mereka mengikuti nenek moyang mereka. Agamanya adalah agama adat dan lingkungan tempat mereka berada. Mereka inilah yang dimaksud oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dengan ucapannya,
"Atau orang yang tunduk kepada kebenaran, tapi tidak punya bashirah untuk memilih kebenaran itu."Jika mereka ini tunduk kepada para pemilik bashirah tanpa ragu sama sekali, maka mereka ada di jalan keselamatan.

Ketiga: yakni intisari alam, manusia istimewa. Mereka adalah para pemilik bashirah tajam yang menyaksikan nur (cahaya) yang terang ini. Mereka punya keyakinan dan bashirah terhadap keindahan dan kesempurnaan nur ini. Seandainya lawan dari nur ini dipaparkan ke akal mereka, pasti mereka melihatnya seperti malam yang gelap gulita, hitam. Inilah inti perbedaan antara mereka dengan kelompok sebelumnya. Orang-orang (dari golongan kedua) itu mengikuti orang yang memimpin dan menemani mereka saja, seperti kata Ali bin Abi Thalib:

"Mereka mengikuti setiap suara panggilan, menuruti semua teriakan orang. Mereka tidak bersuluh dengan cahaya ilmu, dan tidak bersandar ke tiang yang kokoh."
Ini tanda orang yang tidak punya bashirah. Anda lihat dia menyukai sesuatu, juga menyukai lawannya. Dia memuji sesuatu, tapi juga memakinya, jika dibungkus kulit yang tidak dikenalnya. Dia mengagungkan ketaatan kepada Rasul saw. dan memandang pelanggaran ajaran beliau sebagai dosa besar, tapi dia sendiri tergolong orang yang paling membangkang terhadap ajaran tersebut, paling keras memusuhi orang yang mengamalkan sunnahnya. Ini karena dia tidak punya bashirah.

Adapun orang dari kelompok ketiga ini, amal mereka berlandaskan bashirah. Dengan perbedaan bashirah itulah kemuliaan mereka bertingkat-tingkat, seperti kata seorang salaf ketika menyinggung generasi silam, "Itu hanya karena mereka beramal dengan dasar bashirah." Seseorang tidak pernah mendapat karunia lebih afdhal dari bashirah (pengetahuan yang dalam) tentang agama Allah SWT, meski dia beramal sekedarnya. Allah SWT berfirman,

"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi." (Shaad: 45)
Ibnu Abbas berkata, "(Artinya ulil aydy) adalah punya kekuatan dalam ketaatan kepada Allah SWT, dan (arti ulil abshaar) adalah punya pengetahuan tentang perintah Allah SWT." Qatadah dan Mujahid berkata, "Mereka diberi kekuatan dalam ibadah dan pandangan yang tajam tentang agama."
Orang yang paling alim (berilmu) adalah yang paling tahu tentang kebenaran ketika orang-orang lain berbeda pendapat, meski amalannya sederhana saja. Masing-masing dari ketiga kelompok ini punya bagian-bagian lagi yang hanya Allah SWT yang dapat menghitung kadar derajat perbedaannya.
Jika hal ini sudah diketahui, maka kelompok pertama tidak dapat mengambil manfaat dari bab ini, bahkan hanya makin menambahnya sesat saja. Kelompok kedua
mengambil faedah sebatas pemahaman dan potensi yang dimilikinya. Sedang kelompok ketiga, untuk merekalah pembahasan ini diungkap. Merekalah ulul albab yang dikhususkan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya dengan khithab tanbih dan irsyad. Dan, kepada merekalah sebenarnya tadzkirah ditujukan. Allah SWT berfirman,

"Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (tadzkirah)." (az-Zumar: 9)

Persaksian Fitrah dan Akal

Fitrah dan akal telah mengakui dan bersaksi bahwa alam mempunyai Tuhan (rabb) Yang Maha Kuasa, Maha Penyantun, Maha Tahu, Maha Pengasih, zat dan sifat-Nya Maha Sempurna, hanya menghendaki kebaikan untuk hamba-hamba-Nya. Dia menurunkan untuk mereka syariat yang sesuai dengan nilai baik dan buruk yang tertanam di dalam pikiran mereka. Juga sesuai dengan tabiat mereka yang memilih sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya dan merusak. Dan, syariat ini menjadi saksi atau bukti bahwa Dia adalah zat yang paling bijak (paling banyak hikmah-Nya), pengasih, dan bahwa Dia mengetahui segala hal.

