Sikap Lembut Suami Dalam Menghadapi Istri, Kunci Meyelesaikan Masalah Yang Timbul, oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda, Uiversitas Islam Madiah, Saudi Arabia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

اِرْفَقْ بِالْقَوارِيْرِ

“Lembutlah kepada kaca-kaca (maksudnya para wanita)” (HR Al-Bukhari V/2294 no 5856, Muslim IV/1811 no 2323, An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubro VI/135 no 10326 dan ini adalah lafal An-Nasa’i)

 
Berkata Ibnu Hajar, “Al-Qowarir plural (kata jamak) dari singular (kata tunggal) Qoruroh yang artinya adalah kaca…berkata Romahurmuzi, “Para wanita dikinayahkan dengan kaca karena lembutnya mereka dan lemahnya mereka yang tidak mampu untuk bergerak gesit. Para wanita disamakan dengan kaca karena kelembutan, kehalusan, dan kelemahan tubuhnya”…yang lain berkata bahwasanya para wanita disamakan dengan kaca karena begitu cepatnya mereka berubah dari ridho menjadi tidak ridho dan tidak tetapnya mereka (mudah berubah sikap dan pikiran) sebagaimana dengan kaca yang mudah untuk pecah dan tidak menerima kekerasan” (Fathul Bari X/545)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “…Sebuah kata yang engkau ucapkan bisa menjadikannya menjauh darimu sejauh bintang di langit, dan dengan sebuah kata yang engkau ucapkan bisa menjadikannya dekat hingga di sisimu” (Asy-Syarhul Mumti’ XII/385)

Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh, “Para wanita disamakan dengan kaca karena lemahnya hati mereka” ( Masyariqol Anwaar II/177). Demikianlah…Allah telah menciptakan wanita dengan penuh kelembutan dan kelemahan. Hati mereka lemah sehingga sangat perasa. Mudah tersinggung…namun senang dipuji. Mudah berburuk sangka…mudah cemburu…mudah menangis…demikianlah wanita.

Sikap para wanita begitu cepat berubah terhadap sikap suami mereka…terkadang hari ini ridho dengan sikap suaminya…besok hari marah dan tidak ridho…, apalagi jika sang suami melakukan kesalahan….!!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌ

“Seandainya engkau berbuat baik pada salah seorang istri-istrimu sepanjang umurmu kemudian dia melihat suatu (yang tidak disukainya) darimu maka ia akan berkata, “Aku sama sekali tidak pernah kebaikan darimu” (HR Al-Bukhari I/19 no 29 dan Muslim II/626 no 907)


Basa-basi sangat diperlukan dalam menghadapi wanita

Hendaknya seorang suami pandai bersiasat dan berstrategi dalam bergaul dengan istrinya hingga menarik hatinya.

Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan akan dianjurkannya untuk berbuat mujamalah (berbasa-basi) untuk menarik hati para wanita dan melembutkan hati mereka. Hadits ini juga menunjukan siasat dalam menghadapi wanita yaitu dengan memaafkan mereka serta sabar dalam menghadapi kebengkokan mereka. Dan barangsiapa yang berharap selamatnya para wanita dari kebengkokan maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari mereka, padahal seorang pria pasti membutuhkan seorang wanita yang ia merasa tentram bersamanya dan menjalani hidup bersamanya. Seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sempurna menikmati (bersenang-senang) dengan seorang wanita kecuali dengan bersabar menghadapinya” (Fathul Bari IX/254)

Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan sikap berlemah lembut terhadap para wanita, bersikap baik kepada mereka, sabar menghadapi bengkoknya akhlak mereka, sabar menghadapi lemahnya akal mereka, dan dibencinya menceraikan mereka tanpa ada sebab, serta janganlah berharap lurusnya seorang wanita” (Al-Minhaj X/57)

Oleh karena itu sikap basa-basi dihadapan wanita sangatlah diperlukan untuk menundukannya, bahkan hal ini disunnahkan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

أَلآ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَأَنَّكَ إِنْ تُرِدْ إِقَامَتَهَا تَكْسِرْهَا فَدَارِهَا تَعِشْ بِهَا