Jika ini telah dipahami, maka ketahuilah bahwa bukanlah hikmah ilahi, dan bahkan bukan hikmah raja-raja di dunia ini kalau mereka memberitahu rakyat apa yang diketahui dan mengungkapkan politik yang diterapkan dalam mengurus kehidupan. Sampai dalam masalah tinggal, mereka memberitahu rakyat tentang sebab dan tujuan mereka tinggal di sebuah daerah tertentu. Kalau mereka memerintah rakyat atau mengutus utusan kepada mereka atau mengatur urusannya, mereka harus memberitahu rakyat tentang sebab, tujuan, atau temponya. Juga pengaturan urusan makan, pakaian, atau kendaraan, tujuannya harus diberitahukan kepada rakyat.
Tidak syak lagi bahwa hal ini tidak sejalan dengan hikmah dan maslahat di tengah makhluk. Apalagi bagi Tuhan Seru Sekalian Alam dan zat Yang Paling Berhikmah, yang selamanya tidak ada seorang pun yang menyamainya dalam ilmu atau hikmah!! Jadi, cukuplah bagi akal yang sempurna untuk menjadikan hikmah yang telah diketahuinya sebagai dalil atas hikmah terselubung.

Cukuplah akal yang sempurna tahu bahwa Dia punya hikmah dalam segala ciptaan dan syariat-Nya. Apakah yang namanya hikmah mengharuskan Allah SWT memberitahu setiap hamba-Nya tentang segala yang diperbuat dan sekaligus memberitahu hikmah dari perbuatan itu? Apakah di kalangan makhluk hal seperti itu dipandang perlu?! Bahkan, sebaliknya Allah SWT menyembunyikan banyak ciptaan dan perintah-Nya dari seluruh makhluk-Nya, tidak diungkap kepada malaikat atau Nabi.
Seorang manusia (pemimpin) yang bijak, jika telah diakui hikmah dan kebijakannya serta keinginannya untuk mewujudkan kebaikan bagi rakyat, maka itu sudah cukup dengan menilai tujuannya dalam mengangkat dan memecat pegawai.
Juga dalam masalah yang diperintahkan dan dilarangnya, serta dalam siasat pengaturannya untuk rakyat, tanpa perlu meneliti detail setiap perbuatannya. Kecuali kalau perbuatannya itu sudah sampai dianggap tidak mengandung maslahat sama sekali. Kalau sudah seperti itu, dia sudah tidak berhak mendapat sebutan al-hakiim (orang yang bijak). Dan, tidak ada seorang pun yang menjumpai hal semacam ini dalam ciptaan atau syariat Allah SWT.
Jika ini sudah dipahami, berarti telah dipahami bahwa Tuhan Seru Sekalian Alam adalah yang paling berhikmah (ahkamul haakimiiri), Maha Tahu atas segala sesuatu, paling kaya, tidak butuh kepada selain-Nya, Maha Kuasa atas segala hal. Begitulah Dia. Perbuatan-perbuatan-Nya dan perintah-perintah-Nya sama sekali tidak kosong dari hikmah, rahmat, dan maslahat. Kalaupun sebagian hikmah-Nya dalam ciptaan dan syariat-Nya masih tidak diketahui manusia, cukup bagi mereka mengetahuinya secara global. Yakni bahwa hal itu pasti mengandung hikmah meskipun mereka tidak mengetahui detailnya, dan bahwa itu termasuk ilmu gaib yang hanya dikuasai Allah SWT. Jadi, dalam masalah seperti itu, cukup bagi mereka mengatakan bahwa segala sesuatu punya hikmah yang luar biasa dan komprehensif, baik hikmah tampak maupun hikmah yang tersembunyi.
Demikianlah, Allah SWT hanya mengungkapkan kepada hamba-hamba-Nya tentang hikmah agung dari ciptaan dan syariat-Nya, tidak yang detail dan rumit. Hal ini berlaku secara menyeluruh, baik dalam masalah ushul maupun furu'. Coba perhatikan! Jika kamu melihat dua orang, misalnya yang satu rambutnya lebih tebal dari temannya, atau lebih putih kulitnya, atau lebih jenius, tentu secara sunatullah kamu akan dapat mengetahui mengapa salah seorang dari mereka punya keistimewaan seperti itu. Demikian pula dalam perbedaan bentuk dan rupa.
Akan tetapi, jika kamu ingin tahu apakah rambut orang ini lebih banyak dari rambut orang lain dengan jumlah tertentu misalnya, atau kamu ingin tahu tentang nilai kelebihan seseorang dengan kadar dan bentuk khusus, atau mengetahui selisih antara keduanya, tentu hal itu tidak mungkin dilakukan sama sekali. Kiaskanlah semua makhluk kepada hal ini, dari pasir, gunung, pepohonan, ukuran dan berat bintang-bintang, dst. Kalau tidak ada jalan untuk mengetahui hal ini dalam masalah ciptaan-Nya, yakni hanya cukup dengan mengakui adanya hikmah yang komprehensif, maka demikian pula dalam syariat-Nya. Kita tahu bahwa semua yang diperintahkan-Nya mengandung hikmah yang luar biasa.
Adapun detail rahasia dan hikmah dari perintah dan larangan-Nya tidak dapat dijangkau oleh ilmu manusia. Akan tetapi, Allah SWT mengungkapkan hikmah yang dikehendaki-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki. Peganglah baik-baik prinsip dasar ini!


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------