“Ketahuilah bahwasanya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan jika engkau ingin untuk meluruskannya maka engkau akan mematahkannya, oleh karenya barbasa-basilah niscaya engkau akan bisa menjalani hidup dengannya” (HR Al-Hakim di Al-Mustadrok IV/192 no 7333, Ibnu Hibban (Al-Ihsan IX/485) no 4178, Ad-Darimi II/198 no 2221 dari hadits Samuroh bin Jundaub. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat Shahihul Jami’ no 1944))


Jangan memandang keburukan-keburukan wanita saja, namun lihatlah juga kelebihan-kelebihan yang dimilikinya

Hendaknya sang suami mengingat kebaikan-kebaikan istrinya, mengingat kelebihan-kelebihan yang dimiliki istrinya terutama tatkala sang suami sedang marah…sesungguhnya hal ini membantunya untuk meredakan kemarahannya dan melatihnya berbuat adil tatkala menghukumi sikap istrinya.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Hendaknya seseorang tidak marah karena segala perkara karena pasti akan timbul kekurangan (kesalahan). Bahkan ia sendiri mesti berbuat kesalahan, dan tidaklah benar bahwasanya ia sempurna dalam segala hal. Jika demikian maka istrinya lebih utama untuk melakukan kesalahan. Dan juga wajib bagi seseorang untuk menimbang keburukan-keburukan dengan kebaikan-kebaikan. Sebagian istri jika suaminya sakit maka ia tidak akan tidur semalam suntuk untuk menjaga suaminya, ia juga taat kepada suaminya dalam banyak perkara. Kemudian jika sang suami menceraikannya maka kapan ia akan nikah lagi?, jika ia nikahpun bisa jadi ia akan mendapati istri yang lebih buruk dari istri yang sebelumnya” [Asy-Syarhul Mumti’ XII/385]

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda,

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci  sebuah sikap (akhlak) istrinya maka ia akan ridho dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain” [HR Muslim II/1091 no 1469 dan
الفَرْكُ maknanya adalah (البُغْضُ) benci (Lihat Al-Minhaj X/58)]

Berkata An-Nawawi, “Yang benar adalah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam melarang, yaitu hendaknya dia tidak membencinya karena jika mendapati sikap (akhlak) yang dibencinya pada istrinya maka ia akan mendapati sikapnya yang lain yang ia ridhai. Misalnya wataknya keras namun ia wanita yang taat beribadah, atau cantik, atau menjaga diri, atau lembut kepadanya, atau (kelebihan-kelebihan) yang lainnya”[1]

Suami yang paling sedikit mendapat taufiq dari Allah dan yang paling jauh dari kebaikan adalah seorang suami yang melupakan seluruh kebaikan-kebaikan istrinya, atau pura-pura melupakan kebaikan-kebaikan istrinya dan menjadikan kesalahan-kesalahan istrinya selalu di depan matanya. Bahkan terkadang kesalahan istrinya yang sepele dibesar-besarkan, apalagi dibumbui dengan prasangka-prasangka buruk yang akhirnya menjadikannya berkesimpulan bahwa istrinya sama sekali tidak memiliki kebaikan

Tatkala seorang suami marah kepada istrinya maka syaitan akan datang dan menghembuskan kedalam hatinya dan membesar-besarkan kesalahan istrinya tersebut. Syaitan berkata, “Sudahlah ceraikan saja dia, masih banyak wanita yang sholehah, cantik lagi…, ayolah jangan ragu-ragu…”. Syaitan juga berkata, “Cobalah renungkan jika engkau hidup dengan wanita seperti ini…., bisa jadi di kemudian hari ia akan lebih membangkang kepadamu..”. Atau syaitan berkata, “Tidaklah istrimu itu bersalah kepadamu kecuali karena ia tidak menghormatimu…atau kurang sayang kepadamu, karena jika ia sayang kepadamu maka ia tidak akan berbuat demikian…”. Dan demikanlah bisikan demi bisikan dilancarkan syaitan kepada para suami. Yang bisikan-bisikan seperti ini bisa menjadikan suami melupakan kebaikan-kebaikan istrinya yang banyak yang telah diterimanya. Jika sang suami telah melupakan kebaikan-kebaikan yang lain yang dimiliki isrinya maka sesungguhnya ia telah menyamai sifat para wanita yang suka melupakan kebaikan-kebaikan suaminya !!!.


Suami dibolehkan berdusta kepada istrinya jika ada kemaslahatannya selama tidak menjatuhkan hak sang istri

Syari’at sangat memperhatikan keutuhan rumah tangga, sangat memperhatikan terjalinnya kasih sayang diantara dua sejoli, sampai-sampai syari’at membolehkan seorang suami berdusta kepada istrinya atau sebaliknya –selama masih dalam batasan-batasan yang dibolehkan- demi untuk menjaga ikatan kasih sayang diantara mereka berdua.

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda

لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ

“Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga perkara, seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya ridho, berdusta tatkala perang, dan berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) diantara manusia” [HR At-Thirmidzi IV/331 no 1939 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani kecuali lafal (Untuk membuat istrinya ridho)]

Berkata Ibnu Syihab, “Dan aku tidak pernah mendengar dibolehkan berdusta dari perkataan manusia kecuali pada tiga perkara, perang, mendamaikan diantara orang-orang (yang bertikai), dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya dan perkataan seorang wanita kepada suaminya” [Atsar riwayat Muslim di shahihnya IV/2011 no 2605]

Para ulama berbeda pendapat tentang makna dusta yang dibolehkan. Ada yang berpendapat bahwa dusta tersebut adalah dusta yang hakiki, karena dusta yang diharamkan adalah yang memberi mudhorot bagi kaum muslimin adapun dusta yang dibolehkan adalah yang ada maslahatnya bagi kaum muslimin, dan penyebutan tiga perkara di atas adalah hanya sebagai permisalan saja.[ Al-Fath V/300.]

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta yang diperbolehkan adalah tauriyah/ta’riidh (mengucapkan kalimat yang benar dan bukan dusta namun dengan tujuan agar sang pendengar memahami makna yang lain) dan bukanlah dusta yang hakiki. [Al-Minhaaj XVI/158, Umdatul Qori XIII/269]

Imam An-Nawawi berkata, “Yang dzohir adalah bolehnya dusta secara hakiki pada tiga perkara tersebut, akan tetapi at-ta’riidh lebih utama”[2], dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar dan beliau membantah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta di sini adalah ta’riid (tauriyah). [Al-Fath VI/159-160]

Akan tetapi bolehnya dusta antara suami dan istri ada batasannya yaitu dengan syarat tidak boleh sampai tingkat menjatuhkan hak salah seorang dari keduanya.

Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh, “Adapun penipuan (kedustaan) untuk menghalangi hak suami atau hak istri atau agar suami mengambil apa yang bukan haknya atau sang istri mengambil apa yang bukan haknya maka hal ini adalah haram berdasarkan ijmak (kesepakatan para ulama)”  [Umdathul Qoori XIII/270, demikian juga Ibnu Hajar menyampaikan kesepakatan ini (Al-Fath V/300)].

Namun dibolehkannya dusta antara suami istri maksudnya adalah demi menjaga kasih sayang diantara mereka.

Berkata An-Nawawi, “Adapun seorang suami berdusta kepada istrinya dan demikian juga seorang istri berdusta kepada suaminya, maksudnya adalah dalam rangka menampakan rasa kasih sayang atau untuk menjanjikan sesuatu yang tidak lazim untuk ditunaikan dan yang semisalnya” [Al-Minhaj XVI/158]

Misalnya seorang suami tatkala memakan masakan istrinya kemudian dia mendapati masakannya kurang lezat, dan biasanya seorang istri jika melihat suaminya makannya kurang selera maka ia akan bertanya, “Makanannya kurang enak?”, maka dalam kondisi seperti ini maka dibolehkan bagi sang suami untuk berdusta agar tidak menjadikan sang istri bersedih dan marah sehingga rengganglah cinta kasih diantara keduanya. Hendaknya sang suami berkata, “Maasya Allah masakannya lezaaat…”[3].

Akan tetapi yang perlu diingat janganlah sampai suami menjadikan dusta kepada istrinya merupakan pekerjaannya sehari-hari, akan tetapi hendaknya ia berdusta tatkala benar-benar dibutuhkan dan jelas kemaslahatannya. Karena jika sang istri sampai mengetahui bahwa ia telah dibohongi oleh suaminya apalagi sampai berulang-ulang maka ia akan tidak percaya pada perkataan-perkataan suaminya dikemudian hari, dan bisa jadi ia akan jadi penuh terliputi dengan sikap buruk sangka kepada suaminya.
 Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja. www.Firanda.com


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------